Jumat, 30 Agustus 2013

Cerita di Ujung Senja


        Kamis Sore itu, setelah beberapa kali absen dan seharian tadi sibuk dengan urusan pelunasan janji dan pencarian surat yang menandakan bahwa aku sudah lulus sebagai mahasiswa, aku sempatkan untuk datang ke RAP (Rumah Anak Pintar) Ngoresan. Hari itu bahkan aku izin dari pendampingan siswa-siswa di sebuah sekolah tempat mengabdiku yang baru karena banyaknya agenda yang harus dikerjakan di kampus, salah satunya mengajar di RAP. Dorongan untuk datang waktu itu begitu besar sebesar harapanku untuk dapat bertemu adik-adik yang sudah lama kutinggalkan, terutama dari Masjid Al Ilyas yang telah bersamaku selama 3 tahun. Meski sebenarnya aku tidak dapat mengira siapa yang akan datang dan menyambutku dengan teriakan riang khas anak-anak seperti biasa, “Mbak Nisse....!!!” dan cium tangan tulus dari mereka. Bayangan wajah-wajah riang mereka yang kadang cemberut karena aku datang terlambat atau merasa pembelajaran kurang menyenangkan terus berkelebat di pikiran, menyatu dengan bayang-bayang perpisahan dengan mereka yang mungkin tidak akan lama lagi. 
     Kali itu aku datang bersama seorang teman yang sedang semangat-semangatnya membangun RAP karena saat ini masa depan RAP berada di tangannya. Aku dapat melihat itu pada pancaran wajah dan kata-katanya yang optimis setiap bertemu dengannya. Meski aku tahu jalan tak selalu mulus.
     Langit yang tiba-tiba menghitam mengisyaratkan tak lama lagi hujan akan segera menyapa sang bumi. Gelap, benar-benar gelap. Dari luar ruang RAP kulihat dua anak perempuan dan seorang ibu yang mengantar mereka duduk sembari menunggu relawan datang. Senyum kami bertemu bersamaan sebagai awal sapa yang kemudian dilanjutkan dengan ucapan salam dan jabat tangan. Sesaat setelah kami masuk, ibu tadi bertanya, “Kira-kira nanti pulangnya jam berapa ya mbak? itu motor pinjaman mau dipakai pemiliknya dulu.” (katanya sambil menunjuk sebuah motor yang terparkir di halaman). “Jam 5, Bu.” Jawabku. “Baiklah saya tinggal dulu ya, Mbak.” Katanya kemudian berjalan meninggalkan ruangan. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang hinggap dalam pikiranku saat melihat penampilan ibu tersebut. “Ko ibu itu pakaiannya seperti itu ya...? Padahal pasti dia tahu ini bimbelnya LAZIS.” (tidak menunjukkan penampilan seorang muslimah), kataku dalam hati sambil melihat kontras kedua anak itu yang menggunakan jilbab dan mungkin salah satu atau bahkan keduanya adalah anak dari ibu tadi.
     Belum sampai pembelajaran dimulai, tiba-tiba mati lampu. Untung kami punya lampu cadangan kecil yang telah di charge sebelumnya. Mungkin kalau aku jadi anak-anak itu, aku akan sangat kecewa dengan kondisi saat itu. Sudah relawannya datang terlambat, yang datang cuma dua anak, mati lampu, dan andai mereka dapat membaca pikiran kami mereka mungkin juga akan marah karena kami datang tanpa persiapan materi apapun. Tapi mereka bukan aku. Mereka adalah anak-anak polos yang hanya berharap kakak-kakak ini datang untuk mengisi sore mereka dengan mengajari hal-hal yang belum mereka ketahui atau sekedar mengajak mereka bermain. Temanku memimpin doa belajar. Kami sempat saling tanya mau diisi apa tapi akhirnya anak-anak kami minta menulis cita-cita dan cara untuk mencapainya. Temanku memberi contoh. “ Mengerti?”, tanyanya. Hanya dijawab anggukan dari keduanya. Aku berharap mereka benar-benar mengerti.
     Anak-anak itu belum kami kenal sebelumnya karena berasal dari TPA yang belum pernah kami ajar. Ketidakkenalannya kepada kami membuat kedua anak itu malu-malu berinteraksi, meski kami telah berusaha seramah mungkin. Bergerak pun mereka terlihat tidak bebas, seolah-olah ada monster gelap,  monster yang datang saat mati lampu yang sedang mengawasi gerak mereka dan menelan hidup-hidup jika melakukan kesalahan. Terlihat beberapa kali mereka bingung mau menulis apa. Sesekali aku membantu mereka. Ruangan yang remang-remang karena hanya mengandalkan penerangan dari lampu cadangan terasa semakin sepi. Jarum jam terus berputar, menambah setiap detik dan menit dalam perputarannya. Sayangnya, bertambahnya detik dan menit tidak disertai dengan jumlah anak yang datang. Mungkin karena mendung tebal, mungkin karena jauh, mungkin karena mereka sedang les, mungkin, mungkin, mungkin..... Aku jadi teringat dulu saat masih mengisi Al Ilyas, ketika hujan adik-adik seringkali datang menggunakan payung. Ada yang diantar ibu atau bapak mereka, ada yang datang sepayung berdua dengan temannya, dan ada yang cuek aja pakai payung besar ukuran dewasa sehingga terlihat tidak proporsional dengan badannya yang kecil. Mereka begitu bersemangat dan tetap saja masih tersenyum dan berteriak, “Mbaaaak....!” saat melihatku dan gantian aku yang menyapa mereka, “Halo..... Assalamualaykum..(diikuti namanya)....!” Aku selalu terkesan dengan semangat mereka dan ini memotivasiku untuk mengisi hari itu dengan lebih baik. Tapi itu tidak terjadi saat ini. Sepi.
     Beberapa menit kemudian, kedua anak yang sedari tadi menggoreskan pensil di atas selembar kertas dengan sebuah pertanyaan yang mungkin masih asing bagi mereka, diminta temanku untuk membacakannya. Lagi-lagi malu-malu, kemudian saling tunjuk siapa yang membaca duluan. tidak ada yang berani. “Hanya ada seorang teman dan dua kakak yang menyaksikan saja malu-malu?”, Pikirku. Apa yang membuat mereka begitu? Ini bukan pertanyaan benar salah yang akan berdampak pada marahnya seorang guru kelas atau gaduhnya kelas karena tawa ledekan teman-teman sekelas yang berakhir pada justifikasi “bodoh”. Akhirnya, dengan agak terpaksa dan malu-malu salah satu dari mereka membacakan cita-citanya duluan karena kalah suit.
     Anak berjilbab biru itu mulai membacakan, “Aku ingin menjadi dokter. Aku rajin belajar, berdoa, dan membantu orang tua. Setelah lulus SD aku mau melanjutkan SMP, SMA, kemudian kuliah.” Suaranya yang pelan sedikit aku tangkap. Giliran anak berjilbab orange Membacakan bersamaan dengan kedatangan ibu tadi. Jam menunjukkan tepat pukul 5 sore. Pertanyaan soal ibu tadi kembali mendatangi pikiranku.  Anak itu memulai, kami berhadapan tapi aku hanya dengar ucapan awalnya saja karena suaranya lebih pelan dari anak pertama. “Aku ingin jadi dokter. ......” aku mengira mungkin intinya sama dengan anak pertama. Yah, cita-cita yang biasa diucapkan anak kecil. Bagiku tidak ada yang istimewa, tapi mungkin bagi mereka itu luar biasa bisa menceritakannya. Setelah keduanya selesai membaca, seperti biasa kami menyemangati mereka agar belajar lebih rajin dan berdoa agar cita-cita yang telah ditulis tadi terkabul suatu saat nanti.
     Mendengar anak kedua yang membaca dengan lirih, ibu itu berkata, “ Ko lirih men, padahal kalau di rumah teriak-teriak...” kami hanya menanggapi dengan tawa memaklumi kondisi mereka yang belum mengenal kami. Ternyata anak berjilbab orange adalah anak ibu itu. Komentar awal itu kemudian mengalir ke cerita-cerita lain. Pada awalnya aku berpikir ini akan seperti cerita ibu-ibu biasa seputar keberhasilan anaknya di sekolah. Meski begitu aku tetap mendengarkan dengan baik. Perkiraanku ini terpatahkan kemudian.
     “Lingkungan rumah saya tidak baik. Banyak orang Kristen. Anak saya pernah diajak ke Gereja, tapi tidak saya ijinkan.” Kalimat ini mulai menarikku untuk mendengarkan dengan lebih baik. “Oya?” sesekali kalimat itu muncul dari mulut kami. “Bapaknya dulu juga mualaf dan keluarga bapaknya juga masih Kristen.”  Kalimat demi kalimat terungkap secara sederhana namun disampaikan secara mendalam dari bibir ibu yang terhitung masih muda itu.
     “Dulu bapaknya juga tidak bisa Solat, tapi terus baca-baca gitu akhirnya bisa. Anak saya sampai sekarang masih sering ditawari ke Gereja bahkan dijanjikan akan disekolahkan sampai kuliah, tapi saya tidak mau. Biar saya sendiri yang menyekolahkannya. Saya tidak mau anak saya salah didikan. Makannya saya antar dia ke sini.” Kulihat anak berjilbab orange tersipu malu sambil tersenyum.
     “Waaaah, subhanaAllah....” Kalimat itu akhirnya terucap melenyapkan pikiran burukku tadi soal penampilan ibu itu. Perasan kagum itu bercampur dengan sesal, Ah kenapa kita tidak bisa seperti mereka yang mampu membiayai sekolah sampai kuliah? Padahal sebagian dari kita punya kewajiban untuk menyisihkan hartanya untuk kaum yang membutuhkan seperti mereka. Kalaupun tidak cukup harta, maka pikiranlah yang dicurahkan. Kalau pikiran juga tidak mampu, maka tenagalah yang diberikan.
     “Saya kadang bingung mau cerita sama siapa...” Katanya agak terbata. Meski ruangan itu remang-remang aku dapat melihat mata ibu itu berkaca-kaca. Kilauan senja berwarna orange menerpa wajah lugunya dari jarak jutaan tahun cahaya menyingkirkan keangkuhan awan hitam lalu menyelip diantara rumah-rumah warga yang membentuk siluet dan akhirnya menerobos melalui pintu masuk ruang RAP. Kalimat itu terucap penuh haru seolah sudah lama dipendamnya karena tak menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pendengarnya, maka akhirnya meluncurlah cerita-cerita itu. Kami pun tertegun. Suasana menjadi agak kaku bercampur haru, simpati, dan yang tadinya aku berpikir ceritanya akan biasa menjadi penasaran soal apa lagi yang akan diceritakan ibu itu. Ini jadi semacam cerita pada saat api unggun.
     “Saya itu bisa membaca malah dari TPA.” Kalimat itu membuat kami tersentak. “Hah? TPA?” Tanyaku tak percaya. “Iya, TPA.” Ibu itu meyakinkan. “TPA? Ko bisa?” Tanyaku sekali lagi, mungkin kali ini aku salah pendengaran. “Iya, mbak. TPA.” Ibu itu juga mengulangi jawaban yang sama. Apa lagi yang akan diceritakan ibu itu? Aku semakin penasaran. Seolah bisa membaca pikiranku, ibu itu melanjutkan ceritanya. “Dulu waktu saya masih kecil bapak saya sudah meninggal, ibu saya sudah tua. Saya pengen sekolah, tapi keluarga saya miskin. Jadi, saya tidak disekolahkan. Akhirnya saya belajar membaca dari TPA. Saya bisa membaca ya dari TPA.”
     Betapa berjasanya TPA itu sehingga bisa membuat ibu itu bisa membaca. TPA yang ku tahu biasanya hanya mengajari  A, Ba, Ta. Berbeda dengan TPA umumnya, TPA yang diceritakan ibu itu tidak hanya mengajari A, Ba, Ta, tetapi juga A, B, C. Sungguh luar biasa TPA itu memberikan pendidikan alternatif bagi anak-anak dari keluarga miskin yang tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal. Meski hanya mengajari hal sederhana-membaca- bukan yel-yel, tepukan atau lagu-lagu semangat khas santriwan/i TPA, metode-metode pengajaran menyenangkan, mendengar dongeng bersama, atau permainan out bond yang sering ditawarkan TPA  saat ini. Kesan yang diberikan TPA itu begitu mendalam dalam hati ibu itu, dibawanya hingga dewasa bahkan saat anaknya telah sebesar dirinya saat masih  belajar A, B, C di TPA.
     “Saya memang bodoh, tapi saya ingin anak saya pintar. Makannya saya antar anak saya ke sini. Anak saya itu pemberani, waktu TK saja pernah ikut lomba cerdas cermat sama temannya laki-laki semua.” Aku pikir semangat dan keberanian anaknya diturunkan oleh ibu itu. Dia rela dengan keadaan yang membuatnya tak dapat bersekolah, tapi dia tak rela anaknya mengalami nasib yang sama. Meski kondisi ekonominya mungkin tak jauh berbeda dengan masa kecilnya dan ada yang menawari menyekolahkan anaknya hingga kuliah, dia tetap berpegang teguh pada prinsip. Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan bagi orang-orang sepertinya yang bisa dengan mudah menjual prinsip hidup demi cita-cita masa kecilnya yang tak tercapai.
     Menyaksikan anaknya berani bercita-cita, menuliskan cara mencapainya, dan membacakannya meski dengan suara yang hampir tak terdengar telah membawanya pada ingatan masa lalu yang pahit dan menjadi hal luar biasa yang dilakukan anaknya karena bahkan mungkin dulu dia telah mengubur dalam-dalam cita-citanya karena dimatikan oleh kondisi yang tak diinginkan.
     “Nah...makannya adek belajar yang rajin ya, bantuin orang tua, berdoa juga biar cita-citanya jadi dokter terkabul. Kalau sudah jadi dokter, ibunya sakit bisa diperiksa.” Kataku pada anak berjilbab orange. Dia menanggapi dengan senyum malu. Kulihat ibunya menganggung-angguk sambil mengusap bagian bawah mata menggunakan punggung tangan kanannya. Apa itu air mata?
     “Kalau sekarang saya suka kegiatan-kegiatan sosial. Saya jadi kader Posyandu. Ya itu tempat saya bersosialisasi dan belajar sekarang.” Suasana menjadi agak cair. SubhanaAllah, batinku. Ibu itu tetap berusaha belajar dengan caranya sendiri dan lagi-lagi ilmu itu didapat bukan dari lembaga pendidikan formal. Aku dan temanku sekali lagi menyemangati kedua anak yang semangat itu.
     “Baiklah, saya pulang dulu. Itu motor pinjaman soalnya. Kalau ada jadwal les biar anak saya, saya antar ke sini.” Senyum ibu itu mulai terlihat. “Iya.” Jawab kami hamir bersamaan.
     Mereka bergerak keluar. Mesin motor dinyalakan, kedua anak tadi membonceng di belakangnya. Sesat kemudian mereka hilang dari pandangan kami. Aku dan temanku juga bersiap untuk pulang. Ruangan semakin gelap karena listrik belum nyala. Di perjalanan kami membicarakan cerita ibu tadi. Kami memiliki pemikiran sama, luar biasa. Aku jadi malu karena sempat menilai buruk ibu itu hanya dari penampilan luar. Benar-benar menipu. Seolah hanya dalam waktu satu jam Allah ingin menunjukkan kepadaku bahwa di luar penampilan yang belum sempurna, terdapat kecintaan pada-Nya  yang terukir jelas di hatinya. Mengapa aku menilai seseorang secara sempit? Apa aku merasa sudah sempurna? Bahkan aku tak tahu apakah hatiku akan setangguh hatinya apabila dalam posisi seperti itu.
     Terkadang seseorang terjebak pada penampilan palsu. Memakai hanya karena ingin memperoleh pengakuan kelompok. Terkadang seseorang terjebak pada penampilan kosong. Mengenakan tanpa tahu makna sesungguhnya. Terkadang seseorang terjebak pada penampilan menipu. Menggunakan hanya karena ingin menunjukkan eksistensi. Sedangkan apakah yang ada di dalam hati sudah benar-benar tulus mencintai-Nya? Tegar dan tetap belajar dalam setiap ujian. Aku jadi takut jika ternyata aku salah satu di antara orang-orang yang terjebak pada penampilan. Cinta itu tidak hanya terbatas pada apa yang tampak di luar, tetapi lebih penting dari pada itu adalah apa yang ada di dalam.
     Soal penampilan ibu itu, itulah tugas kita yang tahu. Jangan kalah dengan mereka yang bahkan mampu menyekolahkan anak SD hingga tamat kuliah. Mungkin kita perlu melakukan sesuatu minimal agar bertambah orang yang mau mendengar cerita ibu itu (bukankah itu yang dibutuhkan ibu itu saat ini?). Bagus lagi kalau tidak hanya mendengar, tetapi juga menjawab. Pikiranku terus bergulat soal cerita tadi. Busku mulai berjalan perlahan mengarah ke matahari di ufuk barat. Pancaran cahaya orangenya mengalahkan gumpalan awan hitam yang menguasai langit sedari sore. Menunjukkan sebuah pesan hikmah bahwa ada ketegaran dalam setiap ujian. Busku terus berjalan, membawaku bersama cerita di ujung senja yang mengesankan.