Minggu, 29 Januari 2012

Peran dan Tanggung Jawab Sosial Mahasiswa


Anisse Alami
Mahasiswa FKIP Pendidikan Ekonomi UNS

“...Aku ingin mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected view yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri pada perjuangan bangsanya...” ( Soe Hok Gie)
Sejarah tak henti-hentinya menceritakan kepada kita tentang kisah-kisah kepahlawanan para pemuda dan mahasiswa. Setiap kebangkitan sebuah pemikiran dan kejayaan selalu terdapat peran pemuda dibaliknya dan pemudalah yang menjadi rahasia kekuatannya. Presiden pertama RI sekaligus tokoh nasional pernah mengatakan “berikan kepadaku seratus orang tua akan kugoncangkan Indonesia, dan berikan kepadaku sepuluh pemuda saja akan kugoncangkan dunia”. Ini merupakan pernyataan pemberanaran mengenai urgensi peran pemuda pada kejayaan sebuah bangsa. Melalui pernyataan ini kita juga menemukan bahwa masa depan sebuah bangsa dan nasib umat berada di tangan keberanian para pemuda. Hal ini sesuai dengan pernyataan para tokoh “ pemuda saat ini adalah pemimpin hari esok.”
Mahasiswa sebagai simbol dari pemuda memiliki corak istimewa yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Mahasiswa merupakan lapisan masyarakat yang memiliki jajaran stratifikasi sosial khusus yang selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik dan tak kan pernah selesai untuk dibahas. Setiap kali masyarakat membicarakan menganai transformasi sosial secara sadar atau tidak selalu mengarah pada kehidupan dinamika mahasiswa sehingga sejarah merekam setiap perubahan yang mengarah pada perbaikan di belahan dunia manapun selalu terdapat peran mahasiswa yang senantiasa menorehkan tinta emas sejarah perjuangannya. Coba kita lihat di Mesir. Pada tanggal 9 Pebruari 1946 ribuan mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut istana negara memutuskan negosiasi dengan Inggris karena telah banyak merugikan negara tersebut. Kita juga tentu masih ingat aksi penggulingan rezim Hoesni Mubarrak yang terjadi baru saja terjadi berawal dari para mahasiswanya yang sudah terlalu gerah dengan sikap pemimpinnya sendiri. Di China, pada tanggal 4 Juni 1989 aksi damai mahasiswa dijawab dengan tembakan senjata dan gilasan kendaraan lapis baja. Ribuan mahasiswa tewas dalam peristiwa monumental ini. Fenomena pergerakan mahasiswa di China yang sangat monumental ini menjadi inspirasi dinamika gerakan mahasiswa lain di banyak negara. Kobaran panji-panji kemenangan mahasiswa juga terjadi di Amerika, Spanyol, Hungaria, Yunani, Prancis, Amerika Latin, Jepang, Aljazair, Sudan, Korea Selatan, Turki dan tentu saja negeri kita tercinta, Indonesia. Tidak berlebihan jika kemudian mahasiswa mendapat gelar kehormatan dari masyarakat sebagai agent of change, iron stock, social control, wakil rakyat yang sesungguhnya, dan sebagainya.
Sejalan dengan identitas mahasiswa, ada peran-peran dan tanggung jawab sebagai konsekuensi logis yang disandang mahasiswa. Salah satunya adalah peran dan tanggung jawab sosial mahasiswa. Mahasiswa yang sehari-harinya berkutat dengan kehidupan kampus tidak sepantasnya menjadi elemen masyarakat yang individualis karena di luar kampus ada jutaan rakyat yang menanti karya-karya mereka. Mahasiswa tidak boleh menjadi entitas teraleniasi dari rakyat, hidup di manara gading yang jauh dari rakyat karena sebenanya ia juga bagian dari rakyat itu sendiri. Ia dituntut untuk dapat peka dalam melihat, mendengar, mengetahui, dan merasakan apa yang dirasakan masyarakat di tengah krisis multidimensional seperti sekarang ini. Seperti yang telah saya kemukakan di atas, mahasiswa memiliki strata yang istimewa. Maslow menggambarkan bahwa mahasiswa memiliki posisi ideal di masyarakat. Ia bisa dekat dengan grass root (masyarakat bawah) dan karena jaringan dan intelektual yang dimilikinya mahasiswa bisa dekat dengan kaum elitis (pemerintah). Posisi yang ideal ini dapat dimanfaatkan sebagi jembatan antara kedua elemen di atas. Ini artinya mahasiswa memiliki kesempatan untuk melakukan social control terhadap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan kaum elitis. Tidak dapat dielakkan bahwa seringkali kebijakan-kebijakan yang dihasilkan kaum elitis adalah kebijakan yang tidak bijak sehingga berbenturan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Social control yang dapat dilakukan mahasiswa tidak hanya melalui aksi turun ke jalan. Ia dapat melakukan advokasi, diskusi yang kemudian hasilnya disampaikan kepada kaum elitis dalam audiensi atau menulis hasilnya di koran, dan sebagainya. Tidak hanya itu, ia juga dapat memberi bantuan moriil dan materi kepada siapa pun yang membutuhkan. Sebagai contoh penggalangan dana untuk korban bencana, mengadakan bakti sosial, berbagi ilmu kepada masyarakat dalam dusun binaan, dan masih banyak lagi.
Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa dapat melakukan semua peran dan tanggung jawab sosial di atas. Hal itu dikarenakan setiap mahasiswa memiliki karakteristik yang berbeda. Setidaknya terdapat tiga tipe karakter mahasiswa.
1. Mahasiswa pasivis : mahasiswa yang memiliki tipe ini hanya menyibukkan diri dalam kesenangannya sendiri. Tidak peduli terhadap nilai akademis dan kondisi sosial disekitarnya. Hasilnya ia akan menjadi mahasiwa yang hedonis, prakmatis, dan apatis. Kita pasti sering melihat mahasiswa bertipe ini karena memang jumlahnya lebih banyak dibanding dengan tipe mahasiswa lain.
2. Mahasiswa akademis : mahasiswa bertipe ini hanya menyibukkan diri untuk kuliah, memperbagus nilai-nilainya, dan baginya parameter keberhasilan dilihat dari nilai IPK, lulus cepat, kemudian bekerja. Mereka biasanya kurang memiliki kepedulian terhadap kondisi sosial di lingkungannya. Hasilnya setelah lulus nanti ia akan kalah dengan kerasnya realitas lingkungan karena di saat kuliah ia sangat minim bersentuhan dengan masyarakat.
3. Mahasiswa aktivis : mahasiswa bertipe ini di masa kuliah tidak suka diperbudak dengan nilai-nilai mata kuliah dan predikat cumlaude. Ia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya dan menjadikan organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, atau organisasi eksternal lainnya sebagai alat penyalur kepeduliannya tanpa melupakan konsekuensi logis mereka ketika menyandang gelar mahasiswa yaitu kuliah.
Dari ketiga tipe di atas, ternyata menurut Pakar pendidikan yang juga Guru Besar Ilmu Pendidikan Moral Universitas Negeri Semarang, Prof. Masrukhi jumlah mahasiswa yang memiliki tipe pasifis sebanyak 90%. Ini tentu mencengangkan, ternyata sebagian mahasiswa memilih waktu mudanya untuk kehidupan glamour dan bersenang-senang. Sedangkan jumlah mahasiswa akademis dan aktivis tidak sampai 10%. Sudah jelas mahasiswa yang mampu mengemban amanah tanggung jawab sosial yang diberikan rakyat adalah mahasiwa yang berjumlah sangat sedikit itu, mahasiswa aktivis. Hal ini dikarenakan mahasiswa aktivis tidak memposisiskan diri sebagai entitas egois atas gelar mahasiswa yang disandangnya yang ingin dilayani orang tua dan rakyat, akan tetapi ia dapat memadukan antara kepentingan dirinya sebagai aksentuasi amanah dari orang tuanya dengan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Meskipun terkadang sulit untuk dijalani, tetapi berbahagialah wahai aktivis sejati karena menjadi bagian yang terpilih dan sedikit. Teruslah mengobarkan panji-panji semangat untuk menorehkan tinta emas sejarah gemilang kejayaan negeri ini.