Desember awal ini saya bermimpi
berjalan-jalan dengan seorang teman di sebuah pantai yang tak saya ketahui.
Sambil menikmati, saya mengingat-ingat, “Sepertinya saya pernah ke sini. Oh, ya
ini di Ambon!” tak lama kemudian
jalan-jalan selesai karena saya terbangun. Saya jadi berpikir, kok pas ya saya mimpi ke
Ambon di bulan Desember? Karena tahun 2014 saya juga ke Ambon di bulan
Desember. Sudah tiga tahun ternyata dan saya belum menulis apapun untuk
menceritakan pengalaman luar biasa di negeri Pala dan Cengkeh itu. Saya baru
sempat mengunggah video singkat saat di Masjid tertua Wapauwe di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=vhEE45iYcKo&t=67s . Baiklah saya akan mulai
menulis untuk itu sebagai bagian dari janji pada diri sendiri.
Ambon adalah salah satu kota yang
selalu terngiang di pikiran saya dan merasa klik di telinga. Gara-garanya,
ketika saya memperkenalkan diri biasanya orang-orang selalu menambah-nambahi
kata “Manise” di belakang nama saya yang “e” dalam Anissedieja seperti “e” dalam
manise. Manise, sebutan untuk kota Ambon.
Meski begitu saya tidak pernah berencana pergi ke Ambon, hingga suatu
hari seorang kenalan yang sedang mengajar di Ternate jalan-jalan ke Sorong di
saat saya juga sedang di Sorong. Melalui telepon, dia bercerita untuk kembali
ke Ternate, kapalnya harus transit ke Ambon.
Awalnya saya Cuma meng “O….” dan “O…”, tetapi ketika dia mengajak saya
ikut ke Ambon saya jadi teringat kata Manise itu lagi dan wah, ini kesempatan
yang sayang dilewatkan. Dadakan saja saya ke Ambon. Hanya tiga hari setelah
telepon, saya dan dua kenalan saya berangkat ke Ambon naik kapal. Ini pertama
kalinya seumur hidup saya naik kapal besar selama semalam.
Menunggu kapal berangkat yang
terlambat dari jadwal saya gunakan untuk mengobrol dengan kenalan saya. Banyaknya
calo kasur kapal membuat kami harus rela tidur di lantai kapal dengan alas
tikar plastik yang dibeli dengan harga Rp 10.000,00 (kami tawar dari harga awal
Rp 15.000,00). Sedangkan tiket Sorong-Ambon sendiri harganya Rp 300.000,00.
Untuk up date harga dan jadwal bisa di cek di website resmi PT Pelni karena
Jasa travel sekelas Traveloka belum melayani tiket kapal. Tentang keriuhan di dalam kapal juga sudah
saya unggah di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=7RXo3UlLhWA&t=1s Ini semacam suasana kereta ekonomi sebelum diperbaiki manajemennya. Hanya ada satu tempat yang benar-benar bersih, sejuk, dan lapang di kapal, yaitu
musola. Alhadulillah musola kapal sangat diperhatikan kenyamanannya. Sayangnya
hanya dibuka waktu solat, jadi saya tidak bisa nebeng di musola terlalu lama
Interior Musola Kapal |
Sesampainya di Ambon, teman saya
berencana beberapa jam di sini sebelum
kapal melanjutkan perjalanan. Sayangnya, ternyata kapal berangkat hanya 30
menit setelah sandar di pelabuhan Ambon. Olala, berarti saya akan ditinggal
dengan orang tak dikenal yang katanya saudara jauhnya dan setelah itu direvisi
bukan saudara tetapi kenalan se-organisasi nasional yang hanya pernah bertemu
lewat fb. Saya hanya berharap kenalannya orang baik dan bisa menerima saya
selama seminggu di Ambon. Saya tidak bisa membayangkan seminggu di kota asing
seorang diri menumpang di rumah orang asing
Momen Wisuda dan Rizki Nomplok
Setelah kenalan saya melanjutkan
perjalanan ke Ternate, saya hanya sempat melihat-lihat Masjid Raya Al-Fatah
Ambon dari luar karena badan sudah capek. Saya dan kenalannya kenalan saya
(ribet sekali), Kak War, naik angkot menuju rumahnya. Selama di perjalanan
beliau banyak bertanya tentang asal saya dan awal mula cerita bisa sampai di
Ambon. Beliau juga banyak bercerita tentang kegiatannya di kampus beberapa
tahun lalu. Beliau sangat ramah untuk seukuran orang baru kenal. Darinya aku
juga baru tahu ternyata kami tidak menuju rumahnya, tetapi rumah keluarga
kakaknya. Rumah Kak War sendiri harus menyeberang kepulau lain.
Sambil istirahat, Kak War banyak
bercerita tentang awal perang sipil di Ambon awal tahun 2000 lalu. Sebenarnya
ini salah satu yang membuatku penasaran dengan Ambon. Peperangan yang dilatri
agama dan tujuan politis menjadi sangat menyeramkan dan mengacaukan Ambon saat
itu. Hingga kini, meski sudah aman, antara dua pihak (Islam dan Kristen)
membentuk perkampungan sendiri. Sehingga terbentuklah blok-blok kampung. Kata
Kak War, daerah kakaknya mayoritas Muslim sedangkan selatan daerah ini
mayoritas Kristen. Saya sangat sedih mendengar kisahnya hingga dampaknya masih
ada sampai sekarang. Saya bersyukur kota kelahiran saya tak pernah dan semoga
tak pernah mengalami konflik seperti itu.
Jam 5 sore Kak War mengajak saya
menghadiri undangan wisuda adik-adik tingkatnya yang berkuliah di IAIN Ambon. Kami naik angkot menuju lokasi
undangan. Awalnya saya bingung karena biasanya di kampus saya wisuda dilakukan
pagi hingga siang dan tak pernah sampai jam 5 sore, tetapi ketika di rumah
wisudawan barulah saya sadar. Sungguh saya baru pertama kali ini menghadiri
acara wisuda seperti acara pernikahan. Sebuah tenda ala pernikahan terpasang di
gang depan wisudawan cantik itu, kursi-kursi plastik tertata dengan rapih, dan
meja panjang terpajang aneka makanan, snack, dan minuman. Bedanya, tidak ada
pasangan pengantin dan tokoh utama tidak memakai gaun pengantin, melainkan toga
wisuda. Selesai mencicipi beberapa makanan dan mengobrol dengan tamu dan
wisudawan, kami berpamitan.
Sederhana yang penting Berkesan |
Ada yang Mewah sayangnya tidak diundang ke sini |
Salah satu yang saya kunjungi |
Ternyata, petualangan mencicipi masakan wisuda
tidak berhenti sampai di situ karena Kak War mendapat banyak undangan. Rumah
wisudawan yang lumayan berdekatan, membuat kami cepat sampai dari satu rumah ke
rumah selanjutnya. Semua memiliki konsep yang sama dan beberapa masakan khas
yang membuat mata berbinar, seperti soto Ambon dan kue-kue kenari. Kunjungan
paling berkesan bagi saya saat kami mengunjungi seorang petinggi organisasi
kampus dengan selempang cumlaude di
bahunya. Waktu itu menunjukkan jam 9 malam dan kami masih saja mengunyah aneka
hidangan yang disediakan. Dalam hati saya, “Ya Ampun ini sudah jam 9 malam dan
dia masih betah memakai toga lengkap dengan aksesorisnya.” Benar-benar rizki nomplok dari sore hingga
malam, bagi seorang yang baru keluar dari pelosok. Saya benar-benar datang di
waktu yang tepat. Merasakan tradisi sekaligus makan masakan lezat secara
gratis. Saat pulang jam 9.30 pun kami masih melihat ada tenda-tenda yang masih
dihadiri tamu. Wajar jika saya menyatakan keheranan pada meriahnya syukuran
wisuda di Ambon. Kata Kak War, “Ya berbagi kebahagiaan to. Kalau mengundang,
lain waktu kita juga akan diundang.” Istimewanya lagi, tamu-tamu undangan tidak
perlu membawa amplopan atau hadiah-hadiah semacam pernikahan. Jadi, acara ini
total gratis. Sangat recommended untuk
traveller yang akan ke Ambon dan
punya kenalan di hari wisuda.
Wajah-wajah Arab di Haruku
Esok paginya saya mendapat
kejutan lagi pada kebiasaan orang Ambon. Saya dihidangkan sarapan roti, donat,
dan teh hangat manis. Benar-benar cocok dengan saya yang malas sarapan nasi dan
terbiasa minum teh hangat saat di Solo. Bahkan suami kakak Kak War juga sarapan
roti semacam itu. Sarapn selesai, saya berkesempatan jalan-jalan ke kampus IAIN
Ambon, kampus Kak War. Pemandangan kota Ambon dari kampus bagian atas sangat
indah ditambah cahaya matahari pagi membuat suasana makin hangat. Saya seperti
disambut Ambon dengan sangat bersahabat. Sayang, saya mendapat cerita seram di
salah satu lapangan kampus. Kata Kak War, dulu sewaktu Ambon mengalami konflik
banyak mayat yang dibuang di sekitar lokasi itu. Oh My God, antara kasihan dan mengerikan.
Rektorat |
Pemandangan pagi dari IAIN bagian atas |
Perjalanan kami lanjutkan naik
angkot ke pangkalan angkot menuju Tulehu. Ternyata ini adalah sebuah daerah
dengan dermaga speed boat. Saya
diajak Kak War mengunjungi rumahnya di Pulau Haruku. Spead yang dinaiki tidak terlalu besar, paling muat delapan orang.
Perjalanan sekitar seperempat jam menuju dermaga Waeriang. Ini juga baru
pertama kali saya naik speed sekecil
itu dengan ombak yang lumayan tinggi dan tanpa dilengkapi pelampung. Antara
seru dan menegangkan. Pulau ini ternyata sebuah kampung. Kami berjalan kaki
menuju rumah Kak War dan saat baru beberpa menit berjalan, kami melewati
kawasan yang sangat sepi dan gelap. Kata Kak War kami melewati pemakaman.
Pantas saja, firasat saya tepat.
Angkot ke Tulehu |
Keesokan harinya saya diajak
melihat sebuah profesi unik di pulau itu, mencari telur Maleo. Sebuah tanah
lapang berpasir sudah didatangi bayak orang dengan seorang laki-laki yang
mencangkul lalu merogoh tanah dalam-dalam memakai tangan kosong. Batang-batang
berdaun tertancap di beberapa titik. Kak War menjelaskan bahwa setiap tahun
akan ada pemilik dari tanah itu dari hasil menang lelang. Waktu itu pemenang lelang berani membayar Rp 15.000.000,00 Pemilik akan menyewa
orang untuk menggali lubang-lubang yang diduga masyarakat terdapat telur Maleo
di dalamnya. Siapapun bisa ikut menandai
titik-titik yang diduga di mana saja dan berapapun jumlahnya. Asalkan
kalau memang ternyata ada telurnya, penanda membayar melalui “kasir” seharga Rp
2.000,00 per butir.
Berbagai usia meramaikan "pasar" ini |
Puas melihat-lihat, kami pulang
untuk mandi dan beristirahat. Selama di perjalanan saya melihat banyak hal
unik. Sebuah gapura yang berhiaskan kaligrafi dan berbentuk kubah masjid,
rumah-rumah penduduk yang tercat bendera palestina, dan anak-anak kecil
berwajah arab. “Lihat, wajahnya seperti orang arab to? Padahal dia orang
Ambon.” Penjelasan Kak War membuatku paham ternyata kampung Kailolo ini dahulu
kala didatangi oleh para penyebar Islam dari Arab. Wajar jika suasana Islam
sangat terasa di sini bahkan wajah-wajah arab pun banyak ditemukan. Meski
demikian, marga-marga di sini tidak ada hubungannya dengan nama-nama marga arab
yang biasa kutemui. Marga mereka adalah marabessy, tuanany, tuaputy, usemahu,
ohorella, sahartira, dan tuatoy. Ini benar-benar menambah pemahaman saya
tentang orang-orang Ambon dan sejarahnya.
Ada Kapal Tenggelam?
Sore hari saya diajak Kak War ke
sebuah pantai yang berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki. Suasana menuju
pantai tersebut sangat asri dan sepi. Paling ada satu dua pengendara motor
lewat. Saya memang jarang menemui mobil di sini. Betapa kampung yang
tenang. Akses menuju ke sana sangat mudah
karena jalan sudah beraspal dan sama sekali tidak ada tanjakan, turunan, atau
kelokan. Saya melihat dari ketinggian pantai pasir putih dan air biru di sisi
kiri. Wah, saya tak sabar ke sampai ke sana.
Jadi, pantai ini memang terlihat
indah dari atas, tetapi saat mendekat ternyata banyak sampah pakaian yang
terdampar yang tak terlihat dari atas. Entahlah, mungkin ini keunikan baru di
sebuah tempat wisata. Saya juga menemukan sebuah nisan kuno di jalan masuk
pantai. Sepanjang jalan Kak War banyak bercerita tetang sejarah kampung. Orang
yang dimakamkan di nisan tersebut orang yang melihat serbuan Belanda di Pulau
Haruku. Banyak gadis-gadis jaman penjajahan yang terancam diperkosa oleh
tentara Belanda. Cara mereka menghindari dengan melumuri badan mereka dengan sesuatu
yang berbau tak sedap dan menyengat sehingga tentanra enggan mendekati
gadis-gadis Haruku. Cara unik dan pintar untuk menjaga harga diri.
Makam Para Leluhur
Jam 7 pagi, saya sudah diajak Kak
War berjalan-jalan keliling kampung. Kali ini saya ke sebuah tempat yang
membutuhkan langkah menaiki anak-anak tangga. Saya jadi ingat suasana di
Grojogan Sewu, Karanganyar. Bedanya, kalau ini harus naik untuk sampai di
lokasi. Saat anak tangga habis, kami harus melanjutkannya berjalan kaki sekitar
15 menit. Suasananya hampir sama saat ke pantai kemarin. Sepanjang perjalanan
saya menemukan banyak pohon pala dan kenari. Inilah suasana yang tak pernah
saya temui di Jawa. Rempah-rempah dan ikan yang melimpah, pemandangan alam yang
indah telah menarik Portugis, Spanyol, dan Belanda dengan arogan menguasai
tanah Maluku untuk kepentingan mereka. Cerita sejarah itu memang benar adanya.
Masjid Kubah Terbang
Jam 12 tepat setelah saya
berpamitan dengan orang tua Kak War, saya diajak Kak War ke dermaga spead weariang
untuk kembali ke Ambon. Saya berterimakasih sekali dengan keluarganya yang
sangat baik menerima tamu rantau yang tak punya satu pun teman dan saudara di
Maluku. Sebelum sampai di dermaga, kami
melewati sebuah masjid kuno yang bernama Masjid Nandatu Sahapori.
Pada tahun 2003 lalu sempat beredar
video amatir yang menghebohkan Indonesia. Pasalnya saat kubah masjid ini
dipindahkan dalam rangka renovansi, kubah yang berbobot ribuan kilo itu terlihat terbang
dengan sendirinya tanpa ada bantuan alat dan sedikitpun orang. Banyak yang
mengatakan bahwa ini adalah kuasa Allah karena saat proses pengangkatan itu
diiringi dengan dzikrullah. Sejak saat itu masid ini disebut dengan Masjid
Kubah Terbang. Baru-baru ini mulai muncui analisa tentang video tersebut, bahwa
sebenarnya kubah tersebut tidak terbang tetapi ditarik oleh tali. Hanya karena
pemberitaan di media yang terlalu dibesar-besarkan sehingga seolah-olah
kejadian fenomenal tengah terjadi saat itu. Sepertinya media saat itu paham
betul masyarakat Indonesia menyukai pemberitaan yang fenomenal dan terkesan
ajaib apalagi jika dikaitkan dengan kebesaran Tuhan, maka akan membuat
masyarakat semakin yakin pada berita tersebut.
Menyeberang Teluk Ambon
Seperti saat perjalanan ke
Haruku, perjalanan ke Ambon pun melalui rute yang sama. Sebenarnya aku tidak
terlalu berencana ke UnPatti, namun Kak War menawarkaku menemani ke sana karena
angkot yang kami naiki melewati jalan menuju ke sana. Saya terima dengan senang
hati tentunya bagi saya berkunjung ke sebuah perguruan tinggi itu seperti
melihat kesiapan pemerintah terhadap pembangunan intelektual dan peradaban
masyarakatnya.
Tak lama untuk sampai di dermaga
dekat UnPatti. Kami tinggal berjalan kaki ke kampus berlambang obor Pattimura
itu. Pattimura dan Ambon memang dua nama yang sangat lekat berkaitan. Sama seperti
Solo dan batik atau Jogja dan Gudeg. Kami berkeliling kampus lalu berfoto-foto
sebentar. Sayang saya tak melihat mahasiswa sama sekali karena mereka sedang
libur. Jalanan di area yang kampus datar tak seperti kampus UNS yang berkelok
dan menanjak membuat kami cepat selesai mengitari kampus. Hanya saja gara-gara
kami tak tahu ternyata gerbang depan tak tergembok sehingga kami lewat pintu
belakang. Cukuplah membuat ngos-ngosan.
Kami kembali naik angkot dalam perjalanan
menuju ke rumah Kakak Kak War (saya lupa nama beliau :D). Turun dari angkot
mata saya langsung cemerlang melihat durian bertebaran di jalan. Saya langsung
mengajak Kak War untuk mencicipi manisnya durian maluku setelah tahu harganya
sangat murah. Rupanya Kak War sudah ahli dalam perduarianan karena durian yang
awalnya kukira masih mentah, setelah diperiksa Kak War ternyata rasanya sangat
manis. Keherananku tidak berhenti sampai di situ karena menurut Kak War harga
Rp 10.000,00 per buah ukuran sedang itu masih mahal karena kalau sedang puncak
musim Rp 10.000,00 bisa dapat tiga buah. Wah, sungguh harga yang terlalu
murah.
Sejarah Panjang Masjid Jami’
Tahun Baru Ala Ambon
Sebenarnya saya ke Ambon sama
sekali tidak ada rencana dan niat untuk merayakan tahun baru karena memang saya
tak pernah merayakannya. Hanya kebetulan saya ke Ambon sedang akhir tahun. Kak War
dan keluarga kakaknya mengajak saya ke rumah saudaranya untuk merayakannya. Tak
jauh, hanya berjalan kaki tujuh menit. Saudaranya telah menyiapkan masakan khas
Ambon yang super banyak dari masakannya sendiri. Segala olahan ikan dan
umbi-umbian rebus terhidang di meja teras rumah. Waktu itu masih menunjukkan
sekitar jam 10.30 WIT. Kami mengobrol ke sana ke mari dan tentu saja pertanyaan
mengenai saya dan tugas saya di Papua sebagai pengajar. Tak lama kemudian
suara-suara petasan dan kembang api, meledak di udara menciptakan bauran warna-warni
yang indah di langit cerah. Anak-anak bersorak gembira. Saya yang tak terbiasa
merayakannya sebetulnya sangat menahan rasa kantuk, namun demi menghormati
kebaikan hati saudara Kak War, tak bisalah saya undur diri dan pulang terlebih
dahulu sedangkan beliau belum mempersilakan makan-makan. Sebenarnya Kak War
juga sudah merasa mengantuk, hanya saja dia juga sama-sama tak enak untuk
pamit. Memang, benar-benar masyarakat Ambon suka berpesta. Kemarin pesta wisuda
dan disusul dengan pesta tahun baru.
Bertemu Pattimura
Saya yakin banyak masyarakat
Indonesia yang sudah tahu beliau, setidaknya dalam selembar Rp 1.000,00. Thomas
Matulessy yang kemudian dikenal dengan Kapitan Pattimura ini menjadi pahlawan
nasional atas keberaniannya melawan Belanda di Maluku. Sayang, akhir hidup
beliau yang masih muda saat itu, 34 tahun, harus berakhir di tali gantung yang
melilit lehernya karena tertangkap Belanda. Terlepas tentang kepercayaan asli
beliau yang kontroversi, yang jelas bagi saya beliau adalah orang hebat yang
rela berkorban bagi masa depan bangsa.
Jika selama ini saya hanya bisa
melihatnya di selembar uang yang seringkali sudah kumal, waktu itu saya bertemu
langsung dengannya di dekat kantor gubernur. Dengan wajah penuh amarah, sebilah
Parang Salawaki di tangan kanan, tameng di tangan kiri, dan mulut yang seolah
mengucap “Merdeka!” kutemui baliau. Kusambut sambutannya yang super serius
dengan, “Waaaah… ada Pattimura!” Ya, Pattimura yang ini ukurannya super besar
dengan relief sejarahnya di bagian bawah.
Patung ini berdiri di tengah
taman kota. Relief-relief khas Maluku seperti tifa, cengkeh, pala, mempercantik taman ini. Lokasi ini juga dekat
dengan monument Gong Perdamaian. Gong ini sebagai harapan agar tak ada lagi
konflik sipil berlatar agama di negeri raja-raja ini. Negeri yang disebut para
pendatang Arab dengan sebutan Al-Mulk atau semenanjung kerajaan karena
banyaknya kerajaan di masa lampau. Semoga
kedamaian selalu bersama masyarakat Maluku.
Bagea, Kue Kenari, dan Bros Kulit
Kerang
Saya sempatkan ke pasar
tradisional Ambon untuk membeli oleh-oleh khas Maluku untuk teman-teman di
Papua dan keluarga di Solo melalui jasa paket. Saya tidak ingin menikmati
sendiri atas ketakjuban saya pada kekayaan budaya, keindahan alam, dan menariknya sejarah Maluku. kue-kue khas dijual dengan harga yang murah karena
tidak sampai Rp 10.000,00 per pak dan bros dijual dengan harga Rp 10.000, 00
per biji dijual di sepanjang Jalan Batu Merah. Tak hanya bros, kios-kios juga
menjual berbagai pajangan rumah dengan berbagai ukuran dan harga. Pajangan paling
murah seharta Rp 100.000,00 dan yang mahal bisa mencapai dua juta. Harga yang
pantas untuk karya seni dengan bahan
yang sulit didapat.
Sayonara!
Sayang, saya tak bisa mengulur
waktu lebih lama di Maluku karena kapal telah tiba esok hari dan jika saya
terlambat sehari pun kapal selanjutnya baru akan tiba sekitar dua pekan untuk
berlayar ke Sorong. Saat di ujung hari di Ambon saya mendapat musibah dan itu hal
yang sangat penting. Kakak ipar Kak War sebagai orang yang sangat dekat dengan
pihak perkapalan, mengabarkan pada saya bahwa tiket ke Sorong sudah habis karena
telah dipesan rombongan anggota paduan suara Gereja sebanyak 1.000 tiket. Astaga,
itu artinya saya harus pesan tiket pesawat yang sangat mahal. Saat saya sibuk
mencari tiket lewat online, kakak
ipar tersebut memberi saya sesuatu sambil berkata, “Nih, tiga ratus ribu saja.”
Setelah itu beliau langsung berbalik arah dan melangkah. “Maksudnya?” aku belum
sadar saat Kak War tertawa terbahak-bahak. Ya ampun ternyata beliau hanya
bercanda. “Itulah orang Ambon memang suka bercanda.” Kekhawatiran saya pada
penerimaan keluarga Kak War telah terjawab. Memang benar sebuah buku yang
pernah saya baca bahwa masyarakat Ambon sangat menghormati tamu karena jika
tidak mereka akan sangat malu kepada tetangga dan saudara karena tak melayani
tamu dengan baik.
Sebelum pulang tanggal 4 Januari,
kami sempat menonton film Assalamualaikum Beijing di salah satu Mall Ambon. Maklum,
saya begitu ingin menikmati sedikit kemewahan karena di Sorong pun belum ada
gedung bioskop. Berfoto, mengambil video, berjalan-jalan di berbagai destinasi
wisata, mencicipi berbagai masakan khas Maluku, mengenal masyarakatnya, mengetahuinya
tak sebatas sebutan Ambon Manise, dan ditemani seseorang yang awalnya tak kenal
hingga akhirnya terasa seperti telah berteman bertahun-tahun, layak rasanya
jika di awal saya mengucapkan “Assalamualaikum Ambon!”
Bersama keluarga Kak War di Kailolo |
Berlayar untuk kembali |
Candid lagi ngorek-ngorek tanah buat dibawa pulang |
Jadilah Souvenir Gratis 😄 😂 |
*ucapan Assalamualaikum Ambon
pada akhirnya terucap karena saya kembali ke Ambon saat hari raya Idul Fitri
dan mendapatkan pengalaman yang tak kalah luar biasa dibanding kunjungan ini. Kalau
ditulis, ibarat saya menulis sekuel. Hehe.. Terimakasih untuk keluarga Kak War.
Semoga suatu saat saya bisa jalan-jalan seru ke sana lagi.
Suatu tempat bukan di Maluku,
31/12/2017, 9 menit menuju 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar