Tuesday, 24 January 2017

Antara Jakarta dan Papua (Bagian 1)

Sudah hampir 12 bulan saya di Jakarta untuk menempuh pendidikan profesi guru, setelah sebelumnya melewatkan waktu yang amat luar biasa di Papua. Maka, sebelum semua menguap tak tersisa, saya ingin sedikit berbagi sepotong cerita selama di Jakarta. Saat di Papua saya dihadapkan pada kondisi yang sangat minim fasilitas dan kemampuan sumber daya manusia yang sederhana dalam mengelola alam (penjelasan mengenai ini bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya). Keadaan yang sangat bertolak belakang dengan ibu kota negara, Jakarta. Berpindah dari tempat yang masih sangat sepi dan alami ke tempat yang bisa disebut sebagai The City Never Sleep cukup membuka mata saya tentang realita kehidupan yang kadang menyesakkan dada, terutama soal disparitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di antara keduanya. Siapa pun yang pernah merasakan hidup di kedua tempat tersebut, pasti bisa merasakan hal yang sama.

Tentang Keadaan Masyarakat

 Ketika saya baru tiba di Papua setiap orang yang berpapasan dengan saya meski saya adalah wajah baru bagi mereka, mereka akan dengan ramah dan akrab menyapa saya, "Selamat pagi/siang/sore/malam..!" kalau mereka sudah tahu saya adalah seorang pengajar, mereka akan sedikit mengubahnya,"Selamat pagi, Ibu guru!" dan kadang dengan diksi guru yang khas bagi mereka, "Selamat pagi, Mama Ibu!" Keakraban itu semakin terasa di kemudian hari ditunjukkan dengan keikhlasan mereka berbagi hasil panennya bahkan "perintah" orang tua kepada anaknya ketika mengetahui saya, gurunya, sedang sendirian di rumah.

Dan semua keakraban seperti itu tak saya dapatkan ketika di Jakarta. Setiap saya berjalan di sepanjang trotoar menuju kampus, di dalam kendaraan umum, bahkan ketika berpapasan dengan orang yang saling kenal pun jarang ada sapaan hangat di antara mereka. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tugas-tugas mengejar mereka, waktu mengejar mereka, date line pun turut mengejar. Pekerjaan seolah tak ada habisnya sejak mata terbuka hingga tertutup kembali. Maka, langkah pun harus dipercepat, bicara jangan terlalu lambat, gerakan tangan harus cekatan, sapaan ramah pun diabaikan...

Kesibukan ini akan semakin terasa ketika penduduk Jakarta yang jumlahnya terbanyak se-Indonesia ini berebut mendapat jalan saat jam-jam sibuk. Manajemen transportasi umum yang masih belum mumpuni ditambah dengan attitude sebagian masyarakat yang lebih suka mengendarai transportasi pribadi membuat mobil-mobil kinclong kesulitan mencari jalan. Kemacetan lalu lintas menjadi makanan sehari-hari. Polusi dan pemborosan bahan bakar sudah pasti terjadi. Antar kendaraan pribadi saling klakson, memaksa yang lain segera minggir dan memberinya jalan untuk lewat. Alih-alih menguji kesabaran, yang terjadi adalah tingkat stres yang tinggi.

Keruwetan semacam itu sama sekali tak pernah saya temui di kampung saya di Papua. Jalan benar-benar sepi dan lebih pantas disebut sebagai The Real Free Way dari pada jalan tolnya Jakarta yang juga sering macet. Jika di Jakarta mobil mencari jalan, sebaliknya di Papua jalanlah yang mencari mobil lewat. Sebagai kabupaten yang baru berdiri 2008 lalu dan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dibanding Jakarta membuat pembangunan infrastruktur dan sistem transportasi yang masih jauh dari kata ideal. Satu sisi ini bermakna positif karena tidak ada orang stres akibat kemacetan lalu lintas, di sisi lain ini juga bermakna negatif karena jalan yang masih berbatu dan tidak ada penerangan dapat membahayakan pengguna meski tidak ada "pesaing" di jalan.

Jalan di depan rumah yang lengang



Kemacetan di depan asrama






Tentang Pendidikan

Awal bulan Agustus adalah saat saya dan teman-teman PPL di sekolah. Kebetulan saya mendapat SMA yang disebut-sebut sebagai salah satu sekolah terbaik di Jakarta. Ketika mendengar itu, saya penasaran seperti apakah sekolah terbaik di Jakarta itu? Rupanya seperti inilah gambarannya,

*)Di sini sekarang kuberdiri,

di sebuah SMA yang kata para penghuninya terfavorit se-DKI. Baru-baru ini ia merayakan dies natalis. Mengundang juara 3 X-Factor Netherland, tepat 9 hari setelah kita merayakan 17-an. Kita dulu mengusir, sekarang mengundang untuk bersenang-senang. Siswa-siswa dengan hebat menampilkan tarian daerah dan modern, dan rapling, dan marching band, dan bazar, dan...dan...dan...

di saat yang sama, jauh di timur Indonesia, ada sekolah-sekolah yang tak tahu kapan pertama kali para guru mengajar siswanya, yang diingat cama dulu pernah mengajar dengan dinding pelepah sagu dan lantai tanah. Sampai sekarang siswa SMP-nya masih belajar membaca dan menulis abc dan menghitung 123, dan...dan..dan... SMA? Bayangan mendirikannya saja adalah sebuah kegemilangan ide.

Di sini sekarang kusaksikan,

 Siswa-siswa yang obrolannya soal tas dan sepatu Eropa milik guru-guru mereka yang terkikik saat meragukan keasliannya, yang buah-buahan tak berbuah di pohon tetapi di HP dan laptop mereka, yang diperebutkan adalah skor tertinggi: akademik dan non akademik, yang bersin saja pakai English Style, yang diimpikan kampus ternama se-Indonesia bahkan dunia, jalan-jalan ke Singapura janganlah dibicarakan, keliling Eropa baru keren.

Guru-guru memimpikan seritifikasi supaya gaji lebih tinggi. Kepala sekolah menampilkan senyum bangga kelas tinggi saat menyebut sederet prestasi siswa. Dimutasi dari sekolah peringkat sekian ke sekolah dengan siswa-siswa anak pejabat tinggi dan jendral menjadi gengsi tersendiri untuknya. Maka, ucapan "Sekolah Favorit Se-DKI" seperti lonceng jam yang berdentang tiap 60 menit sekali.

Di waktu yang sama, jauh di negeri saat sinar mentari jatuh pertama kali, ada sekolah-sekolah yang siswanya berangkat membawa buku tulis usang miliknya sisa kelas lalu atau bahkan siswa rapat majelis Gereja, berseragam kumal satu-satunya, beralas kaki seadanya.

Guru honorernya memimpikan atasannya ingat untuk menggajinya bulan ini dan bulan-bulan lalu. Kepala sekolah menampilkan senyum bahagia atas kemampuan siswanya menjadi paskibraka untuk pertama kalinya sejak sekolah berdiri.

Dua sekolah itu berdiri di negara yang sama. Negara kaya bernama Indonesia yang katanya sudah merdeka. Beginilah pendidikan di negeri Loh Jinawi. Diserahkan dan dimainkan para politisi demi mengamankan POSISI.

*Tulisan di atas pernah saya tulis di akun IG saya.

Upacara Hari Guru



Bersambung....
No comments:

Sunday, 30 October 2016

Membuat Paspor Online terbaru


“Sekarang aku kembali bermimpi dalam jangkar yang lebih jauh dan luas.”  Tulisku di blog pada bulan Oktober saat baru saja selesai membuat paspor. “Kamu jadinya kapan ke luar negeri?” tanya beberapa teman yang mengetahui soal pembuatan paspor. Beberapa bertanya-tanya mengapa aku melakukannya, beberapa seperti mengucapkan “Wow!”. “Setelah membaca tulisanmu, aku yakin banget…paspor kamu bakal segera terpakai…entah bagaimana caranya.” Komentar seorang teman yang berhasil membuatku terharu sekaligus optimis. Lalu kubuka tulisan pada buku catatanku saat awal tiba di Papua. “Bikin paspor buat ke:....” beserta daftar negara yang ingin kukunjungi.

Oke, jika dalam waktu dekat berangkat. Aku harus membuat suatu alasan yang tidak hanya bisa kuterima namun juga diterima keluarga terutama orang tua. Bagi keluarga besarku, pergi ke luar negeri adalah suatu yang teramat istimewa. Tercatat dari yang pernah ke luar negeri belum pernah ada yang pergi di usia muda plus memakai uang sendiri. Terdengar terlalu pede. Yang kedua, mau ke mana?

Setelah memikirkan dua hal utama itu, kuputuskan negeri singa, Singapura, sebagai negara pertama setelah kudapatkan kunci gerbang yang bernama paspor. Setelah itu ke Malaysa. Sebenarnya dua negara itu tidak masuk dalam daftar di buku catatan saat di Papua dan  terlihat mainstream sekali orang Indonesia ke Singapore lalu dilanjutkan ke Malaysia, tapi aku punya dua alasan kuat mengapa aku harus ke sana. Pertama karena tabunganku yang terkumpul hasil dari tak pernah menengok Tanah Abang dan toko online baru cukup untuk jarak sejauh itu. Kedua aku tertarik dengan keberhasilan sistem pendidikan Singapura yang dibicarakan banyak negara. Indonesia dan Singapura, bertetangga namun sangat berbeda. Alhamdulillah aku memiliki teman fb orang Singapura (Mrs Aisya) yang mau mencarikan guru sebagai “narasumber” yang akan menjawab rasa penasaranku. Kalau Malaysa? Temanku punya kenalan dosen yang paham tentang pendidikan di Malaysa dan akan dengan senang berbagi cerita.

Aku mengajak temanku (Miss Lisfah) yang sejak September pernah merencanakan hal yang sama bahkan merencanakan Oktober akan berangkat, namun pembicaraan tentang itu menguap karena kami sama-sama sibuk. Mungkin inilah yang disebut dengan semesta mendukung. Miss Lisfah kebetulan libur mengajar pada akhir Januari, tak lama setelah aku wisuda dan aku mendapat lampu hijau dari keluarga yang awalnya aku agak tak yakin. Yey!

Kami membagi tugas. Aku mencari penginapan sedangkan dia mencari tiket pesawat dan tempat kunjungan. Karena tujuan utama kami untuk “mencari tahu”, maka daftar tujuan kami hampir tak sama dengan cerita kebanyakan orang jika ke sana. Museum, perpustakaan, sekolah, dan saat hari ketiga kami akan bertemu dengan guru-guru Singapura yang bersedia berbagi tentang pendidikan. Merlion dan Twin Tower jelas akan kami datangi sekedar untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang turis. “Do you wanna go to Universal Studio?” tanya Miss Lisfah waktu itu. “Em… yah kalau mau sekedar foto saja, tapi aku nggak terlalu tertarik. Kalau ada pelosoknya Singapura seperti di Indonesia mungkin akan aku datangi. But I’m not sure it has. Hahaha…” setiap hari kami berusaha untuk bisa bertemu membicarakan rencana itu, meski hujan dan badai mengguncang Jakarta.

Awalnya kami membidik Foot Prints Hostel di Singapura karena lokasinya strategis dan mendapat banyak komentar bagus dari pengunjungnya, namun harga per malam yang hampir Rp 200.000,00 membuatku searching hostel yang lebih murah tapi minimal bersih dan strategis. Usahaku nongkrong di depan kamar asrama untuk mendapat sinyal wifi dari pagi sampai pagi lagi membuahkan hasil yang mengejutkan! Waktu menunjukkan hampir jam 2 pagi dan aku mendapatkan info yang membahagiakan bagi orang yang akan menggembel di negara semahal Singapura.

Terbaca di layar tabku: Promo Traveloka sampai Rp 150.000,00 untuk 8 hotel di Singapura. Periode pemesanan hanya tiga hari. Aku menemukan Sleepy Kiwi Hostel menawarkan harga termurah untuk kamar berisi 14 kasur, Rp 108.681,00 per malam sudah termasuk pajak, wifi, dan break fast. Hanya saja kami tidak dapat menarik uang pembayaran jika ingin membatalkan. Jika kugunakan kode promo berarti bisa lebih murah lagi. Padahal waktu kucek harga per kasur di web resminya seharga $18 atau sekitar Rp 162.000,00. Awalnya kami agak bingung mengapa harga di web resmi malah lebih mahal daripada di aplikasi Traveloka. Ternyata berdasarkan pendapat beberapa orang di blog mengatakan bahwa agen  memang sering memberikan harga yang lebih murah daripada aslinya. Oh, namanya juga promosi.

Fix kami memilih Sleepy Kiwi karena sudah murah dapat promo lagi ditambah lokasi di pusat muslim. Sehingga kami mudah mendapat Masjid dan makanan Halal. Kami memesan untuk dua kasur tiga malam tipe female dormitory 14 beds sejak tanggal 1 Februari. Harga total yang awalnya Rp 625.087,00 dipotong menjadi Rp 586.813,00 atau sama dengan Rp 97.802,16 per orang per hari. “MasyaAllah murah banget.” Komentar Miss Lisfah tidak percaya. Sebenarnya aku juga tidak percaya apa itu sudah benar-benar dibooking-kan oleh Traveloka. Sehingga aku menanyakan hal tersebut ke CS Traveloka hingga tiga kali melalui email dan alhamdulilah selalu dijawab dengan cepat untuk meyakinkan bahwa beds tersebut sudah dipesankan.

pemesanan melalui Traveloka

Harga setelah dimasukkan kode promo


Act As International Class, Please!

Akhirnya sampai juga di tanggal 1 Februari. Aku berangkat dari rumah saudara di Srengseng Sawah ke Terminal Rambutan pukul 4 pagi naik ojek online. Perjalanan hampir sejam karena mampir dulu ke minimarket membeli roti dan susu dan ke ATM. Aku sempat khawatir tidak ada ojek sepagi itu. Sampai di Terminal Kampung Rambutan pukul 5 pagi dan Bus Damri yang akan kuaiki masih berisi beberapa penumpang. Aku berharap tidak menuggu lama karena khawatir akan tiba mepet dengan jadwal pesawat berangkat, pukul 8.20.

Beruntung tak lama menunggu, bus berjalan karena penumpang hampir memenuhi bus. Rp 40.000,00 kukeluarkan untuk ongkos ke Soekarno-Hatta. Lalu lintas yang masih sepi semakin menguntungkan perjalanan karena kalau sudah detik-detik jam sibuk bisa macet berjam-jam. Awalnya aku berharap bisa melanjutkan tidur di bus, tetapi ibu-ibu yang duduk di sebelahku banyak bercerita tentang kampung halamannya di Belitung yang cukup menarik sehingga aku jadi tertarik untuk menanggapi.

Tepat pukul 6 aku sampai di Soekarno-Hatta. Apa kamu bisa membayangkan orang yang belum mandi pagi, belum sarapan, dan kurang tidur berada di bandara internasional untuk mengawali perjalanan pertamanya ke luar negeri? Itulah aku. Aku memang belum mandi pagi karena khawatir masuk angin gara-gara kemarin malam kehujanan sehabis pulang dari festival pendidikan di Jakarta Pusat dan aku pede sekali berangkat hanya dengan cuci muka, bedak tipis, dan parfum secukupnya untuk memanipulasi keadaan. Tak lama kemudian Miss Lisfah juga datang. Kami saling bertanya soal perjalanan sampai di bandara. Ternyata mengobrol ringan sebelum sarapan itu membuat perut lapar semakin lapar. Aku menawari roti sobek dan kacang kepada Miss Lisfah karena dia sama-sama belum sarapan sudah begitu dia sama sekali tidak membawa bekal selain sebotol air putih. Tips menggembel no 1: bawalah bekal secukupnya jika belum sempat sarapan.

Setelah sepotong roti dan sekotak susu tertelan, giliran mata yang mengeluh. Ternyata perut yang lumayan kenyang ditambah kurang tidur itu membuat mata mengantuk semakin mengantuk. Apalagi Miss Lisfah bercerita sama sekali tidak tidur semalam. 

“Kita masuk ke ruang check in yuk.” Ajakku yang waktu itu jam dinding bandara menunjukkan pukul 6.30.
“Tidur sebentar ya..nanti jam 7.30 kita masuk. Kalau sudah masuk kita nggak bisa jalan-jalan ke luar.” Tolaknya sambil menyandarkan keningnya ke bagian atas carrier-nya. Oke, baiklah. Lagi pula 8.20 masih lama.

Tak butuh waktu lama untuk Miss Lisfah teridur. Aku juga tidur tapi kadang terbangun dan melihat jam hingga aku melihat sudah pukul 7.30 pagi.“Please, sebentar lagi saja. Aku masih mengantuk, apalagi 8.20 masih lama.”  kataku dalam hati. Akhirnya tepat pukul 7.45 aku terbangun dan membangunkan Miss Lisfah yang belum bangun. Ngulet-ngulet, kucek-kucek mata dulu ditambah aku ke ATM lagi membuat kami masuk ruang check in pukul 7.55. 

Sambil berjalan menggendong ransel masing-masing dengan langkah lumayan cepat kami menuju meja check in. Semua terasa baik-baik saja hingga kami tak melihat no pesawat kami tertera di papan check in maskapai.
“Hey, kayaknya ini sudah terlalu jauh. Sepertinya betul yang tadi, tapi kenapa tujuannya bukan ke Singapore, tapi Malaysa?” tanyaku pada Miss Lisfah. 
“Sepertinya betul yang tadi. Coba kita tanyakan.” Sahutnya.

Setibanya di meja check in yang sepi, Miss Lisfah menunjukkan tiket yang sudah dicetaknya dari rumah. Petugas perempuan yang lumayan menor itu mengecek tiket dengan seksama lalu dalam tempo yang singkat mengatakan hal yang membuat dua orang yang kurang sarapan dan tidur ini seperti tersambar petir.
“Mbak, ini sudah tidak bisa masuk.”
“Apaaaaah!?” seketika kami berdua bengong. Mataku membelalak.
“Tapi ini masih jam 8.” kataku setelah cukup tersadar dari kekagetan.
“Harusnya 45 menit sebelum take off sudah check in, Mbak. Ini semua penumpang sudah di dalam.”
“Terus gimana?” tanya Miss Lisfah
“Ke Customer Service nya aja. Di ujung serambi. Keluar dulu dari ruang check in.”
“Ayo  kita keluar.” Ajak Miss Lisfah buru-buru.

Dan…di bandara seluas itu kami harus berlari mengejar waktu yang sudah sangat dekat dengan 8.20. Petualangan menggembel pun dimulai!  Jam di hand phone menunjukkan pukul 8.05. “Ah, apa yang kira-kira akan kami dapat kalau sudah bertemu CS? Apa masih bisa menunggu dua orang ini untuk masuk badan pesawat sedangkan waktu semakin sempit? Kenapa kami harus mengawali perjalanan dengan sesuatu yang tidak mengenakkan begini?” pikirku dengan segala tanda tanya. Aku lelah sekali, tasku terasa semakin berat, jantungku berdegup cepat. Adrenalin benar-benar lebih terpacu dibandingkan naik roller coster. Tips menggembel no 2: istirahatlah secukupnya sebelum melakukan perjalanan jarak jauh agar badan dan pikiran fresh.

Untungnya Miss Lisfah dapat berlari kencang meninggalkanku. Sepertinya sambaran petir kalimat tadi menjadi energi baginya sehingga meskipun postur tubuhnya kecil dan carrier-nya berat tidak melambatkan dirinya untuk berlari. Beberapa meter di depanku dia sudah masuk ruang CS. Saat aku masuk dia sudah mengawali pembicaraan dengan petugas. Aku berusaha menenangkan jantung dan nafasku setelah berlari. Sekarang berharap agar ada jawaban yang semakin menenangkan.

Ada seorang perempuan muda berpakaian stylish juga sedang menghadap petugas, tetapi aku tidak tahu keperluannya. “Duduk dulu di sini.” Katanya sambil memberikan kursinya untukku. 

“Sudah nggak bisa, Mbak. Mbak pakai tiket promo ya? Kalau promo emang nggak bisa. Kalaupun mau masuk sekarang kena charge 90% dari harga asli. Kalau saya mendingan beli tiket baru. Kalau mau, ini ada yang jam 11 600 ribu atau yang jam 5 400 ribu.” Keterangan CS sama sekali tak membuat jantungku berdegup normal.
“Hah? Masak sudah tidak bisa? Perasaan dulu saya kalau naik pesawat 30 menit sebelum take off masih bisa masuk.” Aku menawar bernada tak percaya karena aku tahu maskapai ini juga sering delay.
“45 menit sebelum take off harus sudah check in, Mbak.” 

Waduh aku tidak bisa mengelak kalau itu alasannya karena aku tidak memegang tiket. Aku menyesal kenapa tidak minta tiket online nya ke Miss Lisfah sebelumnya agar aku bisa melihat detail informasi di tiket. Tips menggembel no 3: usahakan jika pergi bersama-sama semua penumpang memiliki tiketnya meski satu orang yang memesan.
“Trus gimana?” tanya Miss Lisfah padaku
“Berapa harga tiket kita?” bahkan untuk soal ini aku tidak tahu pastinya.
“380.” Jawabnya semakin membuatku bingung memutuskan karena harga tiket selanjutnya beda jauh dengan yang kami miliki.
So…stupid, ceroboh, mubazir sekali!” aku mengutuki diri sendiri karena harus mengahadapi keterlambatan hanya gara-gara ketiduran.
 “Oh, kalian mau ke Singapore?” tanya perempuan muda itu di sela-sela kebingungan kami.
“Iya.” Jawab kami serempak.                     
“Saya juga mau ke Singapore tapi lewat Batam. Are you a student or worker?”
“Cuma mau jalan-jalan.” Jawab Miss Lisfah singkat.
“Oh, mau menginap di mana?” tanyanya lagi
“Sleepy Kiwi.” Jawab Miss Lisfah lagi
“Oh, ya saya tahu itu Sleepy Kiwi. Hampir semua hostel di Singapura saya tahu karena saya sudah sering ke sana. Sebenarnya ada yang lebih murah lagi, harganya 85 ribu per malam.”
Entah benar atau tidak mengapa aku merasa perempuan muda ini bersekongkol dengan maskapai dan  mengalihkan pembicaraan kami dengan CS agar jelas-jelas pesawat sudah tidak bisa diusahakan lagi untuk menunggu kami. Seharusnya jika dia bersikap wajar tanpa pengecualian, dia tahu bahwa kami sedang buru-buru dan mempertimbangkan tawaran CS yang berat bagi kami. Sudah begitu anehnya CS diam saja melihat pembicaraan kami dipotong dengan pertanyaan-pertanyaa yang tidak berhubungan dengan masalah. Bagiku ini aneh dan harus disudahi.

“Terus gimana, Mbak? Benar-benar sudah tidak bisa diusahakan? Aduuh, padahal kami sudah di sini sejak jam 6 pagi. Sayang banget.” Aku mencoba bertanya lagi pada CS yang malah ikut mendengarkan pembicaraan kami dengan perempuan muda tadi.
“Lhah, sudah sepagi itu datang kenapa tidak check in?”
“Teman saya ambil uang dulu ke ATM” jawab Miss Lisfah yang bagiku tidak hanya karena itu. Mungkin itu jawaban elegannya. Tidak mungkin kan aku di depan mesin ATM sampai 2 jam?
“O, kalau begitu kan seharusnya bisa check in dulu baru keluar lagi.” Saran CS yang sebenarnya sudah hampir kulakukan
“Mbak pulang nanti mau naik apa?” sambil CS bertanya aku mulai mencari tiket-tiket promo. Aku sudah benar-benar bingung. Jika dibatalkan rasanya konyol sekali, jika beli tiket baru rasanya sayang sekali. Miss Lisfah menyebutkan nama maskapai yang sama.
“Bisa pinjam tiketnya?”
“Belum saya print. Masih di teman saya. Teman saya agen.”
“Harusnya sudah diprint, Mbak, karena itu nanti bisa ditanyakan di imigrasi Singapura. Di sana kan penjagaannya ketat. Setidaknya juga bawa uang cukup selama di sana. Bisa jadi itu nanti juga ditanyakan. Coba saya pinjam KTP nya.”
Miss Lisfah memberikan KTP nya dan aku masih mencari-cari tiket murah. Miss Lisfah menelpon seseorang yang dari percakapannya sepertinya menelpon temannya yang sedari tadi dimaksud dalam pembicaraan dengan CS.
“Oh ya, Mbak. Ini sudah dipesan.” Kata CS yang menemukan pemesanan tiketnya lalu apa lagi yang dibahas aku hanya focus pada pencarian tiket baru.
“Miss, ini gimana kalau pakai promo ini?”
“Sudah, Mbak. Nggak usah, nanti langsung check in saja yang jam 11 tidak perlu bayar lagi.” Kata CS sambil utak-atik computer.
Apa?! Jadi begitu saja sebenarnya? Memastikan kalau kami beli tiket pulang dengan maskapai yang sama atau jika tidak berarti kami harus beli tiket baru. Maskapai cari-cari untung. Antara kesal dan lega. Lalu perempuan muda tadi? Hhhh… entahlah dia sudah keluar dari ruang. CS lalu memroses pemesanan tiket. Kami berdua keluar ruang untuk cari udara segar.

“Seharusnya kita sadar bahwa mulai dari sini aturan internasional sudah berlaku. Dunia intenasional pasti membutuhkan kedisiplinan. Jangan samakan dengan waktu kita naik angkot. Kita sudah di dalam saja masih ngetem lama cari penumpang. Jadi kita harus merubah sikap.” Aku berusaha mengambil pelajaran atas insiden konyol itu.

Setelah tarik nafas sebentar, proses pemesanan selesai. Kami langsung check in jam 10.30. “Jangan terlambat lagi ya, Mbak.” Pesan petugas check in. Nyatanya malah maskapai ini yang delay 15 menit. Benar sekali penilaianku. Tidak malu tadi meninggalkan kami dan berpesan agar tidak terlambat lagi?

Meski belum sampai tujuan perasaan yang benar-benar lega adalah saat sudah duduk di kursi pesawat. Ok, I’m here now. What’s next? Praying then sleeping.


Bersambung…


1 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
No comments:
Newer Posts Older Posts Home