Wednesday, 14 May 2014

Kreatif di Tengah Keterbatasan


           Senyumnya mengembang menyapa saya siang itu. Senyum yang selalu beliau tunjukkan setiap kali bertemu dengan saya. Senyum ramahnya seolah membantah kesan galak yang tampak lewat garis-garis tegas di wajahnya khas orang Batak. Tak jarang beliau bercerita hal-hal yang lucu sampai kami tertawa-tawa.
“Itu anak muridku belum bisa baca. Kayak mana ya caranya biar dia bisa baca?” Bu Mente memulai obrolan sambil duduk di sofa kantor guru. “Saya itu kemarin kasih mereka kertas lipat. Maksud saya biar mereka gambar buah apel trus digunting. Eh, bukannya digambar malah ada yang diremas-remas, ada juga yang bingung, bengong aja.” Lanjutnya.
“O, mereka sama sekali belum bisa membaca?” Tanya saya.
“Ya ada sih yang sudah. Yang cepet ya cepet, yang nggak bisa apa-apa ya bengong aja.” Sejenak beliau melihat kearah white board yang terpasang di kantor guru. Beliau lalu mendekat. Ternyata gambar “anatomi” bagian-bagian tubuh guru yang saya tempel telah menarik perhatiannya. “Hahahahahaha…..! Lucu sekali ini.” Tawanya meledak sambil menunjuk-nunjuk gambar itu. Saya jadi ikut tertawa karena melihat ada orang yang begitu heboh tertawanya melihat sebuah gambar yang bagi saya mudah saja memperolehnya.
“Saya jadi ingin bikin yang seperti itu kalau ngajar. Kayaknya bisa juga ya kalau anak-anak dikasih gambar begitu nanti tinggal mewarnai saja. Saya juga sebenernya pengen bikin apa-apa gitu, tapi bingung bikinnya.”
“Bagaimana kalau besok ibu bikin display yang berhubungan dengan menulis dan mewarnai? Misal kita mulai dari huruf A. A untuk Apel. Kita buat gambar Apel, biar mereka warnai lalu ditulis nama buahnya di bawah gambar. Setelah itu kita display di kelas.”
“O iya ya, bisa juga kayak gitu ya….?” Saya dapat menangkap sinyal semangat dari matanya yang berbinar. Setelah merencanakan tentang display yang akan kami lakukan hari Selasa, kami sudahi pembicaraan karena bel tanda pulang berbunyi.

Selasa, 29 November 2013
Pagi itu saya begitu bersemangat karena merupakan hari pertama mendampingi guru membuat display kelas. Setelah beberapa saat di kantor, saya langsung menuju kelas Bu Mente, kelas 1B. Melihat saya telah berdiri di pintu masuk kelas, Bu Mente tersenyum sambil berjalan kea rah saya. “Saya lupa tidak meminta anak-anak membawa pensil warna. Hari ini akan saya umumkan biar besok mereka bawa. Besok Sabtu saja ya, mumpung ada pelajaran ketrampilan.” Ternyata rencana display waktu itu gagal, tetapi beliau telah menjanjikan hari Sabtu. Saya tidak akan melepas kesempatan ini.

***
Jumat siang saat pulang sekolah, Bu Mente berjalan dari kelas mendekati saya yang sedang berdiri di depan pintu kantor. Seperti biasa, sambil tersenyum lebar.  “Maaf kemarin SMS nya tidak saya jawab karena nggak ada pulsa.” Kemarin malam saya SMS beliau tentang kesiapan membuat display. “Saya tu bingung, saya sebenarnya senang-senang saja membuat yang seperti itu. Tapi, kelas saya tidak punya papan seperti yang lain. Kelas saya itu kan belakangnya bisa dibuka buat jadi aula. Makannya kelas saya nggak dipasang. Kalau kita mau buat yang kayak kemarin, mau dipasang di mana?” Terdengar nada pesimis dan raut muka yang tidak sesemangat kemarin.
“Oya? Wah kok saya malah nggak memperhatikan ya selama ini.” Jawab saya
Setelah melihat kondisi di kelasnya ternyata memang benar apa yang disampaikan Bu Mente. Saya mencoba memberi tawaran untuk memasang tali yang tertempel antar ujung tembok belakang kelas. “Wah, nanti kalau ada acara harus dibongkar dong talinya. Sayang dong.” Beliau mulai berpikir kreatif. Melihat korden-korden yang terpasang di jendela, saya jadi punya ide untuk memasang tali di sepanjang jendela. Selain tidak perlu dibongkar jika ada acara, ini bisa menjadi hiasan pengganti korden dan alternatif karena tidak ada papan display. “Oiya, bisa juga ya….besok kita pasang tali-talinya di jendela saja.” Nada optimis kembali terdengar dari mulutnya

Sabtu, 2 November 2013
Pagi itu, terlihat di meja guru kelas 1B ada beberapa “senjata” yang akan digunakan untuk membuat display kelas. 6 lembar kertas HVS bergambar buah Apel yang kemudian dipotong menjadi 4 bagian per HVS (kertas HVS dari kertas bekas yang masih bersih di satu sisinya), tali pengganti papan display, dan plester untuk menempelkan tali di kusen jendela. Waktu itu saya masih menggambarkan buah Apelnya karena Bu Mente belum PD untuk menggambar. “Gambaran saya jelek, kamu saja yang gambar. Hehehe…”
Setelah memberi pembukaan dengan diselingi beberapa tepuk penyemangat, Bu Mente mulai membagikan kertas bergambar apel itu dan memberi instruksi kepada anak-anak. Tak butuh waktu lama anak-anak sudah paham diminta untuk apa. Crayon dan pensil warna yang menari-nari di tangan anak-anak kelas 1B itu telah memerahkan apel yang tadinya pucat pasi. Setelah ditulis nama anak dan tulisan “Apel” di bawah gambar, anak-anak diminta Bu Mente untuk mengumpulkan.
Bu Mente melihat satu per satu hasil pekerjaan anak-anak saat semua telah selesai. “Ini langsung kita pasang atau kita pilih dulu mana yang bagus?” beliau meminta saran.
“Lebih baik kalau dipasang semua Bu, agar anak-anak senang hasilnya dipasang semua dan kalau pun ada yang salah mereka akan paham sendiri karena punyanya berbeda dengan yang lain.” Saya memberi masukan kepadanya dan beliau menerima. Kami mulai memasang tali-tali itu dengan menempelnya menggunakan plester bening. Satu kusen jadilah 4 baris tali. Kami beri judul sesuai dengan tema pembelajaran waktu itu, yaitu “Lingkungan”
Jadi sudah satu display di kelas 1B dan yang pertama dari semua kelas. Semua hasil karya siswa dipajang. Tak terkecuali satu karya siswa yang membuat saya tertawa karena dibawah gambar tertulis Pela. yang seharunya Apel. Senang sekali akhirnya saya bisa mendampingi seorang guru membuat display meski dalam fasilitas yang terbatas. Itulah yang ingin saya tunjukkan kepada semua guru, bahwa yang terbatas saja bisa maka seharusnya yang serba tersedia lebih dari sekedar BISA.
“Wah, kalau dilihat gini bagus juga ya. Merah-merah gitu. Besok kita bikin lagi, ya. Hari ini kan sudah Apel, besok apa lagi ya?” Bu Mente semakin bersemangat
“Em, bagaimana kalau Bunga?” saranku
“Kalau bunga kayaknya nanti masih ada yang kesusahan merangkai hurufnya. Bagaimana kalau bendera? Kan malah sekalian masuk pelajaran PKn.” Wow, beliau semakin menunjukan kreatifitas idenya.
“Wah, ide bagus. Baiklah besok kita akan membuat bendera.” Jawabku sambil tersenyum lebar seperti yang biasa beliau berikan kepada saya.

Jumat, 8 November 2013
“Ko benderanya begitu? Sini-sini biar saya yang gambar.” Bu Mente mengomentari gambar bendera yang saya buat seperti sedang berkibar. Beliau mengambil selembar kertas HVS di meja lalu mulai menggambar. Perpaduan penggunaan pena dan penggaris membuat gambarannya rapih sekali khas guru SD. Awalnya Bu Mente tidak mau menggambar karena merasa tidak bisa menggambar. Setelah melihat gambaran saya yang mungkin baginya “aneh”, beliau jadi tergerak untuk membuat sendiri.
 Setelah diperbanyak dengan memanfaatkan kertas bekas dan mesin copy sekolah, Bu Mente membagikan satu persatu kepada murid-muridnya. Kali ini mereka diminta mewarnai bendera Indonesia. Hampir semua siswa antusias mengerjakannya. Terlihat ada yang cepat menyelesaikannya, ada yang bingung bagaimana cara menulis kata bendera, dan yang lucu adalah ada yang mewarnai putih-merah, ada juga yang coklat-kuning. Setelah Bu Mente memberitahu warna bendera Indonesia yang benar, anak tersebut akhirnya mewarnai merah pada bagian atas bendera. Jadilah bendera dengan warna merah-merah. Kami tertawa saja melihatnya.
Setelah semua siswa menyelesaikan pekerjaannya, Bu Mente dan saya langsung beraksi merenovasi tempat display pekan sebelumnya karena display darurat sebelumnya telah lepas tali-talinya. Hal ini karena plester tidak kuat menahannya dari tiupan angin. Tak disangka ternyata tangan Bu Mente cukup lincah memainkan palu dan paku payung. Lalu mengaitkan tali pada paku payung di kedua sisi kusen jendela. Naik ke atas kursi demi menjangkau kusen teratas pun dilakukannya. Sambil bernyanyi lirih-sepertinya lagu Gereja-beliau terus menyelesaikan renovasi display. Lalu tanpa bertanya terlebih dahulu, beliau memasang semua hasil pekerjaan anak-anak meski tidak semua benar. Beliau benar-benar bersemangat saat itu.
“Bikin apa Bu Mente?” Tanya Bu Bida sambil masuk kelas.
“Ini lho bikin display kelas.” jawabnya
“O, siapa yang gambar?”
“Bu Mente dong.” Sahut saya yang kemudian disambut tawa Bu Mente.
“O, hahaha.bagus juga ya kalau gini.” Bu Bida merespon positif
“Iya, Bu soalnya di sini nggak ada papan display nya, jadi kami buat seperti jemuran, jemuran display. Hahaha.” Jawab saya.
Saya berharap respon positif dari Bu Bida membuatnya tergerak untuk mengikuti langkah Bu Mente. Saya kagum dengan Bu Mente karena dengan keterbatasan fasilitas beliau mau belajar dan mengajarkan dengan lebih baik. Memang benar istilah yang menyebutkan keterbatasan membuat seseorang berpikir kreatif.
Esoknya saat melewati kelas 3B, saya menyebutnya kelas 3 in 1 karena 1 ruang untuk kelas 3B, perpustakaan, dan UKS, saya melihat ada jemuran display juga di sana. Bukan Apel atau bendera seperti di kelas Bu Mente, tetapi origami ikan. Saya takjub melihatnya. Kemarin saat berkunjung ke kelas Bu Yuli kebetulan beliau baru selesai mengajar Bahasa Indonesia. Materi selanjutnya dalam buku adalah membuat origami ikan. Beliau berkata akan mengajarkan murid-murid membuatnya lalu akan dipajang.
Saya mengapresiasi niat baiknya dan menawarkan bantuan sekiranya beliau menemui kesulitan. Saya sempat berpikir bagaimana cara untuk menempel ikan-ikan itu sedangkan kondisi kelasnya lebih parah dari pada kelas Bu Mente sehingga tidak memungkinkan dipasang papan display. Namun, apa yang saya lihat saat itu benar-benar di luar dugaan saya. Beliau ternyata terinspirasi dengan cara pemasangan display di kelas Bu Mente dan bahkan dapat melakukannya sendiri. Origami ikan warna-warni yang terpasang berjajar di jendela malah terlihat seperti ikan yang sedang berenang di aquarium. Sekali lagi, keterbatasan membuat seseorang berpikir kreatif dan selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha.

Ternyata tanpa saya sadari cara pendisplayan seperti di kelas Bu Mente telah menggerakkan guru lain yang senasip. Secara implisit mereka menunjukkan pada guru-guru yang memiliki kecukupan fasilitas bahwa keterbatasan bukan hambatan bagi mereka yang ingin lebih baik. Tidak hanya pada guru, mereka juga mengikis keraguan dan kekecewaan saya pada sulitnya merubah paradigma pembelajaran guru yang terlanjur “nyaman” menjadi optimisme bahwa sebenarnya mereka BISA.
Bu Mente dan Bu Yuli

Friday, 21 March 2014

HARMONI BERBAGI


           Aku akan menceritakan tentang sesuatu. Tetapi, sebelum aku bercerita jawablah terlebih dahulu pertanyaanku dengan jujur. Santai saja, ini tidak akan mempengaruhi nilai IPK apalagi sampai dipanggil KPK. Aku mulai pertanyaannya, pernahkah kau merasa kekurangan dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau mengeluh dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau merasa kecewa dengan pemberian Tuhan? Jika sudah kau jawab semua pertanyaan itu, tak peduli seberapa banyak  jawaban Ya atau Tidak mu, aku tetap akan memulai ceritaku.
***
Jalanan ini begitu terjal. Lapisan aspal yang telah terkelupas membuat batu-batu yang berada di lapisan bawahnya muncul di permukaan jalan. Sesekali terlihat air menggenangi jalan bekas dilewati ban-ban besar yang membentuk ceruk. Sering kulihat kubangan besar melintang di tengah jalan sedang di kedua tepinya, batu-batu aspal sudah berserakan tak beraturan. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau harus dilewati meski dengan sangat pelan.
Siang itu, aku dan kedua temanku sedang melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota, Desa  Juwangi, Boyolali. Motor yang kami naiki seringkali bergoncang kuat saat melewati batu-batu aspal itu. Kadangkala harus sangat pelan agar tidak tergelincir karena di beberapa titik jalan yang masih berupa tanah, basah setelah tersiram hujan semalam. Di sepanjang perjalanan jarang ada orang yang lewat. Hutan dan semak-semak yang mengapit jalan menambah suasana semakin sepi. Sensasi perjalanan yang tak pernah kualami sebelumnya. Kata temanku, perjalanan ini akan memakan waktu hingga 2,5 jam.
Bayang-bayang kondisi tempat yang akan kami kunjungi terus bersemayam dalam pikiranku dan semakin kuat kala aku melihat kondisi jalan menuju ke sana. Susah sinyal HP apalagi jaringan internet, rumah-rumah desa yang tidak memiliki toilet, dan beragam cerita teman-teman yang telah survey sebelumnya. Aku yang lahir dan dibesarkan di Kota Surakarta, terbiasa melihat jalan aspal yang halus, gedung-gedung tinggi yang tersusun rapih dan indah, dan lalu lalang kendaraan bermotor yang seakan tak ada habisnya menjadi semakin penasaran seperti apakah tempat yang akan kami kunjungi nanti. Akankah seperti cerita teman-teman? Atau malah lebih parah?
Kami mulai memasuki kawasan permukiman penduduk yang sangat sederhana. Rumah-rumah lama model joglo dengan dinding kayu polos dan lantai tanah mendominasinya. Motor yang dikendarai temanku berhenti. “Sudah sampai ya? Yang mana rumahnya Mas Tio?”, tanyaku. “Iya, mbak. Yang ada tendanya itu.” jawabnya. Rumah teman kami yang akan dijadikan pos utama kegiatan takbir keliling, out bond bersama anak-anak, pembagian daging qurbaan dan sembako, peresmian perpustakaan anak, dan pengobatan gratis dalam Program Qurban Sampai Pelosok 2011 esok hari itu masih sepi. Maklum, kami adalah rombongan pertama yang berangkat. Setelah mengobrol sebentar dengan orang tua Mas Tio, kami yang hanya bertiga ini dipersilakan beristirahat.
Sambil tiduran di atas terpal biru yang tergelar di atas lantai tanah, aku melihat jam tanganku. Ternyata perjalanan kami tidak hanya memakan waktu 2,5 jam, tetapi 3 jam. Tak ku sangka ternyata aku telah melewati jalan yang begitu buruk selama itu. Badanku lelah dan kepalaku agak pusing karena aku berpuasa tetapi tidak sahur sebelumnya. Tak terasa kelopak mataku tertutup, gelap, lalu aku tak sadarkan diri terbuai oleh empuknya bantal.
***
Aku dibangunkan oleh suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kami bertiga bergegas keluar rumah. Rupanya 2 mobil telah sampai dengan selamat membawa para pejuang LAZIS UNS dan bungkusan-bungkusan sembako yang akan dibagikan kepada masyarakat esok hari. Kami semua tersenyum senang karena kami akan segera memulai misi berbagi bahagia yang telah kami rencanakan jauh-jauh hari.
Sore hari aku dan beberapa temanku mengumpulkan anak-anak setempat untuk bermain bersama sambil diselingi beragam tepuk dan yel-yel. Sepetak tanah kosong di belakang Masjid (warga setempat menyebutnya begitu, meski menurutku lebih tepat disebut Mushola) menjadi tempat yang penuh tawa riang anak-anak sore itu. Sayang, aku tidak dapat menikmatinya karena pusingku semakin menjadi. Aku hanya duduk-duduk melihat mereka di sebatang pohon yang telah lama ditebang. Waktu mendekati Maghrib, kami pun menyudahi permainan.
Segelas teh hangat yang disuguhkan memecah dahaga yang tertahan seharian. Pusing di kepala sedikit demi sedikit turut larut bersamanya. Kami duduk bersila dan melingakar di atas alas terpal. Makan malam bersama teman-teman yang diliputi suasana kesederhanaan dan kebersamaan merontokkan rasa lelah yang tertumpuk di badan. Alhamdulillah.
Malam pun tiba. Setelah menonton film bersama anak-anak desa di Masjid, teman-teman memandu mereka untuk takbir keliling. Aku memilih di rumah untuk mempersiapkan perlengkapan out bond besok karena ternyata beberapa di antaranya tertinggal di Solo. Lagipula rasa pusing di kepala belum 100% hilang. Selain sebagai sie acara, aku juga diamanahi sebagai konseptor out bond. Masjid kecil dengan dinding kayu, lantai semen, dan kondisi penerangan seadanya di dekat rumah Mas Tio digunakan sebagai start takbir keliling
Aku dapat mendengarnya dari dalam rumah. Takbir dikumandangkan anak-anak dengan penuh semangat mengimbangi nyala obor yang berkobar di tangan mereka. Lambat laun suara mereka menghilang seiring dengan langkah kaki yang menjauh. Hingga akhirnya sekitar sejam kemudian rombongan takbir keliling telah sampai di depan rumah.
Teman-teman mulai antri kamar mandi. Maklum, kamar mandi hanya ada dua itu pun baru belum jadi secara sempurna. Itu masih lebih baik karena sebenarnya bentuk kamar mandi di desa ini hanya tertutup sampai bahu, namun LAZIS UNS menyalurkan bantuan untuk pembangunan 2 buah kamar mandi umum di kampung tersebut.
Setalah aktifitas selesai, kami berkumpul di ruang tamu yang disulap menjadi kamar tidur masal. Relawan putri tidur di rumah sebelah rumah Mas Tio, sedangkan relawan putra melepas lelah di rumah Mas Tio. Pancaran bolam 25 Watt menerangi ruang tamu yang begitu luas. Jadilah ruang dengan pencahayaan remang-remang.
Kami tidur beralaskan terpal dengan lantai tanah yang terasa keras dan dingin. Angin malam menyelinap nakal melalui sela-sela dinding kayu yang membuat badan semakin dingin. Bau khas sapi dan kambing yang akan disembelih besok tercium menusuk hidung karena mereka dikandangkan tepat di depan rumah. Takbir yang mengalun bersahutan dari segala penjuru Masjid membuat malam Idul Adha semakin syahdu, membuat diri semakin mensyukuri hidup.
***
Pendar-pendar cahaya mentari pagi menyapa sang bumi di hari Raya Idul Adha. Keindahannya berpadu dengan alunan takbir yang terus mengagungkan-Nya. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa illa ha illa Allahu Allahu Akbar! Kami langkahkan kaki menuju Masjid besar untuk menunaikan Solat Ied bersama masyarakat. Sebuah Masjid besar yang jauh dari kesan mewah layaknya Masjid-Masjid besar di kota. Bahkan Masjid di SMA ku lebih besar dan bagus dari pada Masjid itu.
Setelah selesai menunaikan Sholat Ied, kami mengikuti tradisi setempat yaitu bersalaman dengan sesama jama’ah sambil bersholawat. Jama’ah putra hanya bersalaman dengan jama’ah putra, begitu pula dengan jama’ah putri. Tibalah acara puncak yaitu, penyembelihan hewan qurban. Kami membagi menjadi 3 tim. Tim pemotongan dan pembagian hewan qurban, tim pengobatan gratis, dan tim out bond. Tentu saja aku di tim out bond.
Tim out bond menghadapi kendala karena ternyata anak-anak kampung setempat pergi ke sekolah. Berita yang kami dapatkan, sekolah akan melakukan penyembelihan hewan qurban dan akan langsung dibagi kepada mereka. Mereka takut jika tidak datang ke sekolah mereka tidak akan mendapat daging qurban. Kami mengambil keputusan untuk melaksanakannya di sekolah dengan meminta izin kepala sekolah terlebih dahulu.
Berita baiknya, kepala sekolah senang kami mengisi waktu luang anak-anak sampai daging qurban dibagikan. Melaksanakan di sekolah berarti mengisi anak-anak sesekolah. Itulah berita mengejutkannya, kami harus memberi out bond kepada seratusan anak. Sungguh jauh dari estimasi awal yang hanya 30-an anak. Wow, ini akan menjadi out bond kolosal! Aku belum pernah menghadapi jumlah sebanyak ini.
Creativity on, power on! And....let’s start! “Apa kabar kalian hari ini?” seruku pada anak-anak. “Alhmdulillah, luar biasa, Allahu Akbar!” Sahut mereka serempak. Dengan bersenjatakan megaphone, aku didapuk teman-teman menjadi lead out bond yang luar biasa ini.  Anak-anak sangat senang dengan kegiatan kami. Terbukti dari testimoni yang kuminta dari beberapa anak yang memenangkan out bond saat kami beri hadiah. Hehehe...Aku yakin mereka belum pernah bermain seperti ini sebelumnya. Melelahkan, tetapi juga menyenangkan.
***
Melihat pembagian daging qurban dan memakannya bersama teman-teman dan masyarakat adalah saat-saat yang paling mengharukan dari rangkaian acara ini. Perintah Allah yang satu ini terasa lebih bermakna manakala kami bisa berbaur dengan masyarakat miskin yang minim hewan qurban untuk menikmati indahnya Idul Adha. Inilah esesnsinya, saat si kaya mau berbagi kebahagiaan dengan si miskin dan saat kami bisa menjembatani mereka. Idul Adha-ku kali ini diliputi suasana yang teramat sederhana, namun juga teramat berarti.
Serangkaian acara ini ditutup dengan serah terima buku untuk perpustakaan anak dan peresmian tempat MCK umum. Segala bentuk keterbatasan kondisi desa yang Allah tunjukkan padaku telah menyadarkanku bahwa begitu banyak nikmat-Nya yang kadang kulupakan bahkan tak kusyukuri. Mengeluhkan yang tidak ada sedang yang ada malah tidak disyukuri.
Ketika alunan takbir semakin terasa keagungan-Nya, ketika sembah sujud semakin terasa betapa kecilnya kita, ketika ada banyak orang yang tak seberuntung kita, ketika senyum sapa masyarakat desa menyambut kita dalam kesahajaannya, ketika hari raya terkemas dalam bingkai kebersamaan untuk berbagi dan menginspirasi, “Fa bi ayyi aalaa i robbikuma tukadziban?” Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan? (QS. Ar-Rohman). Robb, ampuninah hamba-Mu ini yang tak pandai mensyukuri nikmat-Mu!


Friday, 10 January 2014

Resolusi Melawan Banjir

     Tahun baru selalu identik dengan penyambutan yang penuh dengan gegap gempita. Suara terompet yang bersahutan, kembang api warna-warni yang pecah di langit malam, dan segala bentuk acara digelar untuk meramaikannya. Bagi sebagian orang atau organisasi merasa lebih bijak bila merayakannya dengan membuat refleksi akhir tahun, lalu membuat resolusi dan strategi barunya untuk mencapai harapan-harapan satu tahun ke depan.
      Selain hal-hal di atas, jika kita amati ada pemandangan yang tak pernah absen dari pergantian tahun di Indonesia, yaitu banjir. Banjir selalu mewarnai pergantian tahun di Indonesia. Sebuah pemandangan yang terlihat kontras dengan gegap gempita penyambutan tahun baru. Lihat saja, berita banjir telah tersiar dari sejumlah tempat di ujung tahun 2013 ini seperti di Purworejo, Bojonegoro, Tuban, Mojokerto, Gresik, Padang, Medan, Lampung, dan yang setiap tahun menjadi tempat langganan banjir yaitu, Jakarta. Kerugian dari segi materi dan non materi tentu tak dapat terelakkan lagi.
     Banjir, selain karena faktor alam, sangat erat hubungannya dengan sikap manusia dalam hal kebersihan. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Begitulah ungkapan sebuah pepatah yang mengandung arti bahwa keimanan seseorang dapat ditunjukkan melalui sikapnya dalam menjaga kebersihan. Tingkat kepedulian seseorang pada kebersihan juga mencerminkan karakternya. Orang yang dengan mudah membuang sampah sembarangan meski hanya sebuah bungkus permen, maka dapat dipastikan dia adalah orang yang suka menyepelekan pekerjaan, menyukai sesuatu secara instan/malas, tidak visioner, dan lemah tanggung jawab.
    Saya akan bahas mengapa bisa disebut demikian. Orang yang sering membuang sampah sembarangan adalah orang yang suka menyepelekan pekerjaan. Hal ini dikarenakan mereka tidak berpikir dampak besar dari sikap yang dilakukannya. Mereka menganggap bahwa toh hanya sebuah bungkus permen, hanya sebuah gelas air mineral, hanya sebuah plastik minum dan sedotannya, hanya sebuah benda kecil di hamparan bumi yang luas ini. Apa masalahnya? Tentu saja masalah karena yang berpikir demikian tidak hanya satu orang, tetapi banyak orang. Sehingga andai bungkus permen yang bertebaran di jalan itu terkumpul, banyaknya bisa sampai menimbun mereka yang berpikir demikian.
     Orang yang sering membuang sampah sembarangan adalah orang menyukai sesuatu secara instan/malas. Seringkali penulis temui orang-orang dengan mudahnya membuang sebuah bungkus makanan atau minuman saat mengendarai motor atau mobil di jalan. Mereka, orang-orang kaya yang miskin karakter. Mereka berpikir yang penting mereka telah terbebas dari sampah, tanpa mau bergerak untuk mencari tempat sampah atau setidaknya menyimpannya terlebih dahulu. Mereka tidak sadar bahwa di saat mereka terbebas dari sampah, di saat itu pula ada orang lain yang menerima dampaknya.
    Orang yang sering membuang sampah sembarangan bukanlah orang yang visioner. Hal ini dikarenakan mereka tidak berpikir dampak jangka panjang dari sikap yang dilakukannya. Tempat menjadi kumuh, merusak keindahan, sarang penyakit, dan tentu saja banjir adalah dampak jangka panjang dari sikap tersebut.
    Lemahnya tanggung jawab adalah karakter lain dari orang yang membuang sampah sembarangan. Mereka berpikir bahwa tugas menjaga kebersihan keindahan, dan kenyamanan daerah adalah tanggung jawab orang-orang yang berkepentingan saja (pemerintah dan penjaga kebersihan). Pemerintah tidak perlu mengeruk berton-ton sampah di sungai jika masyarakat tidak membuang sampah di sungai. Pemerintah tidak perlu memperbaiki sistem drainase jika masyarakat tidak membuang sampah di parit-parit. Menjaga kebersihan bukan juga tugas seorang penjaga kebersihan saja. “Mereka dibayar untuk membersihkan sampah, untuk apa mereka dibayar jika hanya ongkang-ongkang?” Jika ada yang berpikir demikian berarti dia adalah orang yang lemah dalam bertanggung jawab. Mereka tidak sadar bahwa menjaga kebersihan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat. Setiap orang memiliki peran untuk menjaganya, apalagi jika dia yang menikmati benda tersebut sebelum menjadi sampah.
     Aksi Bersih-bersih tepi laut SD N 1 Bumi Waras, Bdr Lpg
    Aksi bersih-bersih tepi laut yang pernah di lakukan oleh siswa-siswa SDN 1 Bumi Waras, Bandar Lampung pun bukanlah suatu acara rutin. Mereka tidak akan melakukannya tiap semester, tiap bulan, tiap pekan, apalagi tiap ada pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Namun, acara yang diinisiasi oleh penulis ini merupakan sebuah stimulus bagi masyarakat agar mereka mau menjaga lautnya dari sampah. Mereka harus belajar dari anak-anak yang mau bergotong royong menjaga kebersihan tepi laut, bukan menggantungkan kebersihannya pada mereka.
    Membuang sampah sembarangan, suatu tindakan kecil yang berdampak besar karena membuang sampah sembarangan sama saja menimbun bencana. Sayangnya, masih banyak orang Indonesia yang membuang sampah sembarangan. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa masih banyak orang Indonesia yang suka menyepelekan pekerjaan, menyukai hal yang instan/malas, tidak visioner, dan lemah dalam tanggung jawab. Tentu ini pemandangan yang memprihatinkan.
    Apabila masyarakat Indonesia tidak segera memperbaiki sikapnya, maka bencana banjir akan terus mewarnai setiap pergantian tahun. Jika sudah demikian apakah lantas kita akan menyalahkan pemerintah? Apakah lantas akan menyalahkan penjaga kebersihan kota? Apa malah menyalahkan Tuhan? Bukankah kerusakan di muka bumi ini karena ulah manusia semata? Maka dari itu, di tahun baru ini buatlah resolusi diri untuk mulai peduli terhadap lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan mengajak orang-orang untuk mengikuti langkah kita agar banjir tak lagi menyapa di tahun-tahun selanjutnya.
Berebut memungut sampah


Saatnya membuang sampat di tempat yang tepat














Anisse Alami, Konsultan Pendidikan pada Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa