Adzan Subuh terdengar merdu dari Masjid Sultan. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Bisa dikatakan
hari yang paling penting dari dua hari sebelumnya karena kami akan bertemu
guru-guru yang akan menceritakan tentang pengalamannya mengajar dan pendidikan
di Singapura. Mrs Aisya berjanji akan membawa dua temannya, satu guru umum Miss
Samemah dan satu guru untuk siswa berkebutuhan khusus. Kemarin aku sudah
berkomunikasi dengan Miss Samemah dan beliau bisa menemui kami setelah zuhur.
Tempat pertemuan belum dibicarakan, tetapi yang jelas sebelum zuhur aku sudah
harus berada di wifi area untuk memastikan tempat pertemuan.
Pagi ini saat sarapan kami bertemu dengan penginap asal
Kalimantan, asli suku Dayak. Jangan bayangkan dia pakai pakaian tradisional
dengan hiasan bulu-bulu Rangkong dan bersikap pelosok. Penampilan dan sikapnya
sudah persis seperti orang kota. “Saya dan orang tua saya Muslim.” Katanya
menegaskan bahwa keluarganya sudah tidak seperti kebanyakan orang Dayak pelosok
yang masih memegang kepercayaan adat. Bahkan dia bisa berbahasa Inggris dengan
lancar. Wow, aku membayangkan anak-anak pelosok Papua akan seperti itu. Dia
tertarik ke satu-satunya kampung yang tersisa di Singapura, Kampong Lorong
Buangkok. Kataya siapa tahu nemu saudara senenek moyang di sana. Sebenarnya aku
juga ingin ke sana, tapi aku tak yakin bisa sebentar kalau sudah mengobrol
tentang adat kebiasaan dan sejarah dengan orang-orang kampung, sedangkan kami
harus bertemu dengan guru-guru setelah zuhur. Kami lebih memilih tujuan yang
dekat dengan hostel seperti Children Little Museum (CLM), Perpustakaan
Nasional, dan membeli oleh-oleh.
Setelah puas mengobrol, kami sama-sama melanjutkan pergerakan
sesuai yang direncanakan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin ke CLM karena
tebakanku di sana berisi berbagai mainan anak kecil Singapura jaman dulu. Kalau
dilihat dari foto-foto di internet, bangunannya hanya kecil di depan hostel
kami. Ingat, sepanjang Bussorah St semua bangunan berbentuk serupa dan
sebangun, cuma beda cat dan pernak-pernik.
Melihat tampilan luarnya sepertinya dikelola oleh perorangan bukan
pemerintah.
Sama-sama museum, aku lebih ingin ke National Museum dari
pada CLM karena National Museum pasti lebih lengkap dan lebih merepresentasikan
sejarah Singapura. Sayangnya tiketnya mahal, 10$ atau hampir Rp 100rb. Padahal
tiket masuk Museum Nasional Indonesia alias Museum Gajah cuma Rp 5.000,00 untuk
WNI dan Rp 10.000,00 untuk WNA. Beberapa museum yang pernah kukunjungi malah
lebih murah lagi. Murahnya… tiket museum di Indonesia. Itulah sebabnya aku suka
ke museum selain sumber belajar harga tiketnya juga murah meriah. Seorang teman
yang bekerja sebagai guru sejarah malah mengatakan dulu suka mengajak pacarnya
ke museum karena selain murah, lokasinya sepi. Benar-benar sebuah satire.
Barangkali sepinya pengunjung museum di Indonesia karena cara display koleksi yang belum menarik,
jarang ada even-even di museum, motivasi masyarakat untuk belajar sejarah masih
kurang, dan beberapa masyarakat yang masih suka menghubung-hubungkan benda
sejarah dengan hal-hal mistis yang menakutkan sehingga takut datang ke museum.
Sayang sekali.
Tiket CLM ini jauh lebih murah dari pada National Museum, 2$.
Lantai bawah digunakan untuk menjual barang-barang antik dan berbagai mainan
anak-anak jaman kuno. Sesuatu yang mengejutkanku adalah ada warna-warni kebaya
dan jarik (kain batik panjang yang dipakai sebagai bawahan orang Jawa jaman dulu)
dipajang di situ. Saat kutanyakan kepada mas-mas berbaju T-shirt dan bercelana
jeans yang bertugas menjaga museum, katanya sejarah Bussorah St sangat
berhubungan dengan orang Jawa, jadi pakaian itu adalah salah satu budaya
setempat. Beberapa mainan yang dijual masih dimainkan anak-anak kampung
Indonesia saat ini seperti kelereng, layang-layang, bahkan kapal-kapalan seng
warna-warni yang biasa dijual saat acara Sekaten di Solo.
Mainan Balon jaman saya SD |
Perahu seng yang biasa di Sekaten Solo |
Jarik is the textile of my country, my country, oh my country |
Naik ke lantai dua kita langsung bisa melihat suasana jadul.
Benar sekali tebakanku di awal soal Children Little Museum ini. Ini adalah
museum yang memajang mainan anak-anak jaman dulu. Mungkin dimulai sekitar tahun
’50-an. Lucunya sebagian mainan jaman dulu itu juga dimainkan orang-orang
Indonesia, menurut cerita versi orang tua dan eyangku tentang masa kecil mereka.
Sebagian yang lain masih dimainkan anak-anak Indonesia saat ini, terutama di
desa. Modernisasi habis-habisan negara Singapore membuat anak-anak meninggalkan
mainan tradisional ke yang lebih hi-tech seperti
permainan-permainan di smart phone.
Museum ini hanya ada di lantai dua yang luasnya lebih sempit dari lapangan bulu
tangkis dan selama berkunjung di museum ini pengunjungnya sangat padat sampai
kami sulit bernafas, yaitu sebanyak dua orang. Aku dan Miss Lisfah.
Mainan kayu |
Sepeda Roda Tiga & Kuda-kudaan Kuno |
Pei Hsin Public School |
Kunjunganku di CLM ini kuberi nilai 70
Tua-tua Rajin Membaca
Membaca. Ya, tujuan kunjungan berikutnya tak jauh-jauh dari
kegiatan membaca dan buku. Mana lagi kalau bukan Universal Studio, maaf
maksudnya National Library. Keluar dari CLM jam 11.28, kami berjalan kaki menuju
ke Victoria St. Saat melewati Masjid Sultan terdengar dzikir dan sholawat yang
tak terdengar di dua hari kemarin. Oya, aku baru ingat kalau hari ini adalah
hari Jumat. Rasanya seperti di Indonesia. Aku jadi merasa seperti di sebuah
kampung di Indonesia daripada di pusat wisata di Singapura. Suasana tradisional
dan religius seperti ini jarang diceritakan orang-orang ketika di Singapura.
Langit cerah membuat suasana semakin hangat dan bersemangat.
Rupanya ini jam istirahat untuk siswa-siswa madrasah. Aku
melihat banyak sekali siswa-siswa berwajah melayu yang berjalan bersama ke arah
barat daya Victoria St. Seragam mereka persis seperti siswa-siswa SMP swasta
Islam di Indonesia kalau sedang pakai seragam OSIS. Bedanya mereka semua memakai
peci. Betul-betul khas Melayu.
Sambil menunggu lampu hijau untuk pejalan, kami mengobrol
sebentar dengan mereka. Mereka siswa dari madrasah Al Junied Al-Islamiah di daerah Bugis. Sebagai
pusat Islam, Bugis memang memiliki beberapa madrasah seperti Al Junied
Al-Islamiah dan Al Sagoff Arab School dan di sebelah timur laut dari daerah
bugis semakin banyak madrasah berdiri di sana. Jam belajar mereka di sekolah
sama dengan jam sekolah di Jakarta. Bahasa pengantarnya pun bahasa melayu.
Wajah mereka seperti tak jauh berbeda dengan orang Jawa atau Sunda.
Jangan-jangan mereka ini cucu atau cicitnya para imigran Jawa ya? Mereka ramah
sekali meski ada yang malu-malu. Mereka juga mau menunjukkan kepada kami letak
National Library karena ternyata kami berjalan searah. “Cik, itu Library-nya.”
Mengetahui aku adalah guru salah satu di antara mereka memanggilku “Cik”
singkatan dari Cikgu. Tiba-tiba aku jadi ingat Ipin-Upin bersaudara.
Murid dan Cikgu |
See You! |
Ruang Khusus Anak |
Selain itu ada satu hal yang juga membuatku tertarik, yaitu
ruang baca anak yang luar biasa cocok untuk anak-anak. Benar-benar ruang yang cocok untuk tidur, maaf maksudnya membaca. Iseng-iseng
aku mencari buku pendidikan Indonesia menggunakan komputer pencarian. Aku
menemukan sebuah komik terbitan Indonesia yang berbahasa melayu tentang Ki
Hajar Dewantara. Saking banyaknya buku di sini, aku kesulitan menemukannya. Aku
bertanya pada seorang petugas di ruang baca anak karena aku pikir komik berada
di situ. Petugas melayani dengan sangat baik, mau bolak-balik mencarikan di
komputer dan di rak-rak buku. Ternyata buku itu tidak didisplay di ruang baca
anak, tetapi di ruang umum jadi beliau menyarankaku untuk mencari di sana. Sayangnya,
karena waktu hampir menunjukkan jam 1 siang, aku tak melanjutkan pencarian.
Intinya aku tahu kondisi perpustakaan di Singapura yang membuatku nyaman
kecuali 1 hal, toiletnya yang lagi-lagi tak ada air.
Kami bergegas kembali ke hostel karena khawatir Miss Samemah
telah menunggu. Aku ingin menjaga muka Indonesia dari image buruk soal keterlambatan. Sampai di area kampung glam,
terlebih dahulu aku ke depan hostel untuk mendapat informasi dari Miss
Samemmah. Ternyata beliau baru bisa jam 3.45 karena masih ada rapat.
Perpustakaan ini kuberi nilai 79,5
"We are respect each other."
Masjid Sultan dari Arab St |
Kami lalu ke Masjid Sultan dahulu untuk sholat Zuhur. Aku
melihat pemandangan yang berbeda di lantai satu. Kali ini ada banyak pengunjung
berambut pirang dan bermata sipit melihat-lihat masjid, ada yang mendengar
penjelasan guide, ada yang membaca penjelasan tentang Islam di papan-papan
informasi, ada juga yang berfoto. Sebelum aku terlalu lama terkesan dengan
pemandangan ini, aku segerakan jalanku ke lantai dua untuk solat. Selesai solat
aku ke lantai bawah untuk ngepoin
keadaan yang terjadi. Sepertinya Jumat ini akan menjadi hari yang teristimewa
selama aku di Singapura.
Masjid Menyediakan Kursi Bagi yang Sakit |
Bussorah St dari Lantai 2 Masjid Sultan |
Para pengunjung perempuan rata-rata memakai gamis hijau tua
dengan aksen batik jawa dan kancing shanghai. Sedangkan pengunjung laki-laki
memakai sarung yang dijahit seperti rok. Pasti untuk mempermudah pemakaian. Ini
pasti kebijakan masjid agar pengunjung berpakaian sopan di dalam masjid. Selama
dua hari kemarin memang aku tidak pernah solat zuhur di sini, jadi tidak pernah
melihat ada pengunjung. Kalau hari-hari selain jumat kunjungran dibuka mulai
jam 9.30-12.00 dan 14.00-16.00, sedangkan khusus hari Jumat jam 14.30-16.00.
Area Pengunjung |
Awalnya aku sok melihat-lihat suasana Masjid (padahal sejak
kemarin sudah solat di sini), lalu curi-curi dengar penjelasan guide yang
berwajah melayu dan lebih mirip orang Jawa. Ternyata beliau menjelaskan dalam
bahasa melayu. Selain beliau ada juga guide ber etnis Tionghoa dan berbahasa
Mandarin, jadi beliau bukan tergetku untuk bertanya-tanya. Sebenarnya memang
dari kemarin aku sudah cukup membaca tentang sejarah Masjid Sultan di sebuah
meja display, tetapi untuk lebih jelasnya aku ingin ngepoin orang yang bisa
diajak berkomunikasi dua arah. Seorang guide yang berbahasa melayu selesai
memberi penjelasan kepada pengunjung. Ini kesempatanku untuk kepo.
“You can speak Malay?” tanyaku
“Ya, saya juga bisa Bahasa Indonesia.” Jawabnya seperti sudah tahu betul model macam begini adalah orang Indonesia.
“Wah, dari mana tahu saya orang Indonesia?”
“Saya seringlah dapat kunjungan dari orang Indonesia jadi tahu logat dan wajah Indonesia.” Obrolan menjadi lebih akrab karena beliau juga bisa memakai bahasa Indonesia non formal.
“Awalnya saya tidak bisa, tapi saya belajar.”
Aku tertarik dengan aksen batik di gamis yang dipinjamkan
masjid.
“Kenapa ada batik di gamis itu?”
“Itu untuk menunjukan keragaman di tempat ini karena dulunya tempat ini banyak jamaah haji dari Jawa dan kancing itu kalau adek lihat pakai kancing model Cina.” Bahkan untuk sebuah gamis yang dipinjamkan mereka memperhatikan maknanya. Aku terkesan, tetapi ternyata tidak sampai di situ. “kalian aslinya orang mana?”
Kami menjelaskan lokasi spesifik asal kami.
“Kalau kakek saya dulu aslinya juga orang Jawa, tepatnya di Salatiga. Katanya daripada dijajah Belanda mending ke sini jadi warga negara sini dan akhirnya meninggal di sini. Saya juga lahir dan tinggal di sini, meski dalam diri saya ada darah Indonesia.” Dengan kata lain meski sama-sama dijajah, kakeknya lebih memilih dijajah Inggris daripada Belanda.
“Jadi memang masjid ini dibuka untuk kunjungan yang non Muslim ya?”
“Iya di sini sering dikunjungi dek. Mereka datang ke sini mungkin tidak tahu Islam itu seperti apa jadi di sini mereka bisa lebih tahu tentang Islam.”
“Wow, saya jarang melihat ada masjid yang terbuka untuk pengunjung di Indonesia, padahal Indonesia punya banyak masjid-masjid tradisional dan bersejarah.”
Aku kagum dengan kesiapan masjid ini untuk
dikunjungi turis-turis mancanegara. Barangkali ini hasil dari penerapan ISO
oleh masjid ini. Lucu juga melihat ada tulisan ISO di gerbang depan masjid.
Biasanya kalau di Indonesia baru perusahaan-perusahaan besar yang menerapkan.
“Kami di sini sudah biasa saling mengunjungi rumah ibadah. Saya punya teman biarawati. Saya pernah ke gerejanya dan dia juga baru saja ke sini membawa temannya yang juga biarawati. Kami berdiskusi bukan untuk mencari perbedaan, tetapi mencari persamaan di antara kami. Kalau mencari perbedaan kami akan terasa semakin jauh, tapi kalau mencari persamaan kami akan terasa semakin dekat. Singapura punya 10 agama resmi. Yang paling banyak itu Budha, trus yang lain ada Taoisme, Islam, Kristen, Hindu, Sikh, Yahudi, Jainisme, Zoroaster, dan Baha’i.”
“Negara sekecil ini punya 10 agama resmi?” selaku
“Iya. Pemerintah kami memang sekuler, tetapi membebaskan kami untuk beribadah. Sejak kecil saya sudah mengunjungi rumah-rumah ibadah.”
“Itu keinginan pribadi atau memang kegiatan sekolah?” lagi-lagi aku menyela saking antusias
“Ya kegiatan sekolah. Di masjid ini pernah ada seorang ibu yang minta izin mau berdoa untuk anaknya yang sudah sakit stadium atas, padahal beliau non Muslim. Ya kami izinkan.” Penjelasan ini membuat kami terbengong-bengong level dewa.
Cara mereka belajar bukan hanya melihat gambar rumah-rumah
ibadah seperti sekolah di Indonesia, tetapi juga mengunjungi dan berteman
dengan orang-orang yang berbeda agama. Aku jadi ingat betapa berdebarnya aku
saat pertama kali memasuki gereja untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat
kampung Kwoor, Papua. Sedangkan bagi mereka itu hal yang biasa saja. Aku jadi
bisa merasakan perbedaan efek pendidikan kita dan mereka. Perbedaan, apalagi
yang dilatari agama menjadi hal yang sangat sensitif dibahas di negara kita.
Maka jika ingin memberikan opini di forum yang beragam latar belakang
seringkali ada peringatan: Dilarang mengandung unsur SARA!
“Jadi orang-orang Singapura sudah memahami tentang toleransi ya?”
“Bahkan kami sudah respect each other. Kalau teman saya yang non Muslim tahu saya belum solat, dia akan mengingatkan.”
“SubhanaAllah, seandainya Indonesia juga begitu. Kami sering disebut-sebut punya bermacam-macam latar belakang budaya dan agama, tetapi kami masih sering enggan berteman dekat dengan orang yang berbeda agama bahkan sebagaian yang lain saling mencela dan memfitnah atas nama agama.” Inilah yang membuatku kagum dengan persatuan mereka.
“Ya, ya saya juga tahu itu. Bahkan sama-sama Islam saja bisa saling menyalahkan.” Komennya sambil geleng-geleng. “Sebagian dari diri saya juga Indonesia, jadi saya juga sedih soal begitu.” Lanjutnya.
“Saat ini di Jakarta sedang akan menghadapi pemilihan gubernur dan salah satu calonnya yang non Muslim dan dari etnis Tionghoa terlibat kasus penistaan agama. Yah…kami sedang menghadapi ketegangan soal perbedaan agama dan etnis di Jakarta.” Miss Lisfah meyinggung soal konflik di Jakarta.
“Adek sudah ke China Town? Kalau belum coba besok ke sana. Di sana ada Indian Tample dan Masjid yang terpasang tulisan selamat hari Imlek.”
Kami jadi dapat referensi kunjungan yang sangat menarik dan
bikin penasaran. Puas mengobrol kami meminta nomor kontak beliau yang bisa
dihubungi agar kami bisa melanjutkan obrolan yang menarik. “Rashid, nama saya.
Kalau di Jawa Rosyid, kan?” baru di akhir obrolan beliau memperkenalkan
namanya.
Seorang guide berwajah Cina dengan senang hati memfotokan
kami bertiga. Beliau juga Muslim, bahkan bisa berbahasa Melayu. Saking ramahnya
beliau malah mengajak kami berselfie dan akan meng-up load di fb-nya, padahal
usianya sudah kakek-kakek. Mengetahui kami dari Indonesia, beliau malah semakin
cerewet karena katanya pernah ke Jawa.
Waktu menunjukkan jam 4 sore. Waduh aku sudah terlambat 15
menit. Kalau aku terlambat aku akan sangat malu. Kakek ini susah sekali distop,
jadi lebih baik aku pamit terlebih dahulu dan meminta Miss Lisfah melanjutkan
obrolan. “Kalian Muhammadiyah atau NU? Saya tahu di Indonesia ada NU dan
Muhammadiyah.” Waduh pertanyaan itu malah semakin membuatku cepat meninggalkan
mereka berdua karena pembahasan soal keanggotaan ormas-ormas Islam juga menjadi
isu yang sensitif di Indonesia.
Atas pelayanan dan pengalaman selama di Masjid Sultan, kuberi
nilai 85 untuk masjid ini. Nilai tertinggi dari semua yang pernah kukunjungi.
Semua berawal dari
pendidikan
Sampainya aku di hostel dibarengi dengan pesan What’s up dari
Mrs Aisya yang mengatakan bahwa beliau di depan Sleepy Kiwi. Jika foto profil
di fb adalah dirinya seharusnya aku tahu dia di sini. Tengak-tengok sebentar
lalu melihat seorang ibu muda berjilbab pink menggandeng anak perempuan
melewati hostel. Orang itu menengok ke arahku. Jangan-jangan…
“Mrs Aisya?” tanyaku
“Yes..yes…” jawabnya sumringah
Wah senangnya bisa bertemu dengan orang yang selama ini hanya
bertemu di fb. Kami duduk-duduk di depan hostel sambil menunggu Miss Sammemah
dan satu guru berkebutuhan khusus. Tak berapa lama Miss Lisfah berjalan bersama
guide Tionghoa tadi yang bernama Amin Teo. Aku menghampiri mereka.
“Miss, Mrs Aisya sudah datang.” Dahi Uncle Amin ke arahku lalu ke arah Mrs Aisya.
“That’s your friend?” tanyanya
“Yes.”
“Ah, kalau yang ini saya juga kenal.” Jawabnya sambil senyum-senyum kepada Mrs Aisya yang juga ditanggapi dengan senyum Mrs Aisya.
“Wow, what a small world.” Respon Mrs Aisya
Aku tak menyangka ternyata Uncle Amin sudah kenal lama
dengannya. Mungkin karena sama-sama mualaf Tionghoa dan di sini jumlahnya masih
sedikit. Sambil menunggu Miss Samemmah, Uncle Amin bercerita panjang lebar
tentang perjalanannya di Indonesia terutama di Jawa. Waktu itu beliau datang ke
makam-makam Wali Songo dan beberapa makam kuno lain untuk mencari tahu siapa
yang pada awalnya menjadi mualaf di Nusantara. Beliau bercerita sudah seperti
guru sejarah bab persebaran Islam di Jawa ditambah dengan bumbu-bumbu mitos
yang berhubungan dengan Wali Songo. Katanya dalam perjalanan itu suatu waktu
beliau berdiri dan ketika mendengar Adzan seolah-olah tanah yang dipijaknya
bergoyang seperti sedang naik kapal, padahal orang lain tak merasakan apa-apa.
Pada saat itulah dia mulai bersyahadat. Perjalanan spiritual yang unik.
Beberapa saat kemudian seorang perempuan berjilbab dan
berbaju biru berjalan ke arah kami. Aku tak menyangka ternyata Miss Samemmah
ber-etnis India. Mengetahui kami ada janji untuk mengobrol, Uncle Amin berpamitan.
Miss Samemmah langsung membuka pertanyaan cerita apa yang ingin aku tahu
tentang pendidikan di sana. Tentu saja tentang guru, sekolah, dan kemajuan
pendidikan Singapura. Beliau memulai bahwa semua guru di Singapura berkuliah di
National Institute of Education yang ada sistem magang di sekolah, semacam PPL
di Indonesia. Saat akan menjadi guru pun mereka diseleksi langsung dari
pemerintah pusat. Sekolah negeri dan swasta tidak berhak menyeleksi calon guru.
Katanya ini dilakukan untuk menjaga kualitas. Dari sini sudah terlihat berbeda
dengan sistem seleksi guru di Indonesia. Saat telah menjadi guru, mereka harus
membuat lesson plan yang akan diperiksa kepala sekolah setiap pekan.
“Does the principal really did that?” tanyaku
“Yes. The principal will always does that. They will read it word by word and the teacher can’t copy paste by internet.”
“How if the teacher doesn’t make it?”
“Mereka dipanggilah ke kantor untuk diajak cakap-cakap, minum kopi. Tapi jangan senang karena mereka bisa kena pecat. It’s imposible if teacher enter the class and then begin the lesson without preparation.” Miss Samemmah menjelaskan suatu hal yang tegas dengan sedikit tertawa. Ideal sekali guru di sini.
“To be a teacher is very bussy. I usually wake up at 5 o’clock then sleep at 2 a.m. Everyday. If students get 4 times weekend, teachers just get 2 times because they have to make lesson tools or sometimes they have activity at school. Apa di negara kalian ada teacher exchange to abroad? Ini kalian berdua sedang mengikuti program atau urusan pribadi?”
“Em…jarang sekali. Kalaupun ada swasta yang mensupport biayanya.”
“Nah, kalau kami hal itu sering dilakukan. Saya pernah ke Surabaya dan melihat 3 sekolah di sana. Itu penting karena belajar itu tidak hanya dari buku, tetapi juga orang-orang yang lebih pandai dari kita. Jadi bagus kalau kalian mau belajar seperti ini.” Bahkan negara yang pendidikannya sebaik Singapura saja mau belajar dari Indonesia.
Sayangnya beliau buru-buru kembali ke sekolah untuk
melanjutkan rapat tadi siang, jadi kami tidak bisa mengobrol sampai berjam-jam.
Guru pendidikan khusus tidak bisa datang karena mendadak ada keperluan. Ada
yang unik ketika Miss Lisfah minta foto bareng Miss Samemmah
“Ah, tadi kan sudah foto (foto sambil mengobrol) masak mau
foto lagi? Yang tadi saja.” Katanya terlihat buru-buru. Dalam hatiku, coba
beliau orang Indonesia pasti mau dengan senang hati (untuk tidak mengatakan
berlebihan) berfoto, malah kalau bisa dengan berbagai gaya kalau perlu ada
selfie nya sampai lupa pekerjaan setelahnya.
Selanjutnya kami mengobrol dengan Mrs Aisya yang juga sangat
terbuka dan ramah. Beliau menjelaskan 3 ilmu utama yang harus dipelajari
anak-anak Singapura, yaitu Matematika, Science, dan Teknologi. Ini difokuskan
karena mereka tak memiliki sumber daya alam, ditambah lagi luas negara mereka
sangat kecil. Beliau mengatakan negaranya sangat peduli pada pendidikan dan
satu hal yang sangat penting adalah, “No
corruption.”
“Selain harus pintar, kami juga harus bersatu karena negara
kami hanya kecil. Kalau kami tidak bersatu kami akan mudah diserang negara
luar. Kami juga harus sama-sama sukses. Kalau kamu sukses kamu harus angkat
tangan temanmu agar bisa sesukses dirimu.” Kalimat ini juga kudengar saat di
Patlight School. Sepertinya ini sudah menjadi prinsip bagi masyarakat Singapura
Selain berbagi tentang pendidikan, beliau juga bercerita
tentang perjalanannya menjadi Muslim. Ini yang bikin aku penasaran selama ini.
Berawal saat usianya 14 tahun memutuskan untuk meninggalkan agama lamanya,
yaitu Taoisme. Tidak serta merta beliau memilih Islam karena beliau memulainya
denga menjadi free thinker. Beliau
membaca berbagai macam kitab, namun selalu saja ada yang kurang cocok dengan hati
dan pemikirannya.
“Pasti ada sebuah kekuatan besar yang mengatur jagad raya
ini.” kenangnya
Hingga pada usianya yang ke 24 beliau mulai membaca
terjemahan Quran. Katanya yang awalnya hanya “O…o….” saat membaca, pada
akhirnya jadi “Oh…yes… yes…!”
Lagi-lagi beliau tidak serta-merta menjadi mualaf, tetapi
beliau malah mencoba berpuasa Ramadhan selama sebulan penuh. Beliau menjalankan
ibadah ala umat Muslim selama 2 tahun dan pada usia 26 beliau merasa lucu pada
dirinya karena sudah 2 tahun beribadah tetapi belum menyatakan keIslamannya.
Maka, dengan disaksikan keluarga, beliau bersyahadat di Masjid. Orang tuanya
yang saat ini beragama Budha pun tidak menolaknya. Atas kebaikan keluarganya,
beliau juga menghadiri saudaranya saat mulai mengikuti agama Kristen. Ini
sesuai dengan penjelasan Bang Rashid, respect
each other.
Saat ini beliau malah dipercaya ustadznya untuk mengajar
Quran. Awalnya beliau merasa rendah diri karena mengajar orang-orang yang sudah
Islam sejak lahir, tapi beliau berhasil mengalahkan rasa mindernya dengan
keyakinan ilmu harus dibagikan. Awalnya beliau juga merasa minder karena banyak
mata yang menatap aneh karena jilbab yang dikenakan. Ini pasti kontras sekali
saat di ruang publik bersama sesama etnis, tetapi tidak berpakaian umumnya
mereka. Hidayah memang bisa datang kepada siapapun. Menyenangkan sekali mendengar
ceritanya. Sayang, beliau ditelfon suaminya untuk diminta pulang. Sebelum beliau
pulang kami berikan oleh-oleh kain jarik untuknya dan menitip satu buah untuk
Miss Samemmah.
Memang benar, Jumat ini terasa spesial buatku karena aku
belajar banyak hari ini. Setelah mengobrol tentang keragamaan etnis di Masjid
dengan Bang Rashid, aku dipertemukan dengan etnis-etnis mayoritas di Singapura.
Miss Samemmah etnis India, Mrs Aisya dan Uncle Amin etnis Tionghoa, Aku dan
Miss Lisfah orang Melayu. Bedanya kami dipersatukan oleh persaudaraan sesama
Muslim. Alhamdulillah.
Aku sedang di
Malioborokah?
Malamnya setelah hujan agak reda kami ke toko oleh-oleh di
depan hostel. Harganya relatif murah. Sebuah gantungan kunci terbuat dari besi
bisa didapat dengan harga 1$. Padahal waktu aku membeli gantungan kunci kayu di
Papua, harga per bijinya Rp 15.000,00. Jadi kesimpulannya meski Singapura
disebut memiliki harga barang yang mahal, kenyataannya di dalam negeri sendiri
masih ada yang lebih mahal.
Barang-barang khas selalu ada icon Merlion, kedua landscape
sekitar Merlion. Selain harga yang lumayan murah, toko ini membuatku
terbengong-bengong 100%. Baru kali ini aku berada di toko souvenir, tetapi yang
dijual rata-rata malah bukan khas daerahnya. Bagaimana tidak, aku malah serasa
di Malioboro daripada di Singapura. Jika Anda sudah pernah ke Malioboro, pasti
tau barang-barang apa yang dijual. Pokoknya tidak jauh-jauh dari kerajinan
batik dan pernak-pernik kerajinan tangan. Mereka tinggal mengemasnya dan
ditambah tulisan “A Gift From Singapore”. Beberapa coklat yang dijual juga
bukan produksi Singapura, tetapi Malaysa dan ada satu dari Indonesia.
Sepertinya aku memang harus memaklumi keadaan Singapura yang tidak memiliki
pabrik atau pengrajin tradisional. Kita harus banyak bersyukur, meski dari segi
kemajuan teknologi kita tertinggal jauh, tetapi dari segi seni tradisional
kitalah yang jauh meninggalkan mereka. Situasi ini benar-benar mendukungku
untuk tidak belanja banyak, sesuai dengan niat awal. Hanya beberapa gantungan
kunci dan sebuah pajangan rumah 45 ribuan. Murah kan?
Makan Malam terakhir di Rumah Makan Zam-zam, rumah makan kami tiga hari berturut-turut. hari terakhir kami kembali pesan Murtabak.
Bersama Uncle yang Ramah |
***
Pagi ini kami berencana ke daerah China Town seperti yang
disarankan Bang Rashid. Ini adalah hari terakhir kami di hostel yang
menemukannya penuh dengan nyasar. Para mahasiswa Indonesia yang di kamar ini
juga mau pulang hari ini. Mereka mau ke Universal Studio dahulu dan berniat
membuat mie instan di dapur hostel untuk bekal makan siang. Wah, benar juga ya…
Sebelum check out
aku sempat mengobrol sebentar dengan mbak-mbak receptionist hostel yang ramah dan sangat perhatian pada kebersihan
hostel. Katanya baru tiga bulan lalu dia ke Medan dan dia senang menikmati
keindahan alamnya.
Catatan singkat untuk hostel ini:
1. Lokasinya di daerah pusat Islam2. Free wifi yang super kencang, sarapan, AC di tiap kamar, 3 colokan listrik di tiap kasur, hair dryer, dapur dan perlengkapan sederhana, dan 2 buah komputer
3. Kamar mandi+tiolet di lantai satu ada dua buah dipakai bersama-sama termasuk untuk laki-laki. Aku tidak tahu di lantai dua ada kamar mandi atau tidak4. Ada loker kecil yang diberikan tiap tamu untuk memasukkan barang-barang berharga yang tidak ingin dibawa saat jalan-jalan
5. Tidak ada restoran di hostel, yang ada hanya coolbox dan camilan kering.6. Disediakan mesin cuci, tapi per pemakaian dikenakan biaya $8
Aku beri nilai 78 untuk hostel Sleepy Kiwi. Kenapa tidak
sekalian dibulatkan jadi 80? Karena ongkos laundry nya mahal minta ampun, jadi
lebih baik aku tidak mencuci.
“Wishing All Chinese Friends A Happy Lunar New Year.”
Sampai di daerah China Town kami langsung disambut oleh
suasana super Cina. Apalagi masih di suasana Imlek, jadi masih banyak lampion
terpasang di sepanjang jalan. Di sini banyak menjual souvenir khas Cina yang
harganya masih acceptable. Harga
kartu pos malah lebih murah di sini dari pada di daerah Bussorah. Tempat ini
sangat cocok buat orang yang ingin ke Cina tapi belum kesampaian atau ingin
mengingat kembali suasana Cina kalau sudah pernah ke sana. Jangan khawatir pada
makanan halal di sini karena biasanya makanan halal akan ada logo halal dari
ulama Singapura, semacam MUI di Indonesia.
Bekal Makan Irit Menuju Kuala Lumpur |
Dan… di ujung jalan ini aku melihatnya sendiri.
Mereka punya aturan yang sama dengan Masjid Sultan untuk visitor, bedanya di sini kalau mau
memfoto dan merekam pakai kamera harus bayar 8$. Hindu mereka seperti Hindu di
India bukan Hindu di Bali. Suasana tiba-tiba seperti di India. Kupikir Hindu di Bali adalah hasil dari akulturasi dengan budaya setempat.
Puas melihat-lihat, kami ke Masjid yang kata Bang Rashid berdiri
di daerah sini. Ternyata dekat dengan Tample tadi. Namanya Masjid Jamae. Mulai dibangun tahun tahun 1827. Aku melihat anak-anak sedang
belajar membaca Quran. Mereka rata-rata berwajah India. Beberapa anak perempuan
senyum-senyum saat melihatku memfoto mereka dari luar ruang. Kemudian satu di
antara mereka mendekatiku. Kata anak perempuan yang namanya Marwa itu,
sebenarnya aku tidak boleh memfoto. Baiklah, sepertinya masjid ini memang tidak
terbuka untuk dikunjungi. Di dekat gerbang depan ada kran air minum dingin dan
hangat. Tanpa pakai aba-aba kami langsung mengeluarkan botol kami dan
mengisinya sampai penuh. Senangnya…
Marwa Belajar Quran Bersama Teman-temannya |
Nyasar 4
Perjalanan selanjutnya kami memutuskan naik kereta dan
disambung bus untuk sampai ke Johor Baru. Seperti biasa, Miss Lisfah yang membawa
peta perjalanan. Dia mengingatkanku untuk turun di sebuah stasiun. Setelah
turun dia baru sadar ternyata kami terlewat satu stasiun, jadi harus balik
lagi. Lagi-lagi kasusnya sama. Turun di stasiun berikut dia bingung mau naik ke
arah mana, apalagi aku. Kami bertanya ke petugas dan diberi petunjuk harus naik
bus dari mana dan nomor berapa untuk sampai ke Johor Baru.
Alhamdulillah kami menemukan busnya setelah putar-putar tak
karuan. Sayangnya saking padatnya orang yang ingin ke JB, busnya penuh sekali.
Kami berdiri setelah lelah mengelilingi China Town dan nyasar babak ke 4.
Sampai di JB jam 2 siang. Suasana di luar terminal sangat berbeda dengan
Singapura dan lebih mirip Jakarta. Banyak sopir dan kernet yang berseru-seru
mengajak orang-orang yang keluar dari terminal untuk naik busnya, kondisi
busnya pun banyak yang tua. Miss Lisfah bertanya kepada salah satu sopir bus
dan ternyata bus kami baru akan daatng jam 4 sore. Jelas kami tidak mungkin
menuggu karena pesawat kami dari bandara JB ke Kuala Lumpur juga berangkat jam
4 sore. Saking lelahnya, pikiran jadi agak kacau. Aku berusaha menghubungi
temanku yang punya teman di JB dengan pulsa SMS terakhirku. Katanya waktu kami
masih di Singapura barangkali temannya bisa menemaninya di JB. Rangkai kalimat seperlunya
dan send! Aku dapat balasan, tapi dari operator. “Pulsa Anda tidak mencukupi.”
Sial!
“Terus, kita gimana?” tanya Miss Lisfah
“Tarik nafas dulu.”
Atas dasar efisiensi waktu, kami putuskan naik Taxi sambil
berharap semoga harganya tidak keterlaluan. Cara pesannya seperti pesan taxi
bandara. Tinggal bilang saja ke petugas karcis di loket dan kami langsung
diantar pakai taxi yang telah berjajar di depan terminal. Ongkosnya RM 30 atau
sekitar hampir 75 ribu. Kami terima saja karena mengejar waktu dan tak tahu
transportasi alternatif ke sana.
Entah karena lagu grup band Ungu yang keluar dari radio lokal
atau karena kelelahan yang jelas setelah beberapa saat taxi berjalan mataku
tertutup secara total. Miss Lisfah membangunkanku sekitar hampir jam 3.30. Ternyata
perjalanan kami lama juga. Lagi-lagi di sini aku mendengar suara grup band
Indonesia, Kotak, lewat speaker bandara. Aku juga melihat gambar orang yang
sedang membatik pakai metode cap di dinding dekat ruang tunggu pesawat. Aku
tidak mau cepat-cepat menuduh mereka mengklaim budaya Jawa karena toh ada juga
batik Cina dan Arab di Solo. Bahkan hampir seluruh Indonesia sekarang menamai
kain bermotif khas daerah mereka dengan batik. Asal ada sigernya dinamai batik
Lampung, asal ada Cendrawasihnya dinamai batik Papua, sampai-sampai ada batik
nusantara karena motifnya peta Indonesia. Padahal sebenarnya tiap daerah
mempunyai kain khas masing-masing.
Jam 4 sore kami berangkat ke Kuala Lumpur memakai pesawat
Malindo Air. Interior di dalamnya membuatku berpikir, “Ini kami salah masuk
pesawatkah?” karena aku merasa terlalu bagus untuk kelas ekonomi seharga Rp 180
ribu. Pramugari-pramugari cantik yang melayani kami dengan baik menegaskan
pertanyaanku bahwa kami tidak salah masuk. Ok, tidur part 2 dilanjutkan.
Perjalanan udara hanya sejam. Sama jaraknya dengan Jakarta ke
Solo. Bagian imigrasi di sini jauh lebih lengang daripada di Singapura. kami melanjutan perjalanan naik KLIA Ekspress
Seharga RM 55. Mahal amat ya…tapi sesuailah dengan kondisi kereta yang berjalan
cepat dan interiornya masih baru. Tolong jangan bandingkan dengan KRL
Jabodetabek. Karena kebanyakan yang naik bule, aku jadi berimajinasi nyasar ke
dunia barat.
Lagi Galau, Kek? |
Sebenarnya kami tak tahu pasti harus turun di mana, tetapi
saat kereta berhenti semua orang turun. Jadi kami berkesimpulan kami sudah
sampai. Semoga saja tidak salah turun. Rupanya kami turun di sebuah stasiun
yang super ramai dan kami disambut dengan pengamen yang menyanyikan lagu Noah.
Terimakasih telah menyukai lagu-lagu kami :D Aku mengajak Miss Lisfah untuk
makan es krim di sebuah food court
terlebih dahulu untuk menceriakan suasana. RM 2.5 per es.
Nyasar 5
Suasana di sekitar Stasiun Pasar Seni benar-benar mirip
dengan Jakarta. Kami harus mulai menyeberang pakai perasaan di sini, sama
dengan di Jakarta. Berbeda dengan Singapura yang terdapat lampu merah untuk
penyeberang dan semua pemakai jalan mematuhinya. Beberapa kali kami juga
menemui gelandangan yang kumal atau terlihat sakit jiwa tidur di emperan toko,
sama seperti di Jakarta. Waktu di Singapura aku tidak melihat ada pengemis,
pengamen, atau orang gila. Aku hanya melihat 3 orang yang meski tujuannya
meminta-minta, tapi setidaknya mereka menggelar dagangan tissue di trotoar. Itu
pun mereka berpakaian bagus dan berbadan bersih. Seperti kata Mrs Aisya, semua
orang harus dapat rumah di Singapura. Kalaupun menganggur, mereka akan
ditampung di flat terlebih dahulu secara gratis sampai mereka dapat pekerjaan. Perfect!
Kata Miss Lisfah kami harus ke Jalan Tun HS Lee untuk sampai
di Raizzys Guess House. Saat sudah menemukan jalan itu kami belok kiri,
berjalan sampai ujung jalan tapi tidak ada satupun hostel atau hotel atau
penginapan apapun. Suasana sepi dan gelap semakin meyakinkan kami sedang
berjalan ke arah yang salah. Kami balik arah ke jalan semula dan seorang kakek
ber-etnis Tionghoa malah menawarkan hostelnya. Saat kami tanya lokasi yang kami
maksud dia hanya tahu lokasi jalan itu, tapi tidak tahu letak spesifiknya. Oke,
I’m so tired dan aku mau istirahat
sebentar di kursi plastik di luar hostel kakek tadi (karena memang kami juga
diersilakan duduk dulu). Sebagai orang yang memesan hostel dan telah melihat
lokasinya di peta, Miss Lisfah memintaku untuk duduk saja dan dia yang mencari.
Terimakasih atas pengertiannya! Ini sebenarnya juga kesalahanku karena terlalu
cuek dengan tujuan kami dan lokasi spesifiknya, sehingga kami tidak bisa saling
bantu apalagi tanpa sinyal internet seperti ini. Tips menggembel no 7: sama seperti
tips menggembel no 5. Silakan dibuka kembali halaman sebelumnya!
Lama menunggu sekitar 30 menit, dia datang. Ternyata kami
tadi seharusnya belok kanan bukan kiri dan lokasinya di ujung jalan Tun HS Lee.
Katanya agak jauh dari hostel kakek yang tertulis Daddy’s Home ini.
Okelah, yang penting sudah ketemu. Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam. Meski
hanya terisi sarapan roti di Singapura dan sebiji jajan pasar ala Singapura
yang mirip Pastel, tapi yang aku inginkan hanyalah kasur.
Walaaa… ini dia Raizzy’s Guess House. Sebuah hostel yang dari
luar lebih terlihat seperti ruko, tetapi di dalam ternyata cukup luas dan
terlihat lebih banyak ruang daripada Sleepy Kiwi. Kami membayar masing-masing
Rp 100 ribu untuk sebuah kamar pakai tempat tidur tingkat. Di dalam kamar hanya
ada dua colokan listrik yang berlubang tiga dan aku mendapat teknik jitu untuk
mecharge gadgetku. Sinyal wifi tak dapat diakses secara total dan ini
benar-benar mendukungku untuk langsung tidur tanpa ba-bi-bu.
Pagi-pagi sekali setelah Subuh, aku mencoba bertanya ke
receptionist soal wifi. Ternyata malam itu memang sedang gangguan.
Receptionistnya orang Bangladesh. Benar kata kakek kemarin, daerah sini memang
banyak orang Bangladesh. Dia seorang mahasiswa jurusan manajeman perhotelan.
Dia bercerita banyak tentang konflik di negaranya hingga memaksanya hijrah ke
Malaysa. Banyak kenalannya yang dipenjara karena membicarakan pemerintah. Dia
juga menyesalkan pemerintahnya yang menolak menampung pengungsi Rohingya,
padahal sama-sama Muslim. Saking kesalnya dia dengan negaranya dia sama sekali
tak berniat untuk kembali ke sana. Seram sekali aku membayangkan andai itu
terjadi denganku.
Nyasar 6
Setelah sarapan, kami langsung jalan ke Petronas naik kereta
dari stasiun Pasar Seni. Kami pikir karena di Petronas tak butuh waktu lama dan
tak ada jam buka dan tutup, jadi yang penting menggugurkan kewajiban foto ke
icon Malaysia. Kata Miss Lisfah kami harus turun ke Stasiun KL Sentral.
1) Help! Saya Hilang di Malaysia! Hix3 |
2) Melihat Antrian Makan Gratis |
3) Wajah Langsung Cerah |
4) Segarnya Air Es Asam Gratis |
5) Acara ini Disponsori Oleh... Yayasan Hindu Malaysia |
Saat perjalanan ke stasiun, bertemu Yayasan Hindu Malaysia. Salah satu dari mereka langsung menyebut “Halal, halal.”
Senangnya… bagi kami dapat makan gratis adalah kebahagiaan yang luar biasa. Kami
membawanya untuk makan siang. Perjalanan dari ke Pasar Seni ke KL Sentral cuma
10 menit. Kami transit di sini untuk menuju ke stasiun Kuala Lumpur. Kereta
datang setengah jam lagi. Lama sekali. Saat kereta datang banyak penumpang yang
naik, jadi kami berdiri. Tetapi perjalanan kami tidak lama, aku keluar stasiun
pertama saat Miss Lisfah menepuk bahuku. Saat turun aku merasa ada hal yang
aneh. Pertama, stasiunnya sepi minta ampun bahkan hanya ada beberapa orang yang
turun. Padahal sebuah tujuan wisata terkenal di dunia pasti stasiunnya ramai.
Kedua, stasiunnya tidak bagus-bagus amat. Hampir sama dengan Stasiun Pasar Seni.
Kami berjalan sampai aku sadar sesuatu.
“Lhoh…bukannya yang di sebarang jalan itu stasiun tempat kita
berangkat?” aku segera memeriksa posisi kami di peta jalur kereta di stasiun.
Astaga……. Oke enough! Ini adalah
nyasar terkonyol dalam perjalanan kami. Untuk apa kami membayar tiket kereta
sedangkan kami bisa menyeberang lewat jembatan penyeberangan antar stasiun? Dan
parahnya lagi, Petronas tidak di sekitar stasiun ini karena seharusnya kami ke
stasiun Suria KLCC. Untungnya ada lokasi wisata yang lumayan terkenal juga di
daerah sini, yaitu: Masjid Negara. Dengan demikian, foto di Petronas kami ganti
jadwal jadi tujuan terakhir.
![]() |
Konyolnya Kami |
Selesai sholat kami berkeliling Masjid. Terlihat beberapa ibu-ibu
berjilbab dan bergamis sedang mengobrol di depan sebuah ruang. Meski sudah
sering melihat ibu-ibu memakai jilbab dan gamis, ada yang menarik kami untuk
menyapa mereka. Tidak lain karena mereka berwajah kaukasoid dan salah satunya
berwajah Tionghoa. Ibu yang berwajah Tionghoa menanyai asal kami. Beliau lalu
memperkenalkan satu per satu asal negara teman-temannya. Dirinya asli orang
Malaysia dan bangga dengan identitas etnisnya, yang lain ada yang dari
Australia, Inggris, dan Kanada. Mereka mualaf dan sebagian memilih menjadi
warga negara Malaysia. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan latar belakang bangsa
yang berbeda namun dipersatukan dalam sebagai satu umat.
Ibu yang berwajah Tionghoa menanyai kami tentang kasus Ahok.
Barangkali karena sesama Tionghoa beliau jadi tertarik mengikuti beritanya.
Beliau menduga sebenarnya Ahok tidak bermaksud seperti itu dan semua ini
terjadi karena faktor politik. “It’s
about politic. Today is friend tomorrow is enemy.” Katanya sambil tersenyum
sampai tak terlihat bola matanya. Beliau menawari kami makan siang di Masjid.
Aku memang melihat meja yang ditata banyak makanan. Sepertinya mau ada acara.
Seorang di antara mereka menegurnya karena bisa jadi kami ingin melanjutkan
perjalanan sedangkan makanannya masih belum matang. Betul juga katanya, tapi
dalam hatiku, “Yah… sayang sekali batal dapat makan gratis.”
Gagal menawari makan siang, beliau merekomendasikan ke
Islamic Art Museum yang hanya di belakang Masjid. Rekomendasi yang sungguh
menarik meski sebenarnya tak masuk daftar. Nyasar ke 6 tadi benar-benar
mengubah tujuan. Sedangkan untuk kami, gagal dapat makan siang, kami dapat air
putih dingin gratis dari galon Masjid. Alhamdulillah lah…dapat yang nyess untuk
kerongkongan yang kekeringan.
Kami tinggal punya waktu sejam di Museum sampai jam 4 karena
jam 4 maksimal check out untuk hostel
itu. Museum ini dari luar sudah terlihat megah. Tiket masuknya RM 14. Sebenarya
aku tak yakin sejam akan cukup untuk mengelilingi museum. Saat melihat-lihat
miniatur masjid-masjid dunia, Quran-quran yang mulai dari bentuk dan hiasannya
terlihat sangat menawan, belum lagi berbagai macam benda peninggalan kebudayaan
Islam dari berbagai negara termasuk Indonesia, membuat kami totalitas terpana. Kalau
saja Indonesia punya museum Islam Indonesia. Sampai kami tidak sadar waktu
sudah menunjukkan jam 4 sore. Saking terkesannya dengan museum ini, Miss Lisfah
ingin memperpanjang jalan-jalannya dan membatalkan kepulangannya.
Hiasan Dada Perempuan Persia (?) |
“Kayaknya aku ingin belajar lebih banyak dari tempat ini.
Gimana kalau kita menunda kepulangan?” tawarnya
“Lebih baik kita ke hostel dulu baru kita pikirkan.” Aku
khawatir mempertimbangkan di tempat ini akan memakan waktu. Kalau dapat
gratisan tiket pulang dan hostel aku oke saja, tapi menunda kepulangan untuk
sebuah tujuan yang tidak terencana betul-betul khawatirnya malah akan terjadi
pemborosan. Sedangkan yang sudah terancana saja bisa bertambah pengeluaran
gara-gara nyasar apalagi yang tidak terencana.
Entah perasaanku saja atau memang dia begitu, sepertinya dia
benar-benar tidak ingin cepat-cepat meninggalkan museum ini karena di saat
seharusnya kami berlari, malah dia mengajak melihat-lihat ke ruang bermain anak
dan mengajak berhenti untuk memakan nasi kotak. Tuhan… maafkan aku jika aku
jadi kesal.
Sampai di hostel sudah hampir jam 5. Seorang perempuan paruh
baya yang sedang menjaga meja receptionist
mengingatkanku soal jam check out.
Sepertinya dia pemilik hostel. Kami dapat charge RM 40 untuk keterlambatan satu
jam dan menginapkan tas ransel di kamar. Benar-benar mu-ba-zir. Tidak ada kata
lain.
Aku jelaskan alasan keterlambatan kami yang berawal dari
nyasar 6. Dia tertawa-tawa mendengar kekonyolan kami dan menyarakan untuk mengambil
barang-barang di kamar terlebih dahulu. Setelah beres, barulah kami dapat
pencerahan. Dia memberikan kami sebuah peta jalur MRT yang ternyata dari
Stasiun Pasar Seni hanya sekali jalan ke Suria KLCC. Kedua, kami diizinkan
menitipkan tas di dekat meja receptionist
jika ingin jalan-jalan lagi dan tanpa bayaran apapun. Ya ampun, tahu begitu
mendingan tas kami dititipkan sejak awal kami pergi. Pantas saja banyak tas
yang tergeletak di situ.
Pasar Seni di Malam Hari |
Tanpa mengulur waktu kami segera menuju Pasar Seni yang hanya
beberapa meter dari hostel. Pasar Seni ini situasi dan sistemnya seperti
Malioboro, tapi mereka tak jual batik seperti di Singapura. Ratusan penjual
menawarkan macam-macam souvenir dengan icon Malaysia, Petronas. Sebuah toko
yang penjualnya berdarah Medan-Malaysia menjual souvenir dengan display rapi dan
bervariasi. Sebuah gelas kecil yang tertempel lanscap Malaysia dijual dengan
harga RM 25, kalau beli dua dia jual jadi RM 35. Aku tawar-tawar akhirnya jadi
RM 22 dua buah atau sekitar Rp 23 ribu/buah.
Benda yang sama di Singapura seharga $2,9 atau sekitar Rp 26 ribu. Harga
gantungan kuci di sini malah sedkit lebih mahal dari pada di Singapura. Awalnya
kami pikir harga di dalam gedung Pasar Seni lebih murah dari pada di kios-kios
luarnya, ternyata sama saja. Kalau tidak ditawar malah lebih mahal.
Senja tiba, kami bergegas ke Masjid Jamek. Salah satu masjid
yang direkomendaikan temanku. Sedangkan menurut sumber internet, ini adalah
Masjid tertua di Kuala Lumpur. Resmi dibuka pada tahun 1909. Lumayan agak jauh
ternyata. Masjidnya sedang dalam
renovasi, jadi banyak material bangunan. Kami tak bisa berfoto dan
melihat-lihat Masjid karena lampu dalam dan serambi langsung dimatikan setelah
Sholat Isya. Aku jadi seperti numpang sholat di Masjid pada umumnya saja.
Seorang jamaah perempuan berkulit putih, berbadan tinggi besar tersenyum dan
mengucap “bye” padaku. Wuah, ramah sekali. Apa dia mualaf dari barat?
Saat kami keluar Masjid, perempuan tadi ternyata dengan
seorang laki-laki yang sepertinya suaminya. Mereka menyapa kami dan minta
ditunjukkan letak rumah makan halal khas Malaysia. Perempuan tadi juga bertanya
lokasi tempat yang menjual pakaian muslim. Entahlah mengapa mereka langsung
percaya pada kami, padahal kamipun seorang turis. Jangan-jangan mereka kira
kami warga lokal. Mereka bercerita bahwa mereka tinggal di Prancis (pantas saja
Bahasa Inggrisnya agak sengau dan tidak begitu lancer), tetapi mereka berdarah
Maroko. Jadi mereka Muslim sejak lahir. Letak geografis Maroko dan Spanyol yang
dekat membuat orang Maroko mirip Spanyol, begitu pula kebudayaannya. Tetapi,
rata-rata masyarakat Maroko beragama Islam, sedangkan Spanyol mayoritas
beragama Katolik setelah negara ini jatuh di tangan Ratu Isabela 1.
Kami mengantar ke Pasar Seni. Sayangnya sudah bubar. Berjalan
beberapa meter, kami disarankan penduduk lokal ke rumah makan khas Malaysia di
beberapa ratus meter ke arah utara Pasar Seni. Sebenarnya kami ingin memburu
waktu untuk sampai ke Petronas karena khawatir sudah tidak ada kereta. Dalam
hatiku semoga Allah masih memberi kami kesempatan demi menolong mereka mendapat
makanan halal. Kami temukan lokasi rumah makannya. Kami ditawari makan, tapi
sayang kami buru-buru ke Petronas. Gagal lagi dapat gratisan. Aku merasa di
Malaysia banyak yang baik hati menawari kami makan gratis, beda dengan di
Singapura yang tak ada satu pun orang yang tertarik nraktir.
Jam 9.45 kami ke stasiun Pasar Seni menuju stasiun Suria KLCC.
Kali ini suasananya sangat meyakinkanku
bahwa kami tidak nyasar. Jam 10. 15 kami sampai di stasiun tujuan. Aku langsung
bertanya pada seorang petugas jam terakhir kereta beroperasi. Katanya khusus
weekend jam 11 malam. Keluar dari stasiun, gedung tinggi menjulang berada tepat
di sampingnya. Woaaaah…. Kepalaku sampai mendongak maksimal untuk melihat
puncaknya. Lampu-lampu dari dalam gedung menyala terang membuatnya semakin
terlihat megah di antara gelapnya malam. Ada untungnya juga aku nyasar tadi
pagi.
Aku duduk sejenak di depan gedung raksasa ini. Mengingat
kembali orang-orang dan bacaan-bacaan yang telah motivasiku untuk sampai di
sini. Mulai dari pembuatan “kunci gerbang” yang bernama Paspor, perencanaan
keberangkatan, sampai perjalanan yang penuh salah langkah dan aku tidak tahu
akankah aku salah langkah lagi setelah ini? Aku telah belajar banyak selama
lima hari. Sering aku membahas dengan Miss Lisfah tentang sesuatu yang kami
lihat lalu dibandingkan dengan
Indonesia. Kadang muncul rasa kesal, kecewa, dan sedih jika Indonesia lebih
buruk. Kadang kami menjadi sangat bangga dan bahagia dengan Indonesia kita yang
keren. Banar juga kata Miss Lisfah sambil makan malam di Singapura, “Kita akan
sulit melihat obyek yang terlalu dekat dengan kita, tapi jadi lebih mudah jika
melihatnya dari jauh. Begitu juga saat kita di Indonesia. Barangkali kita sudah
merasa hidup cukup, semua baik-baik saja, tapi setelah kita melihat dari negara
yang lebih maju kita bisa menilai ternyata kita masih jauh tertinggal dan
orang-orang yang bisa melihat dari jauh itu seharusnya lebih beruntung karena
dia bisa membawa sesuatu saat kembali. Sama seperti saat orang Eropa menemukan benua-benua baru yang
memiliki banyak kekayaan. Mereka lantas membawa kekayaan itu untuk tanah
Eropa.”
Dalam hati kuberjanji membawa sesuatu itu untuk negeriku
Indonesia. Wuih… betapa sayangnya aku dengan Indonesia. Melihat Petronas membuatku
ingat Borobudur yang megah, bernilai sejarah, dan cita rasa seni yang tinggi.
Sungguh sebenarnya kita memiliki bangunan yang sebenarnya lebih bernilai
daripada bangunan perkantoran ini. "Jangan pernah putus asa mencintai Indonesia." kata Ibu Sri Mulyani.
Berfoto di depan Petronas ini kuberi nilai 78
Beberapa menit sebelum jam 11 kami balik ke hostel. Sampai di
hostel kata receptionist sudah tidak
ada transportasi umum ke bandara. Kami minta (dengan wajah memelas) tempat di
ruang sarapan untuk tidur. Receptionist memberiku
petunjuk halte yang digunakan bus untuk memawa penumpang ke bandara. Dekat,
bisa jalan kaki ke sana. Jam 4 aku
membangunkan Miss Lisfah. Cuci muka sebentar lalu pamitan ke receptionist.
“I hope you will back to your country and build it.” Kataku pada pemuda Bangla ini
“Oh…no..no…” responnya sambil senyum dan geleng-geleng.
Hem... Baiklah.
Catatan untuk Raizzy’s Guess House:
1. Free wifi tetapi kurang lancar2. Free kopi dan teh sepanjang waktu, roti tawar hanya diberikan saat sarapan, dan tidak ada buah seperti di Sleepy Kiwi3. Tamu mencuci sendiri piring dan gelas sarapan4. Kamar mandi lebih terang dan bersih daripada di Sleepy Kiwi5. Alas kaki ditempatkan di rak lantai bawah, jadi tempatnya bersih.6. Ada televisi di lantai bawah7. Jam 12 malam pintu hostel ditutup8. Lokasi strategis
Kayaknya Aku Kenal Mie Satu ini |
Hostel ini kuberi nilai 76
Jam 4 pagi masih sangat dingin dan sepi, tetapi aku merasa aman.
Terlihat beberapa orang sedang mengepak koran-koran. Kawasan Petailing terlihat
temaram dengan lampion-lampion Imlek. Satu dua mobil melintas dengan kecepatan
tinggi. Kami disarankan receptionist
dan temanku di Indonesia untuk menuju ke daerah pertigaan Pudu Raya.
Aku tak menyangka di sepanjang jalan yang dipenuhi gelandangan tidur ini menjadi tempat bus
menuju bandara. Aroma menyengat mirip di toilet umum merusak udara pagi yang
masih segar. Sebuah halte yang agak gelap mulai terlihat dari jarak beberapa
meter. Andai aku tak mendengar suara bapak-bapak yang menawarkan tiket bus pada kami, aku tak tahu
di halte itu ada petugas penjualan tiket bus bandara. Bapak itu duduk di balik
sebuah meja kotak kecil dengan tumpukan tiket. Sepertinya dia sudah hafal
potongan seperti kami ini akan pergi ke bandara. Harga tiketnya RM 12.
Beberapa bule berdatangan setelah kami, tapi aku tetap merasa
tempat ini sunyi. Seorang ibu-ibu berpotongan rambut hampir gundul, berpakaian
berantakan, berbadan agak kurus dengan tatapan mata kosong berjalan melintas di
depanku. Aku khawatir dia orang mabuk atau orang gila yang bisa tiba-tiba
menyerang. Twin Tower yang megah dengan gelandangan-gelandangan di Kuala Lumpur
seperti parados yang mewarnai kota ini.
“Duar!” Kelengangan ini tiba-tiba terpecahkan dengan sebuah
mobil sedan berkecepatan tinggi menabrak pembatas jalan beberapa meter dari
tempatku duduk. Parah. Bannya sampai lepas. Semua orang diam menatap mobil itu
beberapa saat, sampai kemudian beberapa laki-laki membantu menepikan mobil.
“Orang mabuk itu!” seru seorang laki-laki petugas tiket bus.
Nyasar 7
Jam 5 bus datang dan langsung berangkat. Jaraknya yang jauh
membuatku bisa tidur sejenak. Aku terbangun saat Miss Lisfah menepuk tanganku.
“Sudah sampai.” Katanya. Kami turun di KLIA 2. Bandara luas ini cukup membuat
kami berolahraga pagi. Pokoknya ikuti rombongan orang-orang yang mau check in. Setelah naik lift, berjalan
kaki, naik escalator, jalan kaki lagi, akhirnya kami sampai di ruang besar
check in. Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: di manapun aku hanya
melihat tulisan satu maskapai yang bukan pilihan kami. How come? Ah sudahlah, ikuti saja rombongan orang-orang tadi.
Sampailah kami di petugas pemeriksaan tiket sebelum di meja check in. Dia menanyakan dari mana dapat
tiket itu. Miss Lisfah menjelaskan kami mengeprint langsung di stand maskapai
di Soe-Ta.
“Oh, bukan, bukan di sini tempatnya. Maskapai ini di KLIA 1 bukan 2. Kakak harus keluar dari ruang ini.” Penjelasan petugas cantik itu sama sekali tak membuat hatiku tenang.
“Hah?!” reaksi kami berdua seketika ditambah dengan wajah bengong dan khawatir.
Ternyata ini bukanlah akhir dari petualangan nyasar kami.
Sungguh menyedihkan. Suara azan Subuh di bandara sudah terdengar beberapa menit lalu,
berarti matahari sudah hampir muncul. Sebuah jam di bandara menunjukan jam 6.10,
padahal check in maksimal jam 6.30. Oh my God! Bisakah kalian membayangkan
dua orang kurang tidur, belum makan dan minum sejak kemarin malam, membawa
ransel berat, tak tahu harus naik apa ke KLIA 1, waktu limit, dan lagi-lagi
belum mandi (plus sejak kemarin sore) mengejar waktu check in di sebuah bandara internasional super besar? Yang bisa
kami lakukan adalah BERLARI. Anggap saja olahraga pagi dengan hati yang tidak
tenang. Ya Allah, Tuhaaaaan…. Mengapa kejadian ini mirip saat kami
berangkat?
“Aku pikir kamu sudah tahu.” Kataku dengan nada kesal
“Kata temanku begitu.” Jawab Miss Lisfah yang sering membawa nama temannya saat aksi nyasar kami.
Merasa sudah berusaha tidak ketinggalan bus sejak semalam dan
puas dengan jawaban yang sama, kekesalanku jadi memuncak. “Sudahlah, tidak usah
selalu percaya dengan yang jauh! Kalau kita tak benar-benar tahu tanya saja
orang di sini atau cari di internet. Aku sudah pernah mengalami seperti itu dan
memang nggak selalu bisa.” Yah, aku memang pernah nyasar hampir sejam gara-gara
mengandalkan komunikasi dengan teman lewat SMS, tetapi mengabaikan orang-orang
di jalan.
“Bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan.” Jawabnya berusaha untuk tetap tenang di raut wajahnya yang terlihat kesal. Entah apa yang akan kulakukan seandainya kami ketinggalan pesawat pulang.
Kami kira kami harus naik kereta KLIA
Ekspress yang mahal itu, ternyata kami hanya butuh naik KLIA Transit seharga RM
2. Okelah, soal ongkos tidak mahal, tapi akankah kami sampai di KLIA 1 dengan
tepat waktu? Bayangan buruk sudah menghantui pikiranku di pagi ini.
Sampai di KLIA 1 kami kembali berlari
menuju meja check in. Fine, di sini
meja check in ada banyak sekali. Aku
jadi bingung gara-gara pikiran tidak tenang. Apa kami sudah ditinggal? Aaah,
kesal sekai! Miss Lisfah bertanya pada seorang petugas.
“Di sana.” Miss Lisfah menunjuk area check in di ujung, di tempat yang tadi sudah kami lewati.
Waktu menunjukkan pukul 6.35.
Alhamdulillah usaha kami yang membuat jantung berdegup kencang dan nafas
ngos-ngosan tidak sia-sia. Kami ikut berbaris bersama penumpang lain. Para
petugas yang cantik dan ganteng dengan pembawaan yang tenang dan ramah
berbanding terbalik dengan keadaanku. Yah, meski ahirnya kami tidak ketinggalan
pesawat, tetapi aku tidak ingin menutup cerita dengan kekesalan dan keributan
dengan teman perjalanan semacam ini.
Jam 7. 30 kami sudah di dalam
pesawat. Banyak bangku kosong. Tak ada obrolan di antara kami karena kami lebih
memilih untuk tidur. Menenangkan pikiran yang agak kacau dan mengistirahatkan
badan yang patah-patah. Perjalanan menggembel kami berakhir untuk sesi ini.
Semoga akhir yang kurang mengenakkan ini menjadi pelajaran buatku ke depan atau
mungkin juga menjadi kekonyolan yang tak terlupakan sebagai langkah awal.
“See you! I’m sorry. Baik-baik di jalan dan selamat istirahat!” ucapku pada Miss Lisfah sebagai kalimat perpisahan saat di Soe-Ta.
Akhirnya tibalah aku di negara
sejuta cerita dan rasa. Aku seperti mendengar lantunan lagu haru yang selama ini
menghipnotisku untuk pergi ke negeri orang,
“Walapun saya pergi jauh, tidakkan hilang dari kalbu. Tanahku yang
kucintai, engkau kuhargai.”
*Terimakasih sudah membaca cerita perjalanan pertama kami. Mohon maaf jika ada yang tersinggung dengan cara menulis atau muatan trilogi ceritanya. Saran yang membangun sangat dinanti. Hehe...
Solo di tengah rintik hujan, 11/4, 11.57 malam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar