Rabu, 14 Mei 2014

Kreatif di Tengah Keterbatasan


           Senyumnya mengembang menyapa saya siang itu. Senyum yang selalu beliau tunjukkan setiap kali bertemu dengan saya. Senyum ramahnya seolah membantah kesan galak yang tampak lewat garis-garis tegas di wajahnya khas orang Batak. Tak jarang beliau bercerita hal-hal yang lucu sampai kami tertawa-tawa.
“Itu anak muridku belum bisa baca. Kayak mana ya caranya biar dia bisa baca?” Bu Mente memulai obrolan sambil duduk di sofa kantor guru. “Saya itu kemarin kasih mereka kertas lipat. Maksud saya biar mereka gambar buah apel trus digunting. Eh, bukannya digambar malah ada yang diremas-remas, ada juga yang bingung, bengong aja.” Lanjutnya.
“O, mereka sama sekali belum bisa membaca?” Tanya saya.
“Ya ada sih yang sudah. Yang cepet ya cepet, yang nggak bisa apa-apa ya bengong aja.” Sejenak beliau melihat kearah white board yang terpasang di kantor guru. Beliau lalu mendekat. Ternyata gambar “anatomi” bagian-bagian tubuh guru yang saya tempel telah menarik perhatiannya. “Hahahahahaha…..! Lucu sekali ini.” Tawanya meledak sambil menunjuk-nunjuk gambar itu. Saya jadi ikut tertawa karena melihat ada orang yang begitu heboh tertawanya melihat sebuah gambar yang bagi saya mudah saja memperolehnya.
“Saya jadi ingin bikin yang seperti itu kalau ngajar. Kayaknya bisa juga ya kalau anak-anak dikasih gambar begitu nanti tinggal mewarnai saja. Saya juga sebenernya pengen bikin apa-apa gitu, tapi bingung bikinnya.”
“Bagaimana kalau besok ibu bikin display yang berhubungan dengan menulis dan mewarnai? Misal kita mulai dari huruf A. A untuk Apel. Kita buat gambar Apel, biar mereka warnai lalu ditulis nama buahnya di bawah gambar. Setelah itu kita display di kelas.”
“O iya ya, bisa juga kayak gitu ya….?” Saya dapat menangkap sinyal semangat dari matanya yang berbinar. Setelah merencanakan tentang display yang akan kami lakukan hari Selasa, kami sudahi pembicaraan karena bel tanda pulang berbunyi.

Selasa, 29 November 2013
Pagi itu saya begitu bersemangat karena merupakan hari pertama mendampingi guru membuat display kelas. Setelah beberapa saat di kantor, saya langsung menuju kelas Bu Mente, kelas 1B. Melihat saya telah berdiri di pintu masuk kelas, Bu Mente tersenyum sambil berjalan kea rah saya. “Saya lupa tidak meminta anak-anak membawa pensil warna. Hari ini akan saya umumkan biar besok mereka bawa. Besok Sabtu saja ya, mumpung ada pelajaran ketrampilan.” Ternyata rencana display waktu itu gagal, tetapi beliau telah menjanjikan hari Sabtu. Saya tidak akan melepas kesempatan ini.

***
Jumat siang saat pulang sekolah, Bu Mente berjalan dari kelas mendekati saya yang sedang berdiri di depan pintu kantor. Seperti biasa, sambil tersenyum lebar.  “Maaf kemarin SMS nya tidak saya jawab karena nggak ada pulsa.” Kemarin malam saya SMS beliau tentang kesiapan membuat display. “Saya tu bingung, saya sebenarnya senang-senang saja membuat yang seperti itu. Tapi, kelas saya tidak punya papan seperti yang lain. Kelas saya itu kan belakangnya bisa dibuka buat jadi aula. Makannya kelas saya nggak dipasang. Kalau kita mau buat yang kayak kemarin, mau dipasang di mana?” Terdengar nada pesimis dan raut muka yang tidak sesemangat kemarin.
“Oya? Wah kok saya malah nggak memperhatikan ya selama ini.” Jawab saya
Setelah melihat kondisi di kelasnya ternyata memang benar apa yang disampaikan Bu Mente. Saya mencoba memberi tawaran untuk memasang tali yang tertempel antar ujung tembok belakang kelas. “Wah, nanti kalau ada acara harus dibongkar dong talinya. Sayang dong.” Beliau mulai berpikir kreatif. Melihat korden-korden yang terpasang di jendela, saya jadi punya ide untuk memasang tali di sepanjang jendela. Selain tidak perlu dibongkar jika ada acara, ini bisa menjadi hiasan pengganti korden dan alternatif karena tidak ada papan display. “Oiya, bisa juga ya….besok kita pasang tali-talinya di jendela saja.” Nada optimis kembali terdengar dari mulutnya

Sabtu, 2 November 2013
Pagi itu, terlihat di meja guru kelas 1B ada beberapa “senjata” yang akan digunakan untuk membuat display kelas. 6 lembar kertas HVS bergambar buah Apel yang kemudian dipotong menjadi 4 bagian per HVS (kertas HVS dari kertas bekas yang masih bersih di satu sisinya), tali pengganti papan display, dan plester untuk menempelkan tali di kusen jendela. Waktu itu saya masih menggambarkan buah Apelnya karena Bu Mente belum PD untuk menggambar. “Gambaran saya jelek, kamu saja yang gambar. Hehehe…”
Setelah memberi pembukaan dengan diselingi beberapa tepuk penyemangat, Bu Mente mulai membagikan kertas bergambar apel itu dan memberi instruksi kepada anak-anak. Tak butuh waktu lama anak-anak sudah paham diminta untuk apa. Crayon dan pensil warna yang menari-nari di tangan anak-anak kelas 1B itu telah memerahkan apel yang tadinya pucat pasi. Setelah ditulis nama anak dan tulisan “Apel” di bawah gambar, anak-anak diminta Bu Mente untuk mengumpulkan.
Bu Mente melihat satu per satu hasil pekerjaan anak-anak saat semua telah selesai. “Ini langsung kita pasang atau kita pilih dulu mana yang bagus?” beliau meminta saran.
“Lebih baik kalau dipasang semua Bu, agar anak-anak senang hasilnya dipasang semua dan kalau pun ada yang salah mereka akan paham sendiri karena punyanya berbeda dengan yang lain.” Saya memberi masukan kepadanya dan beliau menerima. Kami mulai memasang tali-tali itu dengan menempelnya menggunakan plester bening. Satu kusen jadilah 4 baris tali. Kami beri judul sesuai dengan tema pembelajaran waktu itu, yaitu “Lingkungan”
Jadi sudah satu display di kelas 1B dan yang pertama dari semua kelas. Semua hasil karya siswa dipajang. Tak terkecuali satu karya siswa yang membuat saya tertawa karena dibawah gambar tertulis Pela. yang seharunya Apel. Senang sekali akhirnya saya bisa mendampingi seorang guru membuat display meski dalam fasilitas yang terbatas. Itulah yang ingin saya tunjukkan kepada semua guru, bahwa yang terbatas saja bisa maka seharusnya yang serba tersedia lebih dari sekedar BISA.
“Wah, kalau dilihat gini bagus juga ya. Merah-merah gitu. Besok kita bikin lagi, ya. Hari ini kan sudah Apel, besok apa lagi ya?” Bu Mente semakin bersemangat
“Em, bagaimana kalau Bunga?” saranku
“Kalau bunga kayaknya nanti masih ada yang kesusahan merangkai hurufnya. Bagaimana kalau bendera? Kan malah sekalian masuk pelajaran PKn.” Wow, beliau semakin menunjukan kreatifitas idenya.
“Wah, ide bagus. Baiklah besok kita akan membuat bendera.” Jawabku sambil tersenyum lebar seperti yang biasa beliau berikan kepada saya.

Jumat, 8 November 2013
“Ko benderanya begitu? Sini-sini biar saya yang gambar.” Bu Mente mengomentari gambar bendera yang saya buat seperti sedang berkibar. Beliau mengambil selembar kertas HVS di meja lalu mulai menggambar. Perpaduan penggunaan pena dan penggaris membuat gambarannya rapih sekali khas guru SD. Awalnya Bu Mente tidak mau menggambar karena merasa tidak bisa menggambar. Setelah melihat gambaran saya yang mungkin baginya “aneh”, beliau jadi tergerak untuk membuat sendiri.
 Setelah diperbanyak dengan memanfaatkan kertas bekas dan mesin copy sekolah, Bu Mente membagikan satu persatu kepada murid-muridnya. Kali ini mereka diminta mewarnai bendera Indonesia. Hampir semua siswa antusias mengerjakannya. Terlihat ada yang cepat menyelesaikannya, ada yang bingung bagaimana cara menulis kata bendera, dan yang lucu adalah ada yang mewarnai putih-merah, ada juga yang coklat-kuning. Setelah Bu Mente memberitahu warna bendera Indonesia yang benar, anak tersebut akhirnya mewarnai merah pada bagian atas bendera. Jadilah bendera dengan warna merah-merah. Kami tertawa saja melihatnya.
Setelah semua siswa menyelesaikan pekerjaannya, Bu Mente dan saya langsung beraksi merenovasi tempat display pekan sebelumnya karena display darurat sebelumnya telah lepas tali-talinya. Hal ini karena plester tidak kuat menahannya dari tiupan angin. Tak disangka ternyata tangan Bu Mente cukup lincah memainkan palu dan paku payung. Lalu mengaitkan tali pada paku payung di kedua sisi kusen jendela. Naik ke atas kursi demi menjangkau kusen teratas pun dilakukannya. Sambil bernyanyi lirih-sepertinya lagu Gereja-beliau terus menyelesaikan renovasi display. Lalu tanpa bertanya terlebih dahulu, beliau memasang semua hasil pekerjaan anak-anak meski tidak semua benar. Beliau benar-benar bersemangat saat itu.
“Bikin apa Bu Mente?” Tanya Bu Bida sambil masuk kelas.
“Ini lho bikin display kelas.” jawabnya
“O, siapa yang gambar?”
“Bu Mente dong.” Sahut saya yang kemudian disambut tawa Bu Mente.
“O, hahaha.bagus juga ya kalau gini.” Bu Bida merespon positif
“Iya, Bu soalnya di sini nggak ada papan display nya, jadi kami buat seperti jemuran, jemuran display. Hahaha.” Jawab saya.
Saya berharap respon positif dari Bu Bida membuatnya tergerak untuk mengikuti langkah Bu Mente. Saya kagum dengan Bu Mente karena dengan keterbatasan fasilitas beliau mau belajar dan mengajarkan dengan lebih baik. Memang benar istilah yang menyebutkan keterbatasan membuat seseorang berpikir kreatif.
Esoknya saat melewati kelas 3B, saya menyebutnya kelas 3 in 1 karena 1 ruang untuk kelas 3B, perpustakaan, dan UKS, saya melihat ada jemuran display juga di sana. Bukan Apel atau bendera seperti di kelas Bu Mente, tetapi origami ikan. Saya takjub melihatnya. Kemarin saat berkunjung ke kelas Bu Yuli kebetulan beliau baru selesai mengajar Bahasa Indonesia. Materi selanjutnya dalam buku adalah membuat origami ikan. Beliau berkata akan mengajarkan murid-murid membuatnya lalu akan dipajang.
Saya mengapresiasi niat baiknya dan menawarkan bantuan sekiranya beliau menemui kesulitan. Saya sempat berpikir bagaimana cara untuk menempel ikan-ikan itu sedangkan kondisi kelasnya lebih parah dari pada kelas Bu Mente sehingga tidak memungkinkan dipasang papan display. Namun, apa yang saya lihat saat itu benar-benar di luar dugaan saya. Beliau ternyata terinspirasi dengan cara pemasangan display di kelas Bu Mente dan bahkan dapat melakukannya sendiri. Origami ikan warna-warni yang terpasang berjajar di jendela malah terlihat seperti ikan yang sedang berenang di aquarium. Sekali lagi, keterbatasan membuat seseorang berpikir kreatif dan selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha.

Ternyata tanpa saya sadari cara pendisplayan seperti di kelas Bu Mente telah menggerakkan guru lain yang senasip. Secara implisit mereka menunjukkan pada guru-guru yang memiliki kecukupan fasilitas bahwa keterbatasan bukan hambatan bagi mereka yang ingin lebih baik. Tidak hanya pada guru, mereka juga mengikis keraguan dan kekecewaan saya pada sulitnya merubah paradigma pembelajaran guru yang terlanjur “nyaman” menjadi optimisme bahwa sebenarnya mereka BISA.
Bu Mente dan Bu Yuli