Selasa, 12 November 2013

Belajar dari Kakek

               Pagi itu  terasa cukup sejuk, meski cahaya matahari telah sampai ke bumi sejak beberapa jam yang lalu. Tanah terlihat basah, daun-daun memancarkan hijau bersihnya, dan genangan air masih terlihat di beberapa tempat. Hujan lebat Minggu kemarin telah mengikis udara panas beserta kroni-kroninya selama musim kering di Kota Bandar Lampung dan memberi petunjuk bahwa telah dimulainya musim penghujan. Aku senang atas tibanya musim ini, tetapi bersamaan dengan hal tersebut ada rasa khawatir yang hinggap dalam benakku soal sekolahku.
Teringat Minggu pagi saat aku terbangun dari tidur malam. Tanpa membuka tirai jendela atau keluar rumah pun aku dapat memastikan bahwa saat itu sedang terjadi hujan yang sangat lebat. Gemuruh air yang ditumpahkan dari langit terdengar jelas di telinga. Kamar terlihat gelap. Spontan kuarahkan bola mataku kearah lampu yang terpasang di langit-langit kamar. Mati. Ah, itu sudah biasa. Pemadaman bergilir adalah hal yang biasa di sini. Malam, sore, siang, atau pagi bisa saja terjadi. Apalagi saat hujan lebat seperti pagi itu.
Tiba-tiba ibu kos mengetuk pintuku berulang sambil setengah berteriak, “Se, bangun, Se. Mau banjir. Angkat barang-barangmu ke atas dipan!” aku langsung tersentak dan bangkit dari kasur beranjak menuju serambi. Memang benar, air sudah hampir melewati bibir serambi dan kalau serambi telah tergenang, berarti air telah mendekat ke dalam rumah. Jika air masuk rumah yang terlebih dahulu terkena adalah kamarku karena merupakan ruang terdepan. Hujan yang sangat lebat ditambah permukaan halaman yang rendah dan tinggi serambi yang hampir tidak ada batas dengan halaman membuat air cepat tergenang menjadi banjir.
Banjir, bagaimana kondisi sekolah? itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiranku saat itu. Sejak pertama perkenalan dengan warga sekolah di SD N 1 Bumi Waras, Bandar Lampung, banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa sekolah tersebut menjadi langganan banjir. Ingin rasanya ke sekolah melihat kondisinya, tapi itu tak mungkin ku lakukan. Aku pun harus menjaga barang-barangku, bersiap apabila air hujan benar-benar bertamu di kamarku. Untunglah, hal yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi. Genangan air di halaman perlahan surut. Lalu, bagaimana dengan kondisi sekolah?

***
Saat aku setengah melamun di teras kelas memikirkan apa rencana terbaik bagi sekolah untuk mewujudkan sekolah ramah hijau, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah lubang yang tak biasa di parit sekolah. Parit itu tidak dalam dan sempit sehingga lubang itu terlihat sangat jelas. Seperti lubang biopori. Tapi tidak mungkin, sekolah baru akan mengajukan surat pengadaan bor biopori ke BPPLH. Ku dekatkan pandanganku ke arah lubang itu untuk meyakinkan. Benar-benar seperti lubang biopori. Kudongakkan kepala ke arah genting tepat di atas lubang itu. Biasanya jika ada pipa aliran air hujan, maka akan terbentuk lubang di tanah. Tidak ada pipa dan kalaupun ada tidak akan membentuk lubang sebesar itu.
Kususuri parit sekolah. Ternyata lubang itu tidak sendirian, ada banyak lubang di sepanjang parit sekolah. Bahkan beberapa di antaranya terlihat jelas lubangnya. Apakah surat pengajuan pengadaan bor biopori telah dimasukkan dan bornya telah diberikan? Kalau sudah, siapa yang membuat lubang-lubang biopori? Kapan? Mengapa aku tidak diberi tahu? Bukankah aku telah menyampaikan ide pada guru-guru jika bornya telah diberikan, maka siswa kelas 1 sampai 6 harus memiliki lubang biopori kelas masing-masing?
Setengah berlari aku menuju ke sebuah rumah kecil di belakang sekolah. Aku yakin dia pasti tahu apa yang terjadi kemarin. “ Kek, lubang-lubang itu siapa yang buat ya?” tanyaku pada lelaki tua yang tengah duduk di kursi panjang depan rumahnya. “Oh, itu saya yang buat.” Jawabnya sambil tersenyum. Spontan aku heran. Belum hilang keherananku, dia lalu bangkit dan mengambil sebuah linggis yang tersandar di batang pohon mangga.
“Begini caranya.” Katanya sambil menunjukkan gaya seperti orang mengalu pada salah satu lubang menggunakan linggis. “Kalau nggak diginiin, ntar banjirnya tambah tinggi. Kemarin aja hampir selutut. Nih lihat, lubangnya dalam kan?” jelasnya sambil masih memperagakan “temuannya”. “Wah….,kakek tahu dari mana cara seperti ini?” aku benar-benar heran dan penasaran. “Dari TV waktu banjir Jakarta dulu, pernah diberitakan cara seperti ini biar nggak banjir. Alatnya harusnya pakai yang diputer-puter itu kan (sambil memperagakan yang dimaksud)? Kata guru lagi ngajuin itu, tapi kalau ngajuin kayak gitu pasti lama deh. Daripada nunggu-nunggu mendingan pake linggis juga bisa.” Terlihat beberapa mili genangan air yang masih tersisa di parit menyusut ke dalam lubang yang ditunjukkan kakek. Kakek lalu membenarkan lubang-lubang lain yang agak tertutup dengan tanah. Aku tertegun dibuatnya. Selama ini aku dan guru-guru terlalu berpikir rumit mengatasi banjir, tetapi kakek yang SD pun tak lulus dapat menunjukkan hal yang luar biasa.
Kakek, begitulah warga sekolah biasa memanggilnya. Dia adalah penjaga sekolah yang tinggal bersama istrinya. Perawakannya besar, suaranya lantang, meski begitu garis-garis keriput di kulit dan beberapa helai uban di kepalanya cukup menandakan bahwa dia telah melewati masa hidup yang panjang.
Sejak pertama aku sampai di sekolah ini, aku melihat kinerja kakek yang lebih dari sekedar panjaga sekolah. Setiap pagi dia selalu menertibkan siswa-siswa untuk masuk kelas apabila guru mereka belum tiba. Apabila lebih dari satu guru yang belum tiba, maka sebanyak itulah kakek menertibkan kelas. Kadang kakek terlihat mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain karena seringkali siswa yang sudah ditertibkan keluar kelas lagi. Di saat kakek  mulai terlihat kewalahan inilah, nenek masuk kelas untuk menemani siswa doa pagi.
Tanggung jawabnya menjaga sekolah juga tidak sekedar menjaga sekolah agar tidak disambangi maling, tetapi juga ada tugas khusus di sekolah kami, yaitu menjaga agar sekolah terhindar dari banjir. Kalaupun tak bisa terelakkan, maka dia menjaga agar peralatan sekolah terhindar dari dampaknya. “Tadi aja banjirnya sampai masuk rumah. Kakek tidur di atas meja sono.” Kata nenek kepadaku sambil menunjuk salah satu ruang kelas. “Kakinya kakek sampai ngilu kedinginan.” Nenek menambahi.
Jangan kira itu dilakukan karena gajinya yang besar. Nenek pernah bercerita kepadaku perihal itu. Di tengah kondisi biaya hidup yang lumayan tinggi di sini, kakek harus puas menerima gaji sebulan untuk hidup sehari yang diterimanya tiga bulan sekali. Apa yang dilakukan tentu juga bukan agar media ramai memberitakannya dengan tujuan pencitraan diri. Bukan pula demi merebut piala Adiwiyata (lomba lingkungan hidup) karena besar kemungkinan dia tidak tahu apakah itu.
Hal itu dilakukan demi kecintaannya pada sekolah dan tentu saja pekerjaan yang telah digelutinya selama 11 tahun di sekolah kami. “Kalau di luar sono banjir ya terserah, itu tugasnya RT. Kalau tugas saya mah yang penting sekolah aman dari banjir, anak-anak bisa masuk sekolah.” Dia menjelaskanku tentang ranah tugas dengan bahasa yang sederhana.
Aku kagum dengan etos kerjanya. Dibalik pemberitaan media tentang  direbutnya piala Adiwiyata tingkat kota oleh sekolah kami, ada peran kakek yang luar biasa. Darinya aku belajar tentang tanggung jawab, pengorbanan, etos kerja, loyalitas, dan pagi itu kakek mencontohkan how to think simple, act brilliant, bukan malah sebaliknya.

Jika seseorang terpanggil menjadi tukang sapu jalan, hendaklah ia menyapu sebagaimana Michael Angelo melukis atau Beethoven menciptakan musik atau Shakespare menulis puisi. Hendaknya ia menyapu jalan dengan sangat baik sehingga segenap isi surga dan bumi serentak menghentikan kegiatan mereka dan berkata, di sini tinggal seorang penyapu jalan yang agung yang menjalani tugasnya dengan sangat baik. ( Martin Luther)




 
Kakek menunjukkan karyanya