Jumat, 21 Maret 2014

HARMONI BERBAGI


           Aku akan menceritakan tentang sesuatu. Tetapi, sebelum aku bercerita jawablah terlebih dahulu pertanyaanku dengan jujur. Santai saja, ini tidak akan mempengaruhi nilai IPK apalagi sampai dipanggil KPK. Aku mulai pertanyaannya, pernahkah kau merasa kekurangan dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau mengeluh dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau merasa kecewa dengan pemberian Tuhan? Jika sudah kau jawab semua pertanyaan itu, tak peduli seberapa banyak  jawaban Ya atau Tidak mu, aku tetap akan memulai ceritaku.
***
Jalanan ini begitu terjal. Lapisan aspal yang telah terkelupas membuat batu-batu yang berada di lapisan bawahnya muncul di permukaan jalan. Sesekali terlihat air menggenangi jalan bekas dilewati ban-ban besar yang membentuk ceruk. Sering kulihat kubangan besar melintang di tengah jalan sedang di kedua tepinya, batu-batu aspal sudah berserakan tak beraturan. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau harus dilewati meski dengan sangat pelan.
Siang itu, aku dan kedua temanku sedang melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota, Desa  Juwangi, Boyolali. Motor yang kami naiki seringkali bergoncang kuat saat melewati batu-batu aspal itu. Kadangkala harus sangat pelan agar tidak tergelincir karena di beberapa titik jalan yang masih berupa tanah, basah setelah tersiram hujan semalam. Di sepanjang perjalanan jarang ada orang yang lewat. Hutan dan semak-semak yang mengapit jalan menambah suasana semakin sepi. Sensasi perjalanan yang tak pernah kualami sebelumnya. Kata temanku, perjalanan ini akan memakan waktu hingga 2,5 jam.
Bayang-bayang kondisi tempat yang akan kami kunjungi terus bersemayam dalam pikiranku dan semakin kuat kala aku melihat kondisi jalan menuju ke sana. Susah sinyal HP apalagi jaringan internet, rumah-rumah desa yang tidak memiliki toilet, dan beragam cerita teman-teman yang telah survey sebelumnya. Aku yang lahir dan dibesarkan di Kota Surakarta, terbiasa melihat jalan aspal yang halus, gedung-gedung tinggi yang tersusun rapih dan indah, dan lalu lalang kendaraan bermotor yang seakan tak ada habisnya menjadi semakin penasaran seperti apakah tempat yang akan kami kunjungi nanti. Akankah seperti cerita teman-teman? Atau malah lebih parah?
Kami mulai memasuki kawasan permukiman penduduk yang sangat sederhana. Rumah-rumah lama model joglo dengan dinding kayu polos dan lantai tanah mendominasinya. Motor yang dikendarai temanku berhenti. “Sudah sampai ya? Yang mana rumahnya Mas Tio?”, tanyaku. “Iya, mbak. Yang ada tendanya itu.” jawabnya. Rumah teman kami yang akan dijadikan pos utama kegiatan takbir keliling, out bond bersama anak-anak, pembagian daging qurbaan dan sembako, peresmian perpustakaan anak, dan pengobatan gratis dalam Program Qurban Sampai Pelosok 2011 esok hari itu masih sepi. Maklum, kami adalah rombongan pertama yang berangkat. Setelah mengobrol sebentar dengan orang tua Mas Tio, kami yang hanya bertiga ini dipersilakan beristirahat.
Sambil tiduran di atas terpal biru yang tergelar di atas lantai tanah, aku melihat jam tanganku. Ternyata perjalanan kami tidak hanya memakan waktu 2,5 jam, tetapi 3 jam. Tak ku sangka ternyata aku telah melewati jalan yang begitu buruk selama itu. Badanku lelah dan kepalaku agak pusing karena aku berpuasa tetapi tidak sahur sebelumnya. Tak terasa kelopak mataku tertutup, gelap, lalu aku tak sadarkan diri terbuai oleh empuknya bantal.
***
Aku dibangunkan oleh suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kami bertiga bergegas keluar rumah. Rupanya 2 mobil telah sampai dengan selamat membawa para pejuang LAZIS UNS dan bungkusan-bungkusan sembako yang akan dibagikan kepada masyarakat esok hari. Kami semua tersenyum senang karena kami akan segera memulai misi berbagi bahagia yang telah kami rencanakan jauh-jauh hari.
Sore hari aku dan beberapa temanku mengumpulkan anak-anak setempat untuk bermain bersama sambil diselingi beragam tepuk dan yel-yel. Sepetak tanah kosong di belakang Masjid (warga setempat menyebutnya begitu, meski menurutku lebih tepat disebut Mushola) menjadi tempat yang penuh tawa riang anak-anak sore itu. Sayang, aku tidak dapat menikmatinya karena pusingku semakin menjadi. Aku hanya duduk-duduk melihat mereka di sebatang pohon yang telah lama ditebang. Waktu mendekati Maghrib, kami pun menyudahi permainan.
Segelas teh hangat yang disuguhkan memecah dahaga yang tertahan seharian. Pusing di kepala sedikit demi sedikit turut larut bersamanya. Kami duduk bersila dan melingakar di atas alas terpal. Makan malam bersama teman-teman yang diliputi suasana kesederhanaan dan kebersamaan merontokkan rasa lelah yang tertumpuk di badan. Alhamdulillah.
Malam pun tiba. Setelah menonton film bersama anak-anak desa di Masjid, teman-teman memandu mereka untuk takbir keliling. Aku memilih di rumah untuk mempersiapkan perlengkapan out bond besok karena ternyata beberapa di antaranya tertinggal di Solo. Lagipula rasa pusing di kepala belum 100% hilang. Selain sebagai sie acara, aku juga diamanahi sebagai konseptor out bond. Masjid kecil dengan dinding kayu, lantai semen, dan kondisi penerangan seadanya di dekat rumah Mas Tio digunakan sebagai start takbir keliling
Aku dapat mendengarnya dari dalam rumah. Takbir dikumandangkan anak-anak dengan penuh semangat mengimbangi nyala obor yang berkobar di tangan mereka. Lambat laun suara mereka menghilang seiring dengan langkah kaki yang menjauh. Hingga akhirnya sekitar sejam kemudian rombongan takbir keliling telah sampai di depan rumah.
Teman-teman mulai antri kamar mandi. Maklum, kamar mandi hanya ada dua itu pun baru belum jadi secara sempurna. Itu masih lebih baik karena sebenarnya bentuk kamar mandi di desa ini hanya tertutup sampai bahu, namun LAZIS UNS menyalurkan bantuan untuk pembangunan 2 buah kamar mandi umum di kampung tersebut.
Setalah aktifitas selesai, kami berkumpul di ruang tamu yang disulap menjadi kamar tidur masal. Relawan putri tidur di rumah sebelah rumah Mas Tio, sedangkan relawan putra melepas lelah di rumah Mas Tio. Pancaran bolam 25 Watt menerangi ruang tamu yang begitu luas. Jadilah ruang dengan pencahayaan remang-remang.
Kami tidur beralaskan terpal dengan lantai tanah yang terasa keras dan dingin. Angin malam menyelinap nakal melalui sela-sela dinding kayu yang membuat badan semakin dingin. Bau khas sapi dan kambing yang akan disembelih besok tercium menusuk hidung karena mereka dikandangkan tepat di depan rumah. Takbir yang mengalun bersahutan dari segala penjuru Masjid membuat malam Idul Adha semakin syahdu, membuat diri semakin mensyukuri hidup.
***
Pendar-pendar cahaya mentari pagi menyapa sang bumi di hari Raya Idul Adha. Keindahannya berpadu dengan alunan takbir yang terus mengagungkan-Nya. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa illa ha illa Allahu Allahu Akbar! Kami langkahkan kaki menuju Masjid besar untuk menunaikan Solat Ied bersama masyarakat. Sebuah Masjid besar yang jauh dari kesan mewah layaknya Masjid-Masjid besar di kota. Bahkan Masjid di SMA ku lebih besar dan bagus dari pada Masjid itu.
Setelah selesai menunaikan Sholat Ied, kami mengikuti tradisi setempat yaitu bersalaman dengan sesama jama’ah sambil bersholawat. Jama’ah putra hanya bersalaman dengan jama’ah putra, begitu pula dengan jama’ah putri. Tibalah acara puncak yaitu, penyembelihan hewan qurban. Kami membagi menjadi 3 tim. Tim pemotongan dan pembagian hewan qurban, tim pengobatan gratis, dan tim out bond. Tentu saja aku di tim out bond.
Tim out bond menghadapi kendala karena ternyata anak-anak kampung setempat pergi ke sekolah. Berita yang kami dapatkan, sekolah akan melakukan penyembelihan hewan qurban dan akan langsung dibagi kepada mereka. Mereka takut jika tidak datang ke sekolah mereka tidak akan mendapat daging qurban. Kami mengambil keputusan untuk melaksanakannya di sekolah dengan meminta izin kepala sekolah terlebih dahulu.
Berita baiknya, kepala sekolah senang kami mengisi waktu luang anak-anak sampai daging qurban dibagikan. Melaksanakan di sekolah berarti mengisi anak-anak sesekolah. Itulah berita mengejutkannya, kami harus memberi out bond kepada seratusan anak. Sungguh jauh dari estimasi awal yang hanya 30-an anak. Wow, ini akan menjadi out bond kolosal! Aku belum pernah menghadapi jumlah sebanyak ini.
Creativity on, power on! And....let’s start! “Apa kabar kalian hari ini?” seruku pada anak-anak. “Alhmdulillah, luar biasa, Allahu Akbar!” Sahut mereka serempak. Dengan bersenjatakan megaphone, aku didapuk teman-teman menjadi lead out bond yang luar biasa ini.  Anak-anak sangat senang dengan kegiatan kami. Terbukti dari testimoni yang kuminta dari beberapa anak yang memenangkan out bond saat kami beri hadiah. Hehehe...Aku yakin mereka belum pernah bermain seperti ini sebelumnya. Melelahkan, tetapi juga menyenangkan.
***
Melihat pembagian daging qurban dan memakannya bersama teman-teman dan masyarakat adalah saat-saat yang paling mengharukan dari rangkaian acara ini. Perintah Allah yang satu ini terasa lebih bermakna manakala kami bisa berbaur dengan masyarakat miskin yang minim hewan qurban untuk menikmati indahnya Idul Adha. Inilah esesnsinya, saat si kaya mau berbagi kebahagiaan dengan si miskin dan saat kami bisa menjembatani mereka. Idul Adha-ku kali ini diliputi suasana yang teramat sederhana, namun juga teramat berarti.
Serangkaian acara ini ditutup dengan serah terima buku untuk perpustakaan anak dan peresmian tempat MCK umum. Segala bentuk keterbatasan kondisi desa yang Allah tunjukkan padaku telah menyadarkanku bahwa begitu banyak nikmat-Nya yang kadang kulupakan bahkan tak kusyukuri. Mengeluhkan yang tidak ada sedang yang ada malah tidak disyukuri.
Ketika alunan takbir semakin terasa keagungan-Nya, ketika sembah sujud semakin terasa betapa kecilnya kita, ketika ada banyak orang yang tak seberuntung kita, ketika senyum sapa masyarakat desa menyambut kita dalam kesahajaannya, ketika hari raya terkemas dalam bingkai kebersamaan untuk berbagi dan menginspirasi, “Fa bi ayyi aalaa i robbikuma tukadziban?” Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan? (QS. Ar-Rohman). Robb, ampuninah hamba-Mu ini yang tak pandai mensyukuri nikmat-Mu!