Rabu, 17 Desember 2014
Surat dari Negeri Cendrawasih
Assalamualaikum...Semangat
Pagiiiiiiiiiii!
Anisse Alami
Hai teman-teman dan saudaraku semua,
apa kabar? Lama tak jumpa dengan kalian di jauh sana. Bagaimana cerita hidupmu
di sana? Semua istimewa kan?
Kalian tahu? Di Kampung Kwoor, Kabupaten
Tambrauw, Papua Barat segalanya juga serba istimewa. Saat Sang Mentari menyapa,
pohon-pohon kelapa menyambutnya dengan semangat sehingga terciptalah siluet
yang indah. Saat mentari semakin tinggi, terpantullah hijau daun dari pepohonan
yang lebat merapat. Sore hari waktunya angin semilir dengan lembut membelai
rumput dan dedaunan. Saat Sang penguasa siang mulai mengucapkan Sampai Jumpa,
langit membalasnya dengan jingga di ujung senja. Bergantilah hiasan langit
dengan bulan dan milyaran bintang yang berkerlip layaknya bidadari yang sedang
mengerjap-ngerjapkan matanya.
Anak-anak senang sekali berlarian
menyelinap di antara pohon-pohon besar atau berguling di atas alang-alang,
membenamkan badan hitam mereka ke dalam sungai yang di kelilingi hutan, memainkan
kaki mereka dengan lincah di kerasnya batu karang untuk sampai di tepi pantai yang
sunyi. Alam adalah sahabat mereka.
Masyarakat di distrik Kwoor ini
adalah masyarakat Suku Abun. Mereka termasuk suku yang tinggal di pesisir.
Ternyata Papua adalah pulau dengan suku terbanyak di Indonesia. Hasil
penelitian seorang antropolog Jerman menemukan ada 290 an suku di Papua itu
belum termasuk suku-suku pedalaman yang tak terjamah. Beda distrik bisa jadi
beda suku. Beda suku berarti beda budaya, termasuk bahasa. Aku berusaha belajar
bahasa mereka agar bisa lebih dekat dan mudah memberi pelajaran, tetapi susah
sekali. Aku pikir bahasa Papua yang
sering kita dengar di TV atau film itu adalah bahasa yang digunakan di
Papua.ternyata itu Bahasa Indonesia dialek Papua, bukan bahasa daerah. Misalnya saja kalau mereka berkata saya makan
singkong menggunakan dialek Papua mereka akan berkata, “Sa makan kasbi.” Tetapi
kalau dengan bahasa Abun mereka akan berkata, “Nanggit angguasem.”
Mereka adalah masyarakat yang ramah
sekali. Setiap melihatku mereka pasti akan menyapa, selamat pagi, selamat
siang, selamat sore, atau selamat malam. Meski dari kejauhan pun asal mereka
melihatku mereka akan berteriak demi menyapa. Kami tinggal di rumah dinas guru
sehingga masyarakat dengan cepat mengetahui bahwa kami adalah seorang guru. Keramahan
mereka menepis bayanganku selama ini soal bagaimana mereka bersikap. Perang
antar suku, penggunaan adat istiadat yang tegas, intoleran terhadap agama
minoritas, sampai ketegangan situasi yang disebabkan oleh OPM. Ah, kenapa media
masa tak pernah memberitakan kehangatan yang mereka tunjukkan? Sehingga
berkembang persepsi negatif kepada masyarakat Papua secara keseluruhan.
Indonesia harus tahu bahwa Papua tak selalu seperti yang dikabarkan oleh media masa.
Keramahan mereka tidak hanya ditunjukkan
dengan sapaan, tetapi juga pemberian bantuan. Awalnya kami bingung mau memasak
apa sedangkan di Kwoor tidak ada pedagang bahan masakan. Sehingga hari-hari
pertama kami tinggal, yang dimasak tiada lain hanyalah mie instan dengan telur
yang kami beli sebelum penempatan. Beberapa hari tinggal, saat kami pulang
mengajar ada siswa-siswa SD yang datang ke rumah dengan membawa sayuran dari
kebun mereka. Barulah kami tahu bahwa siswa-siswa kami akan dengan senang hati
mengirim sayuran ke rumah, bahkan jika tidak diminta sekalipun. Tidak hanya
sayuran yang dikirim, tetapi juga buah dan kayu bakar.
Soal mengirim sayuran ini, sebenarnya
aku merasa sangat senang. Tetapi di sisi lain, aku merasa tidak enak dengan
masyarakat karena terkesan merepotkan. Memang sayuran itu sebagian mereka
konsumsi sendiri, tetapi sebagiannya lagi dijual ke kota Kabupaten Sausapor.
Sehingga aku merasa telah mengurangi penghasilan masyarakat. Suatu saat aku
berkunjung ke rumah Bapak Kepala Desa, Pak Frans. Kusampaikan bahwa aku merasa
tidak enak sering diantar sayuran oleh masyarakat. Kata Pak Frans, “Ah, sudah tra apa-apa. Ibu
guru kan sudah memberi ilmu ke siswa secara gratis. Jadi masyarakat gantian
memberi sayur gratis ke ibu guru.”
Baiklah aku tidak ingin menghalangi
seseorang melakukan kebaikan. Sehingga sampai saat ini apabila stok sayuran
dikulkas (aku sering menamai sudut dapur tempat sayur biasa tertumpuk dengan
sebutan kulkas) habis, kami akan bertanya (sambil berharap) kepada siswa, “Di kebun
ada sayur kah? ada rica (cabai rawit) kah? ada kayu bakarkah?” lama-lama aku suka mengerjai mereka, “Ada
Stowberi kah? ada Buah Kiwi kah?” dengan wajah polos dan datar mereka berkata,
“Tra ada.” Hahaha... ya iyalah... sayur yang beken di Kwoor adalah Kangkung,
Terong, Jagung, Bayam, daun Singkong, Cabai Rawit, dan Kacang Panjang. Buah yang
beken adalah Pisang, Kelapa muda, dan Semangka.
Selain mengantar sayuran ke rumah,
terkadang mereka juga mau membantu membawakan air dari tangki dekat rumah. Jika kami terlihat sedang mengambil air dari
tangki, terkadang tanpa segan mereka akan berkata, “Mari, saya bawakan sudah.” Jika
aku tidak sedang benar-benar butuh bantuan biasanya aku akan mengangkat
sendiri, tetapi jika sampai mereka memaksa barulah aku berikan.
Semua terasa indah kan? Sayangnya,
bersamaan dengan itu, ada banyak hal menyedihkan yang menyertainya. Siswa-siswa
SD YPK Effata di sini setiap hari datang sekolah bahkan pada saat lonceng (gas
elpigi 12 Kg) belum ditalki (dipukul), padahal mereka pasti tahu guru-guru
mereka tak ada yang datang. Ke manakah guru-gurunya? Ketika mereka ditanya
paling jawabannya, ke Sorong. Kapan kembalinya? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu
jawabannya. Sekolah ini seperti taman bermain. Bebas. Bebas mau masuk sekolah
atau tidak, bebas berseragam model bagaimana, bebas memilih mapel, tidak mandi
dan gosok gigi sebelum berangkat sekolah pun tak apa-apa. Kalau ditanya, kenapa
tidak gosok gigi? Jawabnya, “Sikat gigi saya hilang.” atau “Ah saya malas gosok
gigi, Mama Ibu.”
Soal fasilitas SD sebenarnya sudah
bisa dibilang lumayan. Ada gedung perpus baru dengan banyak buku, media-media
pembelajaran, 3 ruang kelas baru yang berjenis permanen dengan fasilitas
seperti ruang sekolah di kota. Sudah dicat, lantainya dari keramik. Pakai white
board tapi kalau tinta habis di sini susah carinya. Akhirnya white board
diturunkan lalu black board kembali ngeksis.
Biasanya, salah satu masalah sekolah
di pelosok adalah kurangnya buku bacaan dan ketersediaan alat peraga. Suatu
saat Pak Matius, seorang guru agama SD, menunjukkan kepadaku isi perpustakaan.
Wow, ternyata ada banyak buku dan alat peraga yang tersimpan rapih di
kardus-kardus besar. Aku juga melihat ada alat peraga matematika Gasing
(Gampang Asik dan Menyenangkan) SD yang diberikan Pak Yohanes Surya kepada 2 guru kami saat mengikuti
pelatihannya di Tangerang.
Ribuan semut hitam bermain-main di di
bawah kardus yang agak lembab. Hingga beberapa bagian kardus terlihat berlubang
karena digerogoti ribuan semut. Mungkin
mereka ingin pintar sehingga menghuni perpustakaan. Kardus-kardus itu seperti
menunggu seseorang untuk mengelurkan isi perutnya dan menggunakannya bersama
siswa-siswa. Harus ada satu unsur memadukan semangat siwa dan harta karun yang
terpendam di perpustakaan itu. Unsur itu adalah Guru Hebat.
Itu soal di sekolah. Soal di
masyarakat? Hem....masyarakat belum menyadari pentingnya hidup bersih dan
sehat. Jadi, tidak aneh jika kita melihat ada banyak siswa yang di kelas
hidungnya ingusan. Kalau di kota pasti sudah diusap pakai sapu tangan atau
tissue. Kulit siswa juga banyak yang korengan. Ini pasti gara-gara main tanpa
alas kaki dan dengan santainya memakai celana dan kaos lengan pendek. Padahal
di sini masih banyak alang-alang dan serangga. Serangga yang paling beken di
sini namanya AGAS. Ukurannya kecil, tapi kalau sudah menggigit efeknya kulit
jadi gatal-gatal dan agak perih.
Berbeda dengan nyamuk yang hanya
menggigit di bagian tubuh yang terbuka dan ogah nyelip-nyelip ke bagian tubuh
yang tertutup, agas tidak demikian. Agas bisa menyelip dan merapayap di tempat
tak terjangkau sekalipun, haha. Dan karena dia suka berkawan banyak, jadi wajar
saja kalau kulit gatal akibat gigitnnya bisa tersebar di seluruh badan.
Akhirnya kuberi penghargaan padanya dengan menamainya: Agas the Explorer.
Jalan kasar yang masih berupa
perpaduan tanah dan batu yang dipadatkan membuat kulit siswa mudah terluka
kalau tak memakai perlindungan ekstra pada pakaian mereka. Hehe. Ada 3 penyakit yang menurutku berbahaya di
sini. Pertama adalah penyakit yang paling terkenal jika masuk Papua, yaitu
Malaria. Saking terkenalnya Malaria, hampir semua penyakit disebut Malaria.
Pusing Malaria, Demam Malaria, Panas Malaria. Ada-ada saja. Jangan-jangan ada
juga Ketombean Malaria.
Kedua, Kaki Gajah. Di Kota Kabupaten
aku menemui satu ibu-ibu yang terkena Kaki Gajah. Di sini juga ada satu ibu-ibu
dan seorang kakek yang terkena Kaki Gajah. Jumlah penderitanya memang tidak
banyak. Tapi, wow... langka dan kasihan sekali kan penderitanya. Mengganggu
kelancaran hidup dan performance (apa mereka memperhatikan yang ini?).
Ketiga yang tak kalah seramnya adalah
HIV. Budaya buruk pergaulan di sini telah membuat Papua menjadi sarang HIV.
Belum ada pendataan berapa jumlah masyarakat yang terkena, tetapi yang jelas
budaya pergaulan lawan jenis di sini tidak baik. Budaya? Iya, budaya. Karena
masyarakat di sini sudah menerima kebiasaan itu. It’s just an ordinary thing.
Tapi kalau soal HIV nya, hem..sebenarnya masyarakat juga takut kalau terkena
itu. Dan mungkin juga sangat malu jika terkena. Nyatanya dokter di sini pernah
melayat seorang yang katanya sakit. Entah bagaimana ceritanya dokter tersebut
tahu dan mengatakan positif terkena H20. H20? Apaan tuh? Itulah nama inisial
untuk HIV di sini. Saat mengetik surat ini aku sedang merencanakan membuat
penyuluhan tentang HIV/AIDS di SMP ku. Sebagai pemuda mereka harus mulai
memperhatikan soal pergaulan yang baik. Dan ya Rabb, semoga aku terhindar dari
penyakit-penyakit di sini.
Oya, sebenarnya SK-ku tidak mengajar
SD , aku mengajar SMP N Kwoor, Distrik Kwoor, Kab Tambrauw. Ini adalah SMP yang
baru berdiri, jadi hanya ada kelas 7. Sekelas 20 siswa tetapi yang aktif masuk
ada 17 siswa. Itu pun kadang masih juga berkurang jadi 15, 16, atau bahkan 11.
SMP ini gedungnya masih menumpang dengan gedung SD YKP Effata Kwoor. Kepala SMP
ku sebelumnya adalah guru di SD YPK Effata.
Jam masuk SMP adalah jam 12.30.
awalnya aku dan 3 temanku di sini mengira kami akan punya banyak waktu di pagi
hari. Tapi setelah tahu bahwa guru-guru SD yang berjumlah MUNGKIN 5 itu, hampir
semua menghilang secara misterius maka teman-temanku tidak tega melihat siswa
terlantar. Apalagi banguan sekolah ada di belakang rumah dinas kami. Mereka
juga tidak enak terhadap siswa dan masyarakat kalau melihat ada guru di rumah
sedangkan siswa-siswa tarada (tak ada) yang mengajar.
Minimnya guru SD , membuat kondisi
yang dilematis di antara kami. Ada 5 guru SM3T yang ditepatkan di kampung yang sama.
4 teman mendapat SK mengajar SMP, 1 orang mendapat SK SD. Teman-teman mengalami
kebingungan membagi waktu dengan masyarkat. Selain itu, kondisi ini membuatku
berpikir, kalau seandainya tahun depan guru-guru tetap jarang hadir dan tidak
ada guru bagus yang menggantikan kami di sini, berarti sekolah itu akan kembali
pada posisi semula. No teacher, no learning
activites, no report, dan mungkin akan berakhir dengan pemalangan sekolah
oleh masyarakat seperti bulan Agustus lalu.
Pemalangan itu terjadi karena masyarakat
kecewa dengan sekolah yang serba tidak jelas. Kemarahan masyarakat memuncak
saat siswa tidak diberi rapor dan sulit sekali mendapat ijazah. Tapi kalau
seandainya ada ujian semester dan ujian kelulusan, apakah nilai rapor dan ijazah
mereka bagus? Sepertinya sulit sekali jika tidak ada niat tulus dari guru untuk
mendidik dan peran serta orang tua yang maksimal terhadap pendidikan
anak-anaknya. Sekarang pun ketika sudah ada guru SM3T, sebagian besar siswa
masih sekolah dalam keadaan yang acak adul. Bahkan tak jarang siswa tak masuk
sekolah karena ikut orang tuanya mengecek jerat di hutan. 2 atau 3 hari
kemudian baru muncul lagi di sekolah. Ada juga yang 3 mingguan tidak masuk
sekolah karena membantu orang tuanya membangun rumah. Padahal dia adalah anak
perempuan. Seharusnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya
juga perlu ditingkatkan.
Seperti yang sudah kita ketahui,
mayoritas masyarakat Papua adalah pemeluk agama Nasrani. Sehingga kegiatan
keagamaan di Papua sangat diutamakan. Bagiku, kegiatan keagamaan juga termasuk
sebuah pendidikan. Berbeda dengan pendidikan yang didapat dari sekolah yang
tidak baik kondisinya, pendidikan yang didapatkan dari Gereja dapat berjalan
dengan baik. Siswa-siswa dapat hafal lagu Sekolah Minggu dengan baik, tetapi sayangnya
tidak hafal lagu wajib dan nasional. Mereka juga terlihat lebih rapi ketika
ibadah hari Minggu daripada ketika bersekolah.
Dengan kondisi seperti itu, sekolah
harus menghormati kegiatan-kegiatan Gereja. Misalnya pulang jam 4 sore untuk
SMP ketika hari Rabu karena akan ada ibadah unsur (ibadah khusus Remaja), sekolah
SD harus libur di setiap hari-hari keagamaan Kristen. Seperti, libur akhir
bulan karena ada Ibadah Kunci Bulan, libur Injil Masuk di Tanah Papua, libur
Injil Masuk di Tanah Karon, libur Paskah 1, libur Paskah 2, libur Pentakosta 2,
dan libur Natal
Bagiku, hidup dengan segala
keterbatasan fasilitas publik- tidak ada sinyal sama sekali, tidak ada listrik,
sulitnya akses transportasi, minimnya sarana ekonomi, dan terbatasnya fasilitas kesehatan- adalah masa yang sungguh berharga yang Allah berikan kepadaku. Karena
dengannya membuatku semakin menyukuri hidup yang telah Allah berikan di masa
lalu. Meski di sini aku bertugas mengajar kepada siswa dan berbagi kepada
masyarakat, tetapi sesungguhnya mereka juga mengajarkanku banyak hal. Tentang
bagaimana menghadapi kerasnya hidup, bagaimana hidup berdampingan dengan
masyarakat yang berbeda latar belakang, bagaimana berbagi kepada sesama,
bagaimana memegang prinsip tanpa melukai, hingga bagaimana memberanikan diri
naik perahu kecil menyeberangi sungai yang luas.
Meski masyarakat mengahadapi segala
keterbatasan, siswa-siswa mengahadapi banyak kekurangan, tetapi aku yakin jika
semua pihak mau mengambil peran untuk kebaikan mereka, maka suatu saat kampung
kami akan bangkit, menjadi kampung yang berdaya, dan siswa-siswa dapat menjadi
orang-orang sukses yang dapat membangun Papua, membangun Indonesia.
Hem..meski belum semua aku ceritakan,
tetapi semoga suratku ini bisa mewakili semua cerita hidupku selama ini di
kampung Kwoor yang luar biasa. Terimakasih
atas semua dukungan, doa, apresiasi, dan semua kebaikan teman-teman dan
saudaraku semua di jauh sana. Buat indonesia bangga atas peran kita pada bangsa
dan umat ini!
Sampai jumpa di lain ruang dan waktu.
Wassalamualaikum....
Raja Ampat,
17 Desember 2014
Banner: satu-satunya penanda bahwa ada SMP di kampung Kwoor |
Berfoto bersama siswa-siswa SD |
Ujian semester Keterampilan: Menganyam Daun di Atas Daun
|
Mengunjungi Rumah Siswa |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar