Mendapat IPM di atas 80. Bagus,
bahkan lebih tinggi dari IPM rata-rata Malaysa. Tetapi untuk mendapatkan nilai
setinggi itu Jakarta harus mengorbankan banyak hal, termasuk siswa-siswanya.
Waktu luang berkumpul bersama keluarga, waktu bersantai dan meletakkan sejenak
buku pelajarannya, waktu untuk menghirup udara segar dan hangatnya mentari di
pagi hari, menikmati angin teduh saat hampir Maghrib, atau melihat sekumpulan
bintang-bintang yang membentuk rasi (saya hampir bisa memastikan mereka tak
bisa menikmati bintang karena selama setahun di Jakarta saya hanya bisa
menemukan jutaan bintang terjatuh di bumi Jakarta membentuk bintang-bintang
yang menempel di gedung-gedung tinggi), bahkan mereka tak memiliki waktu
sejenak untuk memikirkan makna hidup itu sendiri.
Mereka hanya tahu bahwa siklus
manusia adalah lahir-sekolah-kuliah-bekerja-mati. Jika tak mendapat nilai
tinggi di sekolah maka tak akan mendapat kuliah yang baik. Jika tak mendapat
kuliah yang baik mereka akan mendapat pekerjaan rendahan dan itu artinya gaji
mereka kecil. Saya sama sekali tidak menyalahkan siswa yang mendapatkan itu
semua, namun yang harus diperhatikan adalah orientasi mereka. Ketika siswa
mementingkan peningkatan nilai (score)
daripada nilai (value) pada diri
mereka, maka yang sering saya temui adalah siswa-siswa yang hanya menginginkan score tinggi namun mencari cara mudah
untuk mendapatkannya. Membuka internet melalui smartphone, membuka buku, bertanya soal pada kelas yang sudah
ulangan, bahkan celetukan halus kepada saya bahwa papanya TNI. Intinya adalah
kecurangan. Bagi mereka jika akhirnya mendapat score bagus mereka menganggap dirinya telah berhasil, padahal
sebenarnya dia sedang kehilangan value
dalam hidupnya.
Luar biasanya, di antara
mayoritas yang berusaha melakukan kecurangan ada sedikit siswa yang tetap teguh
mempertahankan prinsipnya untuk mengerjakan ulangan dengan kemampuannya sendiri
meski pada akhirnya score-nya tidak
memuaskan. Bagi kebanyakan orang mereka telah gagal, namun bagi saya mereka
telah mendapatkan value yang sangat
bernilai yaitu, Jujur dan Integritas. Jika mereka menambahkan value kerja keras dan spiritualitas maka
insyaAllah mereka akan mendapat score
yang bagus pula. Kalaupun pada akhirnya ada siswa yang sudah berusaha jujur,
kerja keras, dan berdoa tapi nilainya tetap di bawah standar minimum ya barangkali
mata pelajaran saya bukan keahliannya. Itu saja, simple.
Tentang Perekonomian
Berdasarkan sensus penduduk tahun
2015, provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.154.134 jiwa,
sedangkan Papua Barat yang jauh lebih luas dari DKI Jakarta hanya berjumah
868.819 jiwa. Artinya, jika dihitung secara matematis terdapat 15.292 jiwa/ km2
di DKI Jakarta, sedangkan di Papua Barat hanya terdapat 9 jiwa/km2.
Papua Barat menempati provinsi paling sepi kedua setelah Kalimantan Utara,
sedangkan Jakarta menjadi provinsi terpadat se-Indonesia. Informasi lebih
lengkap dapat mengunduh di laman: https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4350
Menjadi ibu kota negara pantaslah
jika Jakarta menjadi magnet bagi ribuan masyarakat dari provinsi lain untuk
mencari kepingan rupiah dan menimba ilmu. Dari Presiden hingga pengamen sangar
ada di Jakarta. Harapan mendapat pekerjaan dengan pendapatan layak selalu
berada di benak para pendatang. Keadaan inilah
yang mempengaruhi perekonomian masyarakat. Penduduk yang jumlahnya super banyak
menimbulkan efek domino bagi keadaan sosial sehingga pada akhirnya terciptalah
pekerjaan-pekerjaan unik yang jarang ditemukan di daerah lain, misalnya satpam
yang membantu menyebrangkan jalan bagi pengunjung sebuah Mall. Sepertinya biasa saja, tapi lucunya jalan di
daerah tersebut tidak ramai bahkan sudah terdapat lampu bagi penyeberang. Masih
di mall yang sama, sewaktu saya memasuki lift saya langsung ditanya oleh
mas-mas tinggi berbaju krem, “Mau ke lantai berapa?” dengan santai saya
menjawab sesuai dengan tujuan saya. Lalu dengan cepat mas-mas tadi memencet
tombol tujuan saya. Saya pikir biasa saja ada orang yang menyapa demikian, tapi
ternyata ketika saya ingin turun ke lantai dasar saya disapa mas-mas lain
dengan penampilan dan pertanyaan sama. Lalu sambil mengoreksi penggunaan sarung
tangannya, dia memencet tombol yang saya tuju. Olala…ternyata memang
mas-mas tinggi dan good looking itu bekerja sebagai pemencet tombol lift. Dalam hati
saya, ya Allah…ada ya pekerjaan macam begini? Dilayani sekali pengunjungnya
sampai-sampai termasuk hal yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri. Sambil
melirik ke masnya saya bertanya-tanya, kenapa nggak jadi model aja sih mas? Di
Papua, jangankan menjadi satpam penyeberang jalan dan pemencet tombol lift,
mall saja tidak ada.
Salah satu mall termewah di daerah Bintaro |
Satu-satunya pasar di ibu kota kabupaten Tambrauw |
Pengalaman lain adalah saat saya
mengunjungi sebuah gedung bioskop terbesar dan tertua di Jakarta, Metropole. Disebut tertua karena telah berdiri sejak tahun 1932 dengan fungsi yang sama. Gedung bioskop ini tidak
berada di sebuah mall, namun gedung ini memang hanya untuk nonton film
dilengkapi dengan berbagai macam foodcourt
yang high class. Saat memasuki gedungnya terlihat dekorasi
ruang Art Deco yang elegan. Gaya berseragam dan berpenampilan pelayannya pun turut
mengimbangi. Dua pelayanan di bagian pemesanan tiket, satu satpam di dalam
ruang utama. Ya, masih seperti yang lain.
Metrople saat malam |
Sesuatu yang menarik bagi saya adalah
ketika saya ingin ke toilet. Terlihat antrian mengular dari toilet terluar
hingga hampir mendekati pintu keluar ruang toilet. Seolah-olah ada garis merah di lantai yang
membatasi deretan toilet dengan bagian wastafel, lalu ada tulisan Jangan Lewati
Garis Sebelum Pengguna Toilet Keluar. Untung saya langsung paham situasi tidak
asal nongkrong di depan pintu mana saja yang sekiranya akan segera terbuka.
Bisa-bisa saya diomeli pengantri yang rata-rata berpenampilan kelas atas.
Ternyata aturan penggunaan toilet kelas atas berbeda dengan kelas
rata-rata.
Sambil mendapat giliran melewati
garis khayal itu, saya memperhatikan seorang perempuan yang tak terlalu muda
berdiri dengan tak begitu tegak di ujung ruang toilet. Punggungnya tersandar
pada tembok di antara dua baris toilet. Make
up tebalnya seperti ingin menampilkan standar berada di gedung high class, meski hanya di toilet.
Sayangnya, make up nya tak mampu
menipu wajah lelahnya sebagai penjaga toilet. Lagi-lagi, ada ya pekerjaan
semacam itu? Mungkin Anda akan mengira dia menjaga kotak recehan dua ribu, padahal tidak karena di mall mewah dan juga bioskop ini tidak ada tarif untuk buang air. Lalu kira-kira bagaimana isi
job description-nya? Jangankan di Tambrauw, di Kota Sorong pun belum ada
bioskop.
Tingginya demand terhadap tenaga kerja di Jakarta berbanding lurus dengan
tingkat supply-nya. Artinya, karena
kebutuhan pelayanan terhadap berbagai lapisan masyarakat yang tinggi muncullah
pekerjaan-pekerjaan unik yang tidak ditemui di darah-daerah lain. Lahirlah
buruh kelas atas seperti di mall dan gedung bioskop yang pernah saya kunjungi.
Sebenarnya di Papua juga memiliki
banyak lapangan pekerjaan. Kalau di Jakarta karena banyaknya penduduk, kalau di
Papua karena sepinya penduduk. Saking sepinya, banyak lapangan pekerjaan yang
tidak tergarap. Kalau di Jakarta, orang harus kreatif membuat lapangan
pekerjaan biar tidak kalah saingan, kalau di Papua lapangan pekerjaan tingkat
dasar pun tidak ada yang mengerjakan. Misalnya saja, di kampung saya hanya
terdapat tiga warung yang di antara ketiganya tidak selalu buka. Transaksi
perdagangan hanya terjadi jika warung tersebut buka. Sudah itu saja, tidak ada
transaksi lain karena masyarakat hanya menjual sayurannya ke kota kabupaten,
Sausapor. Tidak ada biaya berobat di puskesmas dan tidak ada uang pendidikan
untuk bersekolah. Dengan kepadatan hanya 9 jiwa per km2 dan pembangunan infrastruktur yang masih
sangat kurang tentu membuat kegiatan perekonomian menjadi tidak lancar.
Perputaran uang menjadi sangat lambat.
Seandainya di kampung tersebut
dibangun jalan tembus yang layak di segala kabupaten, dibagun tower untuk pemancar
sinyal telepon dan internet, dibangun pembangkit listrik yang cukup, diadakan
transportasi umum yang sering berkeliling kampung, hingga dibangun pusat
perbelanjaan dan bioskop, pasti tenaga kerja-tenaga kerja baru akan bermunculan
dan siapa tahu akan ada pemencet tombol lift dan penjaga toilet di kabupaten
Tambrauw.
Secara keseluruhan ada banyak
perbedaan antara Jakarta dan Papua, meski masih terdapat satu hal yang sama
yaitu harga barang dan jasa yang sama-sama mahal. Jadi kalau ada orang Jakarta
terheran-heran dengan mahalnya biaya transportasi atau beras di Papua,
sepertinya mereka sedang lupa bahwa ongkos makan siang dan cicilan apartemen
mereka juga mahal.
Secara pribadi saya lebih memilih
hidup tenang di Papua. Menikmati keindahalan alam, keramahan masyarakatnya, dan
menemukan makna hidup. Meski demikian, sejengkel-jengkelnya saya terhadap
Jakarta yang ruwet saya kagum terhadap beberapa keadaannya, seperti banyaknya
komunitas yang peduli terhadap musibah kebakaran yang terjadi di perkampungan
kumuh sebelah UNJ. Kebetulan saya pernah
menjadi volunteer di komunitas yang membuat
sekolah non formal di kawasan tersebut, KOPAJA. Komunitas fans club kesebelasan, organisasi mahasiswa, pendongeng, lembaga
zakat, toko pakaian muslim, ibu-ibu pengajian, sampai komunitas yang tak
kupahami lagi bergerak di bidang apa, datang memberi bantuan cuma-cuma.
SubhanaAllah…indah sekali.
Kak Adib mendongeng di daerah kebakaran |
Kekaguman lain adalah ketika saya
naik bus kebanggaan Jakarta, yaitu Trans Jakarta. Sebagai pendatang yang tidak
punya transportasi pribadi, hampir setiap saya pergi saya selalu menggunakan
Trans Jakarta. Lagipula dengan menggunakan transportasi umum saya bisa menjadi
bagian dari penyelamat lingkungan dan saya merasa keren. Bagi saya Trans
Jakarta sangat peduli terharap perempuan karena di dalam bus ada tempat duduk
khusus perempuan yang berada di deretan depan. Bahkan ada bus Trans Jakarta
khusus perempuan yang dicat pink. Sesepi apapun busnya tapi kalau yang ingin
masuk laki-laki tidak diperbolehkan. Ini diberlakukan untuk menghindari pelecehan
terhadap perempuan.
Selain itu jika terdapat
perempuan hamil, anak-anak, orang lanjut usia atau difabel, biasanya kernet
akan mengingatkan penumpang lain, “Tolong ya bangku prioritasnya.” Ditambah
lagi kalau sedang ada penumpang masuk kernet akan langsung berkata, “Yang depan
untuk perempuan, yang belakang untuk laki-laki.” Mendengar pengingatan yang
berulang setiap naik Trans Jakarta, membuat penumpang hafal dan Alhamdulillah
sadar dengan sendirinya sehingga kadang tanpa diingatkan laki-laki akan duduk
di belakang dan para pemuda meski penampilannya terkesan cuek dan gaul
memberikan kursinya kepada yang lebih membutuhkan. Inilah yang sering saya
kesalkan saat di kota-kota lain di mana laki-laki dan pemuda tidak peduli pada
orang yang lebih membutuhkan kursi. Uniknya, di kota yang disebut-sebut banyak
orang indivudualis ini ternyata malah saya menemukan kepedulian di dalam
transportasi umum. Great!
Di Trans Jakarta |
Perempuan muda ini memberikan kursinya pada ibu di kiri foto |
Itulah pandangan saya mengenai
Jakarta dan Papua. Dua tempat yang sama-sama di Negara Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar