Selasa, 12 November 2013

Belajar dari Kakek

               Pagi itu  terasa cukup sejuk, meski cahaya matahari telah sampai ke bumi sejak beberapa jam yang lalu. Tanah terlihat basah, daun-daun memancarkan hijau bersihnya, dan genangan air masih terlihat di beberapa tempat. Hujan lebat Minggu kemarin telah mengikis udara panas beserta kroni-kroninya selama musim kering di Kota Bandar Lampung dan memberi petunjuk bahwa telah dimulainya musim penghujan. Aku senang atas tibanya musim ini, tetapi bersamaan dengan hal tersebut ada rasa khawatir yang hinggap dalam benakku soal sekolahku.
Teringat Minggu pagi saat aku terbangun dari tidur malam. Tanpa membuka tirai jendela atau keluar rumah pun aku dapat memastikan bahwa saat itu sedang terjadi hujan yang sangat lebat. Gemuruh air yang ditumpahkan dari langit terdengar jelas di telinga. Kamar terlihat gelap. Spontan kuarahkan bola mataku kearah lampu yang terpasang di langit-langit kamar. Mati. Ah, itu sudah biasa. Pemadaman bergilir adalah hal yang biasa di sini. Malam, sore, siang, atau pagi bisa saja terjadi. Apalagi saat hujan lebat seperti pagi itu.
Tiba-tiba ibu kos mengetuk pintuku berulang sambil setengah berteriak, “Se, bangun, Se. Mau banjir. Angkat barang-barangmu ke atas dipan!” aku langsung tersentak dan bangkit dari kasur beranjak menuju serambi. Memang benar, air sudah hampir melewati bibir serambi dan kalau serambi telah tergenang, berarti air telah mendekat ke dalam rumah. Jika air masuk rumah yang terlebih dahulu terkena adalah kamarku karena merupakan ruang terdepan. Hujan yang sangat lebat ditambah permukaan halaman yang rendah dan tinggi serambi yang hampir tidak ada batas dengan halaman membuat air cepat tergenang menjadi banjir.
Banjir, bagaimana kondisi sekolah? itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiranku saat itu. Sejak pertama perkenalan dengan warga sekolah di SD N 1 Bumi Waras, Bandar Lampung, banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa sekolah tersebut menjadi langganan banjir. Ingin rasanya ke sekolah melihat kondisinya, tapi itu tak mungkin ku lakukan. Aku pun harus menjaga barang-barangku, bersiap apabila air hujan benar-benar bertamu di kamarku. Untunglah, hal yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi. Genangan air di halaman perlahan surut. Lalu, bagaimana dengan kondisi sekolah?

***
Saat aku setengah melamun di teras kelas memikirkan apa rencana terbaik bagi sekolah untuk mewujudkan sekolah ramah hijau, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah lubang yang tak biasa di parit sekolah. Parit itu tidak dalam dan sempit sehingga lubang itu terlihat sangat jelas. Seperti lubang biopori. Tapi tidak mungkin, sekolah baru akan mengajukan surat pengadaan bor biopori ke BPPLH. Ku dekatkan pandanganku ke arah lubang itu untuk meyakinkan. Benar-benar seperti lubang biopori. Kudongakkan kepala ke arah genting tepat di atas lubang itu. Biasanya jika ada pipa aliran air hujan, maka akan terbentuk lubang di tanah. Tidak ada pipa dan kalaupun ada tidak akan membentuk lubang sebesar itu.
Kususuri parit sekolah. Ternyata lubang itu tidak sendirian, ada banyak lubang di sepanjang parit sekolah. Bahkan beberapa di antaranya terlihat jelas lubangnya. Apakah surat pengajuan pengadaan bor biopori telah dimasukkan dan bornya telah diberikan? Kalau sudah, siapa yang membuat lubang-lubang biopori? Kapan? Mengapa aku tidak diberi tahu? Bukankah aku telah menyampaikan ide pada guru-guru jika bornya telah diberikan, maka siswa kelas 1 sampai 6 harus memiliki lubang biopori kelas masing-masing?
Setengah berlari aku menuju ke sebuah rumah kecil di belakang sekolah. Aku yakin dia pasti tahu apa yang terjadi kemarin. “ Kek, lubang-lubang itu siapa yang buat ya?” tanyaku pada lelaki tua yang tengah duduk di kursi panjang depan rumahnya. “Oh, itu saya yang buat.” Jawabnya sambil tersenyum. Spontan aku heran. Belum hilang keherananku, dia lalu bangkit dan mengambil sebuah linggis yang tersandar di batang pohon mangga.
“Begini caranya.” Katanya sambil menunjukkan gaya seperti orang mengalu pada salah satu lubang menggunakan linggis. “Kalau nggak diginiin, ntar banjirnya tambah tinggi. Kemarin aja hampir selutut. Nih lihat, lubangnya dalam kan?” jelasnya sambil masih memperagakan “temuannya”. “Wah….,kakek tahu dari mana cara seperti ini?” aku benar-benar heran dan penasaran. “Dari TV waktu banjir Jakarta dulu, pernah diberitakan cara seperti ini biar nggak banjir. Alatnya harusnya pakai yang diputer-puter itu kan (sambil memperagakan yang dimaksud)? Kata guru lagi ngajuin itu, tapi kalau ngajuin kayak gitu pasti lama deh. Daripada nunggu-nunggu mendingan pake linggis juga bisa.” Terlihat beberapa mili genangan air yang masih tersisa di parit menyusut ke dalam lubang yang ditunjukkan kakek. Kakek lalu membenarkan lubang-lubang lain yang agak tertutup dengan tanah. Aku tertegun dibuatnya. Selama ini aku dan guru-guru terlalu berpikir rumit mengatasi banjir, tetapi kakek yang SD pun tak lulus dapat menunjukkan hal yang luar biasa.
Kakek, begitulah warga sekolah biasa memanggilnya. Dia adalah penjaga sekolah yang tinggal bersama istrinya. Perawakannya besar, suaranya lantang, meski begitu garis-garis keriput di kulit dan beberapa helai uban di kepalanya cukup menandakan bahwa dia telah melewati masa hidup yang panjang.
Sejak pertama aku sampai di sekolah ini, aku melihat kinerja kakek yang lebih dari sekedar panjaga sekolah. Setiap pagi dia selalu menertibkan siswa-siswa untuk masuk kelas apabila guru mereka belum tiba. Apabila lebih dari satu guru yang belum tiba, maka sebanyak itulah kakek menertibkan kelas. Kadang kakek terlihat mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain karena seringkali siswa yang sudah ditertibkan keluar kelas lagi. Di saat kakek  mulai terlihat kewalahan inilah, nenek masuk kelas untuk menemani siswa doa pagi.
Tanggung jawabnya menjaga sekolah juga tidak sekedar menjaga sekolah agar tidak disambangi maling, tetapi juga ada tugas khusus di sekolah kami, yaitu menjaga agar sekolah terhindar dari banjir. Kalaupun tak bisa terelakkan, maka dia menjaga agar peralatan sekolah terhindar dari dampaknya. “Tadi aja banjirnya sampai masuk rumah. Kakek tidur di atas meja sono.” Kata nenek kepadaku sambil menunjuk salah satu ruang kelas. “Kakinya kakek sampai ngilu kedinginan.” Nenek menambahi.
Jangan kira itu dilakukan karena gajinya yang besar. Nenek pernah bercerita kepadaku perihal itu. Di tengah kondisi biaya hidup yang lumayan tinggi di sini, kakek harus puas menerima gaji sebulan untuk hidup sehari yang diterimanya tiga bulan sekali. Apa yang dilakukan tentu juga bukan agar media ramai memberitakannya dengan tujuan pencitraan diri. Bukan pula demi merebut piala Adiwiyata (lomba lingkungan hidup) karena besar kemungkinan dia tidak tahu apakah itu.
Hal itu dilakukan demi kecintaannya pada sekolah dan tentu saja pekerjaan yang telah digelutinya selama 11 tahun di sekolah kami. “Kalau di luar sono banjir ya terserah, itu tugasnya RT. Kalau tugas saya mah yang penting sekolah aman dari banjir, anak-anak bisa masuk sekolah.” Dia menjelaskanku tentang ranah tugas dengan bahasa yang sederhana.
Aku kagum dengan etos kerjanya. Dibalik pemberitaan media tentang  direbutnya piala Adiwiyata tingkat kota oleh sekolah kami, ada peran kakek yang luar biasa. Darinya aku belajar tentang tanggung jawab, pengorbanan, etos kerja, loyalitas, dan pagi itu kakek mencontohkan how to think simple, act brilliant, bukan malah sebaliknya.

Jika seseorang terpanggil menjadi tukang sapu jalan, hendaklah ia menyapu sebagaimana Michael Angelo melukis atau Beethoven menciptakan musik atau Shakespare menulis puisi. Hendaknya ia menyapu jalan dengan sangat baik sehingga segenap isi surga dan bumi serentak menghentikan kegiatan mereka dan berkata, di sini tinggal seorang penyapu jalan yang agung yang menjalani tugasnya dengan sangat baik. ( Martin Luther)




 
Kakek menunjukkan karyanya

Jumat, 30 Agustus 2013

Cerita di Ujung Senja


        Kamis Sore itu, setelah beberapa kali absen dan seharian tadi sibuk dengan urusan pelunasan janji dan pencarian surat yang menandakan bahwa aku sudah lulus sebagai mahasiswa, aku sempatkan untuk datang ke RAP (Rumah Anak Pintar) Ngoresan. Hari itu bahkan aku izin dari pendampingan siswa-siswa di sebuah sekolah tempat mengabdiku yang baru karena banyaknya agenda yang harus dikerjakan di kampus, salah satunya mengajar di RAP. Dorongan untuk datang waktu itu begitu besar sebesar harapanku untuk dapat bertemu adik-adik yang sudah lama kutinggalkan, terutama dari Masjid Al Ilyas yang telah bersamaku selama 3 tahun. Meski sebenarnya aku tidak dapat mengira siapa yang akan datang dan menyambutku dengan teriakan riang khas anak-anak seperti biasa, “Mbak Nisse....!!!” dan cium tangan tulus dari mereka. Bayangan wajah-wajah riang mereka yang kadang cemberut karena aku datang terlambat atau merasa pembelajaran kurang menyenangkan terus berkelebat di pikiran, menyatu dengan bayang-bayang perpisahan dengan mereka yang mungkin tidak akan lama lagi. 
     Kali itu aku datang bersama seorang teman yang sedang semangat-semangatnya membangun RAP karena saat ini masa depan RAP berada di tangannya. Aku dapat melihat itu pada pancaran wajah dan kata-katanya yang optimis setiap bertemu dengannya. Meski aku tahu jalan tak selalu mulus.
     Langit yang tiba-tiba menghitam mengisyaratkan tak lama lagi hujan akan segera menyapa sang bumi. Gelap, benar-benar gelap. Dari luar ruang RAP kulihat dua anak perempuan dan seorang ibu yang mengantar mereka duduk sembari menunggu relawan datang. Senyum kami bertemu bersamaan sebagai awal sapa yang kemudian dilanjutkan dengan ucapan salam dan jabat tangan. Sesaat setelah kami masuk, ibu tadi bertanya, “Kira-kira nanti pulangnya jam berapa ya mbak? itu motor pinjaman mau dipakai pemiliknya dulu.” (katanya sambil menunjuk sebuah motor yang terparkir di halaman). “Jam 5, Bu.” Jawabku. “Baiklah saya tinggal dulu ya, Mbak.” Katanya kemudian berjalan meninggalkan ruangan. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang hinggap dalam pikiranku saat melihat penampilan ibu tersebut. “Ko ibu itu pakaiannya seperti itu ya...? Padahal pasti dia tahu ini bimbelnya LAZIS.” (tidak menunjukkan penampilan seorang muslimah), kataku dalam hati sambil melihat kontras kedua anak itu yang menggunakan jilbab dan mungkin salah satu atau bahkan keduanya adalah anak dari ibu tadi.
     Belum sampai pembelajaran dimulai, tiba-tiba mati lampu. Untung kami punya lampu cadangan kecil yang telah di charge sebelumnya. Mungkin kalau aku jadi anak-anak itu, aku akan sangat kecewa dengan kondisi saat itu. Sudah relawannya datang terlambat, yang datang cuma dua anak, mati lampu, dan andai mereka dapat membaca pikiran kami mereka mungkin juga akan marah karena kami datang tanpa persiapan materi apapun. Tapi mereka bukan aku. Mereka adalah anak-anak polos yang hanya berharap kakak-kakak ini datang untuk mengisi sore mereka dengan mengajari hal-hal yang belum mereka ketahui atau sekedar mengajak mereka bermain. Temanku memimpin doa belajar. Kami sempat saling tanya mau diisi apa tapi akhirnya anak-anak kami minta menulis cita-cita dan cara untuk mencapainya. Temanku memberi contoh. “ Mengerti?”, tanyanya. Hanya dijawab anggukan dari keduanya. Aku berharap mereka benar-benar mengerti.
     Anak-anak itu belum kami kenal sebelumnya karena berasal dari TPA yang belum pernah kami ajar. Ketidakkenalannya kepada kami membuat kedua anak itu malu-malu berinteraksi, meski kami telah berusaha seramah mungkin. Bergerak pun mereka terlihat tidak bebas, seolah-olah ada monster gelap,  monster yang datang saat mati lampu yang sedang mengawasi gerak mereka dan menelan hidup-hidup jika melakukan kesalahan. Terlihat beberapa kali mereka bingung mau menulis apa. Sesekali aku membantu mereka. Ruangan yang remang-remang karena hanya mengandalkan penerangan dari lampu cadangan terasa semakin sepi. Jarum jam terus berputar, menambah setiap detik dan menit dalam perputarannya. Sayangnya, bertambahnya detik dan menit tidak disertai dengan jumlah anak yang datang. Mungkin karena mendung tebal, mungkin karena jauh, mungkin karena mereka sedang les, mungkin, mungkin, mungkin..... Aku jadi teringat dulu saat masih mengisi Al Ilyas, ketika hujan adik-adik seringkali datang menggunakan payung. Ada yang diantar ibu atau bapak mereka, ada yang datang sepayung berdua dengan temannya, dan ada yang cuek aja pakai payung besar ukuran dewasa sehingga terlihat tidak proporsional dengan badannya yang kecil. Mereka begitu bersemangat dan tetap saja masih tersenyum dan berteriak, “Mbaaaak....!” saat melihatku dan gantian aku yang menyapa mereka, “Halo..... Assalamualaykum..(diikuti namanya)....!” Aku selalu terkesan dengan semangat mereka dan ini memotivasiku untuk mengisi hari itu dengan lebih baik. Tapi itu tidak terjadi saat ini. Sepi.
     Beberapa menit kemudian, kedua anak yang sedari tadi menggoreskan pensil di atas selembar kertas dengan sebuah pertanyaan yang mungkin masih asing bagi mereka, diminta temanku untuk membacakannya. Lagi-lagi malu-malu, kemudian saling tunjuk siapa yang membaca duluan. tidak ada yang berani. “Hanya ada seorang teman dan dua kakak yang menyaksikan saja malu-malu?”, Pikirku. Apa yang membuat mereka begitu? Ini bukan pertanyaan benar salah yang akan berdampak pada marahnya seorang guru kelas atau gaduhnya kelas karena tawa ledekan teman-teman sekelas yang berakhir pada justifikasi “bodoh”. Akhirnya, dengan agak terpaksa dan malu-malu salah satu dari mereka membacakan cita-citanya duluan karena kalah suit.
     Anak berjilbab biru itu mulai membacakan, “Aku ingin menjadi dokter. Aku rajin belajar, berdoa, dan membantu orang tua. Setelah lulus SD aku mau melanjutkan SMP, SMA, kemudian kuliah.” Suaranya yang pelan sedikit aku tangkap. Giliran anak berjilbab orange Membacakan bersamaan dengan kedatangan ibu tadi. Jam menunjukkan tepat pukul 5 sore. Pertanyaan soal ibu tadi kembali mendatangi pikiranku.  Anak itu memulai, kami berhadapan tapi aku hanya dengar ucapan awalnya saja karena suaranya lebih pelan dari anak pertama. “Aku ingin jadi dokter. ......” aku mengira mungkin intinya sama dengan anak pertama. Yah, cita-cita yang biasa diucapkan anak kecil. Bagiku tidak ada yang istimewa, tapi mungkin bagi mereka itu luar biasa bisa menceritakannya. Setelah keduanya selesai membaca, seperti biasa kami menyemangati mereka agar belajar lebih rajin dan berdoa agar cita-cita yang telah ditulis tadi terkabul suatu saat nanti.
     Mendengar anak kedua yang membaca dengan lirih, ibu itu berkata, “ Ko lirih men, padahal kalau di rumah teriak-teriak...” kami hanya menanggapi dengan tawa memaklumi kondisi mereka yang belum mengenal kami. Ternyata anak berjilbab orange adalah anak ibu itu. Komentar awal itu kemudian mengalir ke cerita-cerita lain. Pada awalnya aku berpikir ini akan seperti cerita ibu-ibu biasa seputar keberhasilan anaknya di sekolah. Meski begitu aku tetap mendengarkan dengan baik. Perkiraanku ini terpatahkan kemudian.
     “Lingkungan rumah saya tidak baik. Banyak orang Kristen. Anak saya pernah diajak ke Gereja, tapi tidak saya ijinkan.” Kalimat ini mulai menarikku untuk mendengarkan dengan lebih baik. “Oya?” sesekali kalimat itu muncul dari mulut kami. “Bapaknya dulu juga mualaf dan keluarga bapaknya juga masih Kristen.”  Kalimat demi kalimat terungkap secara sederhana namun disampaikan secara mendalam dari bibir ibu yang terhitung masih muda itu.
     “Dulu bapaknya juga tidak bisa Solat, tapi terus baca-baca gitu akhirnya bisa. Anak saya sampai sekarang masih sering ditawari ke Gereja bahkan dijanjikan akan disekolahkan sampai kuliah, tapi saya tidak mau. Biar saya sendiri yang menyekolahkannya. Saya tidak mau anak saya salah didikan. Makannya saya antar dia ke sini.” Kulihat anak berjilbab orange tersipu malu sambil tersenyum.
     “Waaaah, subhanaAllah....” Kalimat itu akhirnya terucap melenyapkan pikiran burukku tadi soal penampilan ibu itu. Perasan kagum itu bercampur dengan sesal, Ah kenapa kita tidak bisa seperti mereka yang mampu membiayai sekolah sampai kuliah? Padahal sebagian dari kita punya kewajiban untuk menyisihkan hartanya untuk kaum yang membutuhkan seperti mereka. Kalaupun tidak cukup harta, maka pikiranlah yang dicurahkan. Kalau pikiran juga tidak mampu, maka tenagalah yang diberikan.
     “Saya kadang bingung mau cerita sama siapa...” Katanya agak terbata. Meski ruangan itu remang-remang aku dapat melihat mata ibu itu berkaca-kaca. Kilauan senja berwarna orange menerpa wajah lugunya dari jarak jutaan tahun cahaya menyingkirkan keangkuhan awan hitam lalu menyelip diantara rumah-rumah warga yang membentuk siluet dan akhirnya menerobos melalui pintu masuk ruang RAP. Kalimat itu terucap penuh haru seolah sudah lama dipendamnya karena tak menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pendengarnya, maka akhirnya meluncurlah cerita-cerita itu. Kami pun tertegun. Suasana menjadi agak kaku bercampur haru, simpati, dan yang tadinya aku berpikir ceritanya akan biasa menjadi penasaran soal apa lagi yang akan diceritakan ibu itu. Ini jadi semacam cerita pada saat api unggun.
     “Saya itu bisa membaca malah dari TPA.” Kalimat itu membuat kami tersentak. “Hah? TPA?” Tanyaku tak percaya. “Iya, TPA.” Ibu itu meyakinkan. “TPA? Ko bisa?” Tanyaku sekali lagi, mungkin kali ini aku salah pendengaran. “Iya, mbak. TPA.” Ibu itu juga mengulangi jawaban yang sama. Apa lagi yang akan diceritakan ibu itu? Aku semakin penasaran. Seolah bisa membaca pikiranku, ibu itu melanjutkan ceritanya. “Dulu waktu saya masih kecil bapak saya sudah meninggal, ibu saya sudah tua. Saya pengen sekolah, tapi keluarga saya miskin. Jadi, saya tidak disekolahkan. Akhirnya saya belajar membaca dari TPA. Saya bisa membaca ya dari TPA.”
     Betapa berjasanya TPA itu sehingga bisa membuat ibu itu bisa membaca. TPA yang ku tahu biasanya hanya mengajari  A, Ba, Ta. Berbeda dengan TPA umumnya, TPA yang diceritakan ibu itu tidak hanya mengajari A, Ba, Ta, tetapi juga A, B, C. Sungguh luar biasa TPA itu memberikan pendidikan alternatif bagi anak-anak dari keluarga miskin yang tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal. Meski hanya mengajari hal sederhana-membaca- bukan yel-yel, tepukan atau lagu-lagu semangat khas santriwan/i TPA, metode-metode pengajaran menyenangkan, mendengar dongeng bersama, atau permainan out bond yang sering ditawarkan TPA  saat ini. Kesan yang diberikan TPA itu begitu mendalam dalam hati ibu itu, dibawanya hingga dewasa bahkan saat anaknya telah sebesar dirinya saat masih  belajar A, B, C di TPA.
     “Saya memang bodoh, tapi saya ingin anak saya pintar. Makannya saya antar anak saya ke sini. Anak saya itu pemberani, waktu TK saja pernah ikut lomba cerdas cermat sama temannya laki-laki semua.” Aku pikir semangat dan keberanian anaknya diturunkan oleh ibu itu. Dia rela dengan keadaan yang membuatnya tak dapat bersekolah, tapi dia tak rela anaknya mengalami nasib yang sama. Meski kondisi ekonominya mungkin tak jauh berbeda dengan masa kecilnya dan ada yang menawari menyekolahkan anaknya hingga kuliah, dia tetap berpegang teguh pada prinsip. Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan bagi orang-orang sepertinya yang bisa dengan mudah menjual prinsip hidup demi cita-cita masa kecilnya yang tak tercapai.
     Menyaksikan anaknya berani bercita-cita, menuliskan cara mencapainya, dan membacakannya meski dengan suara yang hampir tak terdengar telah membawanya pada ingatan masa lalu yang pahit dan menjadi hal luar biasa yang dilakukan anaknya karena bahkan mungkin dulu dia telah mengubur dalam-dalam cita-citanya karena dimatikan oleh kondisi yang tak diinginkan.
     “Nah...makannya adek belajar yang rajin ya, bantuin orang tua, berdoa juga biar cita-citanya jadi dokter terkabul. Kalau sudah jadi dokter, ibunya sakit bisa diperiksa.” Kataku pada anak berjilbab orange. Dia menanggapi dengan senyum malu. Kulihat ibunya menganggung-angguk sambil mengusap bagian bawah mata menggunakan punggung tangan kanannya. Apa itu air mata?
     “Kalau sekarang saya suka kegiatan-kegiatan sosial. Saya jadi kader Posyandu. Ya itu tempat saya bersosialisasi dan belajar sekarang.” Suasana menjadi agak cair. SubhanaAllah, batinku. Ibu itu tetap berusaha belajar dengan caranya sendiri dan lagi-lagi ilmu itu didapat bukan dari lembaga pendidikan formal. Aku dan temanku sekali lagi menyemangati kedua anak yang semangat itu.
     “Baiklah, saya pulang dulu. Itu motor pinjaman soalnya. Kalau ada jadwal les biar anak saya, saya antar ke sini.” Senyum ibu itu mulai terlihat. “Iya.” Jawab kami hamir bersamaan.
     Mereka bergerak keluar. Mesin motor dinyalakan, kedua anak tadi membonceng di belakangnya. Sesat kemudian mereka hilang dari pandangan kami. Aku dan temanku juga bersiap untuk pulang. Ruangan semakin gelap karena listrik belum nyala. Di perjalanan kami membicarakan cerita ibu tadi. Kami memiliki pemikiran sama, luar biasa. Aku jadi malu karena sempat menilai buruk ibu itu hanya dari penampilan luar. Benar-benar menipu. Seolah hanya dalam waktu satu jam Allah ingin menunjukkan kepadaku bahwa di luar penampilan yang belum sempurna, terdapat kecintaan pada-Nya  yang terukir jelas di hatinya. Mengapa aku menilai seseorang secara sempit? Apa aku merasa sudah sempurna? Bahkan aku tak tahu apakah hatiku akan setangguh hatinya apabila dalam posisi seperti itu.
     Terkadang seseorang terjebak pada penampilan palsu. Memakai hanya karena ingin memperoleh pengakuan kelompok. Terkadang seseorang terjebak pada penampilan kosong. Mengenakan tanpa tahu makna sesungguhnya. Terkadang seseorang terjebak pada penampilan menipu. Menggunakan hanya karena ingin menunjukkan eksistensi. Sedangkan apakah yang ada di dalam hati sudah benar-benar tulus mencintai-Nya? Tegar dan tetap belajar dalam setiap ujian. Aku jadi takut jika ternyata aku salah satu di antara orang-orang yang terjebak pada penampilan. Cinta itu tidak hanya terbatas pada apa yang tampak di luar, tetapi lebih penting dari pada itu adalah apa yang ada di dalam.
     Soal penampilan ibu itu, itulah tugas kita yang tahu. Jangan kalah dengan mereka yang bahkan mampu menyekolahkan anak SD hingga tamat kuliah. Mungkin kita perlu melakukan sesuatu minimal agar bertambah orang yang mau mendengar cerita ibu itu (bukankah itu yang dibutuhkan ibu itu saat ini?). Bagus lagi kalau tidak hanya mendengar, tetapi juga menjawab. Pikiranku terus bergulat soal cerita tadi. Busku mulai berjalan perlahan mengarah ke matahari di ufuk barat. Pancaran cahaya orangenya mengalahkan gumpalan awan hitam yang menguasai langit sedari sore. Menunjukkan sebuah pesan hikmah bahwa ada ketegaran dalam setiap ujian. Busku terus berjalan, membawaku bersama cerita di ujung senja yang mengesankan.

Kamis, 20 Juni 2013

Semangat Kho dari Petoran



             Sore itu aku dan temanku, Amin, mendatangi TPA di Masjid Mustaqiem yang biasa relawan sebut  TPA  Petoran karena bertempat di kampung Petoran. Sebenarnya waktu itu bukan jadwalku mengajar bimbel apalagi mengisi TPA karena aku bukan relawan TPA LAZIS. Kedatanganku juga bukan karena ada relawan yang memintaku menggantikannya mengisi TPA karena tidak bisa hadir. Lantas apa? Teringat beberapa waktu sebelumnya saat pulang mengajar bimbel di Masjid Al Ilyas, Amin menceritakan adik-adik TPA nya yang nakal-nakal. Nakal memang hal yang biasa bagi anak-anak, tetapi nakalnya adik-adik di TPA yang dibimbing Amin tidak seperti nakalnya anak-anak pada umumnya. Perkataan kasar terhadap teman atau relawan sering diucapkan,  polah mereka yang tidak bisa diam adalah pemandangan yang ditampilkan setiap kali TPA seperti melompat dari jendela masjid ke jalan sebelah dengan ketinggian sekitar 2 meter, membohongi relawan soal bacaan IQRO’ atau ayat Quran terakhir dengan menunjukan halaman yang dulu pernah dibacanya agar terlihat lancar dan bisa segera bermain, pulang ke rumah pada saat TPA belum selesai dan ada santriwati yang kembali lagi malah sudah ganti baju dengan memakai hot pants, bahkan ada santriwan yang baru duduk di kelas 3 SD yang berkata dengan santainya pada Amin, “Mbak, aku pernah lihat videonya....( menyebut nama artis yang terkena kasus video porno)”. MasyaAllah... . Amin menceritakan pengalamannya dengan nada prihatin. Sungguh memang kondisi yang memprihatinkan apalagi dalam sebuah TPA yang diisi anak-anak SD. Itulah yang membuatku penasaran dan ingin melihat secara langsung kondisi di TPA tersebut. Suatu kondisi yang belum pernah aku temui saat mengajar bimbel di masjid manapun.
             Waktu kami datang, adik-adik sudah datang. Seperti kondisi TPA/bimbel pada umumnya saat relawan belum datang, adik-adik ada yang berlarian dan bercanda. Belum ada tanda-tanda sesuatu yang mencengangkan. Amin mengajak adik-adik untuk berkumpul dan segera memulai TPA. TPA yang didominasi anak laki-laki ini mulai menunjukkan sikap yang susah diatur. Berkali-kali Amin mengajak adik-adik untuk berkumpul, tetapi hampir tidak ada respon dari mereka. “Ayo adik-adik kumpul dulu ke sini!” , “Iya mbaaaak, bentar!” Selalu itu jawabannya. Tampak tidak ada yang beranjak dari permainannya. Berlarian di masjid, memanjat tiang penyangga masjid, atau memainkan sarungnya. Tidak ada alasan yang penting untuk menghiraukan ajakan Amin.
                  Aku sengaja hanya untuk mengamati sehingga kebanyakan aktivitas dikerjakan Amin. Satu per satu akhirnya adik-adik mau disimak mengaji atau membaca IQRO’ oleh Amin. Jangan bayangkan adik-adik mau berkumpul untuk mengantri disimak atau malah belajar sendiri terlebih dahulu sebelum disimak. Kondisinya cukup kacau. Saat Amin menyimak, adik-adik yang lain tetap saja melanjutkan permainannya. Mereka kurang menunjukkan rasa hormat pada dua relawan datang pada hari itu.
             Waktu pulang tiba, adik-adik diminta Amin untuk berdoa. Dia memintaku untuk memimpin doa. “Ayo adik-adik, kita berdoa dulu sebelum pulang.” Aku mengawalinya. Berdoa bersama tanda TPA telah selesai bukan diwarnai dengan kekhusyu’an adik-adik, tetapi diwarnai dengan canda tawa beberapa adik-adik. Ada yang saling senggol dan tertawa dan ada yang tidak bersemangat berdoa. Aku merasa terganggu. Sudah beberapa kali aku melihat tingkah mereka dan mengisyaratkan untuk menghentikannya, tetapi mereka nekat.
                   Setelah selesai dengan ucapan yang keras dan tegas aku katakan, “Ulangi!” Adik-adik bengong dan ada yang berkata, “Lhoh kok diulangi? kan sudah berdoa.” Aku benar-benar tidak suka ritual doa bersama tanda membuka atau menutup suatu kegiatan hanya dijadikan kegiatan formalitas. Doa yang dipanjatkan dilakukan hanya sebagai doa palsu tanpa makna. Dulu waktu PPL aku juga menemui kondisi yang sama, padahal mereka malah siswa-siswa SMP. Saat selesai dengan jelas dan tegas aku meminta semua siswa mengulangi doanya. Adik-adik aku jelaskan dengan serius, “Adik-adik, ini tu masjid bukan tempat bermain-main. Kalian berbicara dengan orang saja harus hormat apalagi dengan Allah. Berdoa itu sama saja berbicara dengan Allah, jadi harus serius tidak boleh sambil bercanda.” Ruangan masjid yang kecil itu membuat suaraku menjadi semakin keras. Adik-adik diam dan masih bengong saat aku menjelaskan mengapa harus diulangi, tetapi tetap saja saat aku selesai bicara ada yang menyangkal, “Tadi saya sudah berdoa kok.” Respon seorang adik yang memang sudah berdoa dengan baik. Aku tetap meminta semua mengulanginya. Akhirnya mereka mau mengulanginya dengan bacaan yang serius dengan raut muka yang agak tegang. Biarlah, biar mereka belajar tertib, disiplin, dan tidak menyepelekan doa. Lagipula cara halus yang dipakai temanku selama proses sama sekali tidak mempan.
           Saat perjalanan pulang, alangkah terkejutnya aku ketika Amin mengatakan padaku bahwa tadi ada seorang santriwan yang mengatakan padanya, “Mbak kok kowe nggowo konco elek to? Mbok nggowo konco i sing ayu koyo....(menyebutkan salah satu nama tokoh dalam sinetron remaja).” (mbak, kok kamu bawa teman yang jelek sih? bawa teman tu yang cantik dong kayak...). Hem...aku tidak mempermasalahkan apa aku dipandang cantik atau jelek yang aku permasalahkan adalah kalimat kedua santriwan itu. Kalimat itu mengindikasikan bahwa anak SD itu sering menonton sebuah sinetron remaja yang diputar di waktu Maghrib yang notabene berisi percintaan remaja-remaja tanggung dan kehidupan yang hedonis. Sinetron telah membentuk kepribadiannya menjadi anak yang dengan cepat menilai seseorang dari penampilan luar. Satu lagi kalimat yang terucap pada seorang santriwan kepada Amin, “Mbak, kok koncomu galak to?”

Dua pekan kemudian...

            Aku mendatangi TPA Petoran lagi dan masih bersama Amin. Seharusnya ada dua relawan tetap yang menemani Amin, yaitu Anarida dan Eva. Tetapi sama seperti waktu pertama kali datang, mereka tidak bisa datang. Kondisi TPA waktu kami datang tidak ada beda dengan waktu pertama kali aku datang. Waktu itu aku meniatkan diriku untuk membantu Amin, bukan lagi untuk mengamati. TPA yang seharusnya dimulai jam 4 sore jadi mundur karena adik-adik susah sekali diatur. Setelah mau duduk bersama untuk berdoa selama lima menit, adik-adik langsung berlarian, ada yang tiduran, ada yang bernyanyi dengan volume keras dan nada yang tidak pas, ada yang bermain, ada juga yang malah ijin jajan. Hanya ada dua santri yang mau duduk, yaitu santri yang sedang aku simak dan Amin simak. Sebenarnya aku dan Amin sudah berkali-kali meminta adik-adik untuk tenang. Aku pun pernah membentak mereka pada saat tidak serius berdoa sampai ada yang melabeliku “galak”. Tapi itu tidak ada pengaruhya. Semua mental di telinga mereka.
                Cara tegas pernah kuberikan, cara halus pernah diberikan Amin. Aku berpikir harus kugunakan cara lain. Di saat aku sedang menyimak santriwan dan dia kurang tepat dalam membacanya, maka aku langsung membenarkannya dengan cara halus sekaligus memberi contoh yang benar. Huruf hijaiyah yang paling sering salah diucapkan adalah kho, huruf hijaiyah ke 7. Dia selalu melafalkan dengan mahroj yang kurang jelas seperti huruf kha, huruf hijaiyah ke 6. Seharusnya dibaca jelas hingga lidah belakang menyentuh tenggorokan.
            “Kho.” Kata santriwan itu mengeja sebuah IQRO’ .
           “Bukan, bukan seperti itu, yang benar begini, kho.” Aku membenarkan ucapannya dengan bahasa      dan nada yang halus.
            “Kho.” Ucapnya sekali lagi.
            “Bukan, bukan. Masih kurang jelas. Begini lho, kho.” Sekali lagi aku membenarkan.
            “Kho.” Dia mencoba lagi.
           “Aduh masih kurang jelas. Coba-coba kamu bisa nggak?” aku mencoba mengikutsertakan seorang santriwan yang mendekati kami karena mungkin penasaran.
          “Kho.” Dia mau mencoba.
          “Naaaaah....betul seperti itu.” Responku dengan nada girang agar mereka semakin tertarik. “Coba kamu ulangi lagi!” Aku meminta santriwan pertama untuk mencontoh temannya.
         “Kho.”
         “Yaaaaa......sedikiiiit lagi.” Aku mencoba meyakinkannya bahwa dia sudah hampir benar.
           “Kho.”
         “Naaaaaaaaah......itu bisa. Yeeeeee.....” Aku beri apresiasi padanya bahkan memberinya tepuk tangan kecil.
           Tak kusangka santriwan-santriwati yang tadinya sibuk dengan dirinya sendiri, ternyata sudah mengerumuniku. Mereka penasaran pada apa yang kami lakukan dengan sebuah huruf hijaiyah bernama “kho”. Tak mau melewatkan kesempatan ini, aku akhirnya meminta mereka untuk mengucapkan huruf kho bergantian. Tidak semua benar, tetapi ketika menyebutkan secara benar aku apresiasi mereka meski hanya dengan hal-hal sederhana, misalnya ucapan, “Ya, benar.”, “Nah, begitu.” , “Ayo, kamu pasti bisa.” atau tepuk tangan kecil. Kalau pun salah aku tidak memarahinya, tatapi membandingkannya dengan santriwan lain yang bisa mengucapkannya dengan cara halus. “Ayo, coba lagi. Masak dia bisa, kamu nggak bisa? Kamu pasti bisa.” Santriwan pun tidak melawan dan malah mencoba lagi.
Tidak terasa ruang masjid mulai gelap, tanda senja akan segera menyapa. Kami menutup hari itu dengan semangat adik-adik yang tinggi untuk mempelajari ayat-ayat Allah, meski hanya dari satu huruf, KHO. Meski hari itu ditutup dengan semangat tinggi, sebenarnya aku masih penasaran apa latar belakang yang membuat adik-adik bertingkah nakal seperti itu.

Beberapa bulan kemudian…

            Pergantian semester siswa sekolah. Tanda bahwa LAZIS UNS membuka pendaftaran Adik Asuh baru. Setelah itu dilanjutkan survey ke rumah calon adik asuh. Siang itu aku sedang sibuk mengetik dengan laptopku di selasar Masjid NH. Terlihat dari pintu masuk, Amin menghampiriku dan duduk di sampingku.
              “Assalamualaykum!” sapanya
“Waalaykumsalam!” jawabku sambil bersalaman dan membalas senyumnya.   “Habis dari mana?”
“Dari survey adik asuh di Petoran.”
Seketika jawabannya menarikku untuk bertanya lebih lanjut.
“Gimana?” aku pikir kalimat tanya yang singkat ini bsa mewakili banyak jawaban.
“Waaah….ya gitu, rumahnya kecil-kecil. Cuma dari situ sampai situ (dia menunjuk lantai Masjid NH yang dari ujung satu ke ujung lainnya hanya terpaut beberapa keramik ukuran besar). Terus tadi masak ada banyak botol miras di depan rumahnya.”
“Hah?” Mataku terbelalak. “Punya siapa?”
“Ya…tetangga-tetangganya sih. Rumahnya kecil-kecil dan sederhana banget kok, mbak. Ada yang rumahnya kayak lorong aja berlantai tanah, ada yang rumah sewa temboknya dari anyaman bambu. Antar ruangan gitu saling berdekatan. TV gitu deket sama kamar.”
                Aku jadi tahu ternyata adik-adik sangat terpengaruh dengan acara TV. Itu karena pada saat ibu mereka lelah dengan pekerjaan rumah seharian, maka mereka mencari hiburan yang ringan. Sayangnya hiburan ringan yang ditayangkan TV masih sangat jarang apalagi kalau di atas jam Maghrib. Maka, tidak ada pilihan lain, selain menonton sinetron yang rata-rata kurang mendidik. Adik-adik tentu sulit berkonsentrasi saat belajar karena terdengar suara acara TV. Tanpa ada pengawasan dari orang tua, mereka malah bisa sekalian nonton TV dan meninggalkan waktu belajarnya.
            Setelah itu aku juga pernah mendapat cerita dari Eva dan Anarida soal kerasnya TPA Mustaqiem. Cerita mereka membuatku berkesimpulan bahwa kondisi adik-adik di TPA Mustaqiem yang bandel disebabkan oleh beberapa faktor. Kondisi ekonomi keluarga yang membuat orang tua seharian pusing memikirkan apa yang akan dimakan hari itu (rata-rata orang tua bekerja sebagai buruh kasar). Hal ini membuat orang tua kurang memerdulikan perkembangan pendidikan anaknya, yang paling dekat adalah membiarkan waktu belajar anaknya berlalu karena menonton sinetron. Tontonan-tontonan yang kurang mendidik itu mempengaruhi kepribadian adik-adik, apalagi mereka masih SD sehingga belum dapat menyaring informasi dengan baik. Kondisi lingkungan rumah adalah faktor pembentuk kepribadian mereka saat keluar rumah. Mereka telah terbiasa melihat orang menenggak miras sampai mabuk di siang hari.
            Melihat kondisi latar belakang mereka yang tidak kondusif, membuatku melihat sisi lain dari adik-adik yang bandel itu. Bagiku, mereka adalah korban dari ketidakpedulian orang-orang dewasa di sekitarnya. Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka akan meniru apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Teman-teman relawan yang semangat ini terkadang lelah dengan usaha mereka untuk memperbaiki kondisi adik-adik. Porsi waktu mereka untuk adik-adik tentu sangat sedikit dibanding dengan keluarga, lingkungan rumah, dan sekolah. Pengaruh yang diberikan tentu kalah kuat dengan ketiga elemen tersebut.
               Bagiku, itu tak mengapa. Setidaknya yang sedikit itu telah berusaha mewarnai hari adik-adik di tengah banyaknya pengaruh buruk di sekitarnya. Bukankah nila yang setetes itu bisa merusak susu sebelanga? Mau datang ke TPA dan duduk saat disimak sudah merupakan hal luar biasa yang dilakukan adik-adik Petoran. Aku baru bertemu mereka beberapa kali, tatapi bisa melihat wajah-wajah semangat mereka pada saat mengajari “Kho” dulu dan aku optimis dengan pendekatan yang baik mereka pun akan dapat diarahkan menjadi lebih baik. Aku salut dengan perjuangan teman-teman relawan: Anarida, Eva, dan Amin yang dapat bertahan bertahun-tahun mewarnai hari-hari mereka yang keras. Dari mereka aku belajar: jangan hanya menyalahkan atau menilai buruk kondisi mereka, tetapi jadilah bagian dalam perbaikan meski hanya sedikit.

“Ya Allah, mereka adalah anak-anak manis yang masih panjang jalan hidupnya. Izinkan mereka untuk senantiasa melangkahkan kakinya pada jalan-Mu yang lurus. Menggapai impian-impian besarnya dan meneruskan perjuangan umat hingga bertemu dengan surga-Mu kelak.”