Selasa, 11 April 2017

Guru Backpacking ke Singapura (3): Lebih dari Sekedar Mengenal Perbedaan

Adzan Subuh terdengar merdu dari Masjid Sultan. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Bisa dikatakan hari yang paling penting dari dua hari sebelumnya karena kami akan bertemu guru-guru yang akan menceritakan tentang pengalamannya mengajar dan pendidikan di Singapura. Mrs Aisya berjanji akan membawa dua temannya, satu guru umum Miss Samemah dan satu guru untuk siswa berkebutuhan khusus. Kemarin aku sudah berkomunikasi dengan Miss Samemah dan beliau bisa menemui kami setelah zuhur. Tempat pertemuan belum dibicarakan, tetapi yang jelas sebelum zuhur aku sudah harus berada di wifi area untuk memastikan tempat pertemuan.
 
Pagi ini saat sarapan kami bertemu dengan penginap asal Kalimantan, asli suku Dayak. Jangan bayangkan dia pakai pakaian tradisional dengan hiasan bulu-bulu Rangkong dan bersikap pelosok. Penampilan dan sikapnya sudah persis seperti orang kota. “Saya dan orang tua saya Muslim.” Katanya menegaskan bahwa keluarganya sudah tidak seperti kebanyakan orang Dayak pelosok yang masih memegang kepercayaan adat. Bahkan dia bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Wow, aku membayangkan anak-anak pelosok Papua akan seperti itu. Dia tertarik ke satu-satunya kampung yang tersisa di Singapura, Kampong Lorong Buangkok. Kataya siapa tahu nemu saudara senenek moyang di sana. Sebenarnya aku juga ingin ke sana, tapi aku tak yakin bisa sebentar kalau sudah mengobrol tentang adat kebiasaan dan sejarah dengan orang-orang kampung, sedangkan kami harus bertemu dengan guru-guru setelah zuhur. Kami lebih memilih tujuan yang dekat dengan hostel seperti Children Little Museum (CLM), Perpustakaan Nasional, dan membeli oleh-oleh.


Setelah puas mengobrol, kami sama-sama melanjutkan pergerakan sesuai yang direncanakan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin ke CLM karena tebakanku di sana berisi berbagai mainan anak kecil Singapura jaman dulu. Kalau dilihat dari foto-foto di internet, bangunannya hanya kecil di depan hostel kami. Ingat, sepanjang Bussorah St semua bangunan berbentuk serupa dan sebangun, cuma beda cat dan pernak-pernik.  Melihat tampilan luarnya sepertinya dikelola oleh perorangan bukan pemerintah. 


Sama-sama museum, aku lebih ingin ke National Museum dari pada CLM karena National Museum pasti lebih lengkap dan lebih merepresentasikan sejarah Singapura. Sayangnya tiketnya mahal, 10$ atau hampir Rp 100rb. Padahal tiket masuk Museum Nasional Indonesia alias Museum Gajah cuma Rp 5.000,00 untuk WNI dan Rp 10.000,00 untuk WNA. Beberapa museum yang pernah kukunjungi malah lebih murah lagi. Murahnya… tiket museum di Indonesia. Itulah sebabnya aku suka ke museum selain sumber belajar harga tiketnya juga murah meriah. Seorang teman yang bekerja sebagai guru sejarah malah mengatakan dulu suka mengajak pacarnya ke museum karena selain murah, lokasinya sepi. Benar-benar sebuah satire. Barangkali sepinya pengunjung museum di Indonesia karena cara display koleksi yang belum menarik, jarang ada even-even di museum, motivasi masyarakat untuk belajar sejarah masih kurang, dan beberapa masyarakat yang masih suka menghubung-hubungkan benda sejarah dengan hal-hal mistis yang menakutkan sehingga takut datang ke museum. Sayang sekali.


Tiket CLM ini jauh lebih murah dari pada National Museum, 2$. Lantai bawah digunakan untuk menjual barang-barang antik dan berbagai mainan anak-anak jaman kuno. Sesuatu yang mengejutkanku adalah ada warna-warni kebaya dan jarik (kain batik panjang yang dipakai sebagai bawahan orang Jawa jaman dulu) dipajang di situ. Saat kutanyakan kepada mas-mas berbaju T-shirt dan bercelana jeans yang bertugas menjaga museum, katanya sejarah Bussorah St sangat berhubungan dengan orang Jawa, jadi pakaian itu adalah salah satu budaya setempat. Beberapa mainan yang dijual masih dimainkan anak-anak kampung Indonesia saat ini seperti kelereng, layang-layang, bahkan kapal-kapalan seng warna-warni yang biasa dijual saat acara Sekaten di Solo.


Mainan Balon jaman saya SD

Perahu seng yang biasa di Sekaten Solo

Jarik is the textile of my country, my country, oh my country


Naik ke lantai dua kita langsung bisa melihat suasana jadul. Benar sekali tebakanku di awal soal Children Little Museum ini. Ini adalah museum yang memajang mainan anak-anak jaman dulu. Mungkin dimulai sekitar tahun ’50-an. Lucunya sebagian mainan jaman dulu itu juga dimainkan orang-orang Indonesia, menurut cerita versi orang tua dan eyangku tentang masa kecil mereka. Sebagian yang lain masih dimainkan anak-anak Indonesia saat ini, terutama di desa. Modernisasi habis-habisan negara Singapore membuat anak-anak meninggalkan mainan tradisional ke yang lebih hi-tech seperti permainan-permainan di smart phone. Museum ini hanya ada di lantai dua yang luasnya lebih sempit dari lapangan bulu tangkis dan selama berkunjung di museum ini pengunjungnya sangat padat sampai kami sulit bernafas, yaitu sebanyak dua orang. Aku dan Miss Lisfah.

Mainan kayu

Sepeda Roda Tiga & Kuda-kudaan Kuno

Pei Hsin Public School




Kunjunganku di CLM ini kuberi nilai 70




Tua-tua Rajin Membaca


Membaca. Ya, tujuan kunjungan berikutnya tak jauh-jauh dari kegiatan membaca dan buku. Mana lagi kalau bukan Universal Studio, maaf maksudnya National Library. Keluar dari CLM jam 11.28, kami berjalan kaki menuju ke Victoria St. Saat melewati Masjid Sultan terdengar dzikir dan sholawat yang tak terdengar di dua hari kemarin. Oya, aku baru ingat kalau hari ini adalah hari Jumat. Rasanya seperti di Indonesia. Aku jadi merasa seperti di sebuah kampung di Indonesia daripada di pusat wisata di Singapura. Suasana tradisional dan religius seperti ini jarang diceritakan orang-orang ketika di Singapura. Langit cerah membuat suasana semakin hangat dan bersemangat.


Rupanya ini jam istirahat untuk siswa-siswa madrasah. Aku melihat banyak sekali siswa-siswa berwajah melayu yang berjalan bersama ke arah barat daya Victoria St. Seragam mereka persis seperti siswa-siswa SMP swasta Islam di Indonesia kalau sedang pakai seragam OSIS. Bedanya mereka semua memakai peci. Betul-betul khas Melayu.
 
Ada yang Sadar Kamera

Sambil menunggu lampu hijau untuk pejalan, kami mengobrol sebentar dengan mereka. Mereka siswa dari madrasah  Al Junied Al-Islamiah di daerah Bugis. Sebagai pusat Islam, Bugis memang memiliki beberapa madrasah seperti Al Junied Al-Islamiah dan Al Sagoff Arab School dan di sebelah timur laut dari daerah bugis semakin banyak madrasah berdiri di sana. Jam belajar mereka di sekolah sama dengan jam sekolah di Jakarta. Bahasa pengantarnya pun bahasa melayu. Wajah mereka seperti tak jauh berbeda dengan orang Jawa atau Sunda. Jangan-jangan mereka ini cucu atau cicitnya para imigran Jawa ya? Mereka ramah sekali meski ada yang malu-malu. Mereka juga mau menunjukkan kepada kami letak National Library karena ternyata kami berjalan searah. “Cik, itu Library-nya.” Mengetahui aku adalah guru salah satu di antara mereka memanggilku “Cik” singkatan dari Cikgu. Tiba-tiba aku jadi ingat Ipin-Upin bersaudara.

Murid dan Cikgu

See You!


Kami berpisah dengan mereka karena mereka akan naik bus sebelum sampai di National Library. Meski begitu gedung perpustakaan ini sudah terlihat, jadi sangat bisa dipastikan kami tidak akan nyasar seperti kemarin. Gedung ini dari luar sudah terlihat modern dan prasangkaku tampilan dalamnya akan seperti luarnya. Kami tak perlu punya kartu perpustakaan untuk masuk dan membaca buku. Prasangkaku memang tepat. Perpustakaan ini seperti gedung-gedung lain di Singapura. Bersih, modern, dan memperhatikan masyarakat difable. Tetapi ada yang lebih menarik dari bangunannya itu sendiri, yaitu para pengunjungnya. Aku tak hanya melihat anak muda yang menikmati bacaan di perpustakaan nyaman ini, tetapi juga usia paruh baya, bahkan usia lanjut. Kebanyakan nenek-nenek dan kakek-kakek membaca koran on line atau cetak berbahasa mandarin. Uniknya aku juga melihat seorang biksu pria memakai baju biksu lengkap seperti dalam film shaolin. Dalam pikiran kita orang yang memakai pakaian seperti itu berada di sebuah kuil yang jauh dari pemukiman, bertapa, mempelajari kitab-kitab Budha, hidup sederhana dengan segala bentuk ketradisionalan, atau mungkin belajar kungfu seperti Boboho. Ternyata di sini mereka pun mau membaca dan berbaur dengan masyarakat umumnya yang berpakaian modern. Saat jam sibuk saja perpustakaan ini ramai, apalagi saat pulang sekolah atau kerja. Suasana yang berbeda dengan negara kita. Di Indonesia, aku sering melihat anak-anak sekolah atau kuliah berkunjung ke perpustakaan untuk sebuah tugas atau kadang mereka hanya butuh sinyal internet gratis untuk mengakses social media dan cari suasana adem buat tiduran. Payah sekali. Inilah yang membuat kemampuan literasi orang Indonesia masih rendah.




Ruang Khusus Anak
Selain itu ada satu hal yang juga membuatku tertarik, yaitu ruang baca anak yang luar biasa cocok untuk anak-anak. Benar-benar ruang yang cocok untuk tidur, maaf maksudnya membaca. Iseng-iseng aku mencari buku pendidikan Indonesia menggunakan komputer pencarian. Aku menemukan sebuah komik terbitan Indonesia yang berbahasa melayu tentang Ki Hajar Dewantara. Saking banyaknya buku di sini, aku kesulitan menemukannya. Aku bertanya pada seorang petugas di ruang baca anak karena aku pikir komik berada di situ. Petugas melayani dengan sangat baik, mau bolak-balik mencarikan di komputer dan di rak-rak buku. Ternyata buku itu tidak didisplay di ruang baca anak, tetapi di ruang umum jadi beliau menyarankaku untuk mencari di sana. Sayangnya, karena waktu hampir menunjukkan jam 1 siang, aku tak melanjutkan pencarian. Intinya aku tahu kondisi perpustakaan di Singapura yang membuatku nyaman kecuali 1 hal, toiletnya yang lagi-lagi tak ada air.




Kami bergegas kembali ke hostel karena khawatir Miss Samemah telah menunggu. Aku ingin menjaga muka Indonesia dari image buruk soal keterlambatan. Sampai di area kampung glam, terlebih dahulu aku ke depan hostel untuk mendapat informasi dari Miss Samemmah. Ternyata beliau baru bisa jam 3.45 karena masih ada rapat.


Perpustakaan ini kuberi nilai 79,5




"We are respect each other."



Masjid Sultan dari Arab St

Kami lalu ke Masjid Sultan dahulu untuk sholat Zuhur. Aku melihat pemandangan yang berbeda di lantai satu. Kali ini ada banyak pengunjung berambut pirang dan bermata sipit melihat-lihat masjid, ada yang mendengar penjelasan guide, ada yang membaca penjelasan tentang Islam di papan-papan informasi, ada juga yang berfoto. Sebelum aku terlalu lama terkesan dengan pemandangan ini, aku segerakan jalanku ke lantai dua untuk solat. Selesai solat aku ke lantai bawah untuk ngepoin keadaan yang terjadi. Sepertinya Jumat ini akan menjadi hari yang teristimewa selama aku di Singapura.

Masjid Menyediakan Kursi Bagi yang Sakit
Bussorah St dari Lantai 2 Masjid Sultan


Para pengunjung perempuan rata-rata memakai gamis hijau tua dengan aksen batik jawa dan kancing shanghai. Sedangkan pengunjung laki-laki memakai sarung yang dijahit seperti rok. Pasti untuk mempermudah pemakaian. Ini pasti kebijakan masjid agar pengunjung berpakaian sopan di dalam masjid. Selama dua hari kemarin memang aku tidak pernah solat zuhur di sini, jadi tidak pernah melihat ada pengunjung. Kalau hari-hari selain jumat kunjungran dibuka mulai jam 9.30-12.00 dan 14.00-16.00, sedangkan khusus hari Jumat jam 14.30-16.00.


 

Area Pengunjung

Awalnya aku sok melihat-lihat suasana Masjid (padahal sejak kemarin sudah solat di sini), lalu curi-curi dengar penjelasan guide yang berwajah melayu dan lebih mirip orang Jawa. Ternyata beliau menjelaskan dalam bahasa melayu. Selain beliau ada juga guide ber etnis Tionghoa dan berbahasa Mandarin, jadi beliau bukan tergetku untuk bertanya-tanya. Sebenarnya memang dari kemarin aku sudah cukup membaca tentang sejarah Masjid Sultan di sebuah meja display, tetapi untuk lebih jelasnya aku ingin ngepoin orang yang bisa diajak berkomunikasi dua arah. Seorang guide yang berbahasa melayu selesai memberi penjelasan kepada pengunjung. Ini kesempatanku untuk kepo. 


“You can speak Malay?” tanyaku
“Ya, saya juga bisa Bahasa Indonesia.” Jawabnya seperti sudah tahu betul model macam begini adalah orang Indonesia.
“Wah, dari mana tahu saya orang Indonesia?”
“Saya seringlah dapat kunjungan dari orang Indonesia jadi tahu logat dan wajah Indonesia.” Obrolan menjadi lebih akrab karena beliau juga bisa memakai bahasa Indonesia non formal.
“Awalnya saya tidak bisa, tapi saya belajar.”
Aku tertarik dengan aksen batik di gamis yang dipinjamkan masjid. 
“Kenapa ada batik di gamis itu?”
“Itu untuk menunjukan keragaman di tempat ini karena dulunya tempat ini banyak jamaah haji dari Jawa dan kancing itu kalau adek lihat pakai kancing model Cina.” Bahkan untuk sebuah gamis yang dipinjamkan mereka memperhatikan maknanya. Aku terkesan, tetapi ternyata tidak sampai di situ. “kalian aslinya orang mana?”

Kami menjelaskan lokasi spesifik asal kami. 
“Kalau kakek saya dulu aslinya juga orang Jawa, tepatnya di Salatiga. Katanya daripada dijajah Belanda mending ke sini jadi warga negara sini dan akhirnya meninggal di sini. Saya juga lahir dan tinggal di sini, meski dalam diri saya ada darah Indonesia.” Dengan kata lain meski sama-sama dijajah, kakeknya lebih memilih dijajah Inggris daripada Belanda.
“Jadi memang masjid ini dibuka untuk kunjungan yang non Muslim ya?”
“Iya di sini sering dikunjungi dek. Mereka datang ke sini mungkin tidak tahu Islam itu seperti apa jadi di sini mereka bisa lebih tahu tentang Islam.”
“Wow, saya jarang melihat ada masjid yang terbuka untuk pengunjung di Indonesia, padahal Indonesia punya banyak masjid-masjid tradisional dan bersejarah.” 
Aku kagum dengan kesiapan masjid ini untuk dikunjungi turis-turis mancanegara. Barangkali ini hasil dari penerapan ISO oleh masjid ini. Lucu juga melihat ada tulisan ISO di gerbang depan masjid. Biasanya kalau di Indonesia baru perusahaan-perusahaan besar yang menerapkan.


Melihat para pengunjung yang dengan seksama mendengar penjelasan guide dan berwajah sumringah saat berfoto dengan latar mimbar masjid, membuat masjid ini terkesan ramah untuk semua etnis dan agama. Aku membayangkan kalau semua masjid di Indonesia terutama masjid-masjid bernilai seni dan sejarah dapat dikunjungi turis seperti di Masjid Sultan. Hem…benar juga ya, ini bisa menjadi salah satu cara menyampaikan kebenaran Islam kepada mereka yang belum memahaminya.

“Kami di sini sudah biasa saling mengunjungi rumah ibadah. Saya punya teman biarawati. Saya pernah ke gerejanya dan dia juga baru saja ke sini membawa temannya yang juga biarawati. Kami berdiskusi bukan untuk mencari perbedaan, tetapi mencari persamaan di antara kami. Kalau mencari perbedaan kami akan terasa semakin jauh, tapi kalau mencari persamaan kami akan terasa semakin dekat. Singapura punya 10 agama resmi. Yang paling banyak itu Budha, trus yang lain ada Taoisme, Islam, Kristen, Hindu, Sikh, Yahudi, Jainisme, Zoroaster, dan Baha’i.”
“Negara sekecil ini punya 10 agama resmi?” selaku
“Iya. Pemerintah kami memang sekuler, tetapi membebaskan kami untuk beribadah. Sejak kecil saya sudah mengunjungi rumah-rumah ibadah.”
“Itu keinginan pribadi atau memang kegiatan sekolah?” lagi-lagi aku menyela saking antusias
“Ya kegiatan sekolah. Di masjid ini pernah ada seorang ibu yang minta izin mau berdoa untuk anaknya yang sudah sakit stadium atas, padahal beliau non Muslim. Ya kami izinkan.” Penjelasan ini membuat kami terbengong-bengong level dewa.

Cara mereka belajar bukan hanya melihat gambar rumah-rumah ibadah seperti sekolah di Indonesia, tetapi juga mengunjungi dan berteman dengan orang-orang yang berbeda agama. Aku jadi ingat betapa berdebarnya aku saat pertama kali memasuki gereja untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat kampung Kwoor, Papua. Sedangkan bagi mereka itu hal yang biasa saja. Aku jadi bisa merasakan perbedaan efek pendidikan kita dan mereka. Perbedaan, apalagi yang dilatari agama menjadi hal yang sangat sensitif dibahas di negara kita. Maka jika ingin memberikan opini di forum yang beragam latar belakang seringkali ada peringatan: Dilarang mengandung unsur SARA!

“Jadi orang-orang Singapura sudah memahami tentang toleransi ya?”
“Bahkan kami sudah respect each other. Kalau teman saya yang non Muslim tahu saya belum solat, dia akan mengingatkan.”
“SubhanaAllah, seandainya Indonesia juga begitu. Kami sering disebut-sebut punya bermacam-macam latar belakang budaya dan agama, tetapi kami masih sering enggan berteman dekat dengan orang yang berbeda agama bahkan sebagaian yang lain saling mencela dan memfitnah atas nama agama.” Inilah yang membuatku kagum dengan persatuan mereka.

“Ya, ya saya juga tahu itu. Bahkan sama-sama Islam saja bisa saling menyalahkan.” Komennya sambil geleng-geleng. “Sebagian dari diri saya juga Indonesia, jadi saya juga sedih soal begitu.” Lanjutnya.
“Saat ini di Jakarta sedang akan menghadapi pemilihan gubernur dan salah satu calonnya yang non Muslim dan dari etnis Tionghoa terlibat kasus penistaan agama. Yah…kami sedang menghadapi ketegangan soal perbedaan agama dan etnis di Jakarta.” Miss Lisfah meyinggung soal konflik di Jakarta.
“Adek sudah ke China Town? Kalau belum coba besok ke sana. Di sana ada Indian Tample dan Masjid yang terpasang tulisan selamat hari Imlek.”

Kami jadi dapat referensi kunjungan yang sangat menarik dan bikin penasaran. Puas mengobrol kami meminta nomor kontak beliau yang bisa dihubungi agar kami bisa melanjutkan obrolan yang menarik. “Rashid, nama saya. Kalau di Jawa Rosyid, kan?” baru di akhir obrolan beliau memperkenalkan namanya.


Seorang guide berwajah Cina dengan senang hati memfotokan kami bertiga. Beliau juga Muslim, bahkan bisa berbahasa Melayu. Saking ramahnya beliau malah mengajak kami berselfie dan akan meng-up load di fb-nya, padahal usianya sudah kakek-kakek. Mengetahui kami dari Indonesia, beliau malah semakin cerewet karena katanya pernah ke Jawa.


Waktu menunjukkan jam 4 sore. Waduh aku sudah terlambat 15 menit. Kalau aku terlambat aku akan sangat malu. Kakek ini susah sekali distop, jadi lebih baik aku pamit terlebih dahulu dan meminta Miss Lisfah melanjutkan obrolan. “Kalian Muhammadiyah atau NU? Saya tahu di Indonesia ada NU dan Muhammadiyah.” Waduh pertanyaan itu malah semakin membuatku cepat meninggalkan mereka berdua karena pembahasan soal keanggotaan ormas-ormas Islam juga menjadi isu yang sensitif di Indonesia.


Atas pelayanan dan pengalaman selama di Masjid Sultan, kuberi nilai 85 untuk masjid ini. Nilai tertinggi dari semua yang pernah kukunjungi.




Semua berawal dari pendidikan


Sampainya aku di hostel dibarengi dengan pesan What’s up dari Mrs Aisya yang mengatakan bahwa beliau di depan Sleepy Kiwi. Jika foto profil di fb adalah dirinya seharusnya aku tahu dia di sini. Tengak-tengok sebentar lalu melihat seorang ibu muda berjilbab pink menggandeng anak perempuan melewati hostel. Orang itu menengok ke arahku. Jangan-jangan…

“Mrs Aisya?” tanyaku
Yes..yes…” jawabnya sumringah

Wah senangnya bisa bertemu dengan orang yang selama ini hanya bertemu di fb. Kami duduk-duduk di depan hostel sambil menunggu Miss Sammemah dan satu guru berkebutuhan khusus. Tak berapa lama Miss Lisfah berjalan bersama guide Tionghoa tadi yang bernama Amin Teo. Aku menghampiri mereka.
 “Miss, Mrs Aisya sudah datang.” Dahi Uncle Amin ke arahku lalu ke arah Mrs Aisya.
“That’s your friend?” tanyanya
“Yes.”
“Ah, kalau yang ini saya juga kenal.” Jawabnya sambil senyum-senyum kepada Mrs Aisya yang juga ditanggapi dengan senyum Mrs Aisya.
“Wow, what a small world.” Respon Mrs Aisya

Aku tak menyangka ternyata Uncle Amin sudah kenal lama dengannya. Mungkin karena sama-sama mualaf Tionghoa dan di sini jumlahnya masih sedikit. Sambil menunggu Miss Samemmah, Uncle Amin bercerita panjang lebar tentang perjalanannya di Indonesia terutama di Jawa. Waktu itu beliau datang ke makam-makam Wali Songo dan beberapa makam kuno lain untuk mencari tahu siapa yang pada awalnya menjadi mualaf di Nusantara. Beliau bercerita sudah seperti guru sejarah bab persebaran Islam di Jawa ditambah dengan bumbu-bumbu mitos yang berhubungan dengan Wali Songo. Katanya dalam perjalanan itu suatu waktu beliau berdiri dan ketika mendengar Adzan seolah-olah tanah yang dipijaknya bergoyang seperti sedang naik kapal, padahal orang lain tak merasakan apa-apa. Pada saat itulah dia mulai bersyahadat. Perjalanan spiritual yang unik.


Beberapa saat kemudian seorang perempuan berjilbab dan berbaju biru berjalan ke arah kami. Aku tak menyangka ternyata Miss Samemmah ber-etnis India. Mengetahui kami ada janji untuk mengobrol, Uncle Amin berpamitan. Miss Samemmah langsung membuka pertanyaan cerita apa yang ingin aku tahu tentang pendidikan di sana. Tentu saja tentang guru, sekolah, dan kemajuan pendidikan Singapura. Beliau memulai bahwa semua guru di Singapura berkuliah di National Institute of Education yang ada sistem magang di sekolah, semacam PPL di Indonesia. Saat akan menjadi guru pun mereka diseleksi langsung dari pemerintah pusat. Sekolah negeri dan swasta tidak berhak menyeleksi calon guru. Katanya ini dilakukan untuk menjaga kualitas. Dari sini sudah terlihat berbeda dengan sistem seleksi guru di Indonesia. Saat telah menjadi guru, mereka harus membuat lesson plan yang akan diperiksa kepala sekolah setiap pekan.

“Does the principal really did that?” tanyaku
“Yes. The principal will always does that. They will read it word by word and the teacher can’t copy paste by internet.”
“How if the teacher doesn’t make it?”
“Mereka dipanggilah ke kantor untuk diajak cakap-cakap, minum kopi. Tapi jangan senang karena mereka bisa kena pecat. It’s imposible if teacher enter the class and then begin the lesson without preparation.” Miss Samemmah menjelaskan suatu hal yang tegas dengan sedikit tertawa. Ideal sekali guru di sini.
“To be a teacher is very bussy. I usually wake up at 5 o’clock then sleep at 2 a.m. Everyday. If students get 4 times weekend, teachers just get 2 times because they have to make lesson tools or sometimes they have activity at school. Apa di negara kalian ada teacher exchange to abroad? Ini kalian berdua sedang mengikuti program atau urusan pribadi?”
“Em…jarang sekali. Kalaupun ada swasta yang mensupport biayanya.”
“Nah, kalau kami hal itu sering dilakukan. Saya pernah ke Surabaya dan melihat 3 sekolah di sana. Itu penting karena belajar itu tidak hanya dari buku, tetapi juga orang-orang yang lebih pandai dari kita. Jadi bagus kalau kalian mau belajar seperti ini.” Bahkan negara yang pendidikannya sebaik Singapura saja mau belajar dari Indonesia.



Sayangnya beliau buru-buru kembali ke sekolah untuk melanjutkan rapat tadi siang, jadi kami tidak bisa mengobrol sampai berjam-jam. Guru pendidikan khusus tidak bisa datang karena mendadak ada keperluan. Ada yang unik ketika Miss Lisfah minta foto bareng Miss Samemmah


“Ah, tadi kan sudah foto (foto sambil mengobrol) masak mau foto lagi? Yang tadi saja.” Katanya terlihat buru-buru. Dalam hatiku, coba beliau orang Indonesia pasti mau dengan senang hati (untuk tidak mengatakan berlebihan) berfoto, malah kalau bisa dengan berbagai gaya kalau perlu ada selfie nya sampai lupa pekerjaan setelahnya.


Selanjutnya kami mengobrol dengan Mrs Aisya yang juga sangat terbuka dan ramah. Beliau menjelaskan 3 ilmu utama yang harus dipelajari anak-anak Singapura, yaitu Matematika, Science, dan Teknologi. Ini difokuskan karena mereka tak memiliki sumber daya alam, ditambah lagi luas negara mereka sangat kecil. Beliau mengatakan negaranya sangat peduli pada pendidikan dan satu hal yang sangat penting adalah, “No corruption.”


“Selain harus pintar, kami juga harus bersatu karena negara kami hanya kecil. Kalau kami tidak bersatu kami akan mudah diserang negara luar. Kami juga harus sama-sama sukses. Kalau kamu sukses kamu harus angkat tangan temanmu agar bisa sesukses dirimu.” Kalimat ini juga kudengar saat di Patlight School. Sepertinya ini sudah menjadi prinsip bagi masyarakat Singapura


Selain berbagi tentang pendidikan, beliau juga bercerita tentang perjalanannya menjadi Muslim. Ini yang bikin aku penasaran selama ini. Berawal saat usianya 14 tahun memutuskan untuk meninggalkan agama lamanya, yaitu Taoisme. Tidak serta merta beliau memilih Islam karena beliau memulainya denga menjadi free thinker. Beliau membaca berbagai macam kitab, namun selalu saja ada yang kurang cocok dengan hati dan pemikirannya. 


“Pasti ada sebuah kekuatan besar yang mengatur jagad raya ini.” kenangnya

Hingga pada usianya yang ke 24 beliau mulai membaca terjemahan Quran. Katanya yang awalnya hanya “O…o….” saat membaca, pada akhirnya jadi “Oh…yes… yes…!”


Lagi-lagi beliau tidak serta-merta menjadi mualaf, tetapi beliau malah mencoba berpuasa Ramadhan selama sebulan penuh. Beliau menjalankan ibadah ala umat Muslim selama 2 tahun dan pada usia 26 beliau merasa lucu pada dirinya karena sudah 2 tahun beribadah tetapi belum menyatakan keIslamannya. Maka, dengan disaksikan keluarga, beliau bersyahadat di Masjid. Orang tuanya yang saat ini beragama Budha pun tidak menolaknya. Atas kebaikan keluarganya, beliau juga menghadiri saudaranya saat mulai mengikuti agama Kristen. Ini sesuai dengan penjelasan Bang Rashid, respect each other.


Saat ini beliau malah dipercaya ustadznya untuk mengajar Quran. Awalnya beliau merasa rendah diri karena mengajar orang-orang yang sudah Islam sejak lahir, tapi beliau berhasil mengalahkan rasa mindernya dengan keyakinan ilmu harus dibagikan. Awalnya beliau juga merasa minder karena banyak mata yang menatap aneh karena jilbab yang dikenakan. Ini pasti kontras sekali saat di ruang publik bersama sesama etnis, tetapi tidak berpakaian umumnya mereka. Hidayah memang bisa datang kepada siapapun. Menyenangkan sekali mendengar ceritanya. Sayang, beliau ditelfon suaminya untuk diminta pulang. Sebelum beliau pulang kami berikan oleh-oleh kain jarik untuknya dan menitip satu buah untuk Miss Samemmah.


Memang benar, Jumat ini terasa spesial buatku karena aku belajar banyak hari ini. Setelah mengobrol tentang keragamaan etnis di Masjid dengan Bang Rashid, aku dipertemukan dengan etnis-etnis mayoritas di Singapura. Miss Samemmah etnis India, Mrs Aisya dan Uncle Amin etnis Tionghoa, Aku dan Miss Lisfah orang Melayu. Bedanya kami dipersatukan oleh persaudaraan sesama Muslim. Alhamdulillah.


Akhirnya Bisa Bertemu Mrs Aisya dan Atiya



Aku sedang di Malioborokah?


Malamnya setelah hujan agak reda kami ke toko oleh-oleh di depan hostel. Harganya relatif murah. Sebuah gantungan kunci terbuat dari besi bisa didapat dengan harga 1$. Padahal waktu aku membeli gantungan kunci kayu di Papua, harga per bijinya Rp 15.000,00. Jadi kesimpulannya meski Singapura disebut memiliki harga barang yang mahal, kenyataannya di dalam negeri sendiri masih ada yang lebih mahal. 


Barang-barang khas selalu ada icon Merlion, kedua landscape sekitar Merlion. Selain harga yang lumayan murah, toko ini membuatku terbengong-bengong 100%. Baru kali ini aku berada di toko souvenir, tetapi yang dijual rata-rata malah bukan khas daerahnya. Bagaimana tidak, aku malah serasa di Malioboro daripada di Singapura. Jika Anda sudah pernah ke Malioboro, pasti tau barang-barang apa yang dijual. Pokoknya tidak jauh-jauh dari kerajinan batik dan pernak-pernik kerajinan tangan. Mereka tinggal mengemasnya dan ditambah tulisan “A Gift From Singapore”. Beberapa coklat yang dijual juga bukan produksi Singapura, tetapi Malaysa dan ada satu dari Indonesia. Sepertinya aku memang harus memaklumi keadaan Singapura yang tidak memiliki pabrik atau pengrajin tradisional. Kita harus banyak bersyukur, meski dari segi kemajuan teknologi kita tertinggal jauh, tetapi dari segi seni tradisional kitalah yang jauh meninggalkan mereka. Situasi ini benar-benar mendukungku untuk tidak belanja banyak, sesuai dengan niat awal. Hanya beberapa gantungan kunci dan sebuah pajangan rumah 45 ribuan. Murah kan?




Makan Malam terakhir di Rumah Makan Zam-zam, rumah makan kami tiga hari berturut-turut. hari terakhir kami kembali pesan Murtabak.

Bersama Uncle yang Ramah

***


Pagi ini kami berencana ke daerah China Town seperti yang disarankan Bang Rashid. Ini adalah hari terakhir kami di hostel yang menemukannya penuh dengan nyasar. Para mahasiswa Indonesia yang di kamar ini juga mau pulang hari ini. Mereka mau ke Universal Studio dahulu dan berniat membuat mie instan di dapur hostel untuk bekal makan siang. Wah, benar juga ya…


Sebelum check out aku sempat mengobrol sebentar dengan mbak-mbak receptionist hostel yang ramah dan sangat perhatian pada kebersihan hostel. Katanya baru tiga bulan lalu dia ke Medan dan dia senang menikmati keindahan alamnya. 


Catatan singkat untuk hostel ini:

1.      Lokasinya di daerah pusat Islam
2.     Free wifi yang super kencang, sarapan, AC di tiap kamar, 3 colokan listrik di tiap kasur, hair dryer, dapur dan perlengkapan sederhana, dan 2 buah komputer

3.   Kamar mandi+tiolet di lantai satu ada dua buah dipakai bersama-sama termasuk untuk laki-laki. Aku tidak tahu di lantai dua ada kamar mandi atau tidak
4.     Ada loker kecil yang diberikan tiap tamu untuk memasukkan barang-barang berharga yang tidak ingin dibawa saat jalan-jalan

5.      Tidak ada restoran di hostel, yang ada hanya coolbox dan camilan kering.
6.      Disediakan mesin cuci, tapi per pemakaian dikenakan biaya $8



Aku beri nilai 78 untuk hostel Sleepy Kiwi. Kenapa tidak sekalian dibulatkan jadi 80? Karena ongkos laundry nya mahal minta ampun, jadi lebih baik aku tidak mencuci. 



“Wishing All Chinese Friends A Happy Lunar New Year.”
 

Sampai di daerah China Town kami langsung disambut oleh suasana super Cina. Apalagi masih di suasana Imlek, jadi masih banyak lampion terpasang di sepanjang jalan. Di sini banyak menjual souvenir khas Cina yang harganya masih acceptable. Harga kartu pos malah lebih murah di sini dari pada di daerah Bussorah. Tempat ini sangat cocok buat orang yang ingin ke Cina tapi belum kesampaian atau ingin mengingat kembali suasana Cina kalau sudah pernah ke sana. Jangan khawatir pada makanan halal di sini karena biasanya makanan halal akan ada logo halal dari ulama Singapura, semacam MUI di Indonesia. 



Bekal Makan Irit Menuju Kuala Lumpur



 Dan… di ujung jalan ini aku melihatnya sendiri. 



Mereka punya aturan yang sama dengan Masjid Sultan untuk visitor, bedanya di sini kalau mau memfoto dan merekam pakai kamera harus bayar 8$. Hindu mereka seperti Hindu di India bukan Hindu di Bali. Suasana tiba-tiba seperti di India. Kupikir Hindu di Bali adalah hasil dari akulturasi dengan budaya setempat.


Puas melihat-lihat, kami ke Masjid yang kata Bang Rashid berdiri di daerah sini. Ternyata dekat dengan Tample tadi. Namanya Masjid Jamae. Mulai dibangun tahun tahun 1827. Aku melihat anak-anak sedang belajar membaca Quran. Mereka rata-rata berwajah India. Beberapa anak perempuan senyum-senyum saat melihatku memfoto mereka dari luar ruang. Kemudian satu di antara mereka mendekatiku. Kata anak perempuan yang namanya Marwa itu, sebenarnya aku tidak boleh memfoto. Baiklah, sepertinya masjid ini memang tidak terbuka untuk dikunjungi. Di dekat gerbang depan ada kran air minum dingin dan hangat. Tanpa pakai aba-aba kami langsung mengeluarkan botol kami dan mengisinya sampai penuh. Senangnya…



Marwa Belajar Quran Bersama Teman-temannya





Nyasar 4


Perjalanan selanjutnya kami memutuskan naik kereta dan disambung bus untuk sampai ke Johor Baru. Seperti biasa, Miss Lisfah yang membawa peta perjalanan. Dia mengingatkanku untuk turun di sebuah stasiun. Setelah turun dia baru sadar ternyata kami terlewat satu stasiun, jadi harus balik lagi. Lagi-lagi kasusnya sama. Turun di stasiun berikut dia bingung mau naik ke arah mana, apalagi aku. Kami bertanya ke petugas dan diberi petunjuk harus naik bus dari mana dan nomor berapa untuk sampai ke Johor Baru.  


Alhamdulillah kami menemukan busnya setelah putar-putar tak karuan. Sayangnya saking padatnya orang yang ingin ke JB, busnya penuh sekali. Kami berdiri setelah lelah mengelilingi China Town dan nyasar babak ke 4. Sampai di JB jam 2 siang. Suasana di luar terminal sangat berbeda dengan Singapura dan lebih mirip Jakarta. Banyak sopir dan kernet yang berseru-seru mengajak orang-orang yang keluar dari terminal untuk naik busnya, kondisi busnya pun banyak yang tua. Miss Lisfah bertanya kepada salah satu sopir bus dan ternyata bus kami baru akan daatng jam 4 sore. Jelas kami tidak mungkin menuggu karena pesawat kami dari bandara JB ke Kuala Lumpur juga berangkat jam 4 sore. Saking lelahnya, pikiran jadi agak kacau. Aku berusaha menghubungi temanku yang punya teman di JB dengan pulsa SMS terakhirku. Katanya waktu kami masih di Singapura barangkali temannya bisa menemaninya di JB. Rangkai kalimat seperlunya dan send! Aku dapat balasan, tapi dari operator. “Pulsa Anda tidak mencukupi.” Sial!

“Terus, kita gimana?” tanya Miss Lisfah
“Tarik nafas dulu.”

Atas dasar efisiensi waktu, kami putuskan naik Taxi sambil berharap semoga harganya tidak keterlaluan. Cara pesannya seperti pesan taxi bandara. Tinggal bilang saja ke petugas karcis di loket dan kami langsung diantar pakai taxi yang telah berjajar di depan terminal. Ongkosnya RM 30 atau sekitar hampir 75 ribu. Kami terima saja karena mengejar waktu dan tak tahu transportasi alternatif ke sana.


Entah karena lagu grup band Ungu yang keluar dari radio lokal atau karena kelelahan yang jelas setelah beberapa saat taxi berjalan mataku tertutup secara total. Miss Lisfah membangunkanku sekitar hampir jam 3.30. Ternyata perjalanan kami lama juga. Lagi-lagi di sini aku mendengar suara grup band Indonesia, Kotak, lewat speaker bandara. Aku juga melihat gambar orang yang sedang membatik pakai metode cap di dinding dekat ruang tunggu pesawat. Aku tidak mau cepat-cepat menuduh mereka mengklaim budaya Jawa karena toh ada juga batik Cina dan Arab di Solo. Bahkan hampir seluruh Indonesia sekarang menamai kain bermotif khas daerah mereka dengan batik. Asal ada sigernya dinamai batik Lampung, asal ada Cendrawasihnya dinamai batik Papua, sampai-sampai ada batik nusantara karena motifnya peta Indonesia. Padahal sebenarnya tiap daerah mempunyai kain khas masing-masing.


Jam 4 sore kami berangkat ke Kuala Lumpur memakai pesawat Malindo Air. Interior di dalamnya membuatku berpikir, “Ini kami salah masuk pesawatkah?” karena aku merasa terlalu bagus untuk kelas ekonomi seharga Rp 180 ribu. Pramugari-pramugari cantik yang melayani kami dengan baik menegaskan pertanyaanku bahwa kami tidak salah masuk. Ok, tidur part 2 dilanjutkan. 


Perjalanan udara hanya sejam. Sama jaraknya dengan Jakarta ke Solo. Bagian imigrasi di sini jauh lebih lengang daripada di Singapura.  kami melanjutan perjalanan naik KLIA Ekspress Seharga RM 55. Mahal amat ya…tapi sesuailah dengan kondisi kereta yang berjalan cepat dan interiornya masih baru. Tolong jangan bandingkan dengan KRL Jabodetabek. Karena kebanyakan yang naik bule, aku jadi berimajinasi nyasar ke dunia barat. 
 
Menunggu Kereta Tiba
Lagi Galau, Kek?


Sebenarnya kami tak tahu pasti harus turun di mana, tetapi saat kereta berhenti semua orang turun. Jadi kami berkesimpulan kami sudah sampai. Semoga saja tidak salah turun. Rupanya kami turun di sebuah stasiun yang super ramai dan kami disambut dengan pengamen yang menyanyikan lagu Noah. Terimakasih telah menyukai lagu-lagu kami :D Aku mengajak Miss Lisfah untuk makan es krim di sebuah food court terlebih dahulu untuk menceriakan suasana. RM 2.5 per es. 


Selesai makan es kami bertanya pada petugas cara untuk sampai ke stasiun Pasar Seni. Intinya kami harus beli sendiri pakai vending mechine ala stasiun Manggarai. Sayangnya di sini vending mechine banyak sekali dan tiap warna menunjukkan tujuan yang berbeda. Bertanya lagilah kami. Untung antrian vending mechine tidak panjang seperti Manggarai kalau weekend. Beda negara beda sistem. Kalau di Singapura naik kereta pakai kartu, kalau di Malaysia pesan “koin” lewat vending mechine. 





Nyasar 5


Suasana di sekitar Stasiun Pasar Seni benar-benar mirip dengan Jakarta. Kami harus mulai menyeberang pakai perasaan di sini, sama dengan di Jakarta. Berbeda dengan Singapura yang terdapat lampu merah untuk penyeberang dan semua pemakai jalan mematuhinya. Beberapa kali kami juga menemui gelandangan yang kumal atau terlihat sakit jiwa tidur di emperan toko, sama seperti di Jakarta. Waktu di Singapura aku tidak melihat ada pengemis, pengamen, atau orang gila. Aku hanya melihat 3 orang yang meski tujuannya meminta-minta, tapi setidaknya mereka menggelar dagangan tissue di trotoar. Itu pun mereka berpakaian bagus dan berbadan bersih. Seperti kata Mrs Aisya, semua orang harus dapat rumah di Singapura. Kalaupun menganggur, mereka akan ditampung di flat terlebih dahulu secara gratis sampai mereka dapat pekerjaan. Perfect!


Kata Miss Lisfah kami harus ke Jalan Tun HS Lee untuk sampai di Raizzys Guess House. Saat sudah menemukan jalan itu kami belok kiri, berjalan sampai ujung jalan tapi tidak ada satupun hostel atau hotel atau penginapan apapun. Suasana sepi dan gelap semakin meyakinkan kami sedang berjalan ke arah yang salah. Kami balik arah ke jalan semula dan seorang kakek ber-etnis Tionghoa malah menawarkan hostelnya. Saat kami tanya lokasi yang kami maksud dia hanya tahu lokasi jalan itu, tapi tidak tahu letak spesifiknya. Oke, I’m so tired dan aku mau istirahat sebentar di kursi plastik di luar hostel kakek tadi (karena memang kami juga diersilakan duduk dulu). Sebagai orang yang memesan hostel dan telah melihat lokasinya di peta, Miss Lisfah memintaku untuk duduk saja dan dia yang mencari. Terimakasih atas pengertiannya! Ini sebenarnya juga kesalahanku karena terlalu cuek dengan tujuan kami dan lokasi spesifiknya, sehingga kami tidak bisa saling bantu apalagi tanpa sinyal internet seperti ini. Tips menggembel no 7: sama seperti tips menggembel no 5. Silakan dibuka kembali halaman sebelumnya!


Lama menunggu sekitar 30 menit, dia datang. Ternyata kami tadi seharusnya belok kanan bukan kiri dan lokasinya di ujung jalan Tun HS Lee. Katanya agak jauh dari hostel kakek yang tertulis Daddy’s Home ini. Okelah, yang penting sudah ketemu. Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam. Meski hanya terisi sarapan roti di Singapura dan sebiji jajan pasar ala Singapura yang mirip Pastel, tapi yang aku inginkan hanyalah kasur.


Walaaa… ini dia Raizzy’s Guess House. Sebuah hostel yang dari luar lebih terlihat seperti ruko, tetapi di dalam ternyata cukup luas dan terlihat lebih banyak ruang daripada Sleepy Kiwi. Kami membayar masing-masing Rp 100 ribu untuk sebuah kamar pakai tempat tidur tingkat. Di dalam kamar hanya ada dua colokan listrik yang berlubang tiga dan aku mendapat teknik jitu untuk mecharge gadgetku. Sinyal wifi tak dapat diakses secara total dan ini benar-benar mendukungku untuk langsung tidur tanpa ba-bi-bu.


Pagi-pagi sekali setelah Subuh, aku mencoba bertanya ke receptionist soal wifi. Ternyata malam itu memang sedang gangguan. Receptionistnya orang Bangladesh. Benar kata kakek kemarin, daerah sini memang banyak orang Bangladesh. Dia seorang mahasiswa jurusan manajeman perhotelan. Dia bercerita banyak tentang konflik di negaranya hingga memaksanya hijrah ke Malaysa. Banyak kenalannya yang dipenjara karena membicarakan pemerintah. Dia juga menyesalkan pemerintahnya yang menolak menampung pengungsi Rohingya, padahal sama-sama Muslim. Saking kesalnya dia dengan negaranya dia sama sekali tak berniat untuk kembali ke sana. Seram sekali aku membayangkan andai itu terjadi denganku.




Nyasar 6


Setelah sarapan, kami langsung jalan ke Petronas naik kereta dari stasiun Pasar Seni. Kami pikir karena di Petronas tak butuh waktu lama dan tak ada jam buka dan tutup, jadi yang penting menggugurkan kewajiban foto ke icon Malaysia. Kata Miss Lisfah kami harus turun ke Stasiun KL Sentral.



1) Help! Saya Hilang di Malaysia! Hix3

2) Melihat Antrian Makan Gratis

3) Wajah Langsung Cerah

4) Segarnya Air Es Asam Gratis

5) Acara ini Disponsori Oleh... Yayasan Hindu Malaysia


Saat perjalanan ke stasiun, bertemu Yayasan Hindu Malaysia. Salah satu dari mereka langsung menyebut “Halal, halal.” Senangnya… bagi kami dapat makan gratis adalah kebahagiaan yang luar biasa. Kami membawanya untuk makan siang. Perjalanan dari ke Pasar Seni ke KL Sentral cuma 10 menit. Kami transit di sini untuk menuju ke stasiun Kuala Lumpur. Kereta datang setengah jam lagi. Lama sekali. Saat kereta datang banyak penumpang yang naik, jadi kami berdiri. Tetapi perjalanan kami tidak lama, aku keluar stasiun pertama saat Miss Lisfah menepuk bahuku. Saat turun aku merasa ada hal yang aneh. Pertama, stasiunnya sepi minta ampun bahkan hanya ada beberapa orang yang turun. Padahal sebuah tujuan wisata terkenal di dunia pasti stasiunnya ramai. Kedua, stasiunnya tidak bagus-bagus amat. Hampir sama dengan Stasiun Pasar Seni.


Kami berjalan sampai aku sadar sesuatu.

“Lhoh…bukannya yang di sebarang jalan itu stasiun tempat kita berangkat?” aku segera memeriksa posisi kami di peta jalur kereta di stasiun. Astaga……. Oke enough! Ini adalah nyasar terkonyol dalam perjalanan kami. Untuk apa kami membayar tiket kereta sedangkan kami bisa menyeberang lewat jembatan penyeberangan antar stasiun? Dan parahnya lagi, Petronas tidak di sekitar stasiun ini karena seharusnya kami ke stasiun Suria KLCC. Untungnya ada lokasi wisata yang lumayan terkenal juga di daerah sini, yaitu: Masjid Negara. Dengan demikian, foto di Petronas kami ganti jadwal jadi tujuan terakhir.
Konyolnya Kami


Masjid Negara itu Masjid yang dibuat oleh pemerintah, semacam Istiqlal. Warna catnya juga putih. Secara ukuran, Istiqlal jauh lebih besar. Secara kebersihan toilet dan tempat wudhu samalah dengan Istiqlal. Aku jadi menunda buang air kecil gara-gara kurang selera dengan toiletnya. Maklum, masih terbawa dengan kondisi toilet Masjid Sultan yang super bersih dan rapi. Bahkan ada satu toilet yang rusak bagian kotak penyimpan air di belakang dudukan toilet, sehingga air mengucur deras dari kotak itu. Air wudhu yang mengucur dari kran tidak deras. Ada tulisan yang menyatakan permintaan maaf atas kecilnya air kran yang disebabkan oleh rusaknya salah satu toilet. Aku cuma berpikir, kalau sudah tahu permasalahannya kenapa tidak segera ditangani?


Selesai sholat kami berkeliling Masjid. Terlihat beberapa ibu-ibu berjilbab dan bergamis sedang mengobrol di depan sebuah ruang. Meski sudah sering melihat ibu-ibu memakai jilbab dan gamis, ada yang menarik kami untuk menyapa mereka. Tidak lain karena mereka berwajah kaukasoid dan salah satunya berwajah Tionghoa. Ibu yang berwajah Tionghoa menanyai asal kami. Beliau lalu memperkenalkan satu per satu asal negara teman-temannya. Dirinya asli orang Malaysia dan bangga dengan identitas etnisnya, yang lain ada yang dari Australia, Inggris, dan Kanada. Mereka mualaf dan sebagian memilih menjadi warga negara Malaysia. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan latar belakang bangsa yang berbeda namun dipersatukan dalam sebagai satu umat. 



Ibu yang berwajah Tionghoa menanyai kami tentang kasus Ahok. Barangkali karena sesama Tionghoa beliau jadi tertarik mengikuti beritanya. Beliau menduga sebenarnya Ahok tidak bermaksud seperti itu dan semua ini terjadi karena faktor politik. “It’s about politic. Today is friend tomorrow is enemy.” Katanya sambil tersenyum sampai tak terlihat bola matanya. Beliau menawari kami makan siang di Masjid. Aku memang melihat meja yang ditata banyak makanan. Sepertinya mau ada acara. Seorang di antara mereka menegurnya karena bisa jadi kami ingin melanjutkan perjalanan sedangkan makanannya masih belum matang. Betul juga katanya, tapi dalam hatiku, “Yah… sayang sekali batal dapat makan gratis.”




Gagal menawari makan siang, beliau merekomendasikan ke Islamic Art Museum yang hanya di belakang Masjid. Rekomendasi yang sungguh menarik meski sebenarnya tak masuk daftar. Nyasar ke 6 tadi benar-benar mengubah tujuan. Sedangkan untuk kami, gagal dapat makan siang, kami dapat air putih dingin gratis dari galon Masjid. Alhamdulillah lah…dapat yang nyess untuk kerongkongan yang kekeringan.


Saat kami berfoto di luas Masjid kami bertemu dengan turis dari Jepang. Mereka bernama  Tsubasa dan Iwama. Sebenarnya mereka bukan turis-turis amat karena mereka telah sebulan di Malaysia untuk belajar Bahasa Inggris bersama teman-temannya. Saat tahu mereka seorang masinis Sinkansen, aku langsung exited. Membayangkannya mengemudikan kereta super canggih dan cepat, lalu mambandingkan dengan kereta Indonesia. Membandingkan KLIA Express Malaysia dengan KRL saja bikin minder apalagi dengan Sinkansen. Meski mereka berasal dari negara maju dan sedihnya pernah mengasai Indonesia, mereka sangat ramah dan menyenangkan.



Kami tinggal punya waktu sejam di Museum sampai jam 4 karena jam 4 maksimal check out untuk hostel itu. Museum ini dari luar sudah terlihat megah. Tiket masuknya RM 14. Sebenarya aku tak yakin sejam akan cukup untuk mengelilingi museum. Saat melihat-lihat miniatur masjid-masjid dunia, Quran-quran yang mulai dari bentuk dan hiasannya terlihat sangat menawan, belum lagi berbagai macam benda peninggalan kebudayaan Islam dari berbagai negara termasuk Indonesia, membuat kami totalitas terpana. Kalau saja Indonesia punya museum Islam Indonesia. Sampai kami tidak sadar waktu sudah menunjukkan jam 4 sore. Saking terkesannya dengan museum ini, Miss Lisfah ingin memperpanjang jalan-jalannya dan membatalkan kepulangannya.

Hiasan Dada Perempuan Persia (?)


“Kayaknya aku ingin belajar lebih banyak dari tempat ini. Gimana kalau kita menunda kepulangan?” tawarnya

“Lebih baik kita ke hostel dulu baru kita pikirkan.” Aku khawatir mempertimbangkan di tempat ini akan memakan waktu. Kalau dapat gratisan tiket pulang dan hostel aku oke saja, tapi menunda kepulangan untuk sebuah tujuan yang tidak terencana betul-betul khawatirnya malah akan terjadi pemborosan. Sedangkan yang sudah terancana saja bisa bertambah pengeluaran gara-gara nyasar apalagi yang tidak terencana.


Entah perasaanku saja atau memang dia begitu, sepertinya dia benar-benar tidak ingin cepat-cepat meninggalkan museum ini karena di saat seharusnya kami berlari, malah dia mengajak melihat-lihat ke ruang bermain anak dan mengajak berhenti untuk memakan nasi kotak. Tuhan… maafkan aku jika aku jadi kesal.


Sampai di hostel sudah hampir jam 5. Seorang perempuan paruh baya yang sedang menjaga meja receptionist mengingatkanku soal jam check out. Sepertinya dia pemilik hostel. Kami dapat charge RM 40 untuk keterlambatan satu jam dan menginapkan tas ransel di kamar. Benar-benar mu-ba-zir. Tidak ada kata lain.


Aku jelaskan alasan keterlambatan kami yang berawal dari nyasar 6. Dia tertawa-tawa mendengar kekonyolan kami dan menyarakan untuk mengambil barang-barang di kamar terlebih dahulu. Setelah beres, barulah kami dapat pencerahan. Dia memberikan kami sebuah peta jalur MRT yang ternyata dari Stasiun Pasar Seni hanya sekali jalan ke Suria KLCC. Kedua, kami diizinkan menitipkan tas di dekat meja receptionist jika ingin jalan-jalan lagi dan tanpa bayaran apapun. Ya ampun, tahu begitu mendingan tas kami dititipkan sejak awal kami pergi. Pantas saja banyak tas yang tergeletak di situ.


Pasar Seni di Malam Hari
Tanpa mengulur waktu kami segera menuju Pasar Seni yang hanya beberapa meter dari hostel. Pasar Seni ini situasi dan sistemnya seperti Malioboro, tapi mereka tak jual batik seperti di Singapura. Ratusan penjual menawarkan macam-macam souvenir dengan icon Malaysia, Petronas. Sebuah toko yang penjualnya berdarah Medan-Malaysia menjual souvenir dengan display rapi dan bervariasi. Sebuah gelas kecil yang tertempel lanscap Malaysia dijual dengan harga RM 25, kalau beli dua dia jual jadi RM 35. Aku tawar-tawar akhirnya jadi RM 22 dua buah atau sekitar Rp 23 ribu/buah.  Benda yang sama di Singapura seharga $2,9 atau sekitar Rp 26 ribu. Harga gantungan kuci di sini malah sedkit lebih mahal dari pada di Singapura. Awalnya kami pikir harga di dalam gedung Pasar Seni lebih murah dari pada di kios-kios luarnya, ternyata sama saja. Kalau tidak ditawar malah lebih mahal.


Senja tiba, kami bergegas ke Masjid Jamek. Salah satu masjid yang direkomendaikan temanku. Sedangkan menurut sumber internet, ini adalah Masjid tertua di Kuala Lumpur. Resmi dibuka pada tahun 1909. Lumayan agak jauh ternyata.  Masjidnya sedang dalam renovasi, jadi banyak material bangunan. Kami tak bisa berfoto dan melihat-lihat Masjid karena lampu dalam dan serambi langsung dimatikan setelah Sholat Isya. Aku jadi seperti numpang sholat di Masjid pada umumnya saja. Seorang jamaah perempuan berkulit putih, berbadan tinggi besar tersenyum dan mengucap “bye” padaku. Wuah, ramah sekali. Apa dia mualaf dari barat?


Saat kami keluar Masjid, perempuan tadi ternyata dengan seorang laki-laki yang sepertinya suaminya. Mereka menyapa kami dan minta ditunjukkan letak rumah makan halal khas Malaysia. Perempuan tadi juga bertanya lokasi tempat yang menjual pakaian muslim. Entahlah mengapa mereka langsung percaya pada kami, padahal kamipun seorang turis. Jangan-jangan mereka kira kami warga lokal. Mereka bercerita bahwa mereka tinggal di Prancis (pantas saja Bahasa Inggrisnya agak sengau dan tidak begitu lancer), tetapi mereka berdarah Maroko. Jadi mereka Muslim sejak lahir. Letak geografis Maroko dan Spanyol yang dekat membuat orang Maroko mirip Spanyol, begitu pula kebudayaannya. Tetapi, rata-rata masyarakat Maroko beragama Islam, sedangkan Spanyol mayoritas beragama Katolik setelah negara ini jatuh di tangan Ratu Isabela 1.


Kami mengantar ke Pasar Seni. Sayangnya sudah bubar. Berjalan beberapa meter, kami disarankan penduduk lokal ke rumah makan khas Malaysia di beberapa ratus meter ke arah utara Pasar Seni. Sebenarnya kami ingin memburu waktu untuk sampai ke Petronas karena khawatir sudah tidak ada kereta. Dalam hatiku semoga Allah masih memberi kami kesempatan demi menolong mereka mendapat makanan halal. Kami temukan lokasi rumah makannya. Kami ditawari makan, tapi sayang kami buru-buru ke Petronas. Gagal lagi dapat gratisan. Aku merasa di Malaysia banyak yang baik hati menawari kami makan gratis, beda dengan di Singapura yang tak ada satu pun orang yang tertarik nraktir. 


Jam 9.45 kami ke stasiun Pasar Seni menuju stasiun Suria KLCC.  Kali ini suasananya sangat meyakinkanku bahwa kami tidak nyasar. Jam 10. 15 kami sampai di stasiun tujuan. Aku langsung bertanya pada seorang petugas jam terakhir kereta beroperasi. Katanya khusus weekend jam 11 malam. Keluar dari stasiun, gedung tinggi menjulang berada tepat di sampingnya. Woaaaah…. Kepalaku sampai mendongak maksimal untuk melihat puncaknya. Lampu-lampu dari dalam gedung menyala terang membuatnya semakin terlihat megah di antara gelapnya malam. Ada untungnya juga aku nyasar tadi pagi. 
 
Thank's For Your Motivation!

Aku duduk sejenak di depan gedung raksasa ini. Mengingat kembali orang-orang dan bacaan-bacaan yang telah motivasiku untuk sampai di sini. Mulai dari pembuatan “kunci gerbang” yang bernama Paspor, perencanaan keberangkatan, sampai perjalanan yang penuh salah langkah dan aku tidak tahu akankah aku salah langkah lagi setelah ini? Aku telah belajar banyak selama lima hari. Sering aku membahas dengan Miss Lisfah tentang sesuatu yang kami lihat lalu  dibandingkan dengan Indonesia. Kadang muncul rasa kesal, kecewa, dan sedih jika Indonesia lebih buruk. Kadang kami menjadi sangat bangga dan bahagia dengan Indonesia kita yang keren. Banar juga kata Miss Lisfah sambil makan malam di Singapura, “Kita akan sulit melihat obyek yang terlalu dekat dengan kita, tapi jadi lebih mudah jika melihatnya dari jauh. Begitu juga saat kita di Indonesia. Barangkali kita sudah merasa hidup cukup, semua baik-baik saja, tapi setelah kita melihat dari negara yang lebih maju kita bisa menilai ternyata kita masih jauh tertinggal dan orang-orang yang bisa melihat dari jauh itu seharusnya lebih beruntung karena dia bisa membawa sesuatu saat kembali. Sama seperti saat  orang Eropa menemukan benua-benua baru yang memiliki banyak kekayaan. Mereka lantas membawa kekayaan itu untuk tanah Eropa.” 


Dalam hati kuberjanji membawa sesuatu itu untuk negeriku Indonesia. Wuih… betapa sayangnya aku dengan Indonesia. Melihat Petronas membuatku ingat Borobudur yang megah, bernilai sejarah, dan cita rasa seni yang tinggi. Sungguh sebenarnya kita memiliki bangunan yang sebenarnya lebih bernilai daripada bangunan perkantoran ini. "Jangan pernah putus asa mencintai Indonesia." kata Ibu Sri Mulyani.


Berfoto di depan Petronas ini kuberi nilai 78


Beberapa menit sebelum jam 11 kami balik ke hostel. Sampai di hostel kata receptionist sudah tidak ada transportasi umum ke bandara. Kami minta (dengan wajah memelas) tempat di ruang sarapan untuk tidur. Receptionist memberiku petunjuk halte yang digunakan bus untuk memawa penumpang ke bandara. Dekat, bisa jalan kaki ke sana.  Jam 4 aku membangunkan Miss Lisfah. Cuci muka sebentar lalu pamitan ke receptionist.

“I hope you will back to your country and build it.” Kataku pada pemuda Bangla ini
“Oh…no..no…” responnya sambil senyum dan geleng-geleng.

Hem... Baiklah.


Catatan untuk Raizzy’s Guess House:

1.      Free wifi tetapi kurang lancar
2.     Free kopi dan teh sepanjang waktu, roti tawar hanya diberikan saat sarapan, dan tidak ada buah seperti di Sleepy Kiwi
3.     Tamu mencuci sendiri piring dan gelas sarapan
4.      Kamar mandi lebih terang dan bersih daripada di Sleepy Kiwi
5.      Alas kaki ditempatkan di rak lantai bawah, jadi tempatnya bersih.
6.      Ada televisi di lantai bawah
7.      Jam 12 malam pintu hostel ditutup
8.      Lokasi strategis
Kayaknya Aku Kenal Mie Satu ini


Hostel ini kuberi nilai 76


Jam 4 pagi masih sangat dingin dan sepi, tetapi aku merasa aman. Terlihat beberapa orang sedang mengepak koran-koran. Kawasan Petailing terlihat temaram dengan lampion-lampion Imlek. Satu dua mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Kami disarankan receptionist dan temanku di Indonesia untuk menuju ke daerah pertigaan Pudu Raya. 


Aku tak menyangka di sepanjang jalan yang dipenuhi gelandangan tidur ini menjadi tempat bus menuju bandara. Aroma menyengat mirip di toilet umum merusak udara pagi yang masih segar. Sebuah halte yang agak gelap mulai terlihat dari jarak beberapa meter. Andai aku tak mendengar suara bapak-bapak yang  menawarkan tiket bus pada kami, aku tak tahu di halte itu ada petugas penjualan tiket bus bandara. Bapak itu duduk di balik sebuah meja kotak kecil dengan tumpukan tiket. Sepertinya dia sudah hafal potongan seperti kami ini akan pergi ke bandara. Harga tiketnya RM 12.


Beberapa bule berdatangan setelah kami, tapi aku tetap merasa tempat ini sunyi. Seorang ibu-ibu berpotongan rambut hampir gundul, berpakaian berantakan, berbadan agak kurus dengan tatapan mata kosong berjalan melintas di depanku. Aku khawatir dia orang mabuk atau orang gila yang bisa tiba-tiba menyerang. Twin Tower yang megah dengan gelandangan-gelandangan di Kuala Lumpur seperti parados yang mewarnai kota ini.


“Duar!” Kelengangan ini tiba-tiba terpecahkan dengan sebuah mobil sedan berkecepatan tinggi menabrak pembatas jalan beberapa meter dari tempatku duduk. Parah. Bannya sampai lepas. Semua orang diam menatap mobil itu beberapa saat, sampai kemudian beberapa laki-laki membantu menepikan mobil.

“Orang mabuk itu!” seru seorang laki-laki petugas tiket bus.



Nyasar 7


Jam 5 bus datang dan langsung berangkat. Jaraknya yang jauh membuatku bisa tidur sejenak. Aku terbangun saat Miss Lisfah menepuk tanganku. “Sudah sampai.” Katanya. Kami turun di KLIA 2. Bandara luas ini cukup membuat kami berolahraga pagi. Pokoknya ikuti rombongan orang-orang yang mau check in. Setelah naik lift, berjalan kaki, naik escalator, jalan kaki lagi, akhirnya kami sampai di ruang besar check in. Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: di manapun aku hanya melihat tulisan satu maskapai yang bukan pilihan kami. How come? Ah sudahlah, ikuti saja rombongan orang-orang tadi.


Sampailah kami di petugas pemeriksaan tiket sebelum di meja check in. Dia menanyakan dari mana dapat tiket itu. Miss Lisfah menjelaskan kami mengeprint langsung di stand maskapai di Soe-Ta.

“Oh, bukan, bukan di sini tempatnya. Maskapai ini di KLIA 1 bukan 2. Kakak harus keluar dari ruang ini.” Penjelasan petugas cantik itu sama sekali tak membuat hatiku tenang.
“Hah?!” reaksi kami berdua seketika ditambah dengan wajah bengong dan khawatir.

Ternyata ini bukanlah akhir dari petualangan nyasar kami. Sungguh menyedihkan. Suara azan Subuh di bandara sudah terdengar beberapa menit lalu, berarti matahari sudah hampir muncul. Sebuah jam di bandara menunjukan jam 6.10, padahal check in maksimal jam 6.30. Oh my God! Bisakah kalian membayangkan dua orang kurang tidur, belum makan dan minum sejak kemarin malam, membawa ransel berat, tak tahu harus naik apa ke KLIA 1, waktu limit, dan lagi-lagi belum mandi (plus sejak kemarin sore) mengejar waktu check in di sebuah bandara internasional super besar? Yang bisa kami lakukan adalah BERLARI. Anggap saja olahraga pagi dengan hati yang tidak tenang. Ya Allah, Tuhaaaaan…. Mengapa kejadian ini mirip saat kami berangkat?
 “Aku pikir kamu sudah tahu.” Kataku dengan nada kesal
“Kata temanku begitu.” Jawab Miss Lisfah yang sering membawa nama temannya saat aksi nyasar kami.

Merasa sudah berusaha tidak ketinggalan bus sejak semalam dan puas dengan jawaban yang sama, kekesalanku jadi memuncak. “Sudahlah, tidak usah selalu percaya dengan yang jauh! Kalau kita tak benar-benar tahu tanya saja orang di sini atau cari di internet. Aku sudah pernah mengalami seperti itu dan memang nggak selalu bisa.” Yah, aku memang pernah nyasar hampir sejam gara-gara mengandalkan komunikasi dengan teman lewat SMS, tetapi mengabaikan orang-orang di jalan.

“Bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan.” Jawabnya berusaha untuk tetap tenang di raut wajahnya yang terlihat kesal. Entah apa yang akan kulakukan seandainya kami ketinggalan pesawat pulang.
Kami kira kami harus naik kereta KLIA Ekspress yang mahal itu, ternyata kami hanya butuh naik KLIA Transit seharga RM 2. Okelah, soal ongkos tidak mahal, tapi akankah kami sampai di KLIA 1 dengan tepat waktu? Bayangan buruk sudah menghantui pikiranku di pagi ini.


Sampai di KLIA 1 kami kembali berlari menuju meja check in. Fine, di sini meja check in ada banyak sekali. Aku jadi bingung gara-gara pikiran tidak tenang. Apa kami sudah ditinggal? Aaah, kesal sekai! Miss Lisfah bertanya pada seorang petugas.

“Di sana.” Miss Lisfah menunjuk area check in di ujung, di tempat yang tadi sudah kami lewati.

Waktu menunjukkan pukul 6.35. Alhamdulillah usaha kami yang membuat jantung berdegup kencang dan nafas ngos-ngosan tidak sia-sia. Kami ikut berbaris bersama penumpang lain. Para petugas yang cantik dan ganteng dengan pembawaan yang tenang dan ramah berbanding terbalik dengan keadaanku. Yah, meski ahirnya kami tidak ketinggalan pesawat, tetapi aku tidak ingin menutup cerita dengan kekesalan dan keributan dengan teman perjalanan semacam ini.


Jam 7. 30 kami sudah di dalam pesawat. Banyak bangku kosong. Tak ada obrolan di antara kami karena kami lebih memilih untuk tidur. Menenangkan pikiran yang agak kacau dan mengistirahatkan badan yang patah-patah. Perjalanan menggembel kami berakhir untuk sesi ini. Semoga akhir yang kurang mengenakkan ini menjadi pelajaran buatku ke depan atau mungkin juga menjadi kekonyolan yang tak terlupakan sebagai langkah awal.

See you! I’m sorry. Baik-baik di jalan dan selamat istirahat!” ucapku pada Miss Lisfah sebagai kalimat perpisahan saat di Soe-Ta.

Akhirnya tibalah aku di negara sejuta cerita dan rasa. Aku seperti mendengar lantunan lagu haru yang selama ini menghipnotisku untuk pergi ke negeri orang,


“Walapun saya pergi jauh, tidakkan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai, engkau kuhargai.”





                                                                                        
                       

*Terimakasih sudah membaca cerita perjalanan pertama kami. Mohon maaf jika ada yang tersinggung dengan cara menulis atau muatan trilogi ceritanya. Saran yang membangun sangat dinanti. Hehe...


Solo di tengah rintik hujan, 11/4, 11.57 malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







Pengikut