Minggu, 26 Februari 2017

Antara Jakarta dan Papua (Bagian 2)

Tulisan tentang situasi sekolah antara Jakarta dan Papua di bagian 1 cukuplah  menggambarkan keadaan yang bertolak belakang. Keadaan tersebut sejalan dengan hasil penelitian terbaru dari Badan Statistik Nasional mengenai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang dijabarkan per kabupaten/kota dan provinsi. Dalam penelitian tersebut Jakarta Pusat yang menjadi lokasi PPL saya meraih hasil di atas 80 dan termasuk tertinggi di antara daerah administrasi lainnya di Jakarta, sedangkan Kabupaten Tambrauw tempat saya pernah mengabdi cukup di angka 49. Terendah se-provinsi Papua Barat dan masuk pada deretan terendah se-Indonesia. Data mengenai hal tersebut dapat diunduh di laman https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4302 . Maka tak heran jika setiap saya mendapat jatah piket, siswa-siswa di Jakarta biasanya akan izin untuk mengikuti perlombaan tingkat provinsi bahkan nasional sedangkan di Papua siswa saya akan izin beberapa hari untuk menemani bapak menjerat rusa di hutan atau menemani ibu yang sedang hamil muda.


Mendapat IPM di atas 80. Bagus, bahkan lebih tinggi dari IPM rata-rata Malaysa. Tetapi untuk mendapatkan nilai setinggi itu Jakarta harus mengorbankan banyak hal, termasuk siswa-siswanya. Waktu luang berkumpul bersama keluarga, waktu bersantai dan meletakkan sejenak buku pelajarannya, waktu untuk menghirup udara segar dan hangatnya mentari di pagi hari, menikmati angin teduh saat hampir Maghrib, atau melihat sekumpulan bintang-bintang yang membentuk rasi (saya hampir bisa memastikan mereka tak bisa menikmati bintang karena selama setahun di Jakarta saya hanya bisa menemukan jutaan bintang terjatuh di bumi Jakarta membentuk bintang-bintang yang menempel di gedung-gedung tinggi), bahkan mereka tak memiliki waktu sejenak untuk memikirkan makna hidup itu sendiri.


Mereka hanya tahu bahwa siklus manusia adalah lahir-sekolah-kuliah-bekerja-mati. Jika tak mendapat nilai tinggi di sekolah maka tak akan mendapat kuliah yang baik. Jika tak mendapat kuliah yang baik mereka akan mendapat pekerjaan rendahan dan itu artinya gaji mereka kecil. Saya sama sekali tidak menyalahkan siswa yang mendapatkan itu semua, namun yang harus diperhatikan adalah orientasi mereka. Ketika siswa mementingkan peningkatan nilai (score) daripada nilai (value) pada diri mereka, maka yang sering saya temui adalah siswa-siswa yang hanya menginginkan score tinggi namun mencari cara mudah untuk mendapatkannya. Membuka internet melalui smartphone, membuka buku, bertanya soal pada kelas yang sudah ulangan, bahkan celetukan halus kepada saya bahwa papanya TNI. Intinya adalah kecurangan. Bagi mereka jika akhirnya mendapat score bagus mereka menganggap dirinya telah berhasil, padahal sebenarnya dia sedang kehilangan value dalam hidupnya.

Luar biasanya, di antara mayoritas yang berusaha melakukan kecurangan ada sedikit siswa yang tetap teguh mempertahankan prinsipnya untuk mengerjakan ulangan dengan kemampuannya sendiri meski pada akhirnya score-nya tidak memuaskan. Bagi kebanyakan orang mereka telah gagal, namun bagi saya mereka telah mendapatkan value yang sangat bernilai yaitu, Jujur dan Integritas. Jika mereka menambahkan value kerja keras dan spiritualitas maka insyaAllah mereka akan mendapat score yang bagus pula. Kalaupun pada akhirnya ada siswa yang sudah berusaha jujur, kerja keras, dan berdoa tapi nilainya tetap di bawah standar minimum ya barangkali mata pelajaran saya bukan keahliannya. Itu saja, simple.



Tentang Perekonomian


Berdasarkan sensus penduduk tahun 2015, provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.154.134 jiwa, sedangkan Papua Barat yang jauh lebih luas dari DKI Jakarta hanya berjumah 868.819 jiwa. Artinya, jika dihitung secara matematis terdapat 15.292 jiwa/ km2 di DKI Jakarta, sedangkan di Papua Barat hanya terdapat 9 jiwa/km2. Papua Barat menempati provinsi paling sepi kedua setelah Kalimantan Utara, sedangkan Jakarta menjadi provinsi terpadat se-Indonesia. Informasi lebih lengkap dapat mengunduh di laman: https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4350


Menjadi ibu kota negara pantaslah jika Jakarta menjadi magnet bagi ribuan masyarakat dari provinsi lain untuk mencari kepingan rupiah dan menimba ilmu. Dari Presiden hingga pengamen sangar ada di Jakarta. Harapan mendapat pekerjaan dengan pendapatan layak selalu berada di benak para pendatang.  Keadaan inilah yang mempengaruhi perekonomian masyarakat. Penduduk yang jumlahnya super banyak menimbulkan efek domino bagi keadaan sosial sehingga pada akhirnya terciptalah pekerjaan-pekerjaan unik yang jarang ditemukan di daerah lain, misalnya satpam yang membantu menyebrangkan jalan bagi pengunjung sebuah Mall.  Sepertinya biasa saja, tapi lucunya jalan di daerah tersebut tidak ramai bahkan sudah terdapat lampu bagi penyeberang. Masih di mall yang sama, sewaktu saya memasuki lift saya langsung ditanya oleh mas-mas tinggi berbaju krem, “Mau ke lantai berapa?” dengan santai saya menjawab sesuai dengan tujuan saya. Lalu dengan cepat mas-mas tadi memencet tombol tujuan saya. Saya pikir biasa saja ada orang yang menyapa demikian, tapi ternyata ketika saya ingin turun ke lantai dasar saya disapa mas-mas lain dengan penampilan dan pertanyaan sama. Lalu sambil mengoreksi penggunaan sarung tangannya, dia memencet tombol yang saya tuju. Olala…ternyata memang mas-mas  tinggi dan good looking itu bekerja sebagai pemencet tombol lift. Dalam hati saya, ya Allah…ada ya pekerjaan macam begini? Dilayani sekali pengunjungnya sampai-sampai termasuk hal yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri. Sambil melirik ke masnya saya bertanya-tanya, kenapa nggak jadi model aja sih mas? Di Papua, jangankan menjadi satpam penyeberang jalan dan pemencet tombol lift, mall saja tidak ada.

Salah satu mall termewah di daerah Bintaro








Satu-satunya pasar di ibu kota kabupaten Tambrauw




















Pengalaman lain adalah saat saya mengunjungi sebuah gedung bioskop terbesar dan tertua di Jakarta, Metropole. Disebut tertua karena telah berdiri sejak tahun 1932 dengan fungsi yang sama. Gedung bioskop ini tidak berada di sebuah mall, namun gedung ini memang hanya untuk nonton film dilengkapi dengan berbagai macam foodcourt yang high class.  Saat memasuki gedungnya terlihat dekorasi ruang Art Deco yang elegan. Gaya berseragam dan berpenampilan pelayannya pun turut mengimbangi. Dua pelayanan di bagian pemesanan tiket, satu satpam di dalam ruang utama. Ya, masih seperti yang lain.

Metrople saat malam
 
Sesuatu yang menarik bagi saya adalah ketika saya ingin ke toilet. Terlihat antrian mengular dari toilet terluar hingga hampir mendekati pintu keluar ruang toilet. Seolah-olah ada garis merah di lantai yang membatasi deretan toilet dengan bagian wastafel, lalu ada tulisan Jangan Lewati Garis Sebelum Pengguna Toilet Keluar. Untung saya langsung paham situasi tidak asal nongkrong di depan pintu mana saja yang sekiranya akan segera terbuka. Bisa-bisa saya diomeli pengantri yang rata-rata berpenampilan kelas atas. Ternyata aturan penggunaan toilet kelas atas berbeda dengan kelas rata-rata. 


Sambil mendapat giliran melewati garis khayal itu, saya memperhatikan seorang perempuan yang tak terlalu muda berdiri dengan tak begitu tegak di ujung ruang toilet. Punggungnya tersandar pada tembok di antara dua baris toilet. Make up tebalnya seperti ingin menampilkan standar berada di gedung high class, meski hanya di toilet. Sayangnya, make up nya tak mampu menipu wajah lelahnya sebagai penjaga toilet. Lagi-lagi, ada ya pekerjaan semacam itu? Mungkin Anda akan mengira dia menjaga kotak recehan dua ribu, padahal tidak karena di mall mewah dan juga bioskop ini tidak ada tarif untuk buang air. Lalu kira-kira bagaimana isi job description-nya?  Jangankan di Tambrauw, di Kota Sorong pun belum ada bioskop.


Tingginya demand terhadap tenaga kerja di Jakarta berbanding lurus dengan tingkat supply-nya. Artinya, karena kebutuhan pelayanan terhadap berbagai lapisan masyarakat yang tinggi muncullah pekerjaan-pekerjaan unik yang tidak ditemui di darah-daerah lain. Lahirlah buruh kelas atas seperti di mall dan gedung bioskop yang pernah saya kunjungi.


Sebenarnya di Papua juga memiliki banyak lapangan pekerjaan. Kalau di Jakarta karena banyaknya penduduk, kalau di Papua karena sepinya penduduk. Saking sepinya, banyak lapangan pekerjaan yang tidak tergarap. Kalau di Jakarta, orang harus kreatif membuat lapangan pekerjaan biar tidak kalah saingan, kalau di Papua lapangan pekerjaan tingkat dasar pun tidak ada yang mengerjakan. Misalnya saja, di kampung saya hanya terdapat tiga warung yang di antara ketiganya tidak selalu buka. Transaksi perdagangan hanya terjadi jika warung tersebut buka. Sudah itu saja, tidak ada transaksi lain karena masyarakat hanya menjual sayurannya ke kota kabupaten, Sausapor. Tidak ada biaya berobat di puskesmas dan tidak ada uang pendidikan untuk bersekolah. Dengan kepadatan hanya 9 jiwa per km2 dan pembangunan infrastruktur yang masih sangat kurang tentu membuat kegiatan perekonomian menjadi tidak lancar. Perputaran uang menjadi sangat lambat.


Seandainya di kampung tersebut dibangun jalan tembus yang layak di segala kabupaten, dibagun tower untuk pemancar sinyal telepon dan internet, dibangun pembangkit listrik yang cukup, diadakan transportasi umum yang sering berkeliling kampung, hingga dibangun pusat perbelanjaan dan bioskop, pasti tenaga kerja-tenaga kerja baru akan bermunculan dan siapa tahu akan ada pemencet tombol lift dan penjaga toilet di kabupaten Tambrauw.


Secara keseluruhan ada banyak perbedaan antara Jakarta dan Papua, meski masih terdapat satu hal yang sama yaitu harga barang dan jasa yang sama-sama mahal. Jadi kalau ada orang Jakarta terheran-heran dengan mahalnya biaya transportasi atau beras di Papua, sepertinya mereka sedang lupa bahwa ongkos makan siang dan cicilan apartemen mereka juga mahal.


Secara pribadi saya lebih memilih hidup tenang di Papua. Menikmati keindahalan alam, keramahan masyarakatnya, dan menemukan makna hidup. Meski demikian, sejengkel-jengkelnya saya terhadap Jakarta yang ruwet saya kagum terhadap beberapa keadaannya, seperti banyaknya komunitas yang peduli terhadap musibah kebakaran yang terjadi di perkampungan kumuh  sebelah UNJ. Kebetulan saya pernah menjadi volunteer di komunitas yang membuat sekolah non formal di kawasan tersebut, KOPAJA. Komunitas fans club kesebelasan, organisasi mahasiswa, pendongeng, lembaga zakat, toko pakaian muslim, ibu-ibu pengajian, sampai komunitas yang tak kupahami lagi bergerak di bidang apa, datang memberi bantuan cuma-cuma. SubhanaAllah…indah sekali.

Kak Adib mendongeng di daerah kebakaran



Kekaguman lain adalah ketika saya naik bus kebanggaan Jakarta, yaitu Trans Jakarta. Sebagai pendatang yang tidak punya transportasi pribadi, hampir setiap saya pergi saya selalu menggunakan Trans Jakarta. Lagipula dengan menggunakan transportasi umum saya bisa menjadi bagian dari penyelamat lingkungan dan saya merasa keren. Bagi saya Trans Jakarta sangat peduli terharap perempuan karena di dalam bus ada tempat duduk khusus perempuan yang berada di deretan depan. Bahkan ada bus Trans Jakarta khusus perempuan yang dicat pink. Sesepi apapun busnya tapi kalau yang ingin masuk laki-laki tidak diperbolehkan. Ini diberlakukan untuk menghindari pelecehan terhadap perempuan.


Selain itu jika terdapat perempuan hamil, anak-anak, orang lanjut usia atau difabel, biasanya kernet akan mengingatkan penumpang lain, “Tolong ya bangku prioritasnya.” Ditambah lagi kalau sedang ada penumpang masuk kernet akan langsung berkata, “Yang depan untuk perempuan, yang belakang untuk laki-laki.” Mendengar pengingatan yang berulang setiap naik Trans Jakarta, membuat penumpang hafal dan Alhamdulillah sadar dengan sendirinya sehingga kadang tanpa diingatkan laki-laki akan duduk di belakang dan para pemuda meski penampilannya terkesan cuek dan gaul memberikan kursinya kepada yang lebih membutuhkan. Inilah yang sering saya kesalkan saat di kota-kota lain di mana laki-laki dan pemuda tidak peduli pada orang yang lebih membutuhkan kursi. Uniknya, di kota yang disebut-sebut banyak orang indivudualis ini ternyata malah saya menemukan kepedulian di dalam transportasi umum. Great!

Di Trans Jakarta




Perempuan muda ini memberikan kursinya pada ibu di kiri foto


Itulah pandangan saya mengenai Jakarta dan Papua. Dua tempat yang sama-sama di Negara Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







Pengikut





Sabtu, 25 Februari 2017

Guru Backpcking ke Singapura (1): Ketinggalan Pesawat


“Sekarang aku kembali bermimpi dalam jangkar yang lebih jauh dan luas.”  Tulisku di blog pada bulan Oktober saat baru saja selesai membuat paspor. “Kamu jadinya kapan ke luar negeri?” tanya beberapa teman yang mengetahui soal pembuatan paspor. Beberapa bertanya-tanya mengapa aku melakukannya, beberapa seperti mengucapkan “Wow!”. “Setelah membaca tulisanmu, aku yakin banget…paspor kamu bakal segera terpakai…entah bagaimana caranya.” Komentar seorang teman yang berhasil membuatku terharu sekaligus optimis. Lalu kubuka tulisan pada buku catatanku saat awal tiba di Papua. “Bikin paspor buat ke:....” beserta daftar negara yang ingin kukunjungi.

Oke, jika dalam waktu dekat berangkat. Aku harus membuat suatu alasan yang tidak hanya bisa kuterima namun juga diterima keluarga terutama orang tua. Bagi keluarga besarku, pergi ke luar negeri adalah suatu yang teramat istimewa. Tercatat dari yang pernah ke luar negeri belum pernah ada yang pergi di usia muda plus memakai uang sendiri. Terdengar terlalu pede. Yang kedua, mau ke mana?

Setelah memikirkan dua hal utama itu, kuputuskan negeri singa, Singapura, sebagai negara pertama setelah kudapatkan kunci gerbang yang bernama paspor. Setelah itu ke Malaysa. Sebenarnya dua negara itu tidak masuk dalam daftar di buku catatan saat di Papua dan  terlihat mainstream sekali orang Indonesia ke Singapore lalu dilanjutkan ke Malaysia, tapi aku punya dua alasan kuat mengapa aku harus ke sana. Pertama karena tabunganku yang terkumpul hasil dari tak pernah menengok Tanah Abang dan toko online baru cukup untuk jarak sejauh itu. Kedua aku tertarik dengan keberhasilan sistem pendidikan Singapura yang dibicarakan banyak negara. Indonesia dan Singapura, bertetangga namun sangat berbeda. Alhamdulillah aku memiliki teman fb orang Singapura (Mrs Aisya) yang mau mencarikan guru sebagai “narasumber” yang akan menjawab rasa penasaranku. Kalau Malaysa? Temanku punya kenalan dosen yang paham tentang pendidikan di Malaysa dan akan dengan senang berbagi cerita.

Aku mengajak temanku (Miss Lisfah) yang sejak September pernah merencanakan hal yang sama bahkan merencanakan Oktober akan berangkat, namun pembicaraan tentang itu menguap karena kami sama-sama sibuk. Mungkin inilah yang disebut dengan semesta mendukung. Miss Lisfah kebetulan libur mengajar pada akhir Januari, tak lama setelah aku wisuda dan aku mendapat lampu hijau dari keluarga yang awalnya aku agak tak yakin. Yey!

Kami membagi tugas. Aku mencari penginapan sedangkan dia mencari tiket pesawat dan tempat kunjungan. Karena tujuan utama kami untuk “mencari tahu”, maka daftar tujuan kami hampir tak sama dengan cerita kebanyakan orang jika ke sana. Museum, perpustakaan, sekolah, dan saat hari ketiga kami akan bertemu dengan guru-guru Singapura yang bersedia berbagi tentang pendidikan. Merlion dan Twin Tower jelas akan kami datangi sekedar untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang turis. “Do you wanna go to Universal Studio?” tanya Miss Lisfah waktu itu. “Em… yah kalau mau sekedar foto saja, tapi aku nggak terlalu tertarik. Kalau ada pelosoknya Singapura seperti di Indonesia mungkin akan aku datangi. But I’m not sure it has. Hahaha…” setiap hari kami berusaha untuk bisa bertemu membicarakan rencana itu, meski hujan dan badai mengguncang Jakarta.

Awalnya kami membidik Foot Prints Hostel di Singapura karena lokasinya strategis dan mendapat banyak komentar bagus dari pengunjungnya, namun harga per malam yang hampir Rp 200.000,00 membuatku searching hostel yang lebih murah tapi minimal bersih dan strategis. Usahaku nongkrong di depan kamar asrama untuk mendapat sinyal wifi dari pagi sampai pagi lagi membuahkan hasil yang mengejutkan! Waktu menunjukkan hampir jam 2 pagi dan aku mendapatkan info yang membahagiakan bagi orang yang akan menggembel di negara semahal Singapura.

Terbaca di layar tabku: Promo Traveloka sampai Rp 150.000,00 untuk 8 hotel di Singapura. Periode pemesanan hanya tiga hari. Aku menemukan Sleepy Kiwi Hostel menawarkan harga termurah untuk kamar berisi 14 kasur, Rp 108.681,00 per malam sudah termasuk pajak, wifi, dan break fast. Hanya saja kami tidak dapat menarik uang pembayaran jika ingin membatalkan. Jika kugunakan kode promo berarti bisa lebih murah lagi. Padahal waktu kucek harga per kasur di web resminya seharga $18 atau sekitar Rp 162.000,00. Awalnya kami agak bingung mengapa harga di web resmi malah lebih mahal daripada di aplikasi Traveloka. Ternyata berdasarkan pendapat beberapa orang di blog mengatakan bahwa agen  memang sering memberikan harga yang lebih murah daripada aslinya. Oh, namanya juga promosi.

Fix kami memilih Sleepy Kiwi karena sudah murah dapat promo lagi ditambah lokasi di pusat muslim. Sehingga kami mudah mendapat Masjid dan makanan Halal. Kami memesan untuk dua kasur tiga malam tipe female dormitory 14 beds sejak tanggal 1 Februari. Harga total yang awalnya Rp 625.087,00 dipotong menjadi Rp 586.813,00 atau sama dengan Rp 97.802,16 per orang per hari. “MasyaAllah murah banget.” Komentar Miss Lisfah tidak percaya. Sebenarnya aku juga tidak percaya apa itu sudah benar-benar dibooking-kan oleh Traveloka. Sehingga aku menanyakan hal tersebut ke CS Traveloka hingga tiga kali melalui email dan alhamdulilah selalu dijawab dengan cepat untuk meyakinkan bahwa beds tersebut sudah dipesankan.

pemesanan melalui Traveloka

Harga setelah dimasukkan kode promo


Act As International Class, Please!

Akhirnya sampai juga di tanggal 1 Februari. Aku berangkat dari rumah saudara di Srengseng Sawah ke Terminal Rambutan pukul 4 pagi naik ojek online. Perjalanan hampir sejam karena mampir dulu ke minimarket membeli roti dan susu dan ke ATM. Aku sempat khawatir tidak ada ojek sepagi itu. Sampai di Terminal Kampung Rambutan pukul 5 pagi dan Bus Damri yang akan kuaiki masih berisi beberapa penumpang. Aku berharap tidak menuggu lama karena khawatir akan tiba mepet dengan jadwal pesawat berangkat, pukul 8.20.

Beruntung tak lama menunggu, bus berjalan karena penumpang hampir memenuhi bus. Rp 40.000,00 kukeluarkan untuk ongkos ke Soekarno-Hatta. Lalu lintas yang masih sepi semakin menguntungkan perjalanan karena kalau sudah detik-detik jam sibuk bisa macet berjam-jam. Awalnya aku berharap bisa melanjutkan tidur di bus, tetapi ibu-ibu yang duduk di sebelahku banyak bercerita tentang kampung halamannya di Belitung yang cukup menarik sehingga aku jadi tertarik untuk menanggapi.

Tepat pukul 6 aku sampai di Soekarno-Hatta. Apa kamu bisa membayangkan orang yang belum mandi pagi, belum sarapan, dan kurang tidur berada di bandara internasional untuk mengawali perjalanan pertamanya ke luar negeri? Itulah aku. Aku memang belum mandi pagi karena khawatir masuk angin gara-gara kemarin malam kehujanan sehabis pulang dari festival pendidikan di Jakarta Pusat dan aku pede sekali berangkat hanya dengan cuci muka, bedak tipis, dan parfum secukupnya untuk memanipulasi keadaan. Tak lama kemudian Miss Lisfah juga datang. Kami saling bertanya soal perjalanan sampai di bandara. Ternyata mengobrol ringan sebelum sarapan itu membuat perut lapar semakin lapar. Aku menawari roti sobek dan kacang kepada Miss Lisfah karena dia sama-sama belum sarapan sudah begitu dia sama sekali tidak membawa bekal selain sebotol air putih. Tips menggembel no 1: bawalah bekal secukupnya jika belum sempat sarapan.

Setelah sepotong roti dan sekotak susu tertelan, giliran mata yang mengeluh. Ternyata perut yang lumayan kenyang ditambah kurang tidur itu membuat mata mengantuk semakin mengantuk. Apalagi Miss Lisfah bercerita sama sekali tidak tidur semalam. 

“Kita masuk ke ruang check in yuk.” Ajakku yang waktu itu jam dinding bandara menunjukkan pukul 6.30.
“Tidur sebentar ya..nanti jam 7.30 kita masuk. Kalau sudah masuk kita nggak bisa jalan-jalan ke luar.” Tolaknya sambil menyandarkan keningnya ke bagian atas carrier-nya. Oke, baiklah. Lagi pula 8.20 masih lama.

Tak butuh waktu lama untuk Miss Lisfah teridur. Aku juga tidur tapi kadang terbangun dan melihat jam hingga aku melihat sudah pukul 7.30 pagi.“Please, sebentar lagi saja. Aku masih mengantuk, apalagi 8.20 masih lama.”  kataku dalam hati. Akhirnya tepat pukul 7.45 aku terbangun dan membangunkan Miss Lisfah yang belum bangun. Ngulet-ngulet, kucek-kucek mata dulu ditambah aku ke ATM lagi membuat kami masuk ruang check in pukul 7.55. 

Sambil berjalan menggendong ransel masing-masing dengan langkah lumayan cepat kami menuju meja check in. Semua terasa baik-baik saja hingga kami tak melihat no pesawat kami tertera di papan check in maskapai.
“Hey, kayaknya ini sudah terlalu jauh. Sepertinya betul yang tadi, tapi kenapa tujuannya bukan ke Singapore, tapi Malaysa?” tanyaku pada Miss Lisfah. 
“Sepertinya betul yang tadi. Coba kita tanyakan.” Sahutnya.

Setibanya di meja check in yang sepi, Miss Lisfah menunjukkan tiket yang sudah dicetaknya dari rumah. Petugas perempuan yang lumayan menor itu mengecek tiket dengan seksama lalu dalam tempo yang singkat mengatakan hal yang membuat dua orang yang kurang sarapan dan tidur ini seperti tersambar petir.
“Mbak, ini sudah tidak bisa masuk.”
“Apaaaaah!?” seketika kami berdua bengong. Mataku membelalak.
“Tapi ini masih jam 8.” kataku setelah cukup tersadar dari kekagetan.
“Harusnya 45 menit sebelum take off sudah check in, Mbak. Ini semua penumpang sudah di dalam.”
“Terus gimana?” tanya Miss Lisfah
“Ke Customer Service nya aja. Di ujung serambi. Keluar dulu dari ruang check in.”
“Ayo  kita keluar.” Ajak Miss Lisfah buru-buru.

Dan…di bandara seluas itu kami harus berlari mengejar waktu yang sudah sangat dekat dengan 8.20. Petualangan menggembel pun dimulai!  Jam di hand phone menunjukkan pukul 8.05. “Ah, apa yang kira-kira akan kami dapat kalau sudah bertemu CS? Apa masih bisa menunggu dua orang ini untuk masuk badan pesawat sedangkan waktu semakin sempit? Kenapa kami harus mengawali perjalanan dengan sesuatu yang tidak mengenakkan begini?” pikirku dengan segala tanda tanya. Aku lelah sekali, tasku terasa semakin berat, jantungku berdegup cepat. Adrenalin benar-benar lebih terpacu dibandingkan naik roller coster. Tips menggembel no 2: istirahatlah secukupnya sebelum melakukan perjalanan jarak jauh agar badan dan pikiran fresh.

Untungnya Miss Lisfah dapat berlari kencang meninggalkanku. Sepertinya sambaran petir kalimat tadi menjadi energi baginya sehingga meskipun postur tubuhnya kecil dan carrier-nya berat tidak melambatkan dirinya untuk berlari. Beberapa meter di depanku dia sudah masuk ruang CS. Saat aku masuk dia sudah mengawali pembicaraan dengan petugas. Aku berusaha menenangkan jantung dan nafasku setelah berlari. Sekarang berharap agar ada jawaban yang semakin menenangkan.

Ada seorang perempuan muda berpakaian stylish juga sedang menghadap petugas, tetapi aku tidak tahu keperluannya. “Duduk dulu di sini.” Katanya sambil memberikan kursinya untukku. 

“Sudah nggak bisa, Mbak. Mbak pakai tiket promo ya? Kalau promo emang nggak bisa. Kalaupun mau masuk sekarang kena charge 90% dari harga asli. Kalau saya mendingan beli tiket baru. Kalau mau, ini ada yang jam 11 600 ribu atau yang jam 5 400 ribu.” Keterangan CS sama sekali tak membuat jantungku berdegup normal.
“Hah? Masak sudah tidak bisa? Perasaan dulu saya kalau naik pesawat 30 menit sebelum take off masih bisa masuk.” Aku menawar bernada tak percaya karena aku tahu maskapai ini juga sering delay.
“45 menit sebelum take off harus sudah check in, Mbak.” 

Waduh aku tidak bisa mengelak kalau itu alasannya karena aku tidak memegang tiket. Aku menyesal kenapa tidak minta tiket online nya ke Miss Lisfah sebelumnya agar aku bisa melihat detail informasi di tiket. Tips menggembel no 3: usahakan jika pergi bersama-sama semua penumpang memiliki tiketnya meski satu orang yang memesan.
“Trus gimana?” tanya Miss Lisfah padaku
“Berapa harga tiket kita?” bahkan untuk soal ini aku tidak tahu pastinya.
“380.” Jawabnya semakin membuatku bingung memutuskan karena harga tiket selanjutnya beda jauh dengan yang kami miliki.
So…stupid, ceroboh, mubazir sekali!” aku mengutuki diri sendiri karena harus mengahadapi keterlambatan hanya gara-gara ketiduran.
 “Oh, kalian mau ke Singapore?” tanya perempuan muda itu di sela-sela kebingungan kami.
“Iya.” Jawab kami serempak.                     
“Saya juga mau ke Singapore tapi lewat Batam. Are you a student or worker?”
“Cuma mau jalan-jalan.” Jawab Miss Lisfah singkat.
“Oh, mau menginap di mana?” tanyanya lagi
“Sleepy Kiwi.” Jawab Miss Lisfah lagi
“Oh, ya saya tahu itu Sleepy Kiwi. Hampir semua hostel di Singapura saya tahu karena saya sudah sering ke sana. Sebenarnya ada yang lebih murah lagi, harganya 85 ribu per malam.”
Entah benar atau tidak mengapa aku merasa perempuan muda ini bersekongkol dengan maskapai dan  mengalihkan pembicaraan kami dengan CS agar jelas-jelas pesawat sudah tidak bisa diusahakan lagi untuk menunggu kami. Seharusnya jika dia bersikap wajar tanpa pengecualian, dia tahu bahwa kami sedang buru-buru dan mempertimbangkan tawaran CS yang berat bagi kami. Sudah begitu anehnya CS diam saja melihat pembicaraan kami dipotong dengan pertanyaan-pertanyaa yang tidak berhubungan dengan masalah. Bagiku ini aneh dan harus disudahi.

“Terus gimana, Mbak? Benar-benar sudah tidak bisa diusahakan? Aduuh, padahal kami sudah di sini sejak jam 6 pagi. Sayang banget.” Aku mencoba bertanya lagi pada CS yang malah ikut mendengarkan pembicaraan kami dengan perempuan muda tadi.
“Lhah, sudah sepagi itu datang kenapa tidak check in?”
“Teman saya ambil uang dulu ke ATM” jawab Miss Lisfah yang bagiku tidak hanya karena itu. Mungkin itu jawaban elegannya. Tidak mungkin kan aku di depan mesin ATM sampai 2 jam?
“O, kalau begitu kan seharusnya bisa check in dulu baru keluar lagi.” Saran CS yang sebenarnya sudah hampir kulakukan
“Mbak pulang nanti mau naik apa?” sambil CS bertanya aku mulai mencari tiket-tiket promo. Aku sudah benar-benar bingung. Jika dibatalkan rasanya konyol sekali, jika beli tiket baru rasanya sayang sekali. Miss Lisfah menyebutkan nama maskapai yang sama.
“Bisa pinjam tiketnya?”
“Belum saya print. Masih di teman saya. Teman saya agen.”
“Harusnya sudah diprint, Mbak, karena itu nanti bisa ditanyakan di imigrasi Singapura. Di sana kan penjagaannya ketat. Setidaknya juga bawa uang cukup selama di sana. Bisa jadi itu nanti juga ditanyakan. Coba saya pinjam KTP nya.”
Miss Lisfah memberikan KTP nya dan aku masih mencari-cari tiket murah. Miss Lisfah menelpon seseorang yang dari percakapannya sepertinya menelpon temannya yang sedari tadi dimaksud dalam pembicaraan dengan CS.
“Oh ya, Mbak. Ini sudah dipesan.” Kata CS yang menemukan pemesanan tiketnya lalu apa lagi yang dibahas aku hanya focus pada pencarian tiket baru.
“Miss, ini gimana kalau pakai promo ini?”
“Sudah, Mbak. Nggak usah, nanti langsung check in saja yang jam 11 tidak perlu bayar lagi.” Kata CS sambil utak-atik computer.
Apa?! Jadi begitu saja sebenarnya? Memastikan kalau kami beli tiket pulang dengan maskapai yang sama atau jika tidak berarti kami harus beli tiket baru. Maskapai cari-cari untung. Antara kesal dan lega. Lalu perempuan muda tadi? Hhhh… entahlah dia sudah keluar dari ruang. CS lalu memroses pemesanan tiket. Kami berdua keluar ruang untuk cari udara segar.

“Seharusnya kita sadar bahwa mulai dari sini aturan internasional sudah berlaku. Dunia intenasional pasti membutuhkan kedisiplinan. Jangan samakan dengan waktu kita naik angkot. Kita sudah di dalam saja masih ngetem lama cari penumpang. Jadi kita harus merubah sikap.” Aku berusaha mengambil pelajaran atas insiden konyol itu.

Setelah tarik nafas sebentar, proses pemesanan selesai. Kami langsung check in jam 10.30. “Jangan terlambat lagi ya, Mbak.” Pesan petugas check in. Nyatanya malah maskapai ini yang delay 15 menit. Benar sekali penilaianku. Tidak malu tadi meninggalkan kami dan berpesan agar tidak terlambat lagi?

Meski belum sampai tujuan perasaan yang benar-benar lega adalah saat sudah duduk di kursi pesawat. Ok, I’m here now. What’s next? Praying then sleeping.


Bersambung…