Minggu, 31 Desember 2017

(tak sengaja) Tahun Baruan di Ambon


Desember awal ini saya bermimpi berjalan-jalan dengan seorang teman di sebuah pantai yang tak saya ketahui. Sambil menikmati, saya mengingat-ingat, “Sepertinya saya pernah ke sini. Oh, ya ini di Ambon!” tak lama kemudian  jalan-jalan selesai karena saya terbangun.  Saya jadi berpikir, kok pas ya saya mimpi ke Ambon di bulan Desember? Karena tahun 2014 saya juga ke Ambon di bulan Desember. Sudah tiga tahun ternyata dan saya belum menulis apapun untuk menceritakan pengalaman luar biasa di negeri Pala dan Cengkeh itu. Saya baru sempat mengunggah video singkat saat di Masjid tertua Wapauwe di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=vhEE45iYcKo&t=67s . Baiklah saya akan mulai menulis untuk itu sebagai bagian dari janji pada diri sendiri.

Ambon adalah salah satu kota yang selalu terngiang di pikiran saya dan merasa klik di telinga. Gara-garanya, ketika saya memperkenalkan diri biasanya orang-orang selalu menambah-nambahi kata “Manise” di belakang nama saya yang “e” dalam Anissedieja seperti “e” dalam manise. Manise, sebutan untuk kota Ambon.  Meski begitu saya tidak pernah berencana pergi ke Ambon, hingga suatu hari seorang kenalan yang sedang mengajar di Ternate jalan-jalan ke Sorong di saat saya juga sedang di Sorong. Melalui telepon, dia bercerita untuk kembali ke Ternate, kapalnya harus transit ke Ambon.  Awalnya saya Cuma meng “O….” dan “O…”, tetapi ketika dia mengajak saya ikut ke Ambon saya jadi teringat kata Manise itu lagi dan wah, ini kesempatan yang sayang dilewatkan. Dadakan saja saya ke Ambon. Hanya tiga hari setelah telepon, saya dan dua kenalan saya berangkat ke Ambon naik kapal. Ini pertama kalinya seumur hidup saya naik kapal besar selama semalam.

Menunggu kapal berangkat yang terlambat dari jadwal saya gunakan untuk mengobrol dengan kenalan saya. Banyaknya calo kasur kapal membuat kami harus rela tidur di lantai kapal dengan alas tikar plastik yang dibeli dengan harga Rp 10.000,00 (kami tawar dari harga awal Rp 15.000,00). Sedangkan tiket Sorong-Ambon sendiri harganya Rp 300.000,00. Untuk up date harga dan jadwal bisa di cek di website resmi PT Pelni karena Jasa travel sekelas Traveloka belum melayani tiket kapal.  Tentang keriuhan di dalam kapal juga sudah saya unggah di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=7RXo3UlLhWA&t=1s Ini semacam suasana kereta ekonomi sebelum diperbaiki manajemennya.  Hanya ada satu tempat yang benar-benar  bersih, sejuk, dan lapang di kapal, yaitu musola. Alhadulillah musola kapal sangat diperhatikan kenyamanannya. Sayangnya hanya dibuka waktu solat, jadi saya tidak bisa nebeng di musola terlalu lama



Interior Musola Kapal


Sesampainya di Ambon, teman saya berencana  beberapa jam di sini sebelum kapal melanjutkan perjalanan. Sayangnya, ternyata kapal berangkat hanya 30 menit setelah sandar di pelabuhan Ambon. Olala, berarti saya akan ditinggal dengan orang tak dikenal yang katanya saudara jauhnya dan setelah itu direvisi bukan saudara tetapi kenalan se-organisasi nasional yang hanya pernah bertemu lewat fb. Saya hanya berharap kenalannya orang baik dan bisa menerima saya selama seminggu di Ambon. Saya tidak bisa membayangkan seminggu di kota asing seorang diri menumpang di rumah orang asing


Momen Wisuda dan Rizki Nomplok

Setelah kenalan saya melanjutkan perjalanan ke Ternate, saya hanya sempat melihat-lihat Masjid Raya Al-Fatah Ambon dari luar karena badan sudah capek. Saya dan kenalannya kenalan saya (ribet sekali), Kak War, naik angkot menuju rumahnya. Selama di perjalanan beliau banyak bertanya tentang asal saya dan awal mula cerita bisa sampai di Ambon. Beliau juga banyak bercerita tentang kegiatannya di kampus beberapa tahun lalu. Beliau sangat ramah untuk seukuran orang baru kenal. Darinya aku juga baru tahu ternyata kami tidak menuju rumahnya, tetapi rumah keluarga kakaknya. Rumah Kak War sendiri harus menyeberang kepulau lain.

Sambil istirahat, Kak War banyak bercerita tentang awal perang sipil di Ambon awal tahun 2000 lalu. Sebenarnya ini salah satu yang membuatku penasaran dengan Ambon. Peperangan yang dilatri agama dan tujuan politis menjadi sangat menyeramkan dan mengacaukan Ambon saat itu. Hingga kini, meski sudah aman, antara dua pihak (Islam dan Kristen) membentuk perkampungan sendiri. Sehingga terbentuklah blok-blok kampung. Kata Kak War, daerah kakaknya mayoritas Muslim sedangkan selatan daerah ini mayoritas Kristen. Saya sangat sedih mendengar kisahnya hingga dampaknya masih ada sampai sekarang. Saya bersyukur kota kelahiran saya tak pernah dan semoga tak pernah mengalami konflik seperti itu.

Jam 5 sore Kak War mengajak saya menghadiri undangan wisuda adik-adik tingkatnya yang berkuliah di IAIN Ambon. Kami naik angkot menuju lokasi undangan. Awalnya saya bingung karena biasanya di kampus saya wisuda dilakukan pagi hingga siang dan tak pernah sampai jam 5 sore, tetapi ketika di rumah wisudawan barulah saya sadar. Sungguh saya baru pertama kali ini menghadiri acara wisuda seperti acara pernikahan. Sebuah tenda ala pernikahan terpasang di gang depan wisudawan cantik itu, kursi-kursi plastik tertata dengan rapih, dan meja panjang terpajang aneka makanan, snack, dan minuman. Bedanya, tidak ada pasangan pengantin dan tokoh utama tidak memakai gaun pengantin, melainkan toga wisuda. Selesai mencicipi beberapa makanan dan mengobrol dengan tamu dan wisudawan, kami berpamitan. 


Sederhana yang penting Berkesan


Ada yang Mewah sayangnya tidak diundang ke sini


Salah satu yang saya kunjungi


Ternyata, petualangan mencicipi masakan wisuda tidak berhenti sampai di situ karena Kak War mendapat banyak undangan. Rumah wisudawan yang lumayan berdekatan, membuat kami cepat sampai dari satu rumah ke rumah selanjutnya. Semua memiliki konsep yang sama dan beberapa masakan khas yang membuat mata berbinar, seperti soto Ambon dan kue-kue kenari. Kunjungan paling berkesan bagi saya saat kami mengunjungi seorang petinggi organisasi kampus dengan selempang cumlaude di bahunya. Waktu itu menunjukkan jam 9 malam dan kami masih saja mengunyah aneka hidangan yang disediakan. Dalam hati saya, “Ya Ampun ini sudah jam 9 malam dan dia masih betah memakai toga lengkap dengan aksesorisnya.”  Benar-benar rizki nomplok dari sore hingga malam, bagi seorang yang baru keluar dari pelosok. Saya benar-benar datang di waktu yang tepat. Merasakan tradisi sekaligus makan masakan lezat secara gratis. Saat pulang jam 9.30 pun kami masih melihat ada tenda-tenda yang masih dihadiri tamu. Wajar jika saya menyatakan keheranan pada meriahnya syukuran wisuda di Ambon. Kata Kak War, “Ya berbagi kebahagiaan to. Kalau mengundang, lain waktu kita juga akan diundang.” Istimewanya lagi, tamu-tamu undangan tidak perlu membawa amplopan atau hadiah-hadiah semacam pernikahan. Jadi, acara ini total gratis. Sangat recommended untuk traveller yang akan ke Ambon dan punya kenalan di hari wisuda.

 

Makan Soto Ambon di rumah yang cumlaude


Wajah-wajah Arab di Haruku


Esok paginya saya mendapat kejutan lagi pada kebiasaan orang Ambon. Saya dihidangkan sarapan roti, donat, dan teh hangat manis. Benar-benar cocok dengan saya yang malas sarapan nasi dan terbiasa minum teh hangat saat di Solo. Bahkan suami kakak Kak War juga sarapan roti semacam itu. Sarapn selesai, saya berkesempatan jalan-jalan ke kampus IAIN Ambon, kampus Kak War. Pemandangan kota Ambon dari kampus bagian atas sangat indah ditambah cahaya matahari pagi membuat suasana makin hangat. Saya seperti disambut Ambon dengan sangat bersahabat. Sayang, saya mendapat cerita seram di salah satu lapangan kampus. Kata Kak War, dulu sewaktu Ambon mengalami konflik banyak mayat yang dibuang di sekitar lokasi itu. Oh My God, antara kasihan dan mengerikan.


Rektorat

Pemandangan pagi dari IAIN bagian atas


Perjalanan kami lanjutkan naik angkot ke pangkalan angkot menuju Tulehu. Ternyata ini adalah sebuah daerah dengan dermaga speed boat. Saya diajak Kak War mengunjungi rumahnya di Pulau Haruku. Spead yang dinaiki tidak terlalu besar, paling muat delapan orang. Perjalanan sekitar seperempat jam menuju dermaga Waeriang. Ini juga baru pertama kali saya naik speed sekecil itu dengan ombak yang lumayan tinggi dan tanpa dilengkapi pelampung. Antara seru dan menegangkan. Pulau ini ternyata sebuah kampung. Kami berjalan kaki menuju rumah Kak War dan saat baru beberpa menit berjalan, kami melewati kawasan yang sangat sepi dan gelap. Kata Kak War kami melewati pemakaman. Pantas saja, firasat saya tepat.

Angkot ke Tulehu





Keesokan harinya saya diajak melihat sebuah profesi unik di pulau itu, mencari telur Maleo. Sebuah tanah lapang berpasir sudah didatangi bayak orang dengan seorang laki-laki yang mencangkul lalu merogoh tanah dalam-dalam memakai tangan kosong. Batang-batang berdaun tertancap di beberapa titik. Kak War menjelaskan bahwa setiap tahun akan ada pemilik dari tanah itu dari hasil menang lelang. Waktu itu pemenang lelang berani membayar Rp 15.000.000,00 Pemilik akan menyewa orang untuk menggali lubang-lubang yang diduga masyarakat terdapat telur Maleo di dalamnya. Siapapun bisa ikut menandai  titik-titik yang diduga di mana saja dan berapapun jumlahnya. Asalkan kalau memang ternyata ada telurnya, penanda membayar melalui “kasir” seharga Rp 2.000,00 per butir.



Berbagai usia meramaikan "pasar" ini


Puas melihat-lihat, kami pulang untuk mandi dan beristirahat. Selama di perjalanan saya melihat banyak hal unik. Sebuah gapura yang berhiaskan kaligrafi dan berbentuk kubah masjid, rumah-rumah penduduk yang tercat bendera palestina, dan anak-anak kecil berwajah arab. “Lihat, wajahnya seperti orang arab to? Padahal dia orang Ambon.” Penjelasan Kak War membuatku paham ternyata kampung Kailolo ini dahulu kala didatangi oleh para penyebar Islam dari Arab. Wajar jika suasana Islam sangat terasa di sini bahkan wajah-wajah arab pun banyak ditemukan. Meski demikian, marga-marga di sini tidak ada hubungannya dengan nama-nama marga arab yang biasa kutemui. Marga mereka adalah marabessy, tuanany, tuaputy, usemahu, ohorella, sahartira, dan tuatoy. Ini benar-benar menambah pemahaman saya tentang orang-orang Ambon dan sejarahnya.





Ada Kapal Tenggelam?

Sore hari saya diajak Kak War ke sebuah pantai yang berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki. Suasana menuju pantai tersebut sangat asri dan sepi. Paling ada satu dua pengendara motor lewat. Saya memang jarang menemui mobil di sini. Betapa kampung yang tenang.  Akses menuju ke sana sangat mudah karena jalan sudah beraspal dan sama sekali tidak ada tanjakan, turunan, atau kelokan. Saya melihat dari ketinggian pantai pasir putih dan air biru di sisi kiri. Wah, saya tak sabar ke sampai ke sana. 


Saat kami sampai, air pantai ini memang benar-benar bersih, kecuali ada suatu hal yang membuat saya tersentak kaget. Ada banyak sekali pakaian, sepatu, dan sandal yang terdampar di pantai. Menyangkut di bebatuan atau pohon-pohon yang tumbang. “Apa ini?” aku bertanya pada Kak War denga penuh keheranan. “Ada kapal yang pernah tenggelamkah di sekitar sini, baru ini baju-baju para korban?” imajinasiku mulai bermain. Ah, ternyata bukan. Kak War menjelaskan sambil tertawa kecil, “Ini sampah dari pulau lain yang terseret ombak sampai di sini.” “Astaga… sampai sebanyak inikah? Ini benar-benar aneh. Biasanya di pantai banyak sampah daun atau bekas makanan pengunjung, tetapi ini pakaian. Hem…sayang sekali. Lebih baik mereka sumbangkan pakaian itu ke murid-murid saya di Papua.”

Jadi, pantai ini memang terlihat indah dari atas, tetapi saat mendekat ternyata banyak sampah pakaian yang terdampar yang tak terlihat dari atas. Entahlah, mungkin ini keunikan baru di sebuah tempat wisata. Saya juga menemukan sebuah nisan kuno di jalan masuk pantai. Sepanjang jalan Kak War banyak bercerita tetang sejarah kampung. Orang yang dimakamkan di nisan tersebut orang yang melihat serbuan Belanda di Pulau Haruku. Banyak gadis-gadis jaman penjajahan yang terancam diperkosa oleh tentara Belanda. Cara mereka menghindari dengan melumuri badan mereka dengan sesuatu yang berbau tak sedap dan menyengat sehingga tentanra enggan mendekati gadis-gadis Haruku. Cara unik dan pintar untuk menjaga harga diri.


Makam Para Leluhur

Jam 7 pagi, saya sudah diajak Kak War berjalan-jalan keliling kampung. Kali ini saya ke sebuah tempat yang membutuhkan langkah menaiki anak-anak tangga. Saya jadi ingat suasana di Grojogan Sewu, Karanganyar. Bedanya, kalau ini harus naik untuk sampai di lokasi. Saat anak tangga habis, kami harus melanjutkannya berjalan kaki sekitar 15 menit. Suasananya hampir sama saat ke pantai kemarin. Sepanjang perjalanan saya menemukan banyak pohon pala dan kenari. Inilah suasana yang tak pernah saya temui di Jawa. Rempah-rempah dan ikan yang melimpah, pemandangan alam yang indah telah menarik Portugis, Spanyol, dan Belanda dengan arogan menguasai tanah Maluku untuk kepentingan mereka. Cerita sejarah itu memang benar adanya.

Sampailah kami di sebuah kompleks pemakaman leluhur masyarakat kampung Kailolo. Mereka menyebutnya datuk yang berjasa menyebarkan Islam di kampung. Beberapa nenek-nenek sambil mengunyah sirih membersihkan area makam. Wajar, karena hari ini akan ada Ta’alasi. Ini adalah ziarah makam datuk yang dilakukan tiap marga di hari Rabu. Ada dua makam di sini, tetapi saya tidak bisa melihat makam secara langsung karena makam berada di dalam rumah-rumahan kecil yang dikunci. Makamnya sendiri tertutup kain hijau. Tulisan arab pegon (Bahasa Indonesia atau Jawa yang ditulis menggunakan huruf arab) tertera di pintu dan jendela kayu rumah-rumahan makam. Tidak ada kesan horor di komplek ini karena lokasinya bersih dan cat merah, hijau muda, kuning, dan putih yang mewarnai rumah-rumahan semakin mengaburkan kesan itu. Sayang, saya tidak bisa melihat warga yang melakukan ziarah karena Kak War mengajak saya ke Ambon siang ini.

 




Masjid Kubah Terbang

Jam 12 tepat setelah saya berpamitan dengan orang tua Kak War, saya diajak Kak War ke dermaga spead weariang untuk kembali ke Ambon. Saya berterimakasih sekali dengan keluarganya yang sangat baik menerima tamu rantau yang tak punya satu pun teman dan saudara di Maluku.  Sebelum sampai di dermaga, kami melewati sebuah masjid kuno yang bernama Masjid Nandatu Sahapori.

Pada tahun 2003 lalu sempat beredar video amatir yang menghebohkan Indonesia. Pasalnya saat kubah masjid ini dipindahkan dalam rangka renovansi, kubah yang  berbobot ribuan kilo itu terlihat terbang dengan sendirinya tanpa ada bantuan alat dan sedikitpun orang. Banyak yang mengatakan bahwa ini adalah kuasa Allah karena saat proses pengangkatan itu diiringi dengan dzikrullah. Sejak saat itu masid ini disebut dengan Masjid Kubah Terbang. Baru-baru ini mulai muncui analisa tentang video tersebut, bahwa sebenarnya kubah tersebut tidak terbang tetapi ditarik oleh tali. Hanya karena pemberitaan di media yang terlalu dibesar-besarkan sehingga seolah-olah kejadian fenomenal tengah terjadi saat itu. Sepertinya media saat itu paham betul masyarakat Indonesia menyukai pemberitaan yang fenomenal dan terkesan ajaib apalagi jika dikaitkan dengan kebesaran Tuhan, maka akan membuat masyarakat semakin yakin pada berita tersebut.



Menyeberang Teluk Ambon

Seperti saat perjalanan ke Haruku, perjalanan ke Ambon pun melalui rute yang sama. Sebenarnya aku tidak terlalu berencana ke UnPatti, namun Kak War menawarkaku menemani ke sana karena angkot yang kami naiki melewati jalan menuju ke sana. Saya terima dengan senang hati tentunya bagi saya berkunjung ke sebuah perguruan tinggi itu seperti melihat kesiapan pemerintah terhadap pembangunan intelektual dan peradaban masyarakatnya. 

Saya baru tahu kalau ternyata kami harus menyeberang dari daerah Galala memakai kapal feri untuk menyeberang teluk Ambon agar sampai ke UnPatti. Terlihat di sisi utara sebuah jembatan yang dibangun pemerintah belum selesai dibangun dan baru diresmikan tahun 2016, sehingga saya harus naik kapal. Yah, malah pengalaman menarik kan? Ke kampus naik kapal. Saya belum pernah berkunjung ke kampus-kampus luar Solo harus naik kapal. Ongkos naik kapal ini hanya Rp 3.000,00. Langit hitam memayungi perjalanan kami dan saya melihat air laut berubah keabu-abuan. Angin berhembus cukup kencang namun masih bisa diajak berdamai. Saya berdiri memandang ke arah daratan menuju UnPatti. Seketika saya merasa sangat bersyukur karena tanpa persiapan rumit dan disangka-sangka bisa sampai di sini. Bersama seorang teman yang awalnya juga tak dikenal sama sekali, namun ternyata mau menemani memperkenalkan budaya Maluku yang sangat kaya dan masyarakatnya yang ramah.


Tak lama untuk sampai di dermaga dekat UnPatti. Kami tinggal berjalan kaki ke kampus berlambang obor Pattimura itu. Pattimura dan Ambon memang dua nama yang sangat lekat berkaitan. Sama seperti Solo dan batik atau Jogja dan Gudeg. Kami berkeliling kampus lalu berfoto-foto sebentar. Sayang saya tak melihat mahasiswa sama sekali karena mereka sedang libur. Jalanan di area yang kampus datar tak seperti kampus UNS yang berkelok dan menanjak membuat kami cepat selesai mengitari kampus. Hanya saja gara-gara kami tak tahu ternyata gerbang depan tak tergembok sehingga kami lewat pintu belakang. Cukuplah membuat ngos-ngosan.




Kami kembali naik angkot dalam perjalanan menuju ke rumah Kakak Kak War (saya lupa nama beliau :D). Turun dari angkot mata saya langsung cemerlang melihat durian bertebaran di jalan. Saya langsung mengajak Kak War untuk mencicipi manisnya durian maluku setelah tahu harganya sangat murah. Rupanya Kak War sudah ahli dalam perduarianan karena durian yang awalnya kukira masih mentah, setelah diperiksa Kak War ternyata rasanya sangat manis. Keherananku tidak berhenti sampai di situ karena menurut Kak War harga Rp 10.000,00 per buah ukuran sedang itu masih mahal karena kalau sedang puncak musim Rp 10.000,00 bisa dapat tiga buah. Wah, sungguh harga yang terlalu murah.


Sejarah Panjang Masjid Jami’

Saya menyempatkan diri solat Isya di Masjid Jami'. Sebuah masjud bersejarah yang berdiri kokoh di sebelah Masjid Raya Al-Fatah. Masjid ini pertama dibangun tahun 1860 oleh seorang imam besar, Haji Abdul Kadir Hatala. Pada awanya atap masjid hanya berupa rumbia, berdinding papan, dan bertiang kayu dan ukurannya hanya 10x15 meter persegi. Lokasinya yang dekat dengan pelabuhan dan semakin banyaknya umat Islam yang datang ke Ambon kala itu, membuat masjid direnovasi tahun 1898. Bangunannya sudah semi permanen dan lebih luas. Pada 1933 kota Ambon dilanda banjir besar yang membuat masjid hancur diterjangnya. Pada tahun 1936 warga sekitar membahas pembangunan ulang Masjid Jami’ yang lebih besar dan permanen yang dipimpin oleh seseorang dari Padang yang bernama Zainuddin Wiwih. Beliau juga yang melakukan pembangunan Masjid Nandatu Sahapori yang sebelumnya sempat saya kunjungi di Kailolo. Pantas saja bentuk dan warnanya sama. Senang sekali saya sudah mengunjungi keduanya. Tahun 1944 masjid ini menjadi sasaran bom oleh sekutu, namun alhamdulillah masjid tetap utuh dan selamat. Tahun 2004 masjid direnovasi untuk mengganti lantai, atap, Menara, dan kubah tanpa mengubah bentuk aslinya. Masjid ini yang mencaji cikal bakal berdirinya Masjid Raya Al-Fatah di sebelahnya. Bukan untuk menyaingi atau bentuk ketidakakuran umat Islam, namun untuk menambah pelayanan fasilitas dan daya tampung jama’ah agar bentuk asli Masjid Jami’ tetap seperti aslinya. Masjid Jami' Ambon, sungguh panjang dan penuh warna sejarahmu. 





Tahun Baru Ala Ambon

Sebenarnya saya ke Ambon sama sekali tidak ada rencana dan niat untuk merayakan tahun baru karena memang saya tak pernah merayakannya. Hanya kebetulan saya ke Ambon sedang akhir tahun. Kak War dan keluarga kakaknya mengajak saya ke rumah saudaranya untuk merayakannya. Tak jauh, hanya berjalan kaki tujuh menit. Saudaranya telah menyiapkan masakan khas Ambon yang super banyak dari masakannya sendiri. Segala olahan ikan dan umbi-umbian rebus terhidang di meja teras rumah. Waktu itu masih menunjukkan sekitar jam 10.30 WIT. Kami mengobrol ke sana ke mari dan tentu saja pertanyaan mengenai saya dan tugas saya di Papua sebagai pengajar. Tak lama kemudian suara-suara petasan dan kembang api, meledak di udara menciptakan bauran warna-warni yang indah di langit cerah. Anak-anak bersorak gembira. Saya yang tak terbiasa merayakannya sebetulnya sangat menahan rasa kantuk, namun demi menghormati kebaikan hati saudara Kak War, tak bisalah saya undur diri dan pulang terlebih dahulu sedangkan beliau belum mempersilakan makan-makan. Sebenarnya Kak War juga sudah merasa mengantuk, hanya saja dia juga sama-sama tak enak untuk pamit. Memang, benar-benar masyarakat Ambon suka berpesta. Kemarin pesta wisuda dan disusul dengan pesta tahun baru.


Bertemu Pattimura

Saya yakin banyak masyarakat Indonesia yang sudah tahu beliau, setidaknya dalam selembar Rp 1.000,00. Thomas Matulessy yang kemudian dikenal dengan Kapitan Pattimura ini menjadi pahlawan nasional atas keberaniannya melawan Belanda di Maluku. Sayang, akhir hidup beliau yang masih muda saat itu, 34 tahun, harus berakhir di tali gantung yang melilit lehernya karena tertangkap Belanda. Terlepas tentang kepercayaan asli beliau yang kontroversi, yang jelas bagi saya beliau adalah orang hebat yang rela berkorban bagi masa depan bangsa.

Jika selama ini saya hanya bisa melihatnya di selembar uang yang seringkali sudah kumal, waktu itu saya bertemu langsung dengannya di dekat kantor gubernur. Dengan wajah penuh amarah, sebilah Parang Salawaki di tangan kanan, tameng di tangan kiri, dan mulut yang seolah mengucap “Merdeka!” kutemui baliau. Kusambut sambutannya yang super serius dengan, “Waaaah… ada Pattimura!” Ya, Pattimura yang ini ukurannya super besar dengan relief sejarahnya di bagian bawah.



Patung ini berdiri di tengah taman kota. Relief-relief khas Maluku seperti tifa, cengkeh, pala,  mempercantik taman ini. Lokasi ini juga dekat dengan monument Gong Perdamaian. Gong ini sebagai harapan agar tak ada lagi konflik sipil berlatar agama di negeri raja-raja ini. Negeri yang disebut para pendatang Arab dengan sebutan Al-Mulk atau semenanjung kerajaan karena banyaknya kerajaan di masa lampau.  Semoga kedamaian selalu bersama masyarakat Maluku.




Bagea, Kue Kenari, dan Bros Kulit Kerang

Saya sempatkan ke pasar tradisional Ambon untuk membeli oleh-oleh khas Maluku untuk teman-teman di Papua dan keluarga di Solo melalui jasa paket. Saya tidak ingin menikmati sendiri atas ketakjuban saya pada kekayaan budaya, keindahan alam, dan menariknya sejarah Maluku. kue-kue khas dijual dengan harga yang murah karena tidak sampai Rp 10.000,00 per pak dan bros dijual dengan harga Rp 10.000, 00 per biji dijual di sepanjang Jalan Batu Merah. Tak hanya bros, kios-kios juga menjual berbagai pajangan rumah dengan berbagai ukuran dan harga. Pajangan paling murah seharta Rp 100.000,00 dan yang mahal bisa mencapai dua juta. Harga yang pantas untuk karya seni  dengan bahan yang sulit didapat.


Sayonara!

Sayang, saya tak bisa mengulur waktu lebih lama di Maluku karena kapal telah tiba esok hari dan jika saya terlambat sehari pun kapal selanjutnya baru akan tiba sekitar dua pekan untuk berlayar ke Sorong. Saat di ujung hari di Ambon saya mendapat musibah dan itu hal yang sangat penting. Kakak ipar Kak War sebagai orang yang sangat dekat dengan pihak perkapalan, mengabarkan pada saya bahwa tiket ke Sorong sudah habis karena telah dipesan rombongan anggota paduan suara Gereja sebanyak 1.000 tiket. Astaga, itu artinya saya harus pesan tiket pesawat yang sangat mahal. Saat saya sibuk mencari tiket lewat online, kakak ipar tersebut memberi saya sesuatu sambil berkata, “Nih, tiga ratus ribu saja.” Setelah itu beliau langsung berbalik arah dan melangkah. “Maksudnya?” aku belum sadar saat Kak War tertawa terbahak-bahak. Ya ampun ternyata beliau hanya bercanda. “Itulah orang Ambon memang suka bercanda.” Kekhawatiran saya pada penerimaan keluarga Kak War telah terjawab. Memang benar sebuah buku yang pernah saya baca bahwa masyarakat Ambon sangat menghormati tamu karena jika tidak mereka akan sangat malu kepada tetangga dan saudara karena tak melayani tamu dengan baik.

Sebelum pulang tanggal 4 Januari, kami sempat menonton film Assalamualaikum Beijing di salah satu Mall Ambon. Maklum, saya begitu ingin menikmati sedikit kemewahan karena di Sorong pun belum ada gedung bioskop. Berfoto, mengambil video, berjalan-jalan di berbagai destinasi wisata, mencicipi berbagai masakan khas Maluku, mengenal masyarakatnya, mengetahuinya tak sebatas sebutan Ambon Manise, dan ditemani seseorang yang awalnya tak kenal hingga akhirnya terasa seperti telah berteman bertahun-tahun, layak rasanya jika di awal saya mengucapkan “Assalamualaikum Ambon!” 

Bersama keluarga Kak War di Kailolo


Berlayar untuk kembali


Candid lagi ngorek-ngorek tanah buat dibawa pulang

Jadilah Souvenir Gratis 😄 😂



*ucapan Assalamualaikum Ambon pada akhirnya terucap karena saya kembali ke Ambon saat hari raya Idul Fitri dan mendapatkan pengalaman yang tak kalah luar biasa dibanding kunjungan ini. Kalau ditulis, ibarat saya menulis sekuel. Hehe.. Terimakasih untuk keluarga Kak War. Semoga suatu saat saya bisa jalan-jalan seru ke sana lagi.


Suatu tempat bukan di Maluku,



31/12/2017, 9 menit menuju 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







Pengikut