Minggu, 26 Februari 2017

Antara Jakarta dan Papua (Bagian 2)

Tulisan tentang situasi sekolah antara Jakarta dan Papua di bagian 1 cukuplah  menggambarkan keadaan yang bertolak belakang. Keadaan tersebut sejalan dengan hasil penelitian terbaru dari Badan Statistik Nasional mengenai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang dijabarkan per kabupaten/kota dan provinsi. Dalam penelitian tersebut Jakarta Pusat yang menjadi lokasi PPL saya meraih hasil di atas 80 dan termasuk tertinggi di antara daerah administrasi lainnya di Jakarta, sedangkan Kabupaten Tambrauw tempat saya pernah mengabdi cukup di angka 49. Terendah se-provinsi Papua Barat dan masuk pada deretan terendah se-Indonesia. Data mengenai hal tersebut dapat diunduh di laman https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4302 . Maka tak heran jika setiap saya mendapat jatah piket, siswa-siswa di Jakarta biasanya akan izin untuk mengikuti perlombaan tingkat provinsi bahkan nasional sedangkan di Papua siswa saya akan izin beberapa hari untuk menemani bapak menjerat rusa di hutan atau menemani ibu yang sedang hamil muda.


Mendapat IPM di atas 80. Bagus, bahkan lebih tinggi dari IPM rata-rata Malaysa. Tetapi untuk mendapatkan nilai setinggi itu Jakarta harus mengorbankan banyak hal, termasuk siswa-siswanya. Waktu luang berkumpul bersama keluarga, waktu bersantai dan meletakkan sejenak buku pelajarannya, waktu untuk menghirup udara segar dan hangatnya mentari di pagi hari, menikmati angin teduh saat hampir Maghrib, atau melihat sekumpulan bintang-bintang yang membentuk rasi (saya hampir bisa memastikan mereka tak bisa menikmati bintang karena selama setahun di Jakarta saya hanya bisa menemukan jutaan bintang terjatuh di bumi Jakarta membentuk bintang-bintang yang menempel di gedung-gedung tinggi), bahkan mereka tak memiliki waktu sejenak untuk memikirkan makna hidup itu sendiri.


Mereka hanya tahu bahwa siklus manusia adalah lahir-sekolah-kuliah-bekerja-mati. Jika tak mendapat nilai tinggi di sekolah maka tak akan mendapat kuliah yang baik. Jika tak mendapat kuliah yang baik mereka akan mendapat pekerjaan rendahan dan itu artinya gaji mereka kecil. Saya sama sekali tidak menyalahkan siswa yang mendapatkan itu semua, namun yang harus diperhatikan adalah orientasi mereka. Ketika siswa mementingkan peningkatan nilai (score) daripada nilai (value) pada diri mereka, maka yang sering saya temui adalah siswa-siswa yang hanya menginginkan score tinggi namun mencari cara mudah untuk mendapatkannya. Membuka internet melalui smartphone, membuka buku, bertanya soal pada kelas yang sudah ulangan, bahkan celetukan halus kepada saya bahwa papanya TNI. Intinya adalah kecurangan. Bagi mereka jika akhirnya mendapat score bagus mereka menganggap dirinya telah berhasil, padahal sebenarnya dia sedang kehilangan value dalam hidupnya.

Luar biasanya, di antara mayoritas yang berusaha melakukan kecurangan ada sedikit siswa yang tetap teguh mempertahankan prinsipnya untuk mengerjakan ulangan dengan kemampuannya sendiri meski pada akhirnya score-nya tidak memuaskan. Bagi kebanyakan orang mereka telah gagal, namun bagi saya mereka telah mendapatkan value yang sangat bernilai yaitu, Jujur dan Integritas. Jika mereka menambahkan value kerja keras dan spiritualitas maka insyaAllah mereka akan mendapat score yang bagus pula. Kalaupun pada akhirnya ada siswa yang sudah berusaha jujur, kerja keras, dan berdoa tapi nilainya tetap di bawah standar minimum ya barangkali mata pelajaran saya bukan keahliannya. Itu saja, simple.



Tentang Perekonomian


Berdasarkan sensus penduduk tahun 2015, provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.154.134 jiwa, sedangkan Papua Barat yang jauh lebih luas dari DKI Jakarta hanya berjumah 868.819 jiwa. Artinya, jika dihitung secara matematis terdapat 15.292 jiwa/ km2 di DKI Jakarta, sedangkan di Papua Barat hanya terdapat 9 jiwa/km2. Papua Barat menempati provinsi paling sepi kedua setelah Kalimantan Utara, sedangkan Jakarta menjadi provinsi terpadat se-Indonesia. Informasi lebih lengkap dapat mengunduh di laman: https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4350


Menjadi ibu kota negara pantaslah jika Jakarta menjadi magnet bagi ribuan masyarakat dari provinsi lain untuk mencari kepingan rupiah dan menimba ilmu. Dari Presiden hingga pengamen sangar ada di Jakarta. Harapan mendapat pekerjaan dengan pendapatan layak selalu berada di benak para pendatang.  Keadaan inilah yang mempengaruhi perekonomian masyarakat. Penduduk yang jumlahnya super banyak menimbulkan efek domino bagi keadaan sosial sehingga pada akhirnya terciptalah pekerjaan-pekerjaan unik yang jarang ditemukan di daerah lain, misalnya satpam yang membantu menyebrangkan jalan bagi pengunjung sebuah Mall.  Sepertinya biasa saja, tapi lucunya jalan di daerah tersebut tidak ramai bahkan sudah terdapat lampu bagi penyeberang. Masih di mall yang sama, sewaktu saya memasuki lift saya langsung ditanya oleh mas-mas tinggi berbaju krem, “Mau ke lantai berapa?” dengan santai saya menjawab sesuai dengan tujuan saya. Lalu dengan cepat mas-mas tadi memencet tombol tujuan saya. Saya pikir biasa saja ada orang yang menyapa demikian, tapi ternyata ketika saya ingin turun ke lantai dasar saya disapa mas-mas lain dengan penampilan dan pertanyaan sama. Lalu sambil mengoreksi penggunaan sarung tangannya, dia memencet tombol yang saya tuju. Olala…ternyata memang mas-mas  tinggi dan good looking itu bekerja sebagai pemencet tombol lift. Dalam hati saya, ya Allah…ada ya pekerjaan macam begini? Dilayani sekali pengunjungnya sampai-sampai termasuk hal yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri. Sambil melirik ke masnya saya bertanya-tanya, kenapa nggak jadi model aja sih mas? Di Papua, jangankan menjadi satpam penyeberang jalan dan pemencet tombol lift, mall saja tidak ada.

Salah satu mall termewah di daerah Bintaro








Satu-satunya pasar di ibu kota kabupaten Tambrauw




















Pengalaman lain adalah saat saya mengunjungi sebuah gedung bioskop terbesar dan tertua di Jakarta, Metropole. Disebut tertua karena telah berdiri sejak tahun 1932 dengan fungsi yang sama. Gedung bioskop ini tidak berada di sebuah mall, namun gedung ini memang hanya untuk nonton film dilengkapi dengan berbagai macam foodcourt yang high class.  Saat memasuki gedungnya terlihat dekorasi ruang Art Deco yang elegan. Gaya berseragam dan berpenampilan pelayannya pun turut mengimbangi. Dua pelayanan di bagian pemesanan tiket, satu satpam di dalam ruang utama. Ya, masih seperti yang lain.

Metrople saat malam
 
Sesuatu yang menarik bagi saya adalah ketika saya ingin ke toilet. Terlihat antrian mengular dari toilet terluar hingga hampir mendekati pintu keluar ruang toilet. Seolah-olah ada garis merah di lantai yang membatasi deretan toilet dengan bagian wastafel, lalu ada tulisan Jangan Lewati Garis Sebelum Pengguna Toilet Keluar. Untung saya langsung paham situasi tidak asal nongkrong di depan pintu mana saja yang sekiranya akan segera terbuka. Bisa-bisa saya diomeli pengantri yang rata-rata berpenampilan kelas atas. Ternyata aturan penggunaan toilet kelas atas berbeda dengan kelas rata-rata. 


Sambil mendapat giliran melewati garis khayal itu, saya memperhatikan seorang perempuan yang tak terlalu muda berdiri dengan tak begitu tegak di ujung ruang toilet. Punggungnya tersandar pada tembok di antara dua baris toilet. Make up tebalnya seperti ingin menampilkan standar berada di gedung high class, meski hanya di toilet. Sayangnya, make up nya tak mampu menipu wajah lelahnya sebagai penjaga toilet. Lagi-lagi, ada ya pekerjaan semacam itu? Mungkin Anda akan mengira dia menjaga kotak recehan dua ribu, padahal tidak karena di mall mewah dan juga bioskop ini tidak ada tarif untuk buang air. Lalu kira-kira bagaimana isi job description-nya?  Jangankan di Tambrauw, di Kota Sorong pun belum ada bioskop.


Tingginya demand terhadap tenaga kerja di Jakarta berbanding lurus dengan tingkat supply-nya. Artinya, karena kebutuhan pelayanan terhadap berbagai lapisan masyarakat yang tinggi muncullah pekerjaan-pekerjaan unik yang tidak ditemui di darah-daerah lain. Lahirlah buruh kelas atas seperti di mall dan gedung bioskop yang pernah saya kunjungi.


Sebenarnya di Papua juga memiliki banyak lapangan pekerjaan. Kalau di Jakarta karena banyaknya penduduk, kalau di Papua karena sepinya penduduk. Saking sepinya, banyak lapangan pekerjaan yang tidak tergarap. Kalau di Jakarta, orang harus kreatif membuat lapangan pekerjaan biar tidak kalah saingan, kalau di Papua lapangan pekerjaan tingkat dasar pun tidak ada yang mengerjakan. Misalnya saja, di kampung saya hanya terdapat tiga warung yang di antara ketiganya tidak selalu buka. Transaksi perdagangan hanya terjadi jika warung tersebut buka. Sudah itu saja, tidak ada transaksi lain karena masyarakat hanya menjual sayurannya ke kota kabupaten, Sausapor. Tidak ada biaya berobat di puskesmas dan tidak ada uang pendidikan untuk bersekolah. Dengan kepadatan hanya 9 jiwa per km2 dan pembangunan infrastruktur yang masih sangat kurang tentu membuat kegiatan perekonomian menjadi tidak lancar. Perputaran uang menjadi sangat lambat.


Seandainya di kampung tersebut dibangun jalan tembus yang layak di segala kabupaten, dibagun tower untuk pemancar sinyal telepon dan internet, dibangun pembangkit listrik yang cukup, diadakan transportasi umum yang sering berkeliling kampung, hingga dibangun pusat perbelanjaan dan bioskop, pasti tenaga kerja-tenaga kerja baru akan bermunculan dan siapa tahu akan ada pemencet tombol lift dan penjaga toilet di kabupaten Tambrauw.


Secara keseluruhan ada banyak perbedaan antara Jakarta dan Papua, meski masih terdapat satu hal yang sama yaitu harga barang dan jasa yang sama-sama mahal. Jadi kalau ada orang Jakarta terheran-heran dengan mahalnya biaya transportasi atau beras di Papua, sepertinya mereka sedang lupa bahwa ongkos makan siang dan cicilan apartemen mereka juga mahal.


Secara pribadi saya lebih memilih hidup tenang di Papua. Menikmati keindahalan alam, keramahan masyarakatnya, dan menemukan makna hidup. Meski demikian, sejengkel-jengkelnya saya terhadap Jakarta yang ruwet saya kagum terhadap beberapa keadaannya, seperti banyaknya komunitas yang peduli terhadap musibah kebakaran yang terjadi di perkampungan kumuh  sebelah UNJ. Kebetulan saya pernah menjadi volunteer di komunitas yang membuat sekolah non formal di kawasan tersebut, KOPAJA. Komunitas fans club kesebelasan, organisasi mahasiswa, pendongeng, lembaga zakat, toko pakaian muslim, ibu-ibu pengajian, sampai komunitas yang tak kupahami lagi bergerak di bidang apa, datang memberi bantuan cuma-cuma. SubhanaAllah…indah sekali.

Kak Adib mendongeng di daerah kebakaran



Kekaguman lain adalah ketika saya naik bus kebanggaan Jakarta, yaitu Trans Jakarta. Sebagai pendatang yang tidak punya transportasi pribadi, hampir setiap saya pergi saya selalu menggunakan Trans Jakarta. Lagipula dengan menggunakan transportasi umum saya bisa menjadi bagian dari penyelamat lingkungan dan saya merasa keren. Bagi saya Trans Jakarta sangat peduli terharap perempuan karena di dalam bus ada tempat duduk khusus perempuan yang berada di deretan depan. Bahkan ada bus Trans Jakarta khusus perempuan yang dicat pink. Sesepi apapun busnya tapi kalau yang ingin masuk laki-laki tidak diperbolehkan. Ini diberlakukan untuk menghindari pelecehan terhadap perempuan.


Selain itu jika terdapat perempuan hamil, anak-anak, orang lanjut usia atau difabel, biasanya kernet akan mengingatkan penumpang lain, “Tolong ya bangku prioritasnya.” Ditambah lagi kalau sedang ada penumpang masuk kernet akan langsung berkata, “Yang depan untuk perempuan, yang belakang untuk laki-laki.” Mendengar pengingatan yang berulang setiap naik Trans Jakarta, membuat penumpang hafal dan Alhamdulillah sadar dengan sendirinya sehingga kadang tanpa diingatkan laki-laki akan duduk di belakang dan para pemuda meski penampilannya terkesan cuek dan gaul memberikan kursinya kepada yang lebih membutuhkan. Inilah yang sering saya kesalkan saat di kota-kota lain di mana laki-laki dan pemuda tidak peduli pada orang yang lebih membutuhkan kursi. Uniknya, di kota yang disebut-sebut banyak orang indivudualis ini ternyata malah saya menemukan kepedulian di dalam transportasi umum. Great!

Di Trans Jakarta




Perempuan muda ini memberikan kursinya pada ibu di kiri foto


Itulah pandangan saya mengenai Jakarta dan Papua. Dua tempat yang sama-sama di Negara Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







Pengikut





Tidak ada komentar:

Posting Komentar