“Sekarang aku kembali bermimpi
dalam jangkar yang lebih jauh dan luas.”
Tulisku di blog pada bulan Oktober saat baru saja selesai membuat
paspor. “Kamu jadinya kapan ke luar negeri?” tanya beberapa teman yang
mengetahui soal pembuatan paspor. Beberapa bertanya-tanya mengapa aku
melakukannya, beberapa seperti mengucapkan “Wow!”. “Setelah membaca tulisanmu,
aku yakin banget…paspor kamu bakal segera terpakai…entah bagaimana caranya.”
Komentar seorang teman yang berhasil membuatku terharu sekaligus optimis. Lalu
kubuka tulisan pada buku catatanku saat awal tiba di Papua. “Bikin paspor buat
ke:....” beserta daftar negara yang ingin kukunjungi.
Oke, jika dalam waktu dekat
berangkat. Aku harus membuat suatu alasan yang tidak hanya bisa kuterima namun
juga diterima keluarga terutama orang tua. Bagi keluarga besarku, pergi ke luar
negeri adalah suatu yang teramat istimewa. Tercatat dari yang pernah ke luar
negeri belum pernah ada yang pergi di usia muda plus memakai uang sendiri.
Terdengar terlalu pede. Yang kedua, mau ke mana?
Setelah memikirkan dua hal utama
itu, kuputuskan negeri singa, Singapura, sebagai negara pertama setelah
kudapatkan kunci gerbang yang bernama paspor. Setelah itu ke Malaysa. Sebenarnya
dua negara itu tidak masuk dalam daftar di buku catatan saat di Papua dan terlihat mainstream
sekali orang Indonesia ke Singapore lalu dilanjutkan ke Malaysia, tapi aku
punya dua alasan kuat mengapa aku harus ke sana. Pertama karena tabunganku yang
terkumpul hasil dari tak pernah menengok Tanah Abang dan toko online baru cukup untuk jarak sejauh
itu. Kedua aku tertarik dengan keberhasilan sistem pendidikan Singapura yang
dibicarakan banyak negara. Indonesia dan Singapura, bertetangga namun sangat berbeda.
Alhamdulillah aku memiliki teman fb orang Singapura (Mrs Aisya) yang mau
mencarikan guru sebagai “narasumber” yang akan menjawab rasa penasaranku. Kalau
Malaysa? Temanku punya kenalan dosen yang paham tentang pendidikan di Malaysa
dan akan dengan senang berbagi cerita.
Aku mengajak temanku (Miss
Lisfah) yang sejak September pernah merencanakan hal yang sama bahkan
merencanakan Oktober akan berangkat, namun pembicaraan tentang itu menguap
karena kami sama-sama sibuk. Mungkin inilah yang disebut dengan semesta mendukung.
Miss Lisfah kebetulan libur mengajar pada akhir Januari, tak lama setelah aku
wisuda dan aku mendapat lampu hijau dari keluarga yang awalnya aku agak tak
yakin. Yey!
Kami membagi tugas. Aku mencari
penginapan sedangkan dia mencari tiket pesawat dan tempat kunjungan. Karena
tujuan utama kami untuk “mencari tahu”, maka daftar tujuan kami hampir tak sama
dengan cerita kebanyakan orang jika ke sana. Museum, perpustakaan, sekolah, dan
saat hari ketiga kami akan bertemu dengan guru-guru Singapura yang bersedia
berbagi tentang pendidikan. Merlion dan Twin Tower jelas akan kami datangi
sekedar untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang turis. “Do you wanna go to Universal Studio?” tanya
Miss Lisfah waktu itu. “Em… yah kalau mau sekedar foto saja, tapi aku nggak
terlalu tertarik. Kalau ada pelosoknya Singapura seperti di Indonesia mungkin
akan aku datangi. But I’m not sure it has.
Hahaha…” setiap hari kami berusaha untuk bisa bertemu membicarakan rencana itu,
meski hujan dan badai mengguncang Jakarta.
Awalnya kami membidik Foot Prints
Hostel di Singapura karena lokasinya strategis dan mendapat banyak komentar
bagus dari pengunjungnya, namun harga per malam yang hampir Rp 200.000,00
membuatku searching hostel yang lebih
murah tapi minimal bersih dan strategis. Usahaku nongkrong di depan kamar
asrama untuk mendapat sinyal wifi dari pagi sampai pagi lagi membuahkan hasil
yang mengejutkan! Waktu menunjukkan hampir jam 2 pagi dan aku mendapatkan info
yang membahagiakan bagi orang yang akan menggembel di negara semahal Singapura.
Terbaca di layar tabku: Promo
Traveloka sampai Rp 150.000,00 untuk 8 hotel di Singapura. Periode pemesanan
hanya tiga hari. Aku menemukan Sleepy Kiwi Hostel menawarkan harga termurah
untuk kamar berisi 14 kasur, Rp 108.681,00 per malam sudah termasuk pajak,
wifi, dan break fast. Hanya saja kami
tidak dapat menarik uang pembayaran jika ingin membatalkan. Jika kugunakan kode
promo berarti bisa lebih murah lagi. Padahal waktu kucek harga per kasur di web
resminya seharga $18 atau sekitar Rp 162.000,00. Awalnya kami agak bingung
mengapa harga di web resmi malah lebih mahal daripada di aplikasi Traveloka.
Ternyata berdasarkan pendapat beberapa orang di blog mengatakan bahwa agen memang sering memberikan harga yang lebih
murah daripada aslinya. Oh, namanya juga promosi.
Fix kami memilih Sleepy Kiwi karena sudah murah dapat promo lagi
ditambah lokasi di pusat muslim. Sehingga kami mudah mendapat Masjid dan
makanan Halal. Kami memesan untuk dua kasur tiga malam tipe female dormitory 14 beds sejak tanggal 1
Februari. Harga total yang awalnya Rp 625.087,00 dipotong menjadi Rp 586.813,00
atau sama dengan Rp 97.802,16 per orang per hari. “MasyaAllah murah banget.”
Komentar Miss Lisfah tidak percaya. Sebenarnya aku juga tidak percaya apa itu
sudah benar-benar dibooking-kan oleh Traveloka. Sehingga aku menanyakan hal
tersebut ke CS Traveloka hingga tiga kali melalui email dan alhamdulilah selalu
dijawab dengan cepat untuk meyakinkan bahwa beds
tersebut sudah dipesankan.
pemesanan melalui Traveloka |
Harga setelah dimasukkan kode promo |
Act As International Class,
Please!
Akhirnya sampai juga di tanggal 1
Februari. Aku berangkat dari rumah saudara di Srengseng Sawah ke Terminal
Rambutan pukul 4 pagi naik ojek online.
Perjalanan hampir sejam karena mampir dulu ke minimarket membeli roti dan susu
dan ke ATM. Aku sempat khawatir tidak ada ojek sepagi itu. Sampai di Terminal
Kampung Rambutan pukul 5 pagi dan Bus Damri yang akan kuaiki masih berisi
beberapa penumpang. Aku berharap tidak menuggu lama karena khawatir akan tiba
mepet dengan jadwal pesawat berangkat, pukul 8.20.
Beruntung tak lama menunggu, bus
berjalan karena penumpang hampir memenuhi bus. Rp 40.000,00 kukeluarkan untuk
ongkos ke Soekarno-Hatta. Lalu lintas yang masih sepi semakin menguntungkan
perjalanan karena kalau sudah detik-detik jam sibuk bisa macet berjam-jam.
Awalnya aku berharap bisa melanjutkan tidur di bus, tetapi ibu-ibu yang duduk
di sebelahku banyak bercerita tentang kampung halamannya di Belitung yang cukup
menarik sehingga aku jadi tertarik untuk menanggapi.
Tepat pukul 6 aku sampai di
Soekarno-Hatta. Apa kamu bisa membayangkan orang yang belum mandi pagi, belum
sarapan, dan kurang tidur berada di bandara internasional untuk mengawali
perjalanan pertamanya ke luar negeri? Itulah aku. Aku memang belum mandi pagi karena
khawatir masuk angin gara-gara kemarin malam kehujanan sehabis pulang dari
festival pendidikan di Jakarta Pusat dan aku pede sekali berangkat hanya dengan cuci muka, bedak
tipis, dan parfum secukupnya untuk memanipulasi keadaan. Tak lama kemudian Miss
Lisfah juga datang. Kami saling bertanya soal perjalanan sampai di bandara.
Ternyata mengobrol ringan sebelum sarapan itu membuat perut lapar semakin
lapar. Aku menawari roti sobek dan kacang kepada Miss Lisfah karena dia
sama-sama belum sarapan sudah begitu dia sama sekali tidak membawa bekal selain
sebotol air putih. Tips menggembel no 1: bawalah bekal secukupnya jika belum
sempat sarapan.
Setelah sepotong roti dan sekotak
susu tertelan, giliran mata yang mengeluh. Ternyata perut yang lumayan kenyang
ditambah kurang tidur itu membuat mata mengantuk semakin mengantuk. Apalagi Miss
Lisfah bercerita sama sekali tidak tidur semalam.
“Kita masuk ke ruang check in yuk.” Ajakku yang waktu itu jam dinding bandara menunjukkan pukul 6.30.
“Tidur sebentar ya..nanti jam 7.30 kita masuk. Kalau sudah masuk kita nggak bisa jalan-jalan ke luar.” Tolaknya sambil menyandarkan keningnya ke bagian atas carrier-nya. Oke, baiklah. Lagi pula 8.20 masih lama.
Tak butuh waktu lama untuk Miss
Lisfah teridur. Aku juga tidur tapi kadang terbangun dan melihat jam hingga aku
melihat sudah pukul 7.30 pagi.“Please,
sebentar lagi saja. Aku masih mengantuk, apalagi 8.20 masih lama.” kataku dalam hati. Akhirnya tepat pukul 7.45
aku terbangun dan membangunkan Miss Lisfah yang belum bangun. Ngulet-ngulet,
kucek-kucek mata dulu ditambah aku ke ATM lagi membuat kami masuk ruang check in pukul 7.55.
Sambil berjalan menggendong
ransel masing-masing dengan langkah lumayan cepat kami menuju meja check in. Semua terasa baik-baik saja
hingga kami tak melihat no pesawat kami tertera di papan check in maskapai.
“Hey, kayaknya ini sudah terlalu jauh. Sepertinya betul yang tadi, tapi kenapa tujuannya bukan ke Singapore, tapi Malaysa?” tanyaku pada Miss Lisfah.
“Sepertinya betul yang tadi. Coba kita tanyakan.” Sahutnya.
Setibanya di meja check in yang sepi, Miss Lisfah menunjukkan tiket yang sudah dicetaknya dari rumah. Petugas perempuan yang lumayan menor itu mengecek tiket dengan seksama lalu dalam tempo yang singkat mengatakan hal yang membuat dua orang yang kurang sarapan dan tidur ini seperti tersambar
petir.
“Mbak, ini sudah tidak bisa masuk.”
“Apaaaaah!?” seketika kami berdua bengong. Mataku membelalak.
“Tapi ini masih jam 8.” kataku setelah cukup tersadar dari kekagetan.
“Harusnya 45 menit sebelum take off sudah check in, Mbak. Ini semua penumpang sudah di dalam.”
“Terus gimana?” tanya Miss Lisfah
“Ke Customer Service nya aja. Di ujung serambi. Keluar dulu dari ruang check in.”
“Ayo kita keluar.” Ajak Miss Lisfah buru-buru.
Dan…di bandara seluas itu kami
harus berlari mengejar waktu yang sudah sangat dekat dengan 8.20. Petualangan
menggembel pun dimulai! Jam di hand phone menunjukkan pukul 8.05. “Ah,
apa yang kira-kira akan kami dapat kalau sudah bertemu CS? Apa masih bisa
menunggu dua orang ini untuk masuk badan pesawat sedangkan waktu semakin sempit?
Kenapa kami harus mengawali perjalanan dengan sesuatu yang tidak mengenakkan
begini?” pikirku dengan segala tanda tanya. Aku lelah sekali, tasku terasa
semakin berat, jantungku berdegup cepat. Adrenalin benar-benar lebih terpacu
dibandingkan naik roller coster. Tips
menggembel no 2: istirahatlah secukupnya sebelum melakukan perjalanan jarak
jauh agar badan dan pikiran fresh.
Untungnya Miss Lisfah dapat
berlari kencang meninggalkanku. Sepertinya sambaran petir kalimat tadi menjadi
energi baginya sehingga meskipun postur tubuhnya kecil dan carrier-nya berat
tidak melambatkan dirinya untuk berlari. Beberapa meter di depanku dia sudah
masuk ruang CS. Saat aku masuk dia sudah mengawali pembicaraan dengan petugas.
Aku berusaha menenangkan jantung dan nafasku setelah berlari. Sekarang berharap
agar ada jawaban yang semakin menenangkan.
Ada seorang perempuan muda
berpakaian stylish juga sedang
menghadap petugas, tetapi aku tidak tahu keperluannya. “Duduk dulu di sini.”
Katanya sambil memberikan kursinya untukku.
“Sudah nggak bisa, Mbak. Mbak pakai tiket promo ya? Kalau promo emang nggak bisa. Kalaupun mau masuk sekarang kena charge 90% dari harga asli. Kalau saya mendingan beli tiket baru. Kalau mau, ini ada yang jam 11 600 ribu atau yang jam 5 400 ribu.” Keterangan CS sama sekali tak membuat jantungku berdegup normal.
“Hah? Masak sudah tidak bisa? Perasaan dulu saya kalau naik pesawat 30 menit sebelum take off masih bisa masuk.” Aku menawar bernada tak percaya karena aku tahu maskapai ini juga sering delay.
“45 menit sebelum take off harus sudah check in, Mbak.”
Waduh aku tidak bisa mengelak
kalau itu alasannya karena aku tidak memegang tiket. Aku menyesal kenapa tidak
minta tiket online nya ke Miss Lisfah
sebelumnya agar aku bisa melihat detail informasi di tiket. Tips menggembel no
3: usahakan jika pergi bersama-sama semua penumpang memiliki tiketnya meski
satu orang yang memesan.
“Trus gimana?” tanya Miss Lisfah padaku
“Berapa harga tiket kita?” bahkan untuk soal ini aku tidak tahu pastinya.
“380.” Jawabnya semakin membuatku bingung memutuskan karena harga tiket selanjutnya beda jauh dengan yang kami miliki.
“So…stupid, ceroboh, mubazir sekali!” aku mengutuki diri sendiri karena harus mengahadapi keterlambatan hanya gara-gara ketiduran.
“Oh, kalian mau ke Singapore?” tanya perempuan muda itu di sela-sela kebingungan kami.“Iya.” Jawab kami serempak.
“Saya juga mau ke Singapore tapi lewat Batam. Are you a student or worker?”
“Cuma mau jalan-jalan.” Jawab Miss Lisfah singkat.
“Oh, mau menginap di mana?” tanyanya lagi
“Sleepy Kiwi.” Jawab Miss Lisfah lagi
“Oh, ya saya tahu itu Sleepy Kiwi. Hampir semua hostel di Singapura saya tahu karena saya sudah sering ke sana. Sebenarnya ada yang lebih murah lagi, harganya 85 ribu per malam.”
Entah benar atau tidak mengapa
aku merasa perempuan muda ini bersekongkol dengan maskapai dan mengalihkan pembicaraan kami dengan CS agar
jelas-jelas pesawat sudah tidak bisa diusahakan lagi untuk menunggu kami. Seharusnya
jika dia bersikap wajar tanpa pengecualian, dia tahu bahwa kami sedang
buru-buru dan mempertimbangkan tawaran CS yang berat bagi kami. Sudah begitu
anehnya CS diam saja melihat pembicaraan kami dipotong dengan
pertanyaan-pertanyaa yang tidak berhubungan dengan masalah. Bagiku ini aneh dan
harus disudahi.
“Terus gimana, Mbak? Benar-benar sudah tidak bisa diusahakan? Aduuh, padahal kami sudah di sini sejak jam 6 pagi. Sayang banget.” Aku mencoba bertanya lagi pada CS yang malah ikut mendengarkan pembicaraan kami dengan perempuan muda tadi.
“Lhah, sudah sepagi itu datang kenapa tidak check in?”
“Teman saya ambil uang dulu ke ATM” jawab Miss Lisfah yang bagiku tidak hanya karena itu. Mungkin itu jawaban elegannya. Tidak mungkin kan aku di depan mesin ATM sampai 2 jam?
“O, kalau begitu kan seharusnya bisa check in dulu baru keluar lagi.” Saran CS yang sebenarnya sudah hampir kulakukan
“Mbak pulang nanti mau naik apa?” sambil CS bertanya aku mulai mencari tiket-tiket promo. Aku sudah benar-benar bingung. Jika dibatalkan rasanya konyol sekali, jika beli tiket baru rasanya sayang sekali. Miss Lisfah menyebutkan nama maskapai yang sama.
“Bisa pinjam tiketnya?”
“Belum saya print. Masih di teman saya. Teman saya agen.”
“Harusnya sudah diprint, Mbak, karena itu nanti bisa ditanyakan di imigrasi Singapura. Di sana kan penjagaannya ketat. Setidaknya juga bawa uang cukup selama di sana. Bisa jadi itu nanti juga ditanyakan. Coba saya pinjam KTP nya.”
Miss Lisfah memberikan KTP nya
dan aku masih mencari-cari tiket murah. Miss Lisfah menelpon seseorang yang
dari percakapannya sepertinya menelpon temannya yang sedari tadi dimaksud dalam
pembicaraan dengan CS.
“Oh ya, Mbak. Ini sudah dipesan.” Kata CS yang menemukan pemesanan tiketnya lalu apa lagi yang dibahas aku hanya focus pada pencarian tiket baru.
“Miss, ini gimana kalau pakai promo ini?”
“Sudah, Mbak. Nggak usah, nanti langsung check in saja yang jam 11 tidak perlu bayar lagi.” Kata CS sambil utak-atik computer.
Apa?! Jadi begitu saja
sebenarnya? Memastikan kalau kami beli tiket pulang dengan maskapai yang sama atau
jika tidak berarti kami harus beli tiket baru. Maskapai cari-cari untung.
Antara kesal dan lega. Lalu perempuan muda tadi? Hhhh… entahlah dia sudah
keluar dari ruang. CS lalu memroses pemesanan tiket. Kami berdua keluar ruang
untuk cari udara segar.
“Seharusnya kita sadar bahwa mulai dari sini aturan internasional sudah berlaku. Dunia intenasional pasti membutuhkan kedisiplinan. Jangan samakan dengan waktu kita naik angkot. Kita sudah di dalam saja masih ngetem lama cari penumpang. Jadi kita harus merubah sikap.” Aku berusaha mengambil pelajaran atas insiden konyol itu.
Setelah tarik nafas sebentar,
proses pemesanan selesai. Kami langsung check
in jam 10.30. “Jangan terlambat lagi ya, Mbak.” Pesan petugas check in. Nyatanya malah maskapai ini
yang delay 15 menit. Benar sekali
penilaianku. Tidak malu tadi meninggalkan kami dan berpesan agar tidak
terlambat lagi?
Meski belum sampai tujuan
perasaan yang benar-benar lega adalah saat sudah duduk di kursi pesawat. Ok, I’m here now. What’s next? Praying then
sleeping.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar