Jumat, 20 Juli 2012

Hukum Ariyah yang Makin Terabaikan

Islam merupakan agama yang mengatur segala sendi kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah (habluminnaAllah) maupun yang berhubungan dengan dengan sesama manusia (habluminnanas). HabluminnaAllah mengatur segala peribadahan yang langsung berhubungan dengan Allah, misalnya saja solat, puasa, naik haji, dll. Sedangkan habluminnanas mengatur kehidupan sosial antar manusia, misanya masalah ekonomi, hukum, pemerintahan, dll.

Salah satu cabang ilmu ekonomi dalam Islam adalah ariyah. Mungkin kata ini terdengar asing bagi beberapa orang, belum sepopuler kata muzaro’ah, mukhobaroh, atau riba. Sebenanya kita sering melakukan kegiatan ariyah karena pengertian ariyah secara bahasa adalah “pinjaman”. Menurut istilah yaitu mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dalam jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya.

Hukum ariyah adalah sunnah dan dianjurkan dalam Islam karena mengandung nilai tolong-menolong. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran” (Q.S. Al-maidah: 2). Meski sunnah, hukum ariyah bisa berubah menjadi wajib bahkan haram sesuai dengan jenis barang yang dipinjamkan, tujuan dan cara peminjaman. Titik tekan ariyah adalah pinjam-meminjam benda, bukan uang.

Kegiatan ariyah sangat lazim dilakukan oleh banyak orang bahkan orang kaya sekalipun. Kegiatan ini pun pernah dilakukan Rasulullah saat meminjam baju besi milik Shafwan bin Umayah pada saat perang Hunain. Meski telah sering dilakukan oleh banyak orang, seringkali orang melanggar aturan-aturan dalam melakukan ariyah. Entah itu karena lalai atau kurang kefahaman diantara orang yang meminjam barang dan orang yang memberikan pinjaman.

Salah satu yang mendorong penulis untuk menulis tentang ariyah adalah fenomena pinjam-meminjam yang sering dilakukan teman-teman mahasiswa dan masalahnya. Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa intensitas mahasiswa, terutama yang tinggal di kos, melakukan ariyah ternyata sangat tinggi. Biasanya barang yang dipinjam mulai dari barang yang berhubungan dengan kegiatan akademik hingga barang yang sepele seperti sandal. Sayangnya, tingginya intensitas kegiatan ariyah diikuti dengan tingginya fenomena masalah pelanggaran hukum ariyah terutama kehilangan suatu barang. Mungkin, di antara mahasiswa sudah berlaku hukum “punyaku adalah punyamu dan punyamu adalah punyaku”. Sehingga si peminjam seringkali lalai pada tanggung jawabnya sebagai peminjam. Padahal Islam sudah sangat jelas mengatur tentang hal ini.

Dalam Islam, kegiatan ariyah harus diawali dengan sighat (akad) pinjam-meminjam antara orang yang meminjam dan pemberi pinjaman. Aturan awal ini seringkali dilanggar peminjam. Tanpa izin terlebih dahulu pada pemilik, barang langsung digunakan. Ini adalah faktor pertama penyebab hilangnya suatu barang.

Barang yang dipinjamkan tidak sah apabila dipinjamkan pada orang lain tanpa seizin pemilik. Hal ini perlu diperhatikan karena belum tentu pemberi pinjaman ridho barang yang dipinjamkan kepada orang pertama, oleh orang pertama dipinjamkan kepada orang kedua meski dengan niat baik. Di sini terkandung makna bahwa peminjam harus menghormati pemberi pinjaman sebagai pemilik barang. Kejadian ini pernah dialami teman saya saat meminjamkan buku saya pada temannya tanpa seizin saya. Saat saya tagih, teman saya malah lupa pernah meminjamnya. Di cari di kos pun tidak ada. Untungnya dia ingat pernah meminjamkan pada temannya.

Syarat ariyah yang lain adalah peminjam segera mengembalikan barang pinjamannya dengan melakukan serah terima secara lisan maupun tulisan. Ini perlu dilakukan agar jangan sampai peminjam melanggar hak kepemilikan suatu barang milik orang lain meski sebenarnya barang yang dipinjam sudah tidak lagi diperlukan pemberi pinjaman karena bisa jadi barang tersebut akan dipinjamkan pemilik pada orang lain yang lebih membutuhkan. Ini mengingatkan saya pada cerita teman saya yang bercerita bahwa buku-buku temannya dipinjam hingga puluhan buku dan belum ada satu pun yang dikembalikan, padahal sudah lama dipinjam. Selama akad di awal adalah meminjam, maka tidak ada alasan untuk mengembalikan. Hal ini seringkali juga dilalaikan oleh peminjam. Sehingga pemberi pinjaman harus menagihnya berulang kali. Sudah ditagih berulang kali pun belum tentu langsung dikembalikan, begitu dikembalikan ternyata terdapat kerusakan pada barang pinjaman atau bahkan hilang. Sebagai peminjam hendaknya bertanggung jawab pada kelalaiannya dengan cara menggantinya.

Menurut Ibnu Abas, Abu Hurairah, Asy-Syafi’i, dan Ishak, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya,” Pemegang (peminjam) berkewajiban menjaga apa yang ia telah terima, sampai ia mengembalikannya” (H.R. Samurah). Sedangkan pengikut Mahzab Maliki dan Hanafi berpendapat peminjam tidak berkewajiban menggantinya apabila tidak terjadi suatu hal berlebihan pada barang yang dipinjam. Rasulullah Muhammad SAW yang senantiasa menjaga amanah pun pernah melalukan kesalahan dengan menghilangkan bagian dari baju perang yang beliau pinjam dari Shafwan saat perang Hunain, tentunya itu dilakukan dengan tidak sengaja. Rasulullah SAW kemudian menggantinya sebagai bentuk tanggung jawab sehingga Shafwan merasa mendapat kepuasan dalam berislam. SubhanaAllah, Rasul yang begitu “tinggi” di hadapan sahabat-sahabatnya pun mau mengganti barang yang dipinjamnya karena rusak tanpa diminta terlebih dahulu apalagi dipaksa.

Seperti terjemahan ayat yang telah saya tulis di awal bahwa seorang Muslim harus tolong-menolong dalam kebaikan sehingga disunnahkan untuk melakukan ariyah. Di sisi lain kita tentu juga faham bahwa Islam sangat menghargai hak kepemilikan sehingga sangat dianjurkan untuk mengedepankan aturan-aturan Islam dalam melakukan ariyah.

Apabila peminjam kurang bertanggungjawab pada kegiatan ariyah, maka kerugian akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Pemberi pinjaman akan merasa kecewa karena barangnya tidak segera dikembalikan pada saat dibutuhkannya, dikembalikan dalam keadaan rusak atau bahkan hilang. Sedangkan peminjaman akan berkurang kepercayaannya karena kurang bertanggung jawab.

Tidak ada satu pun di antara kita yang tidak pernah melakukan ariyah, hanya saja jangan pernah mengabaikan hukum ariyah agar habluminnanas tetap terjaga dengan baik. Barang pinjaman kita dapatkan, pahala pun kita raih. InsyaAllah.