Kamis, 20 Juni 2013

Semangat Kho dari Petoran



             Sore itu aku dan temanku, Amin, mendatangi TPA di Masjid Mustaqiem yang biasa relawan sebut  TPA  Petoran karena bertempat di kampung Petoran. Sebenarnya waktu itu bukan jadwalku mengajar bimbel apalagi mengisi TPA karena aku bukan relawan TPA LAZIS. Kedatanganku juga bukan karena ada relawan yang memintaku menggantikannya mengisi TPA karena tidak bisa hadir. Lantas apa? Teringat beberapa waktu sebelumnya saat pulang mengajar bimbel di Masjid Al Ilyas, Amin menceritakan adik-adik TPA nya yang nakal-nakal. Nakal memang hal yang biasa bagi anak-anak, tetapi nakalnya adik-adik di TPA yang dibimbing Amin tidak seperti nakalnya anak-anak pada umumnya. Perkataan kasar terhadap teman atau relawan sering diucapkan,  polah mereka yang tidak bisa diam adalah pemandangan yang ditampilkan setiap kali TPA seperti melompat dari jendela masjid ke jalan sebelah dengan ketinggian sekitar 2 meter, membohongi relawan soal bacaan IQRO’ atau ayat Quran terakhir dengan menunjukan halaman yang dulu pernah dibacanya agar terlihat lancar dan bisa segera bermain, pulang ke rumah pada saat TPA belum selesai dan ada santriwati yang kembali lagi malah sudah ganti baju dengan memakai hot pants, bahkan ada santriwan yang baru duduk di kelas 3 SD yang berkata dengan santainya pada Amin, “Mbak, aku pernah lihat videonya....( menyebut nama artis yang terkena kasus video porno)”. MasyaAllah... . Amin menceritakan pengalamannya dengan nada prihatin. Sungguh memang kondisi yang memprihatinkan apalagi dalam sebuah TPA yang diisi anak-anak SD. Itulah yang membuatku penasaran dan ingin melihat secara langsung kondisi di TPA tersebut. Suatu kondisi yang belum pernah aku temui saat mengajar bimbel di masjid manapun.
             Waktu kami datang, adik-adik sudah datang. Seperti kondisi TPA/bimbel pada umumnya saat relawan belum datang, adik-adik ada yang berlarian dan bercanda. Belum ada tanda-tanda sesuatu yang mencengangkan. Amin mengajak adik-adik untuk berkumpul dan segera memulai TPA. TPA yang didominasi anak laki-laki ini mulai menunjukkan sikap yang susah diatur. Berkali-kali Amin mengajak adik-adik untuk berkumpul, tetapi hampir tidak ada respon dari mereka. “Ayo adik-adik kumpul dulu ke sini!” , “Iya mbaaaak, bentar!” Selalu itu jawabannya. Tampak tidak ada yang beranjak dari permainannya. Berlarian di masjid, memanjat tiang penyangga masjid, atau memainkan sarungnya. Tidak ada alasan yang penting untuk menghiraukan ajakan Amin.
                  Aku sengaja hanya untuk mengamati sehingga kebanyakan aktivitas dikerjakan Amin. Satu per satu akhirnya adik-adik mau disimak mengaji atau membaca IQRO’ oleh Amin. Jangan bayangkan adik-adik mau berkumpul untuk mengantri disimak atau malah belajar sendiri terlebih dahulu sebelum disimak. Kondisinya cukup kacau. Saat Amin menyimak, adik-adik yang lain tetap saja melanjutkan permainannya. Mereka kurang menunjukkan rasa hormat pada dua relawan datang pada hari itu.
             Waktu pulang tiba, adik-adik diminta Amin untuk berdoa. Dia memintaku untuk memimpin doa. “Ayo adik-adik, kita berdoa dulu sebelum pulang.” Aku mengawalinya. Berdoa bersama tanda TPA telah selesai bukan diwarnai dengan kekhusyu’an adik-adik, tetapi diwarnai dengan canda tawa beberapa adik-adik. Ada yang saling senggol dan tertawa dan ada yang tidak bersemangat berdoa. Aku merasa terganggu. Sudah beberapa kali aku melihat tingkah mereka dan mengisyaratkan untuk menghentikannya, tetapi mereka nekat.
                   Setelah selesai dengan ucapan yang keras dan tegas aku katakan, “Ulangi!” Adik-adik bengong dan ada yang berkata, “Lhoh kok diulangi? kan sudah berdoa.” Aku benar-benar tidak suka ritual doa bersama tanda membuka atau menutup suatu kegiatan hanya dijadikan kegiatan formalitas. Doa yang dipanjatkan dilakukan hanya sebagai doa palsu tanpa makna. Dulu waktu PPL aku juga menemui kondisi yang sama, padahal mereka malah siswa-siswa SMP. Saat selesai dengan jelas dan tegas aku meminta semua siswa mengulangi doanya. Adik-adik aku jelaskan dengan serius, “Adik-adik, ini tu masjid bukan tempat bermain-main. Kalian berbicara dengan orang saja harus hormat apalagi dengan Allah. Berdoa itu sama saja berbicara dengan Allah, jadi harus serius tidak boleh sambil bercanda.” Ruangan masjid yang kecil itu membuat suaraku menjadi semakin keras. Adik-adik diam dan masih bengong saat aku menjelaskan mengapa harus diulangi, tetapi tetap saja saat aku selesai bicara ada yang menyangkal, “Tadi saya sudah berdoa kok.” Respon seorang adik yang memang sudah berdoa dengan baik. Aku tetap meminta semua mengulanginya. Akhirnya mereka mau mengulanginya dengan bacaan yang serius dengan raut muka yang agak tegang. Biarlah, biar mereka belajar tertib, disiplin, dan tidak menyepelekan doa. Lagipula cara halus yang dipakai temanku selama proses sama sekali tidak mempan.
           Saat perjalanan pulang, alangkah terkejutnya aku ketika Amin mengatakan padaku bahwa tadi ada seorang santriwan yang mengatakan padanya, “Mbak kok kowe nggowo konco elek to? Mbok nggowo konco i sing ayu koyo....(menyebutkan salah satu nama tokoh dalam sinetron remaja).” (mbak, kok kamu bawa teman yang jelek sih? bawa teman tu yang cantik dong kayak...). Hem...aku tidak mempermasalahkan apa aku dipandang cantik atau jelek yang aku permasalahkan adalah kalimat kedua santriwan itu. Kalimat itu mengindikasikan bahwa anak SD itu sering menonton sebuah sinetron remaja yang diputar di waktu Maghrib yang notabene berisi percintaan remaja-remaja tanggung dan kehidupan yang hedonis. Sinetron telah membentuk kepribadiannya menjadi anak yang dengan cepat menilai seseorang dari penampilan luar. Satu lagi kalimat yang terucap pada seorang santriwan kepada Amin, “Mbak, kok koncomu galak to?”

Dua pekan kemudian...

            Aku mendatangi TPA Petoran lagi dan masih bersama Amin. Seharusnya ada dua relawan tetap yang menemani Amin, yaitu Anarida dan Eva. Tetapi sama seperti waktu pertama kali datang, mereka tidak bisa datang. Kondisi TPA waktu kami datang tidak ada beda dengan waktu pertama kali aku datang. Waktu itu aku meniatkan diriku untuk membantu Amin, bukan lagi untuk mengamati. TPA yang seharusnya dimulai jam 4 sore jadi mundur karena adik-adik susah sekali diatur. Setelah mau duduk bersama untuk berdoa selama lima menit, adik-adik langsung berlarian, ada yang tiduran, ada yang bernyanyi dengan volume keras dan nada yang tidak pas, ada yang bermain, ada juga yang malah ijin jajan. Hanya ada dua santri yang mau duduk, yaitu santri yang sedang aku simak dan Amin simak. Sebenarnya aku dan Amin sudah berkali-kali meminta adik-adik untuk tenang. Aku pun pernah membentak mereka pada saat tidak serius berdoa sampai ada yang melabeliku “galak”. Tapi itu tidak ada pengaruhya. Semua mental di telinga mereka.
                Cara tegas pernah kuberikan, cara halus pernah diberikan Amin. Aku berpikir harus kugunakan cara lain. Di saat aku sedang menyimak santriwan dan dia kurang tepat dalam membacanya, maka aku langsung membenarkannya dengan cara halus sekaligus memberi contoh yang benar. Huruf hijaiyah yang paling sering salah diucapkan adalah kho, huruf hijaiyah ke 7. Dia selalu melafalkan dengan mahroj yang kurang jelas seperti huruf kha, huruf hijaiyah ke 6. Seharusnya dibaca jelas hingga lidah belakang menyentuh tenggorokan.
            “Kho.” Kata santriwan itu mengeja sebuah IQRO’ .
           “Bukan, bukan seperti itu, yang benar begini, kho.” Aku membenarkan ucapannya dengan bahasa      dan nada yang halus.
            “Kho.” Ucapnya sekali lagi.
            “Bukan, bukan. Masih kurang jelas. Begini lho, kho.” Sekali lagi aku membenarkan.
            “Kho.” Dia mencoba lagi.
           “Aduh masih kurang jelas. Coba-coba kamu bisa nggak?” aku mencoba mengikutsertakan seorang santriwan yang mendekati kami karena mungkin penasaran.
          “Kho.” Dia mau mencoba.
          “Naaaaah....betul seperti itu.” Responku dengan nada girang agar mereka semakin tertarik. “Coba kamu ulangi lagi!” Aku meminta santriwan pertama untuk mencontoh temannya.
         “Kho.”
         “Yaaaaa......sedikiiiit lagi.” Aku mencoba meyakinkannya bahwa dia sudah hampir benar.
           “Kho.”
         “Naaaaaaaaah......itu bisa. Yeeeeee.....” Aku beri apresiasi padanya bahkan memberinya tepuk tangan kecil.
           Tak kusangka santriwan-santriwati yang tadinya sibuk dengan dirinya sendiri, ternyata sudah mengerumuniku. Mereka penasaran pada apa yang kami lakukan dengan sebuah huruf hijaiyah bernama “kho”. Tak mau melewatkan kesempatan ini, aku akhirnya meminta mereka untuk mengucapkan huruf kho bergantian. Tidak semua benar, tetapi ketika menyebutkan secara benar aku apresiasi mereka meski hanya dengan hal-hal sederhana, misalnya ucapan, “Ya, benar.”, “Nah, begitu.” , “Ayo, kamu pasti bisa.” atau tepuk tangan kecil. Kalau pun salah aku tidak memarahinya, tatapi membandingkannya dengan santriwan lain yang bisa mengucapkannya dengan cara halus. “Ayo, coba lagi. Masak dia bisa, kamu nggak bisa? Kamu pasti bisa.” Santriwan pun tidak melawan dan malah mencoba lagi.
Tidak terasa ruang masjid mulai gelap, tanda senja akan segera menyapa. Kami menutup hari itu dengan semangat adik-adik yang tinggi untuk mempelajari ayat-ayat Allah, meski hanya dari satu huruf, KHO. Meski hari itu ditutup dengan semangat tinggi, sebenarnya aku masih penasaran apa latar belakang yang membuat adik-adik bertingkah nakal seperti itu.

Beberapa bulan kemudian…

            Pergantian semester siswa sekolah. Tanda bahwa LAZIS UNS membuka pendaftaran Adik Asuh baru. Setelah itu dilanjutkan survey ke rumah calon adik asuh. Siang itu aku sedang sibuk mengetik dengan laptopku di selasar Masjid NH. Terlihat dari pintu masuk, Amin menghampiriku dan duduk di sampingku.
              “Assalamualaykum!” sapanya
“Waalaykumsalam!” jawabku sambil bersalaman dan membalas senyumnya.   “Habis dari mana?”
“Dari survey adik asuh di Petoran.”
Seketika jawabannya menarikku untuk bertanya lebih lanjut.
“Gimana?” aku pikir kalimat tanya yang singkat ini bsa mewakili banyak jawaban.
“Waaah….ya gitu, rumahnya kecil-kecil. Cuma dari situ sampai situ (dia menunjuk lantai Masjid NH yang dari ujung satu ke ujung lainnya hanya terpaut beberapa keramik ukuran besar). Terus tadi masak ada banyak botol miras di depan rumahnya.”
“Hah?” Mataku terbelalak. “Punya siapa?”
“Ya…tetangga-tetangganya sih. Rumahnya kecil-kecil dan sederhana banget kok, mbak. Ada yang rumahnya kayak lorong aja berlantai tanah, ada yang rumah sewa temboknya dari anyaman bambu. Antar ruangan gitu saling berdekatan. TV gitu deket sama kamar.”
                Aku jadi tahu ternyata adik-adik sangat terpengaruh dengan acara TV. Itu karena pada saat ibu mereka lelah dengan pekerjaan rumah seharian, maka mereka mencari hiburan yang ringan. Sayangnya hiburan ringan yang ditayangkan TV masih sangat jarang apalagi kalau di atas jam Maghrib. Maka, tidak ada pilihan lain, selain menonton sinetron yang rata-rata kurang mendidik. Adik-adik tentu sulit berkonsentrasi saat belajar karena terdengar suara acara TV. Tanpa ada pengawasan dari orang tua, mereka malah bisa sekalian nonton TV dan meninggalkan waktu belajarnya.
            Setelah itu aku juga pernah mendapat cerita dari Eva dan Anarida soal kerasnya TPA Mustaqiem. Cerita mereka membuatku berkesimpulan bahwa kondisi adik-adik di TPA Mustaqiem yang bandel disebabkan oleh beberapa faktor. Kondisi ekonomi keluarga yang membuat orang tua seharian pusing memikirkan apa yang akan dimakan hari itu (rata-rata orang tua bekerja sebagai buruh kasar). Hal ini membuat orang tua kurang memerdulikan perkembangan pendidikan anaknya, yang paling dekat adalah membiarkan waktu belajar anaknya berlalu karena menonton sinetron. Tontonan-tontonan yang kurang mendidik itu mempengaruhi kepribadian adik-adik, apalagi mereka masih SD sehingga belum dapat menyaring informasi dengan baik. Kondisi lingkungan rumah adalah faktor pembentuk kepribadian mereka saat keluar rumah. Mereka telah terbiasa melihat orang menenggak miras sampai mabuk di siang hari.
            Melihat kondisi latar belakang mereka yang tidak kondusif, membuatku melihat sisi lain dari adik-adik yang bandel itu. Bagiku, mereka adalah korban dari ketidakpedulian orang-orang dewasa di sekitarnya. Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka akan meniru apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Teman-teman relawan yang semangat ini terkadang lelah dengan usaha mereka untuk memperbaiki kondisi adik-adik. Porsi waktu mereka untuk adik-adik tentu sangat sedikit dibanding dengan keluarga, lingkungan rumah, dan sekolah. Pengaruh yang diberikan tentu kalah kuat dengan ketiga elemen tersebut.
               Bagiku, itu tak mengapa. Setidaknya yang sedikit itu telah berusaha mewarnai hari adik-adik di tengah banyaknya pengaruh buruk di sekitarnya. Bukankah nila yang setetes itu bisa merusak susu sebelanga? Mau datang ke TPA dan duduk saat disimak sudah merupakan hal luar biasa yang dilakukan adik-adik Petoran. Aku baru bertemu mereka beberapa kali, tatapi bisa melihat wajah-wajah semangat mereka pada saat mengajari “Kho” dulu dan aku optimis dengan pendekatan yang baik mereka pun akan dapat diarahkan menjadi lebih baik. Aku salut dengan perjuangan teman-teman relawan: Anarida, Eva, dan Amin yang dapat bertahan bertahun-tahun mewarnai hari-hari mereka yang keras. Dari mereka aku belajar: jangan hanya menyalahkan atau menilai buruk kondisi mereka, tetapi jadilah bagian dalam perbaikan meski hanya sedikit.

“Ya Allah, mereka adalah anak-anak manis yang masih panjang jalan hidupnya. Izinkan mereka untuk senantiasa melangkahkan kakinya pada jalan-Mu yang lurus. Menggapai impian-impian besarnya dan meneruskan perjuangan umat hingga bertemu dengan surga-Mu kelak.”