Selasa, 16 Desember 2014

Surat dari Negeri Cendrawasih

ANISSE ALAMI: SPIRIT MUDA: Surat dari Negeri Cendrawasih

Rabu, 17 Desember 2014

Surat dari Negeri Cendrawasih

Assalamualaikum...Semangat Pagiiiiiiiiiii!

     Hai teman-teman dan saudaraku semua, apa kabar? Lama tak jumpa dengan kalian di jauh sana. Bagaimana cerita hidupmu di sana? Semua istimewa kan?

     Kalian tahu? Di Kampung Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat segalanya juga serba istimewa. Saat Sang Mentari menyapa, pohon-pohon kelapa menyambutnya dengan semangat sehingga terciptalah siluet yang indah. Saat mentari semakin tinggi, terpantullah hijau daun dari pepohonan yang lebat merapat. Sore hari waktunya angin semilir dengan lembut membelai rumput dan dedaunan. Saat Sang penguasa siang mulai mengucapkan Sampai Jumpa, langit membalasnya dengan jingga di ujung senja. Bergantilah hiasan langit dengan bulan dan milyaran bintang yang berkerlip layaknya bidadari yang sedang mengerjap-ngerjapkan matanya.

     Anak-anak senang sekali berlarian menyelinap di antara pohon-pohon besar atau berguling di atas alang-alang, membenamkan badan hitam mereka ke dalam sungai yang di kelilingi hutan, memainkan kaki mereka dengan lincah di kerasnya batu karang untuk sampai di tepi pantai yang sunyi. Alam adalah sahabat mereka.

     Masyarakat di distrik Kwoor ini adalah masyarakat Suku Abun. Mereka termasuk suku yang tinggal di pesisir. Ternyata Papua adalah pulau dengan suku terbanyak di Indonesia. Hasil penelitian seorang antropolog Jerman menemukan ada 290 an suku di Papua itu belum termasuk suku-suku pedalaman yang tak terjamah. Beda distrik bisa jadi beda suku. Beda suku berarti beda budaya, termasuk bahasa. Aku berusaha belajar bahasa mereka agar bisa lebih dekat dan mudah memberi pelajaran, tetapi susah sekali.  Aku pikir bahasa Papua yang sering kita dengar di TV atau film itu adalah bahasa yang digunakan di Papua.ternyata itu Bahasa Indonesia dialek Papua, bukan bahasa daerah.  Misalnya saja kalau mereka berkata saya makan singkong menggunakan dialek Papua mereka akan berkata, “Sa makan kasbi.” Tetapi kalau dengan bahasa Abun mereka akan berkata, “Nanggit angguasem.”

     Mereka adalah masyarakat yang ramah sekali. Setiap melihatku mereka pasti akan menyapa, selamat pagi, selamat siang, selamat sore, atau selamat malam. Meski dari kejauhan pun asal mereka melihatku mereka akan berteriak demi menyapa. Kami tinggal di rumah dinas guru sehingga masyarakat dengan cepat mengetahui bahwa kami adalah seorang guru. Keramahan mereka menepis bayanganku selama ini soal bagaimana mereka bersikap. Perang antar suku, penggunaan adat istiadat yang tegas, intoleran terhadap agama minoritas, sampai ketegangan situasi yang disebabkan oleh OPM. Ah, kenapa media masa tak pernah memberitakan kehangatan yang mereka tunjukkan? Sehingga berkembang persepsi negatif kepada masyarakat Papua secara keseluruhan. Indonesia harus tahu bahwa Papua tak selalu seperti yang dikabarkan oleh media masa.

     Keramahan mereka tidak hanya ditunjukkan dengan sapaan, tetapi juga pemberian bantuan. Awalnya kami bingung mau memasak apa sedangkan di Kwoor tidak ada pedagang bahan masakan. Sehingga hari-hari pertama kami tinggal, yang dimasak tiada lain hanyalah mie instan dengan telur yang kami beli sebelum penempatan. Beberapa hari tinggal, saat kami pulang mengajar ada siswa-siswa SD yang datang ke rumah dengan membawa sayuran dari kebun mereka. Barulah kami tahu bahwa siswa-siswa kami akan dengan senang hati mengirim sayuran ke rumah, bahkan jika tidak diminta sekalipun. Tidak hanya sayuran yang dikirim, tetapi juga buah dan kayu bakar.

     Soal mengirim sayuran ini, sebenarnya aku merasa sangat senang. Tetapi di sisi lain, aku merasa tidak enak dengan masyarakat karena terkesan merepotkan. Memang sayuran itu sebagian mereka konsumsi sendiri, tetapi sebagiannya lagi dijual ke kota Kabupaten Sausapor. Sehingga aku merasa telah mengurangi penghasilan masyarakat. Suatu saat aku berkunjung ke rumah Bapak Kepala Desa, Pak Frans. Kusampaikan bahwa aku merasa tidak enak sering diantar sayuran oleh masyarakat.  Kata Pak Frans, “Ah, sudah tra apa-apa. Ibu guru kan sudah memberi ilmu ke siswa secara gratis. Jadi masyarakat gantian memberi sayur gratis ke ibu guru.” 

     Baiklah aku tidak ingin menghalangi seseorang melakukan kebaikan. Sehingga sampai saat ini apabila stok sayuran dikulkas (aku sering menamai sudut dapur tempat sayur biasa tertumpuk dengan sebutan kulkas) habis, kami akan bertanya (sambil berharap) kepada siswa, “Di kebun ada sayur kah? ada rica (cabai rawit) kah? ada kayu bakarkah?”  lama-lama aku suka mengerjai mereka, “Ada Stowberi kah? ada Buah Kiwi kah?” dengan wajah polos dan datar mereka berkata, “Tra ada.” Hahaha... ya iyalah... sayur yang beken di Kwoor adalah Kangkung, Terong, Jagung, Bayam, daun Singkong, Cabai Rawit, dan Kacang Panjang. Buah yang beken adalah Pisang, Kelapa muda, dan Semangka.

     Selain mengantar sayuran ke rumah, terkadang mereka juga mau membantu membawakan air dari tangki dekat rumah.  Jika kami terlihat sedang mengambil air dari tangki, terkadang tanpa segan mereka akan berkata, “Mari, saya bawakan sudah.” Jika aku tidak sedang benar-benar butuh bantuan biasanya aku akan mengangkat sendiri, tetapi jika sampai mereka memaksa barulah aku berikan.

     Semua terasa indah kan? Sayangnya, bersamaan dengan itu, ada banyak hal menyedihkan yang menyertainya. Siswa-siswa SD YPK Effata di sini setiap hari datang sekolah bahkan pada saat lonceng (gas elpigi 12 Kg) belum ditalki (dipukul), padahal mereka pasti tahu guru-guru mereka tak ada yang datang. Ke manakah guru-gurunya? Ketika mereka ditanya paling jawabannya, ke Sorong. Kapan kembalinya? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Sekolah ini seperti taman bermain. Bebas. Bebas mau masuk sekolah atau tidak, bebas berseragam model bagaimana, bebas memilih mapel, tidak mandi dan gosok gigi sebelum berangkat sekolah pun tak apa-apa. Kalau ditanya, kenapa tidak gosok gigi? Jawabnya, “Sikat gigi saya hilang.” atau “Ah saya malas gosok gigi, Mama Ibu.”

     Soal fasilitas SD sebenarnya sudah bisa dibilang lumayan. Ada gedung perpus baru dengan banyak buku, media-media pembelajaran, 3 ruang kelas baru yang berjenis permanen dengan fasilitas seperti ruang sekolah di kota. Sudah dicat, lantainya dari keramik. Pakai white board tapi kalau tinta habis di sini susah carinya. Akhirnya white board diturunkan lalu black board kembali ngeksis.

     Biasanya, salah satu masalah sekolah di pelosok adalah kurangnya buku bacaan dan ketersediaan alat peraga. Suatu saat Pak Matius, seorang guru agama SD, menunjukkan kepadaku isi perpustakaan. Wow, ternyata ada banyak buku dan alat peraga yang tersimpan rapih di kardus-kardus besar. Aku juga melihat ada alat peraga matematika Gasing (Gampang Asik dan Menyenangkan) SD yang diberikan Pak Yohanes Surya  kepada 2 guru kami saat mengikuti pelatihannya di Tangerang. 

     Ribuan semut hitam bermain-main di di bawah kardus yang agak lembab. Hingga beberapa bagian kardus terlihat berlubang karena digerogoti ribuan semut.  Mungkin mereka ingin pintar sehingga menghuni perpustakaan. Kardus-kardus itu seperti menunggu seseorang untuk mengelurkan isi perutnya dan menggunakannya bersama siswa-siswa. Harus ada satu unsur memadukan semangat siwa dan harta karun yang terpendam di perpustakaan itu. Unsur itu adalah Guru Hebat.

     Itu soal di sekolah. Soal di masyarakat? Hem....masyarakat belum menyadari pentingnya hidup bersih dan sehat. Jadi, tidak aneh jika kita melihat ada banyak siswa yang di kelas hidungnya ingusan. Kalau di kota pasti sudah diusap pakai sapu tangan atau tissue. Kulit siswa juga banyak yang korengan. Ini pasti gara-gara main tanpa alas kaki dan dengan santainya memakai celana dan kaos lengan pendek. Padahal di sini masih banyak alang-alang dan serangga. Serangga yang paling beken di sini namanya AGAS. Ukurannya kecil, tapi kalau sudah menggigit efeknya kulit jadi gatal-gatal dan agak perih.

     Berbeda dengan nyamuk yang hanya menggigit di bagian tubuh yang terbuka dan ogah nyelip-nyelip ke bagian tubuh yang tertutup, agas tidak demikian. Agas bisa menyelip dan merapayap di tempat tak terjangkau sekalipun, haha. Dan karena dia suka berkawan banyak, jadi wajar saja kalau kulit gatal akibat gigitnnya bisa tersebar di seluruh badan. Akhirnya kuberi penghargaan padanya dengan menamainya: Agas the Explorer. 

     Jalan kasar yang masih berupa perpaduan tanah dan batu yang dipadatkan membuat kulit siswa mudah terluka kalau tak memakai perlindungan ekstra pada pakaian mereka. Hehe.  Ada 3 penyakit yang menurutku berbahaya di sini. Pertama adalah penyakit yang paling terkenal jika masuk Papua, yaitu Malaria. Saking terkenalnya Malaria, hampir semua penyakit disebut Malaria. Pusing Malaria, Demam Malaria, Panas Malaria. Ada-ada saja. Jangan-jangan ada juga Ketombean Malaria. 

        Kedua, Kaki Gajah. Di Kota Kabupaten aku menemui satu ibu-ibu yang terkena Kaki Gajah. Di sini juga ada satu ibu-ibu dan seorang kakek yang terkena Kaki Gajah. Jumlah penderitanya memang tidak banyak. Tapi, wow... langka dan kasihan sekali kan penderitanya. Mengganggu kelancaran hidup dan performance (apa mereka memperhatikan yang ini?). 

     Ketiga yang tak kalah seramnya adalah HIV. Budaya buruk pergaulan di sini telah membuat Papua menjadi sarang HIV. Belum ada pendataan berapa jumlah masyarakat yang terkena, tetapi yang jelas budaya pergaulan lawan jenis di sini tidak baik. Budaya? Iya, budaya. Karena masyarakat di sini sudah menerima kebiasaan itu. It’s just an ordinary thing. Tapi kalau soal HIV nya, hem..sebenarnya masyarakat juga takut kalau terkena itu. Dan mungkin juga sangat malu jika terkena. Nyatanya dokter di sini pernah melayat seorang yang katanya sakit. Entah bagaimana ceritanya dokter tersebut tahu dan mengatakan positif terkena H20. H20? Apaan tuh? Itulah nama inisial untuk HIV di sini. Saat mengetik surat ini aku sedang merencanakan membuat penyuluhan tentang HIV/AIDS di SMP ku. Sebagai pemuda mereka harus mulai memperhatikan soal pergaulan yang baik. Dan ya Rabb, semoga aku terhindar dari penyakit-penyakit di sini.

     Oya, sebenarnya SK-ku tidak mengajar SD , aku mengajar SMP N Kwoor, Distrik Kwoor, Kab Tambrauw. Ini adalah SMP yang baru berdiri, jadi hanya ada kelas 7. Sekelas 20 siswa tetapi yang aktif masuk ada 17 siswa. Itu pun kadang masih juga berkurang jadi 15, 16, atau bahkan 11. SMP ini gedungnya masih menumpang dengan gedung SD YKP Effata Kwoor. Kepala SMP ku sebelumnya adalah guru di SD YPK Effata. 

     Jam masuk SMP adalah jam 12.30. awalnya aku dan 3 temanku di sini mengira kami akan punya banyak waktu di pagi hari. Tapi setelah tahu bahwa guru-guru SD yang berjumlah MUNGKIN 5 itu, hampir semua menghilang secara misterius maka teman-temanku tidak tega melihat siswa terlantar. Apalagi banguan sekolah ada di belakang rumah dinas kami. Mereka juga tidak enak terhadap siswa dan masyarakat kalau melihat ada guru di rumah sedangkan siswa-siswa tarada (tak ada) yang mengajar.

     Minimnya guru SD , membuat kondisi yang dilematis di antara kami. Ada 5 guru SM3T yang ditepatkan di kampung yang sama. 4 teman mendapat SK mengajar SMP, 1 orang mendapat SK SD. Teman-teman mengalami kebingungan membagi waktu dengan masyarkat. Selain itu, kondisi ini membuatku berpikir, kalau seandainya tahun depan guru-guru tetap jarang hadir dan tidak ada guru bagus yang menggantikan kami di sini, berarti sekolah itu akan kembali pada posisi semula. No teacher, no learning activites, no report, dan mungkin akan berakhir dengan pemalangan sekolah oleh masyarakat seperti bulan Agustus lalu.

     Pemalangan itu terjadi karena masyarakat kecewa dengan sekolah yang serba tidak jelas. Kemarahan masyarakat memuncak saat siswa tidak diberi rapor dan sulit sekali mendapat ijazah. Tapi kalau seandainya ada ujian semester dan ujian kelulusan, apakah nilai rapor dan ijazah mereka bagus? Sepertinya sulit sekali jika tidak ada niat tulus dari guru untuk mendidik dan peran serta orang tua yang maksimal terhadap pendidikan anak-anaknya. Sekarang pun ketika sudah ada guru SM3T, sebagian besar siswa masih sekolah dalam keadaan yang acak adul. Bahkan tak jarang siswa tak masuk sekolah karena ikut orang tuanya mengecek jerat di hutan. 2 atau 3 hari kemudian baru muncul lagi di sekolah. Ada juga yang 3 mingguan tidak masuk sekolah karena membantu orang tuanya membangun rumah. Padahal dia adalah anak perempuan. Seharusnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya juga perlu ditingkatkan.  

    Seperti yang sudah kita ketahui, mayoritas masyarakat Papua adalah pemeluk agama Nasrani. Sehingga kegiatan keagamaan di Papua sangat diutamakan. Bagiku, kegiatan keagamaan juga termasuk sebuah pendidikan. Berbeda dengan pendidikan yang didapat dari sekolah yang tidak baik kondisinya, pendidikan yang didapatkan dari Gereja dapat berjalan dengan baik. Siswa-siswa dapat hafal lagu Sekolah Minggu dengan baik, tetapi sayangnya tidak hafal lagu wajib dan nasional. Mereka juga terlihat lebih rapi ketika ibadah hari Minggu daripada ketika bersekolah.

     Dengan kondisi seperti itu, sekolah harus menghormati kegiatan-kegiatan Gereja. Misalnya pulang jam 4 sore untuk SMP ketika hari Rabu karena akan ada ibadah unsur (ibadah khusus Remaja), sekolah SD harus libur di setiap hari-hari keagamaan Kristen. Seperti, libur akhir bulan karena ada Ibadah Kunci Bulan, libur Injil Masuk di Tanah Papua, libur Injil Masuk di Tanah Karon, libur Paskah 1, libur Paskah 2, libur Pentakosta 2, dan libur Natal

     Bagiku, hidup dengan segala keterbatasan fasilitas publik- tidak ada sinyal sama sekali, tidak ada listrik, sulitnya akses transportasi, minimnya sarana ekonomi, dan terbatasnya fasilitas kesehatan- adalah masa yang sungguh berharga yang Allah berikan kepadaku. Karena dengannya membuatku semakin menyukuri hidup yang telah Allah berikan di masa lalu. Meski di sini aku bertugas mengajar kepada siswa dan berbagi kepada masyarakat, tetapi sesungguhnya mereka juga mengajarkanku banyak hal. Tentang bagaimana menghadapi kerasnya hidup, bagaimana hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda latar belakang, bagaimana berbagi kepada sesama, bagaimana memegang prinsip tanpa melukai, hingga bagaimana memberanikan diri naik perahu kecil menyeberangi sungai yang luas. 

     Meski masyarakat mengahadapi segala keterbatasan, siswa-siswa mengahadapi banyak kekurangan, tetapi aku yakin jika semua pihak mau mengambil peran untuk kebaikan mereka, maka suatu saat kampung kami akan bangkit, menjadi kampung yang berdaya, dan siswa-siswa dapat menjadi orang-orang sukses yang dapat membangun Papua, membangun Indonesia.

     Hem..meski belum semua aku ceritakan, tetapi semoga suratku ini bisa mewakili semua cerita hidupku selama ini di kampung Kwoor yang luar biasa.  Terimakasih atas semua dukungan, doa, apresiasi, dan semua kebaikan teman-teman dan saudaraku semua di jauh sana. Buat indonesia bangga atas peran kita pada bangsa dan umat ini!

     Sampai jumpa di lain ruang dan waktu. Wassalamualaikum....



Raja Ampat, 17 Desember 2014


                                                                                                                 Anisse Alami

Banner: satu-satunya penanda bahwa ada SMP di kampung Kwoor



Berfoto bersama siswa-siswa SD














Ujian semester Keterampilan: Menganyam Daun di Atas Daun
          Display terunikku akibat tidak ada kertas karton








   Mengunjungi Rumah Siswa




Tidak ada komentar:

Posting Komentar