Senin, 31 Januari 2011

Ketidakadilan di dalam Kampus

Tulisan ini BUKAN fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama atau pelaku itu adalah sebuah kesengajaan.


Sekali lagi saya melihat adanya sebuah ketidakadilan yang terjadi di lingkungan kampus yang terjadi baru-baru ini. Saya yakin tak banyak yang tahu soal ini, karena memang ini asal beritanya tak terblow up ditambah masalah itupun hanya bermula dai satu orang yang merasa sebagai korban.ya, korban dari ketidakadilan kampus.
Indra Kusumah mengatakan,"Seseorang yang menyandang gelar sebagai mahasisiwa akan menemuai empat konsekuensi, yaitu konsekuensi akademik, konsekuensi organisasi, konsekuensi sosial, dan konsekuensi politik." Seorang mahasiswa tidak bisa dikatakan handal hanya karena IPK nya selalu cumlaude atau di atas rata-rata tanpa melibatkan diri dalam sebuah organisasi yang dengan itu dia bisa bermanfaat bagi orang lain atau tidak memiliki kepekaan sosial (biasanya menjangkiti mahasiswa yang terbentuk dari pola hidup yang hedonis,individualis, dan matrealistis) dan politik. Mahasiswa yang mampu menyeimbangkan dirinya untuk itu tadi, maka berhak menyandang gelar Mawapres. Dalam waktu dekat, FKIP UNS akan mengadakan pemilihan Mawapres (Mahasiswa Berprestasi) yang sasarannya adalah masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu mahasiswa yang akademiknya bagus dan aktif dalam kegiatan organisasi. LSP FKIP, sebagi UKM yang bergerak dalam kegiatan keilmiahan mengadakan "Sekolah Mawapres" yang memfasilitasi para mahasiswa yang ingin mendaftarkan mawapres agar lebih siap melangkah ke tahap-tahap seleksinya. Saya melihat ada banyak wajah-wajah lama yang biasa kutemui dalam acara perlombaan mengikuti acara ini. Mereka yang unggul akademiknya dan aktif dalam banyak organisasi. SubhanaAllah. Meski begitu, saya rasa masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui bahwa sebentar lagi FKIP akan mengadakan pemilihan mawapres karena minimnya informasi yang diberikan FKIP.
Kemarin saya mendengar cerita dari teman yang mengajukan diri untuk mengikuti seleksi mawapres di tingkat prodi(program studi). Ketika dia menemui PA-nya untuk mengajukan diri, dia mendapat jawaban yang mengejutkan karena ternyata dari BKK-nya telah menunjuk seseorang untuk mewakili BKK-nya tersebut menjadi mawapres tingkat BKK(Bidang Keahlian Khusus, 1 tingkat lebih rendah dari prodi). "Kasus" ini kemudian terdengar sampai Pak Amir selaku PD 3 dan entah bagaiaman kemuadian tema saya tadi ditelpon oleh PA-nya untuk mengumpulkan berkas-berkas pengajuan diri sebagai mawapres dan diwawancarai. Saya pikir Pak Amir telah melakukan sesuatu hingga BKK tersebut setidaknya merubah sedikit keputusannya. Saya katakan sedikit karena besoknya teman saya tadi ditelpon PA-nya lagi dan mengatakan bahwa teman saya tadi tidak dapat lolos karena dia tidak begitu aktif di prodi meski IPK mereka tak berbeda jauh. Yang menjadi kebingungan kami adalah bahwa dalam seleksi seharusnya tidak ada penilaian apakah dia aktif di prodi atau tidak. Kebingunagan kami tak berhenti sampai di situ saja, karya tulis yang seharusnya menjadi penilaian malah sama sekali tidak ditanyakan. Dosen yang mewawancarainya saja tak tahu apa saja yang termasuk organisasi eksternal karena saat teman saya menyebutkan nama organisasi eksternalnya malah dosen itu menyebutkan nama-nama organisasi eksternal yang sebenarnya itu adalah UKM-UKM di fakultas. Payah.
Saya rasa dipanggilnya teman saya ini hanya sebagai formalitas karena mungkin tidak enak ketahuan Pak Amir,toh nyatanya teman saya tetap tidak lolos. Saya menganggap ini sebgai sebuah ketidakadilan kerena seharusnya informasi terkait adanya penyeleksian ini diberikan kepada mahaiswa bukan malah main tunjuk sendiri. Padahal kalau dihitung sebenarnya masih ada banyak mahasiswa yang sebenarnya berhak mengikuti seleksi ini dan mungkin saja lolos. Terlepas apakah mahasiswa itu mau mendaftarkan diri atau tidak seharusnya BKK tersebut menginformasikan kepada mahasiswa sebelumnya. Apalagi ini adalah sebuah kompetisi positif yang akan membawa nama FKIP dan tentunya ada "uang jajan" bagi mahasiswa yang menang walau baru lolos ditingkat prodi.
Cerita dari teman saya tadi yang bermula hanya dari cerita biasa kemudian berkembang menjadi kekecewaan karena dia merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun memahami perasaanya dan saya pikir tidak hanya dia yang diperlakukan tidak adil, tetapi juga seluruh mahasiswa yang seharusnya berhak tahu tentang ini. Entah dari Prodi mana atau jurusan mana. Dia merasa kesal sekali, tetapi tak berani mengungkapkannya di depan dosen-dosennya.
Jika dosen selalu meminta mahasiswanya belajar, maka dosen pun seharusnya juga belajar. Belajar untuk bersikap terbuka dan adil untuk kebaikan kita bersama.