Selasa, 24 Januari 2017

Antara Jakarta dan Papua (Bagian 1)

Sudah hampir 12 bulan saya di Jakarta untuk menempuh pendidikan profesi guru, setelah sebelumnya melewatkan waktu yang amat luar biasa di Papua. Maka, sebelum semua menguap tak tersisa, saya ingin sedikit berbagi sepotong cerita selama di Jakarta. Saat di Papua saya dihadapkan pada kondisi yang sangat minim fasilitas dan kemampuan sumber daya manusia yang sederhana dalam mengelola alam (penjelasan mengenai ini bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya). Keadaan yang sangat bertolak belakang dengan ibu kota negara, Jakarta. Berpindah dari tempat yang masih sangat sepi dan alami ke tempat yang bisa disebut sebagai The City Never Sleep cukup membuka mata saya tentang realita kehidupan yang kadang menyesakkan dada, terutama soal disparitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di antara keduanya. Siapa pun yang pernah merasakan hidup di kedua tempat tersebut, pasti bisa merasakan hal yang sama.

Tentang Keadaan Masyarakat

 Ketika saya baru tiba di Papua setiap orang yang berpapasan dengan saya meski saya adalah wajah baru bagi mereka, mereka akan dengan ramah dan akrab menyapa saya, "Selamat pagi/siang/sore/malam..!" kalau mereka sudah tahu saya adalah seorang pengajar, mereka akan sedikit mengubahnya,"Selamat pagi, Ibu guru!" dan kadang dengan diksi guru yang khas bagi mereka, "Selamat pagi, Mama Ibu!" Keakraban itu semakin terasa di kemudian hari ditunjukkan dengan keikhlasan mereka berbagi hasil panennya bahkan "perintah" orang tua kepada anaknya ketika mengetahui saya, gurunya, sedang sendirian di rumah.

Dan semua keakraban seperti itu tak saya dapatkan ketika di Jakarta. Setiap saya berjalan di sepanjang trotoar menuju kampus, di dalam kendaraan umum, bahkan ketika berpapasan dengan orang yang saling kenal pun jarang ada sapaan hangat di antara mereka. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tugas-tugas mengejar mereka, waktu mengejar mereka, date line pun turut mengejar. Pekerjaan seolah tak ada habisnya sejak mata terbuka hingga tertutup kembali. Maka, langkah pun harus dipercepat, bicara jangan terlalu lambat, gerakan tangan harus cekatan, sapaan ramah pun diabaikan...

Kesibukan ini akan semakin terasa ketika penduduk Jakarta yang jumlahnya terbanyak se-Indonesia ini berebut mendapat jalan saat jam-jam sibuk. Manajemen transportasi umum yang masih belum mumpuni ditambah dengan attitude sebagian masyarakat yang lebih suka mengendarai transportasi pribadi membuat mobil-mobil kinclong kesulitan mencari jalan. Kemacetan lalu lintas menjadi makanan sehari-hari. Polusi dan pemborosan bahan bakar sudah pasti terjadi. Antar kendaraan pribadi saling klakson, memaksa yang lain segera minggir dan memberinya jalan untuk lewat. Alih-alih menguji kesabaran, yang terjadi adalah tingkat stres yang tinggi.

Keruwetan semacam itu sama sekali tak pernah saya temui di kampung saya di Papua. Jalan benar-benar sepi dan lebih pantas disebut sebagai The Real Free Way dari pada jalan tolnya Jakarta yang juga sering macet. Jika di Jakarta mobil mencari jalan, sebaliknya di Papua jalanlah yang mencari mobil lewat. Sebagai kabupaten yang baru berdiri 2008 lalu dan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dibanding Jakarta membuat pembangunan infrastruktur dan sistem transportasi yang masih jauh dari kata ideal. Satu sisi ini bermakna positif karena tidak ada orang stres akibat kemacetan lalu lintas, di sisi lain ini juga bermakna negatif karena jalan yang masih berbatu dan tidak ada penerangan dapat membahayakan pengguna meski tidak ada "pesaing" di jalan.

Jalan di depan rumah yang lengang



Kemacetan di depan asrama






Tentang Pendidikan

Awal bulan Agustus adalah saat saya dan teman-teman PPL di sekolah. Kebetulan saya mendapat SMA yang disebut-sebut sebagai salah satu sekolah terbaik di Jakarta. Ketika mendengar itu, saya penasaran seperti apakah sekolah terbaik di Jakarta itu? Rupanya seperti inilah gambarannya,

*)Di sini sekarang kuberdiri,

di sebuah SMA yang kata para penghuninya terfavorit se-DKI. Baru-baru ini ia merayakan dies natalis. Mengundang juara 3 X-Factor Netherland, tepat 9 hari setelah kita merayakan 17-an. Kita dulu mengusir, sekarang mengundang untuk bersenang-senang. Siswa-siswa dengan hebat menampilkan tarian daerah dan modern, dan rapling, dan marching band, dan bazar, dan...dan...dan...

di saat yang sama, jauh di timur Indonesia, ada sekolah-sekolah yang tak tahu kapan pertama kali para guru mengajar siswanya, yang diingat cama dulu pernah mengajar dengan dinding pelepah sagu dan lantai tanah. Sampai sekarang siswa SMP-nya masih belajar membaca dan menulis abc dan menghitung 123, dan...dan..dan... SMA? Bayangan mendirikannya saja adalah sebuah kegemilangan ide.

Di sini sekarang kusaksikan,

 Siswa-siswa yang obrolannya soal tas dan sepatu Eropa milik guru-guru mereka yang terkikik saat meragukan keasliannya, yang buah-buahan tak berbuah di pohon tetapi di HP dan laptop mereka, yang diperebutkan adalah skor tertinggi: akademik dan non akademik, yang bersin saja pakai English Style, yang diimpikan kampus ternama se-Indonesia bahkan dunia, jalan-jalan ke Singapura janganlah dibicarakan, keliling Eropa baru keren.

Guru-guru memimpikan seritifikasi supaya gaji lebih tinggi. Kepala sekolah menampilkan senyum bangga kelas tinggi saat menyebut sederet prestasi siswa. Dimutasi dari sekolah peringkat sekian ke sekolah dengan siswa-siswa anak pejabat tinggi dan jendral menjadi gengsi tersendiri untuknya. Maka, ucapan "Sekolah Favorit Se-DKI" seperti lonceng jam yang berdentang tiap 60 menit sekali.

Di waktu yang sama, jauh di negeri saat sinar mentari jatuh pertama kali, ada sekolah-sekolah yang siswanya berangkat membawa buku tulis usang miliknya sisa kelas lalu atau bahkan siswa rapat majelis Gereja, berseragam kumal satu-satunya, beralas kaki seadanya.

Guru honorernya memimpikan atasannya ingat untuk menggajinya bulan ini dan bulan-bulan lalu. Kepala sekolah menampilkan senyum bahagia atas kemampuan siswanya menjadi paskibraka untuk pertama kalinya sejak sekolah berdiri.

Dua sekolah itu berdiri di negara yang sama. Negara kaya bernama Indonesia yang katanya sudah merdeka. Beginilah pendidikan di negeri Loh Jinawi. Diserahkan dan dimainkan para politisi demi mengamankan POSISI.

*Tulisan di atas pernah saya tulis di akun IG saya.

Upacara Hari Guru



Bersambung....
Tidak ada komentar:
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda