Showing posts with label Inspiration. Show all posts
Showing posts with label Inspiration. Show all posts

Friday, 21 March 2014

HARMONI BERBAGI


           Aku akan menceritakan tentang sesuatu. Tetapi, sebelum aku bercerita jawablah terlebih dahulu pertanyaanku dengan jujur. Santai saja, ini tidak akan mempengaruhi nilai IPK apalagi sampai dipanggil KPK. Aku mulai pertanyaannya, pernahkah kau merasa kekurangan dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau mengeluh dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau merasa kecewa dengan pemberian Tuhan? Jika sudah kau jawab semua pertanyaan itu, tak peduli seberapa banyak  jawaban Ya atau Tidak mu, aku tetap akan memulai ceritaku.
***
Jalanan ini begitu terjal. Lapisan aspal yang telah terkelupas membuat batu-batu yang berada di lapisan bawahnya muncul di permukaan jalan. Sesekali terlihat air menggenangi jalan bekas dilewati ban-ban besar yang membentuk ceruk. Sering kulihat kubangan besar melintang di tengah jalan sedang di kedua tepinya, batu-batu aspal sudah berserakan tak beraturan. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau harus dilewati meski dengan sangat pelan.
Siang itu, aku dan kedua temanku sedang melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota, Desa  Juwangi, Boyolali. Motor yang kami naiki seringkali bergoncang kuat saat melewati batu-batu aspal itu. Kadangkala harus sangat pelan agar tidak tergelincir karena di beberapa titik jalan yang masih berupa tanah, basah setelah tersiram hujan semalam. Di sepanjang perjalanan jarang ada orang yang lewat. Hutan dan semak-semak yang mengapit jalan menambah suasana semakin sepi. Sensasi perjalanan yang tak pernah kualami sebelumnya. Kata temanku, perjalanan ini akan memakan waktu hingga 2,5 jam.
Bayang-bayang kondisi tempat yang akan kami kunjungi terus bersemayam dalam pikiranku dan semakin kuat kala aku melihat kondisi jalan menuju ke sana. Susah sinyal HP apalagi jaringan internet, rumah-rumah desa yang tidak memiliki toilet, dan beragam cerita teman-teman yang telah survey sebelumnya. Aku yang lahir dan dibesarkan di Kota Surakarta, terbiasa melihat jalan aspal yang halus, gedung-gedung tinggi yang tersusun rapih dan indah, dan lalu lalang kendaraan bermotor yang seakan tak ada habisnya menjadi semakin penasaran seperti apakah tempat yang akan kami kunjungi nanti. Akankah seperti cerita teman-teman? Atau malah lebih parah?
Kami mulai memasuki kawasan permukiman penduduk yang sangat sederhana. Rumah-rumah lama model joglo dengan dinding kayu polos dan lantai tanah mendominasinya. Motor yang dikendarai temanku berhenti. “Sudah sampai ya? Yang mana rumahnya Mas Tio?”, tanyaku. “Iya, mbak. Yang ada tendanya itu.” jawabnya. Rumah teman kami yang akan dijadikan pos utama kegiatan takbir keliling, out bond bersama anak-anak, pembagian daging qurbaan dan sembako, peresmian perpustakaan anak, dan pengobatan gratis dalam Program Qurban Sampai Pelosok 2011 esok hari itu masih sepi. Maklum, kami adalah rombongan pertama yang berangkat. Setelah mengobrol sebentar dengan orang tua Mas Tio, kami yang hanya bertiga ini dipersilakan beristirahat.
Sambil tiduran di atas terpal biru yang tergelar di atas lantai tanah, aku melihat jam tanganku. Ternyata perjalanan kami tidak hanya memakan waktu 2,5 jam, tetapi 3 jam. Tak ku sangka ternyata aku telah melewati jalan yang begitu buruk selama itu. Badanku lelah dan kepalaku agak pusing karena aku berpuasa tetapi tidak sahur sebelumnya. Tak terasa kelopak mataku tertutup, gelap, lalu aku tak sadarkan diri terbuai oleh empuknya bantal.
***
Aku dibangunkan oleh suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kami bertiga bergegas keluar rumah. Rupanya 2 mobil telah sampai dengan selamat membawa para pejuang LAZIS UNS dan bungkusan-bungkusan sembako yang akan dibagikan kepada masyarakat esok hari. Kami semua tersenyum senang karena kami akan segera memulai misi berbagi bahagia yang telah kami rencanakan jauh-jauh hari.
Sore hari aku dan beberapa temanku mengumpulkan anak-anak setempat untuk bermain bersama sambil diselingi beragam tepuk dan yel-yel. Sepetak tanah kosong di belakang Masjid (warga setempat menyebutnya begitu, meski menurutku lebih tepat disebut Mushola) menjadi tempat yang penuh tawa riang anak-anak sore itu. Sayang, aku tidak dapat menikmatinya karena pusingku semakin menjadi. Aku hanya duduk-duduk melihat mereka di sebatang pohon yang telah lama ditebang. Waktu mendekati Maghrib, kami pun menyudahi permainan.
Segelas teh hangat yang disuguhkan memecah dahaga yang tertahan seharian. Pusing di kepala sedikit demi sedikit turut larut bersamanya. Kami duduk bersila dan melingakar di atas alas terpal. Makan malam bersama teman-teman yang diliputi suasana kesederhanaan dan kebersamaan merontokkan rasa lelah yang tertumpuk di badan. Alhamdulillah.
Malam pun tiba. Setelah menonton film bersama anak-anak desa di Masjid, teman-teman memandu mereka untuk takbir keliling. Aku memilih di rumah untuk mempersiapkan perlengkapan out bond besok karena ternyata beberapa di antaranya tertinggal di Solo. Lagipula rasa pusing di kepala belum 100% hilang. Selain sebagai sie acara, aku juga diamanahi sebagai konseptor out bond. Masjid kecil dengan dinding kayu, lantai semen, dan kondisi penerangan seadanya di dekat rumah Mas Tio digunakan sebagai start takbir keliling
Aku dapat mendengarnya dari dalam rumah. Takbir dikumandangkan anak-anak dengan penuh semangat mengimbangi nyala obor yang berkobar di tangan mereka. Lambat laun suara mereka menghilang seiring dengan langkah kaki yang menjauh. Hingga akhirnya sekitar sejam kemudian rombongan takbir keliling telah sampai di depan rumah.
Teman-teman mulai antri kamar mandi. Maklum, kamar mandi hanya ada dua itu pun baru belum jadi secara sempurna. Itu masih lebih baik karena sebenarnya bentuk kamar mandi di desa ini hanya tertutup sampai bahu, namun LAZIS UNS menyalurkan bantuan untuk pembangunan 2 buah kamar mandi umum di kampung tersebut.
Setalah aktifitas selesai, kami berkumpul di ruang tamu yang disulap menjadi kamar tidur masal. Relawan putri tidur di rumah sebelah rumah Mas Tio, sedangkan relawan putra melepas lelah di rumah Mas Tio. Pancaran bolam 25 Watt menerangi ruang tamu yang begitu luas. Jadilah ruang dengan pencahayaan remang-remang.
Kami tidur beralaskan terpal dengan lantai tanah yang terasa keras dan dingin. Angin malam menyelinap nakal melalui sela-sela dinding kayu yang membuat badan semakin dingin. Bau khas sapi dan kambing yang akan disembelih besok tercium menusuk hidung karena mereka dikandangkan tepat di depan rumah. Takbir yang mengalun bersahutan dari segala penjuru Masjid membuat malam Idul Adha semakin syahdu, membuat diri semakin mensyukuri hidup.
***
Pendar-pendar cahaya mentari pagi menyapa sang bumi di hari Raya Idul Adha. Keindahannya berpadu dengan alunan takbir yang terus mengagungkan-Nya. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa illa ha illa Allahu Allahu Akbar! Kami langkahkan kaki menuju Masjid besar untuk menunaikan Solat Ied bersama masyarakat. Sebuah Masjid besar yang jauh dari kesan mewah layaknya Masjid-Masjid besar di kota. Bahkan Masjid di SMA ku lebih besar dan bagus dari pada Masjid itu.
Setelah selesai menunaikan Sholat Ied, kami mengikuti tradisi setempat yaitu bersalaman dengan sesama jama’ah sambil bersholawat. Jama’ah putra hanya bersalaman dengan jama’ah putra, begitu pula dengan jama’ah putri. Tibalah acara puncak yaitu, penyembelihan hewan qurban. Kami membagi menjadi 3 tim. Tim pemotongan dan pembagian hewan qurban, tim pengobatan gratis, dan tim out bond. Tentu saja aku di tim out bond.
Tim out bond menghadapi kendala karena ternyata anak-anak kampung setempat pergi ke sekolah. Berita yang kami dapatkan, sekolah akan melakukan penyembelihan hewan qurban dan akan langsung dibagi kepada mereka. Mereka takut jika tidak datang ke sekolah mereka tidak akan mendapat daging qurban. Kami mengambil keputusan untuk melaksanakannya di sekolah dengan meminta izin kepala sekolah terlebih dahulu.
Berita baiknya, kepala sekolah senang kami mengisi waktu luang anak-anak sampai daging qurban dibagikan. Melaksanakan di sekolah berarti mengisi anak-anak sesekolah. Itulah berita mengejutkannya, kami harus memberi out bond kepada seratusan anak. Sungguh jauh dari estimasi awal yang hanya 30-an anak. Wow, ini akan menjadi out bond kolosal! Aku belum pernah menghadapi jumlah sebanyak ini.
Creativity on, power on! And....let’s start! “Apa kabar kalian hari ini?” seruku pada anak-anak. “Alhmdulillah, luar biasa, Allahu Akbar!” Sahut mereka serempak. Dengan bersenjatakan megaphone, aku didapuk teman-teman menjadi lead out bond yang luar biasa ini.  Anak-anak sangat senang dengan kegiatan kami. Terbukti dari testimoni yang kuminta dari beberapa anak yang memenangkan out bond saat kami beri hadiah. Hehehe...Aku yakin mereka belum pernah bermain seperti ini sebelumnya. Melelahkan, tetapi juga menyenangkan.
***
Melihat pembagian daging qurban dan memakannya bersama teman-teman dan masyarakat adalah saat-saat yang paling mengharukan dari rangkaian acara ini. Perintah Allah yang satu ini terasa lebih bermakna manakala kami bisa berbaur dengan masyarakat miskin yang minim hewan qurban untuk menikmati indahnya Idul Adha. Inilah esesnsinya, saat si kaya mau berbagi kebahagiaan dengan si miskin dan saat kami bisa menjembatani mereka. Idul Adha-ku kali ini diliputi suasana yang teramat sederhana, namun juga teramat berarti.
Serangkaian acara ini ditutup dengan serah terima buku untuk perpustakaan anak dan peresmian tempat MCK umum. Segala bentuk keterbatasan kondisi desa yang Allah tunjukkan padaku telah menyadarkanku bahwa begitu banyak nikmat-Nya yang kadang kulupakan bahkan tak kusyukuri. Mengeluhkan yang tidak ada sedang yang ada malah tidak disyukuri.
Ketika alunan takbir semakin terasa keagungan-Nya, ketika sembah sujud semakin terasa betapa kecilnya kita, ketika ada banyak orang yang tak seberuntung kita, ketika senyum sapa masyarakat desa menyambut kita dalam kesahajaannya, ketika hari raya terkemas dalam bingkai kebersamaan untuk berbagi dan menginspirasi, “Fa bi ayyi aalaa i robbikuma tukadziban?” Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan? (QS. Ar-Rohman). Robb, ampuninah hamba-Mu ini yang tak pandai mensyukuri nikmat-Mu!


Tuesday, 12 November 2013

Belajar dari Kakek

               Pagi itu  terasa cukup sejuk, meski cahaya matahari telah sampai ke bumi sejak beberapa jam yang lalu. Tanah terlihat basah, daun-daun memancarkan hijau bersihnya, dan genangan air masih terlihat di beberapa tempat. Hujan lebat Minggu kemarin telah mengikis udara panas beserta kroni-kroninya selama musim kering di Kota Bandar Lampung dan memberi petunjuk bahwa telah dimulainya musim penghujan. Aku senang atas tibanya musim ini, tetapi bersamaan dengan hal tersebut ada rasa khawatir yang hinggap dalam benakku soal sekolahku.
Teringat Minggu pagi saat aku terbangun dari tidur malam. Tanpa membuka tirai jendela atau keluar rumah pun aku dapat memastikan bahwa saat itu sedang terjadi hujan yang sangat lebat. Gemuruh air yang ditumpahkan dari langit terdengar jelas di telinga. Kamar terlihat gelap. Spontan kuarahkan bola mataku kearah lampu yang terpasang di langit-langit kamar. Mati. Ah, itu sudah biasa. Pemadaman bergilir adalah hal yang biasa di sini. Malam, sore, siang, atau pagi bisa saja terjadi. Apalagi saat hujan lebat seperti pagi itu.
Tiba-tiba ibu kos mengetuk pintuku berulang sambil setengah berteriak, “Se, bangun, Se. Mau banjir. Angkat barang-barangmu ke atas dipan!” aku langsung tersentak dan bangkit dari kasur beranjak menuju serambi. Memang benar, air sudah hampir melewati bibir serambi dan kalau serambi telah tergenang, berarti air telah mendekat ke dalam rumah. Jika air masuk rumah yang terlebih dahulu terkena adalah kamarku karena merupakan ruang terdepan. Hujan yang sangat lebat ditambah permukaan halaman yang rendah dan tinggi serambi yang hampir tidak ada batas dengan halaman membuat air cepat tergenang menjadi banjir.
Banjir, bagaimana kondisi sekolah? itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiranku saat itu. Sejak pertama perkenalan dengan warga sekolah di SD N 1 Bumi Waras, Bandar Lampung, banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa sekolah tersebut menjadi langganan banjir. Ingin rasanya ke sekolah melihat kondisinya, tapi itu tak mungkin ku lakukan. Aku pun harus menjaga barang-barangku, bersiap apabila air hujan benar-benar bertamu di kamarku. Untunglah, hal yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi. Genangan air di halaman perlahan surut. Lalu, bagaimana dengan kondisi sekolah?

***
Saat aku setengah melamun di teras kelas memikirkan apa rencana terbaik bagi sekolah untuk mewujudkan sekolah ramah hijau, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah lubang yang tak biasa di parit sekolah. Parit itu tidak dalam dan sempit sehingga lubang itu terlihat sangat jelas. Seperti lubang biopori. Tapi tidak mungkin, sekolah baru akan mengajukan surat pengadaan bor biopori ke BPPLH. Ku dekatkan pandanganku ke arah lubang itu untuk meyakinkan. Benar-benar seperti lubang biopori. Kudongakkan kepala ke arah genting tepat di atas lubang itu. Biasanya jika ada pipa aliran air hujan, maka akan terbentuk lubang di tanah. Tidak ada pipa dan kalaupun ada tidak akan membentuk lubang sebesar itu.
Kususuri parit sekolah. Ternyata lubang itu tidak sendirian, ada banyak lubang di sepanjang parit sekolah. Bahkan beberapa di antaranya terlihat jelas lubangnya. Apakah surat pengajuan pengadaan bor biopori telah dimasukkan dan bornya telah diberikan? Kalau sudah, siapa yang membuat lubang-lubang biopori? Kapan? Mengapa aku tidak diberi tahu? Bukankah aku telah menyampaikan ide pada guru-guru jika bornya telah diberikan, maka siswa kelas 1 sampai 6 harus memiliki lubang biopori kelas masing-masing?
Setengah berlari aku menuju ke sebuah rumah kecil di belakang sekolah. Aku yakin dia pasti tahu apa yang terjadi kemarin. “ Kek, lubang-lubang itu siapa yang buat ya?” tanyaku pada lelaki tua yang tengah duduk di kursi panjang depan rumahnya. “Oh, itu saya yang buat.” Jawabnya sambil tersenyum. Spontan aku heran. Belum hilang keherananku, dia lalu bangkit dan mengambil sebuah linggis yang tersandar di batang pohon mangga.
“Begini caranya.” Katanya sambil menunjukkan gaya seperti orang mengalu pada salah satu lubang menggunakan linggis. “Kalau nggak diginiin, ntar banjirnya tambah tinggi. Kemarin aja hampir selutut. Nih lihat, lubangnya dalam kan?” jelasnya sambil masih memperagakan “temuannya”. “Wah….,kakek tahu dari mana cara seperti ini?” aku benar-benar heran dan penasaran. “Dari TV waktu banjir Jakarta dulu, pernah diberitakan cara seperti ini biar nggak banjir. Alatnya harusnya pakai yang diputer-puter itu kan (sambil memperagakan yang dimaksud)? Kata guru lagi ngajuin itu, tapi kalau ngajuin kayak gitu pasti lama deh. Daripada nunggu-nunggu mendingan pake linggis juga bisa.” Terlihat beberapa mili genangan air yang masih tersisa di parit menyusut ke dalam lubang yang ditunjukkan kakek. Kakek lalu membenarkan lubang-lubang lain yang agak tertutup dengan tanah. Aku tertegun dibuatnya. Selama ini aku dan guru-guru terlalu berpikir rumit mengatasi banjir, tetapi kakek yang SD pun tak lulus dapat menunjukkan hal yang luar biasa.
Kakek, begitulah warga sekolah biasa memanggilnya. Dia adalah penjaga sekolah yang tinggal bersama istrinya. Perawakannya besar, suaranya lantang, meski begitu garis-garis keriput di kulit dan beberapa helai uban di kepalanya cukup menandakan bahwa dia telah melewati masa hidup yang panjang.
Sejak pertama aku sampai di sekolah ini, aku melihat kinerja kakek yang lebih dari sekedar panjaga sekolah. Setiap pagi dia selalu menertibkan siswa-siswa untuk masuk kelas apabila guru mereka belum tiba. Apabila lebih dari satu guru yang belum tiba, maka sebanyak itulah kakek menertibkan kelas. Kadang kakek terlihat mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain karena seringkali siswa yang sudah ditertibkan keluar kelas lagi. Di saat kakek  mulai terlihat kewalahan inilah, nenek masuk kelas untuk menemani siswa doa pagi.
Tanggung jawabnya menjaga sekolah juga tidak sekedar menjaga sekolah agar tidak disambangi maling, tetapi juga ada tugas khusus di sekolah kami, yaitu menjaga agar sekolah terhindar dari banjir. Kalaupun tak bisa terelakkan, maka dia menjaga agar peralatan sekolah terhindar dari dampaknya. “Tadi aja banjirnya sampai masuk rumah. Kakek tidur di atas meja sono.” Kata nenek kepadaku sambil menunjuk salah satu ruang kelas. “Kakinya kakek sampai ngilu kedinginan.” Nenek menambahi.
Jangan kira itu dilakukan karena gajinya yang besar. Nenek pernah bercerita kepadaku perihal itu. Di tengah kondisi biaya hidup yang lumayan tinggi di sini, kakek harus puas menerima gaji sebulan untuk hidup sehari yang diterimanya tiga bulan sekali. Apa yang dilakukan tentu juga bukan agar media ramai memberitakannya dengan tujuan pencitraan diri. Bukan pula demi merebut piala Adiwiyata (lomba lingkungan hidup) karena besar kemungkinan dia tidak tahu apakah itu.
Hal itu dilakukan demi kecintaannya pada sekolah dan tentu saja pekerjaan yang telah digelutinya selama 11 tahun di sekolah kami. “Kalau di luar sono banjir ya terserah, itu tugasnya RT. Kalau tugas saya mah yang penting sekolah aman dari banjir, anak-anak bisa masuk sekolah.” Dia menjelaskanku tentang ranah tugas dengan bahasa yang sederhana.
Aku kagum dengan etos kerjanya. Dibalik pemberitaan media tentang  direbutnya piala Adiwiyata tingkat kota oleh sekolah kami, ada peran kakek yang luar biasa. Darinya aku belajar tentang tanggung jawab, pengorbanan, etos kerja, loyalitas, dan pagi itu kakek mencontohkan how to think simple, act brilliant, bukan malah sebaliknya.

Jika seseorang terpanggil menjadi tukang sapu jalan, hendaklah ia menyapu sebagaimana Michael Angelo melukis atau Beethoven menciptakan musik atau Shakespare menulis puisi. Hendaknya ia menyapu jalan dengan sangat baik sehingga segenap isi surga dan bumi serentak menghentikan kegiatan mereka dan berkata, di sini tinggal seorang penyapu jalan yang agung yang menjalani tugasnya dengan sangat baik. ( Martin Luther)




 
Kakek menunjukkan karyanya

Friday, 30 August 2013

Cerita di Ujung Senja


        Kamis Sore itu, setelah beberapa kali absen dan seharian tadi sibuk dengan urusan pelunasan janji dan pencarian surat yang menandakan bahwa aku sudah lulus sebagai mahasiswa, aku sempatkan untuk datang ke RAP (Rumah Anak Pintar) Ngoresan. Hari itu bahkan aku izin dari pendampingan siswa-siswa di sebuah sekolah tempat mengabdiku yang baru karena banyaknya agenda yang harus dikerjakan di kampus, salah satunya mengajar di RAP. Dorongan untuk datang waktu itu begitu besar sebesar harapanku untuk dapat bertemu adik-adik yang sudah lama kutinggalkan, terutama dari Masjid Al Ilyas yang telah bersamaku selama 3 tahun. Meski sebenarnya aku tidak dapat mengira siapa yang akan datang dan menyambutku dengan teriakan riang khas anak-anak seperti biasa, “Mbak Nisse....!!!” dan cium tangan tulus dari mereka. Bayangan wajah-wajah riang mereka yang kadang cemberut karena aku datang terlambat atau merasa pembelajaran kurang menyenangkan terus berkelebat di pikiran, menyatu dengan bayang-bayang perpisahan dengan mereka yang mungkin tidak akan lama lagi. 
     Kali itu aku datang bersama seorang teman yang sedang semangat-semangatnya membangun RAP karena saat ini masa depan RAP berada di tangannya. Aku dapat melihat itu pada pancaran wajah dan kata-katanya yang optimis setiap bertemu dengannya. Meski aku tahu jalan tak selalu mulus.
     Langit yang tiba-tiba menghitam mengisyaratkan tak lama lagi hujan akan segera menyapa sang bumi. Gelap, benar-benar gelap. Dari luar ruang RAP kulihat dua anak perempuan dan seorang ibu yang mengantar mereka duduk sembari menunggu relawan datang. Senyum kami bertemu bersamaan sebagai awal sapa yang kemudian dilanjutkan dengan ucapan salam dan jabat tangan. Sesaat setelah kami masuk, ibu tadi bertanya, “Kira-kira nanti pulangnya jam berapa ya mbak? itu motor pinjaman mau dipakai pemiliknya dulu.” (katanya sambil menunjuk sebuah motor yang terparkir di halaman). “Jam 5, Bu.” Jawabku. “Baiklah saya tinggal dulu ya, Mbak.” Katanya kemudian berjalan meninggalkan ruangan. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang hinggap dalam pikiranku saat melihat penampilan ibu tersebut. “Ko ibu itu pakaiannya seperti itu ya...? Padahal pasti dia tahu ini bimbelnya LAZIS.” (tidak menunjukkan penampilan seorang muslimah), kataku dalam hati sambil melihat kontras kedua anak itu yang menggunakan jilbab dan mungkin salah satu atau bahkan keduanya adalah anak dari ibu tadi.
     Belum sampai pembelajaran dimulai, tiba-tiba mati lampu. Untung kami punya lampu cadangan kecil yang telah di charge sebelumnya. Mungkin kalau aku jadi anak-anak itu, aku akan sangat kecewa dengan kondisi saat itu. Sudah relawannya datang terlambat, yang datang cuma dua anak, mati lampu, dan andai mereka dapat membaca pikiran kami mereka mungkin juga akan marah karena kami datang tanpa persiapan materi apapun. Tapi mereka bukan aku. Mereka adalah anak-anak polos yang hanya berharap kakak-kakak ini datang untuk mengisi sore mereka dengan mengajari hal-hal yang belum mereka ketahui atau sekedar mengajak mereka bermain. Temanku memimpin doa belajar. Kami sempat saling tanya mau diisi apa tapi akhirnya anak-anak kami minta menulis cita-cita dan cara untuk mencapainya. Temanku memberi contoh. “ Mengerti?”, tanyanya. Hanya dijawab anggukan dari keduanya. Aku berharap mereka benar-benar mengerti.
     Anak-anak itu belum kami kenal sebelumnya karena berasal dari TPA yang belum pernah kami ajar. Ketidakkenalannya kepada kami membuat kedua anak itu malu-malu berinteraksi, meski kami telah berusaha seramah mungkin. Bergerak pun mereka terlihat tidak bebas, seolah-olah ada monster gelap,  monster yang datang saat mati lampu yang sedang mengawasi gerak mereka dan menelan hidup-hidup jika melakukan kesalahan. Terlihat beberapa kali mereka bingung mau menulis apa. Sesekali aku membantu mereka. Ruangan yang remang-remang karena hanya mengandalkan penerangan dari lampu cadangan terasa semakin sepi. Jarum jam terus berputar, menambah setiap detik dan menit dalam perputarannya. Sayangnya, bertambahnya detik dan menit tidak disertai dengan jumlah anak yang datang. Mungkin karena mendung tebal, mungkin karena jauh, mungkin karena mereka sedang les, mungkin, mungkin, mungkin..... Aku jadi teringat dulu saat masih mengisi Al Ilyas, ketika hujan adik-adik seringkali datang menggunakan payung. Ada yang diantar ibu atau bapak mereka, ada yang datang sepayung berdua dengan temannya, dan ada yang cuek aja pakai payung besar ukuran dewasa sehingga terlihat tidak proporsional dengan badannya yang kecil. Mereka begitu bersemangat dan tetap saja masih tersenyum dan berteriak, “Mbaaaak....!” saat melihatku dan gantian aku yang menyapa mereka, “Halo..... Assalamualaykum..(diikuti namanya)....!” Aku selalu terkesan dengan semangat mereka dan ini memotivasiku untuk mengisi hari itu dengan lebih baik. Tapi itu tidak terjadi saat ini. Sepi.
     Beberapa menit kemudian, kedua anak yang sedari tadi menggoreskan pensil di atas selembar kertas dengan sebuah pertanyaan yang mungkin masih asing bagi mereka, diminta temanku untuk membacakannya. Lagi-lagi malu-malu, kemudian saling tunjuk siapa yang membaca duluan. tidak ada yang berani. “Hanya ada seorang teman dan dua kakak yang menyaksikan saja malu-malu?”, Pikirku. Apa yang membuat mereka begitu? Ini bukan pertanyaan benar salah yang akan berdampak pada marahnya seorang guru kelas atau gaduhnya kelas karena tawa ledekan teman-teman sekelas yang berakhir pada justifikasi “bodoh”. Akhirnya, dengan agak terpaksa dan malu-malu salah satu dari mereka membacakan cita-citanya duluan karena kalah suit.
     Anak berjilbab biru itu mulai membacakan, “Aku ingin menjadi dokter. Aku rajin belajar, berdoa, dan membantu orang tua. Setelah lulus SD aku mau melanjutkan SMP, SMA, kemudian kuliah.” Suaranya yang pelan sedikit aku tangkap. Giliran anak berjilbab orange Membacakan bersamaan dengan kedatangan ibu tadi. Jam menunjukkan tepat pukul 5 sore. Pertanyaan soal ibu tadi kembali mendatangi pikiranku.  Anak itu memulai, kami berhadapan tapi aku hanya dengar ucapan awalnya saja karena suaranya lebih pelan dari anak pertama. “Aku ingin jadi dokter. ......” aku mengira mungkin intinya sama dengan anak pertama. Yah, cita-cita yang biasa diucapkan anak kecil. Bagiku tidak ada yang istimewa, tapi mungkin bagi mereka itu luar biasa bisa menceritakannya. Setelah keduanya selesai membaca, seperti biasa kami menyemangati mereka agar belajar lebih rajin dan berdoa agar cita-cita yang telah ditulis tadi terkabul suatu saat nanti.
     Mendengar anak kedua yang membaca dengan lirih, ibu itu berkata, “ Ko lirih men, padahal kalau di rumah teriak-teriak...” kami hanya menanggapi dengan tawa memaklumi kondisi mereka yang belum mengenal kami. Ternyata anak berjilbab orange adalah anak ibu itu. Komentar awal itu kemudian mengalir ke cerita-cerita lain. Pada awalnya aku berpikir ini akan seperti cerita ibu-ibu biasa seputar keberhasilan anaknya di sekolah. Meski begitu aku tetap mendengarkan dengan baik. Perkiraanku ini terpatahkan kemudian.
     “Lingkungan rumah saya tidak baik. Banyak orang Kristen. Anak saya pernah diajak ke Gereja, tapi tidak saya ijinkan.” Kalimat ini mulai menarikku untuk mendengarkan dengan lebih baik. “Oya?” sesekali kalimat itu muncul dari mulut kami. “Bapaknya dulu juga mualaf dan keluarga bapaknya juga masih Kristen.”  Kalimat demi kalimat terungkap secara sederhana namun disampaikan secara mendalam dari bibir ibu yang terhitung masih muda itu.
     “Dulu bapaknya juga tidak bisa Solat, tapi terus baca-baca gitu akhirnya bisa. Anak saya sampai sekarang masih sering ditawari ke Gereja bahkan dijanjikan akan disekolahkan sampai kuliah, tapi saya tidak mau. Biar saya sendiri yang menyekolahkannya. Saya tidak mau anak saya salah didikan. Makannya saya antar dia ke sini.” Kulihat anak berjilbab orange tersipu malu sambil tersenyum.
     “Waaaah, subhanaAllah....” Kalimat itu akhirnya terucap melenyapkan pikiran burukku tadi soal penampilan ibu itu. Perasan kagum itu bercampur dengan sesal, Ah kenapa kita tidak bisa seperti mereka yang mampu membiayai sekolah sampai kuliah? Padahal sebagian dari kita punya kewajiban untuk menyisihkan hartanya untuk kaum yang membutuhkan seperti mereka. Kalaupun tidak cukup harta, maka pikiranlah yang dicurahkan. Kalau pikiran juga tidak mampu, maka tenagalah yang diberikan.
     “Saya kadang bingung mau cerita sama siapa...” Katanya agak terbata. Meski ruangan itu remang-remang aku dapat melihat mata ibu itu berkaca-kaca. Kilauan senja berwarna orange menerpa wajah lugunya dari jarak jutaan tahun cahaya menyingkirkan keangkuhan awan hitam lalu menyelip diantara rumah-rumah warga yang membentuk siluet dan akhirnya menerobos melalui pintu masuk ruang RAP. Kalimat itu terucap penuh haru seolah sudah lama dipendamnya karena tak menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pendengarnya, maka akhirnya meluncurlah cerita-cerita itu. Kami pun tertegun. Suasana menjadi agak kaku bercampur haru, simpati, dan yang tadinya aku berpikir ceritanya akan biasa menjadi penasaran soal apa lagi yang akan diceritakan ibu itu. Ini jadi semacam cerita pada saat api unggun.
     “Saya itu bisa membaca malah dari TPA.” Kalimat itu membuat kami tersentak. “Hah? TPA?” Tanyaku tak percaya. “Iya, TPA.” Ibu itu meyakinkan. “TPA? Ko bisa?” Tanyaku sekali lagi, mungkin kali ini aku salah pendengaran. “Iya, mbak. TPA.” Ibu itu juga mengulangi jawaban yang sama. Apa lagi yang akan diceritakan ibu itu? Aku semakin penasaran. Seolah bisa membaca pikiranku, ibu itu melanjutkan ceritanya. “Dulu waktu saya masih kecil bapak saya sudah meninggal, ibu saya sudah tua. Saya pengen sekolah, tapi keluarga saya miskin. Jadi, saya tidak disekolahkan. Akhirnya saya belajar membaca dari TPA. Saya bisa membaca ya dari TPA.”
     Betapa berjasanya TPA itu sehingga bisa membuat ibu itu bisa membaca. TPA yang ku tahu biasanya hanya mengajari  A, Ba, Ta. Berbeda dengan TPA umumnya, TPA yang diceritakan ibu itu tidak hanya mengajari A, Ba, Ta, tetapi juga A, B, C. Sungguh luar biasa TPA itu memberikan pendidikan alternatif bagi anak-anak dari keluarga miskin yang tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal. Meski hanya mengajari hal sederhana-membaca- bukan yel-yel, tepukan atau lagu-lagu semangat khas santriwan/i TPA, metode-metode pengajaran menyenangkan, mendengar dongeng bersama, atau permainan out bond yang sering ditawarkan TPA  saat ini. Kesan yang diberikan TPA itu begitu mendalam dalam hati ibu itu, dibawanya hingga dewasa bahkan saat anaknya telah sebesar dirinya saat masih  belajar A, B, C di TPA.
     “Saya memang bodoh, tapi saya ingin anak saya pintar. Makannya saya antar anak saya ke sini. Anak saya itu pemberani, waktu TK saja pernah ikut lomba cerdas cermat sama temannya laki-laki semua.” Aku pikir semangat dan keberanian anaknya diturunkan oleh ibu itu. Dia rela dengan keadaan yang membuatnya tak dapat bersekolah, tapi dia tak rela anaknya mengalami nasib yang sama. Meski kondisi ekonominya mungkin tak jauh berbeda dengan masa kecilnya dan ada yang menawari menyekolahkan anaknya hingga kuliah, dia tetap berpegang teguh pada prinsip. Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan bagi orang-orang sepertinya yang bisa dengan mudah menjual prinsip hidup demi cita-cita masa kecilnya yang tak tercapai.
     Menyaksikan anaknya berani bercita-cita, menuliskan cara mencapainya, dan membacakannya meski dengan suara yang hampir tak terdengar telah membawanya pada ingatan masa lalu yang pahit dan menjadi hal luar biasa yang dilakukan anaknya karena bahkan mungkin dulu dia telah mengubur dalam-dalam cita-citanya karena dimatikan oleh kondisi yang tak diinginkan.
     “Nah...makannya adek belajar yang rajin ya, bantuin orang tua, berdoa juga biar cita-citanya jadi dokter terkabul. Kalau sudah jadi dokter, ibunya sakit bisa diperiksa.” Kataku pada anak berjilbab orange. Dia menanggapi dengan senyum malu. Kulihat ibunya menganggung-angguk sambil mengusap bagian bawah mata menggunakan punggung tangan kanannya. Apa itu air mata?
     “Kalau sekarang saya suka kegiatan-kegiatan sosial. Saya jadi kader Posyandu. Ya itu tempat saya bersosialisasi dan belajar sekarang.” Suasana menjadi agak cair. SubhanaAllah, batinku. Ibu itu tetap berusaha belajar dengan caranya sendiri dan lagi-lagi ilmu itu didapat bukan dari lembaga pendidikan formal. Aku dan temanku sekali lagi menyemangati kedua anak yang semangat itu.
     “Baiklah, saya pulang dulu. Itu motor pinjaman soalnya. Kalau ada jadwal les biar anak saya, saya antar ke sini.” Senyum ibu itu mulai terlihat. “Iya.” Jawab kami hamir bersamaan.
     Mereka bergerak keluar. Mesin motor dinyalakan, kedua anak tadi membonceng di belakangnya. Sesat kemudian mereka hilang dari pandangan kami. Aku dan temanku juga bersiap untuk pulang. Ruangan semakin gelap karena listrik belum nyala. Di perjalanan kami membicarakan cerita ibu tadi. Kami memiliki pemikiran sama, luar biasa. Aku jadi malu karena sempat menilai buruk ibu itu hanya dari penampilan luar. Benar-benar menipu. Seolah hanya dalam waktu satu jam Allah ingin menunjukkan kepadaku bahwa di luar penampilan yang belum sempurna, terdapat kecintaan pada-Nya  yang terukir jelas di hatinya. Mengapa aku menilai seseorang secara sempit? Apa aku merasa sudah sempurna? Bahkan aku tak tahu apakah hatiku akan setangguh hatinya apabila dalam posisi seperti itu.
     Terkadang seseorang terjebak pada penampilan palsu. Memakai hanya karena ingin memperoleh pengakuan kelompok. Terkadang seseorang terjebak pada penampilan kosong. Mengenakan tanpa tahu makna sesungguhnya. Terkadang seseorang terjebak pada penampilan menipu. Menggunakan hanya karena ingin menunjukkan eksistensi. Sedangkan apakah yang ada di dalam hati sudah benar-benar tulus mencintai-Nya? Tegar dan tetap belajar dalam setiap ujian. Aku jadi takut jika ternyata aku salah satu di antara orang-orang yang terjebak pada penampilan. Cinta itu tidak hanya terbatas pada apa yang tampak di luar, tetapi lebih penting dari pada itu adalah apa yang ada di dalam.
     Soal penampilan ibu itu, itulah tugas kita yang tahu. Jangan kalah dengan mereka yang bahkan mampu menyekolahkan anak SD hingga tamat kuliah. Mungkin kita perlu melakukan sesuatu minimal agar bertambah orang yang mau mendengar cerita ibu itu (bukankah itu yang dibutuhkan ibu itu saat ini?). Bagus lagi kalau tidak hanya mendengar, tetapi juga menjawab. Pikiranku terus bergulat soal cerita tadi. Busku mulai berjalan perlahan mengarah ke matahari di ufuk barat. Pancaran cahaya orangenya mengalahkan gumpalan awan hitam yang menguasai langit sedari sore. Menunjukkan sebuah pesan hikmah bahwa ada ketegaran dalam setiap ujian. Busku terus berjalan, membawaku bersama cerita di ujung senja yang mengesankan.