Monday, 26 November 2018

Liburan Akhir Tahun, Explore Cianjur

Libur tlah tiba, libur tlah tiba, hatiku gembiraaaaa..... :D

Tahun lalu, ketika saya takjub dengan foto what’s app teman saya yang menunjukkan keindahan bunga-bunga yang tertata rapih di sebuah taman, saya langsung mencari tahu lokasinya. Gara-gara info yang saya dapatkan salah, saya malah ke Taman Wiladatika Cibubur yang penampakannya sama sekali berbeda dengan taman bunga yang saya lihat. Cerobohnya saya baru bertanya pada teman waktu saya sudah terlanjur sampai taman itu, katanya taman yang saya inginkan ada di Cianjur dan dari daerah Jakarta bisa makan waktu 5 jam. Wuaaaah…. Kecewa sekali :(

Tahun lalu juga karena libur akhir tahun saya hanya bisa menulis di blog tentang pengalaman travelling ke Maluku tahun 2015, maka tahun ini saya akan membayar kekosongan travelling akhir tahun saya dua tahun belakang. Terdengar menyedihkan namun juga bersemangat. Hehehe…

Awalnya tak disangka-sangka, sekolah tempat saya mengajar kedatangan guru baru asli Cianjur. Waaah.. bagai doa yang terkabul. Saya langsung menyusun jadwal liburan akhir tahun ke sana. Saya malah dapat info tambahan lagi darinya kalau situs megalitikum Gunung Padang ada di sana juga. Awalnya saya belum nyambung dengan maksud temannya, tapi setelah saya kepo sana-sini barulah saya ngeh kalau situs yang dimaksud perrnah MENGGEMPARKAN dunia arkeologi di dalam dan luar negeri karena kemisteriusanya.

Nah, kali ini saya akan mengulas hari pertama travelling akhir tahun saya di Cianjur. Sebuah kabupaten santri yang bupatinya baru saja harus “nyatri” di pesatrennya KPK supaya lebih soleh. 
Hehehe…

Perjalanan dimulai hari Kamis 20/12 jam 8.30 pagi. Mundur 1,5 jam dari rencana. Kami merencanakan sepagi itu supaya terhindar hujan yang sering bertamu sore hari. Tentunya kami juga sudah melalui 5 jam perjalanan dari Terminal Kampung Rambutan sehari belumnya yang sopir busnya tancep gas serong kanan kiri membuat kami semacam naik kora-kora. Teman saya yang saya tumpangi rumahnya selama beberapa hari ke depan ini dengan baik hati memboncengkan saya sampai ke lokasi tujuan pertama: Situs Megalitikum Gunung Padang! Waw, saya sangat penasaran.

Perjalanan menuju ke lokasi ternyata sudah sangat mulus dan lumayan luas. Teman saya memilih jalan Lampegan. Alternatif lain di Warung Kondang dan Campaka. Kata teman saya ini jalan baru yang dibuat untuk dilewati Presiden SBY saat masih menjabat untuk berkunjung ke lokasi. Waaah… jadi kalau beliau tidak lewat, apa kami akan melalui jalan lama yang semacam jalan off road itu? Teman saya pun leluasa untuk ngebut karena terpancing dengan jalan yang sepi.  Tapi, kalau mau ngebut juga harus hati-hati karena sering ada truk pengangkut teh atau pengendara lain yang juga ngebut dari arah berlawanan. Di sepanjang perjaanan, ada sekitar 3 kios yang menjual bensin. Tapi lebih baik mengisi bensin sampai penuh sebelum memulai perjalanan karena jarak antar penjual bensin lumayan jauh. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan yang sangat indah berupa kebun teh yang tertata rapih. Sesekali kami berpapasan dengan para petani teh yang sedang mengangkut karung-karung teh ke atas truk dan seorang mandor yang menghitung jumlah karung. Pemandangan khas desa yang sungguh menenangkan.

Ternyata kami sampai di lokasi hanya dalam waktu satu jam. Awalnya teman saya mengatakan bisa sampai dua jam sesuai pengalamnnya melewati jalan lama yang lebih “menantang”. Setelah membayar tiket masuk Rp 5.000,00 (berlaku untuk turis lokal dan asing), kami berhadapan pada dua pilihan jalur. Landai tapi agak lama atau curam tapi cepat. Kami memilih tangga landai yang berjumlah sekitar 500 anak tangga untuk sampai ke puncak agar kami tak terlalu lelah setelah pualng dari destinasi pertama ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan anak-anak dan orang tua. Itu indikator kalau seusia mereka pun mampu melakukan pendakian dan penurunan tangga :D Beberapa kali saya melihat batu-batu balok di perjalanan naik. Saya merasa itu batu yang akan serupa dengan yang di atas.

Jalur Landai yang Nyaman
Hanya dalam waktu tak lebih dari 20 menit, kami sampai di pucak Situs Gunung Padang yang sebenarnya lebih cocok disebut bukit. Jalurnya sama sekali tak sesulit dan tak sealami yang saya kira. Tangga-tangganya sudah terdapat pegangan tangan yang masih sangat baru. Awalnya saya kira akan menghadapi jalur tak bertangga yang masih jarang dilalui dan menuju ke puncak membutuhkan waktu sekitar sejam. Terlalu imajinatif, hehehe..

Angin semilir, cahaya matahari yang hangat, pengunjung yang masih sepi, dan tentu saja batu-batu balok yang tersebar luas seolah menyedot saya ke tahun yang tak diketahui. Speechless, begitulah tepatnya. Tak menyangka saya akan berdiri di antara situs misterius ini. Tak mau berlama-lama dalam imajinasi, saya menghampiri seorang petugas dari dinas pendidikan dan kebudayaan yang sedang bekerja bersama timnya melakukan penggambaran ulang lokasi batu-batu yang longsor. Sedikit mengobrol dengan beliau di bawah pohon besar tentang tugas yang sedang dilakukannya. Akar pohon ini cukup ampuh melilit batu-batu situs sehingga yang tampak selalu saja sama seperti yang pernah saya temui di lokasi-lokasi lain. Jika yang lama tak mampu menunjukan kebesarannya, maka akan digantikan dengan sesuatu yang baru dan lebih besar.  Alhamdulillah setidaknya pemerintah masih peduli, setelah kabar penghentian penelitian tantang situs ini tahun 2014 lalu. Sebelumnya saya sudah agak pesimis.

Setelah ngobrol, saya berjalan-jalan di sekitar situs. Melihat hal-hal unik darinya. Saya sempat menemukan tulisan “Dilarang Memukul Batu” di pinggir batu yang melintang. Gara-gara tulisan itu saya dan teman malah penasaran memukul batu dengan pelan tentunya. Hehehe… mungkin saking banyak orang penasaran, ada yang pernah memukul batu dengan cara dan alat yang upnormal sehingga membahayakan keutuhan batu. Dan memang, benar! Batu itu berbunyi nyaring seperti kalau saya lagi mukul salah satu instrument gamelan. Tapi menurut saya itu karena bagian dalam batu partikelnya tidak padat atau karena kebetulan posisi batu itu disangga batu-batu lain sehingga ada ruang di bawah batu. Susunannya kebetulan seperti intrumen gamelan yang dipukul. Jadi, tak ada yang spesial dengan batu berbunyi ini.


Seperti pintu masuk
Selain itu yang membuat saya tertarik adalah dua pasang batu balok yang berdiri tegak semacam gapura atau apapun itu yang jelas seperti sebuah “pintu masuk” dari sebuah ruangan lebar tak berdinding. Saya sok-sokan mengira ini bekas ruang tamu. Sedangkan di sisi barat terdapat gundukan batu yang kata banyak orang itu bekas tempat pemujaan. Di posisi setingkat lebih atas, saya melihat ada sebuah jalur dengan beberapa batu yang berdiri tegak. Saya merasa dulu ini jalur tangga menuju lokasi atas. Semacam posisi tangga di candi Borobudur. Tapi pengunjung tak diizinkan naik dan turun dari jalur ini karena sangat curam dan sudah dibuat jalur baru di samping situs. Dari jalur baru ini terlihat “dinding” situs yang berupa susunan batu balok mirip cara orang jaman sekarang menyusun batu-batu untuk membuat bangunan dasar. Kalau sekarang pakai semen, yang saya lihat di situs berupa tanah. Kita bisa melihat keseluruhan situs yang tersebar di bagian bawah dari  “lantai dua”. Entah mengapa jika ingin di posisi tepi lantai dua itu, kita diminta melepas alas kaki. Apakah lagi-lagi ini soal mistis? Hal unik lain adalah dari jalur yang membentuk tangga ini, ada semacam jalur menuju “lantai” tiga dan ada sebuah batu-batu berjajar rapi dari tepi timur ke barat seperti sebuah pagar dan saya yakin itu dulu sebuah pagar pembatas antara “lantai” dua dan tiga. Sebelum menuju ke tingkatan teratas (ketiga) saya menebak bagian teratas adalah lokasi orang yang memiliki jabatan tinggi. Bisa jadi raja, pemuka agama, atau seorang maha guru. Dan benar saja, ada sebuah spot yang betuliskan “Singgasana”. Terlepas dahulu singgasana atau bukan, saya merasa senang karena sok tau saya sejalur dengan orang yang menyematkan nama tersebut (semoga ahli arkeolog :D )

Duduk di Singgasana. hehehe...
Seorang bapak dengan baju dan celana hitam khas “OB” situs ini sedang duduk di belakang “lantai” tiga saat kami ingin memfoto singgasana. Beliau menghampiri kami dan mengatakan boleh masuk ke singgasana yang diberi pagar kawat itu. Syaratnya: lepas alas kaki. Saya rasa bagian ini seperti dikeramatkan. Kami berdua juga mencium aroma wangi di dalam singgasana itu yang mungkin sisa kemenyan atau apalah. Tapi saya tidak melihat kembang-kembang dan dupa seperti yang pernah saya lihat di candi daerah Kediri. Awalnya kukira situs ini mengahadap ke arah barat seperti di Situs Ratu Boko, ternyata menghadap utara tepatnya menghadap Gunung Pangrango.

Melihat dari lantai 2. Seperti ada susunan anak tangga di depan saya

Bapak tersebut menceritakan sedikit tentang pendapat orang-orang tentang situs Gunung Padang. “ Ada yang mengatakan dulu ini bangunan yang sudah jadi tapi rubuh karena gempa. Makannya banyak batu yang jatuh sampai ke bawah-bawah. Kalau pemerintah mau lanjutkan penelitian juga bisa jadi harus membebaskan tanah warga karena bisa jadi ada yang tertimbun di bawah rumah penduduk.” Begitu ceritanya. Saya salut kepada bapak tersebut yang tidak membesar-besarkan cerita atau membumbuhi dengan cerita-cerita mistis nan magis.

Beberapa menit setelah azan zuhur, saya solat di musola belakang situs. Saya sempat mencoba naik di menara pandang sebelum salat, tapi saya batalkan melangkah dari anak tangga teratas karena ada beberapa lubang di lantai kayunya. Saya jadi sanksi pada keamanannya.  Di samping musola terdapat dua kamar mandi lumayan bersih dan tidak ada penjaga kotak toilet yang biasa duduk di depan toilet. Ada satu warung makanan ringan di depan musola. Bentuk spot toilet, musola, dan warung masih sangat sederhana. Setelah solat kami melanjutkan perjalanan untuk mencari makan siang karena perut sudah meronta.

Secara keseluruhan, pengelolaan situs ini masih sangat sederhana. Sepertinya masih butuh waktu lama hingga bisa setenar dan seterawat Borobudur. Juga untuk menguak misteri  sebenarnya ini situs apa. Saran saya, jangan lupa mengecek perkiraan cuaca apalagi di musim hujan. Alhamdulillah kami diberikan cuaca cerah dengan angin sepoi-sepoi semacam di pantai.  Lebih baik juga membawa perbekalan seperi minuman dan snack yang cukup mengenyangkan seperti roti atau biskuit karena lokasi penjual makanan yang cukup mengenyangkan berada di dekat lahan parkir. Itupun kalau suka dengan menu yang ditawarkan.

Teman saya mengajak ke rumah makan yang katanya khas Cianjur. Lumayan jauh dari lokasi situs karena kami harus ke pusat kota Cianjur, tepatnya di Sawah Gede, Kecamatan Cianjur. Ciri khas jalan ini kami harus melewati pemakaman yang lumayan luas sebagai “gerbang” menuju rumah makan itu. Ini asli lebih membuat merinding daripada situs Gunung Purba yang serba dilepas alas kaki. Ajaibnya, ada rumah makan yang begitu homy di ujung jalan ini. Rumah makan ini sebenarnya rumah pribadi sang owner kemudian disulap menjadi rumah makan Bacil Cianjur. Bacil sendiri singkatan dari Bakso Cilok.  Sebelum masuk kita harus lepas alas kaki, dari depan ada banyak meja kursi dengan suasana semacam di ruang tamu dan diiringi lagu-lagu barat kekinian, lalu ada juga meja kursi di ruang tengah yang terdapat foto wisuda anak beserta kedua orang tua. Mungkin keluarga sang owner. Terakhir ada serambi belakang yang sifatnya lesehan diiringi suara aliran air sungai (?) dari belakang rumah. Kami pesan paket lengkap seharga RP 20.000,00 yang berisi cilok, baso daging sapi, telur puyuh, mie kuning, dan ceker. Kami juga memilih level pedas 2 dari maksimal 5.

Bacil ini berupa perpaduan antara baso yang biasa dengan cilok. Bedanya dengan baso biasanya, kuah bacil kental seperti kuah kari. Pedas level 2 bisa dibilang masih acceptable. Setelah menikmati bacil pedas panas, kami  melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya saya membeli sepaket bacil kering yang bisa dijadikan oleh-oleh  seharga harganya Rp 18.000, 00. Sebenarnya saya masih betah menikmati suasana bagian ruang tamu ini, tapi saya diajak teman merasakan salat ashar di Masjid Agung Cianjur yang katanya berencana dijadikan seperti Masjid Agung Bandung

Sampai di Masjid Agung benar saja, suasana di parkir motor saja penuh sekali semacam parkir di lokasi wisata. Waktu saya masuk masjid juga banyak orang yang bergiliran salat. Alhamdulillah, banyak orang yang sadar pada kewajibannya. Sayang, masjid ini terlihat agak kotor. Beberapa bagian juga terlihat rusak. Kata teman masjid ini sedang dalam proses renovasi. Selesai salat teman mengajak berjalan-jalan di sebelah masjid yang benar-benar disulap seperti “lapangan” depan Masjid Agung Bandung. Rumput hijau sintetis terhampar luas, kolam air mancur berada di tengahnya. Terdapat pendopo bupati di seberang jalan pelataran rumput sintetis ini. Pendopo yang dibangun jaman penjajahan Belanda ini masih utuh ciri khas bangunan kuno. sayang, kami tidak bisa masuk karena dipagar. Lokasi ini seminggu sebelumnya tepat setelah salat jumat sangat ramai dikunjungi masyarakat Cianjur. Bukan karena ada festival rakyat atau open house rumah bupati, tetapi karena “syukuran” yang dilakukan masyarakat atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap bupatinya. Sebuah ironi seorang pemimpin yang minta dipuja-puji atas karyanya yang dianggap gagal oleh masyarakatnya sendiri. Sebuah kemenangan demokrasi, dan sebuah luapan emosi masyarakat yang telah lama terpendam. Teman saya awalnya khawatir seandainya Cianjur masih belum stabil kondisinya, ternyata semua baik-baik saja. Masyarakat dengan bahagia bersenda gurau di hamparan rumput sintetis dan jajan makanan-makanan ringan di sepanjang jalan. Seolah tidak terjadi apa-apa sepekan sebelumnya.

Sambil menikmati jajana tradisional, kami turut berbaur dengan masyarakat di atas “rumput”. Saya mendapat banyak gambaran tentang masyarakat Cianjur dari teman saya. Sebuah kabupaten yang sedikit demi sedikit sedang mangalami transisi menjadi masyarakat dengan pola pemikiran yang lebih terbuka terhadap pendidikan. Pada tahun 1980an, masih banyak orang yang berfikir bahwa menjadi santri itu lebih penting dari pada menjadi ilmuwan. Bahkan apabila ada yang ingin melanjutkan sekolah hingga SMA apalagi di sekolah negeri, akan dimusuhi karena dianggap lebih mementingkan duniawi. Akibatnya, banyak anak yang tidak melanjutkan sekolah dan memilih pesantren tradisional. Pandangan mereka pada peran perempuan kala itu juga masih sangat sempit sehingga banyak perempuan yang menikah di usia dini bahkan sesaat setelah lulus SD. Begitupun yang laki-laki, banyak di antara mereka yang tidak tamat SMA dan menikah di usia sangat muda lalu memiliki banyak anak. Saya begitu simpati dengan teman saya yang berani meruntuhkan tembok tebal itu sejak usia taman kanak-kanak dan terus melangkah hingga perguruan tinggi pada saat semua kakaknya tidak lebih dari tamat SMA bahkan SMP. Bahkan ia diterima perguruan tinggi negeri papan atas di Bogor dengan beasiswa. Alhamdulillah, keluarganya sudah memaklumi sejak kecil bahwa dia berbeda dari yang lain sehingga dia bisa dengan bebas belajar dan merantau cukup jauh dari desanya. 
Santri yang Tercyiduk
Banyaknya pesantren di Cianjur menjadikannya kota santri. Maka tak heran ada dua tugu bertuliskan tulisan arab Allah dan Muhammad. Beberapa gapura juga terdapat tulisan arab atau simbol-simbol islami lain. Jangan harap menemukan mall-mall besar atau bioskop di sini karena pernah bioskop diresmikan keesokan harinya langsung ditutup karena diprotes masyarakat yang menganggap bioskop tempat maksiat. Ada toserba yang sangat tekenal di sini yang sudah membuka banyak cabang dan toserba ini membawa jargon The Moslem Family. Sebuah cara promosi yang bisa jadi tak laku di kota asal saya, Solo. Ini adalah keadaan yang sangat kontras manakala masyarakat ingin menjunjukkan sisi religious, namun ternyata sang pemimpin yang membangun simbol-simbol itu malah terkena kasus yang jelas melanggar syariat Islam. Saya hanya berharap agar Cianjur menjadi lebih terbuka terhadap perkembangan zaman dan dapat memajukan potensinya.


Jumat, 21/12

Sarapan khas Sunda
Kami mulai perjalanan hari kedua di jam yang sama dengan hari sebelumnya . Menurut perkiraan cuaca, langit hanya akan berawan tanpa hujan. Kami menuju ke sebuah dataran tinggi sehingga saran saya pakailah jaket apalagi perjalanan menggunakan motor akan terasa angin dingin menyusup badan. Meski cuaca teramal tidak akan hujan, tetaplah bersedia membawa payung dan jas hujan. Ingatlah peribahasa Sedia Payung Sebelum Hujan! Hehehe…

Satu jam kemudian, kami sampai di sebuah tempat yang saya impikan setahun sebelumnya: Taman Bunga Nusantara! Waaaah… senangnya… Apalagi tiket masuknya tidak terlalu mahal, yaitu Rp 40.000,00 untuk turis lokal dana sing dan parkir motor Rp 10.000, 00 dengan tarif flat. Jika ingin naik mobil keliling atau tambahan-tambahan lain paling bayar tiket masuk Rp 5.000,00. Tariff yang terbilang murah ini karena tempat ini dikelola oleh pemerintah yang menurut saya pasti dapat subsidi. Kita bisa membandingkan dengan beberapa lokasi wisata yang dikelola oleh swasta yang tarifnya bisa di atas Rp 100.000,00.


Taman ini sangat bersih, meski toiletnya belum sewangi XXI, hehehe… tidak ada ongkos untuk  urusan ke toilet. Banyak petugas taman yang bekerja dan kabarnya mereka merapihkan taman setiap hari dengan dibantu para ahli tanaman. Saya bisa mengatakan ini adalah taman terawat dan terindah yang pernah saya lihat. Meski namanya taman bunga nusantara, tetapi kita bisa menjumpai tanaman dari berbagai belahan dunia. Bahkan maskotnya saja angsa hitam khas Australia. Saat berasa di labirin saya merasa di sebuah film animasi dan saat di tengah topiari merak, tiba-tiba jadi ingat film Alice in the Wonderland. Jika ingin melihat taman dari atas, kita bisa naik ke menara pandang. Sayang, lift rusak jadi harus naik tangga. Di bagian ini, saya  berucap, “Hhhh… Indonesia…”

Labirin terlihat dari Menara Pandang
Secara keseluruhan, tamannya sudah sangat bagus. Tinggal meningkatkan fasilitas pendukungnya saja seperti kebersihan dan keindahan toilet (bagi saya ini penting banget), persewaan sepeda seperti di TMII, perbaikan lift menara pandang, dan digitalisasi informasi di setiap taman agar pengunjung lebih mengerti tentang jenis-jenis tanaman secara jelas dan menarik.

Tips saya sekali lagi bawalah perbekalan makanan karena taman ini super luas dan missal lapar melanda setidaknya ada makanan ringan pengulur rasa lapar. Lalu persiapkan kamera baik-baik karena banyak spot foto yang sayang dilewatkan. Informasi lebih lanjut bisa dicek di  


tambah sambal combro yang nggak pedes2 amat
Kami pulang sebelum salat asar karena teman saya mengajak makan siang di Sate Maranggi Sari Asih yang katanya recommended banget dan selalu ramai pengunjung. Saya jadi penasaran karena belum pernah makan sate jenis ini. Ada dua jenis sate yang dijual. Sate daging campur lemak per tusuk Rp 3.000,00 dan yang murni daging Rp 4.000,00. Khas makan sate ini dimakan dengan uli (jadah bakar, dalam Bahasa Jawa) yang dijual Rp 3.000, 00 per kotak. Minuman teh hangat tawar tersedia gratis. Tapi saya pesan teh hangat manis. Selesai makan dan numpang colokan sebentar, kami pulang dan kami cancel ke Kebun Raya Cibodas karena sudah terlalu sore.


Jumat, 22/12

Saya diajak teman berangkat lebih pagi karena keluarganya akan membuat nasi liwet yang dimakan bersama-sama di atas selembar daun pisang. Istilah mereka, ngariung. Maka dari itu, teman saya menjadwalkan kami pulang lebih cepat dari dua hari sebelumnya. Perjalanan kali ini melewati jalur selatan, berbeda dengan dua hari sebelumnya. Jalur ini menjauh dari kota. Jalannya sangat menantang karena berbatu. Dibutuhkan jam terbang tinggi untuk melewatinya.
 
Jalan berbatu yang berbahaya ini cukup merepotkan saya yang ingin mengambil foto atau merekam bukit-bukit kebun teh yang sangat luas. Bukit-bukit ini mengingatkan saya dengan bukit teletubbies. Kata teman saya ada jalur lain tapi jauh dari arah Cibeber. Dan tak disangka lokasi yang saya lewati merupakan kampungnya penyanyi dangdut muda pemenang kontes dangdut beberapa tahun lalu, Lesti. Waah, seorang penyanyi nasional yang berasal dari pelosok desa.

Sampai di sana kami membayar karcis masuk Rp 5.000,00. Lokasi wisata ini masih dikelola oleh masyarakat, sehingga lahan parkirnya hanya berupa tanah kosong milik warga. Jalur menuju air terjun sudah baru dibandingkan terakhir teman saya ke sini. Kita melewati sebuah sungai tenang yang tak terlalu lebar menggunakan jembatan kayu yang dibuat masyarakat beberapa meter dari air terjun. Dari sungai tenang inilah tumpah ruah menjadi air terjun yang sangat indah. Bentuk air terjun ini tidak terlalu vertikal, namun melebar sehingga mengahasilkan efek menyebar jika mengenai bebatuan.


Ada sebuah batu besar yang dekat dengan air terjun dan terdapat tulisan “selpie di atas batu Rp 5.000” tapi karena tidak ada penjaga maka kami pun puas ber “selpie” tanpa membayar. Begitu pula saat ke toilet karena tidak ada penjaga atau kotak pembayaran, urusan toilet saya jadi gratis. Jika saat di Situs Gunung Padang saya membayangkan ada dalam sebuah film sejarah, di taman bunga nusantara seperti di Alice in the wonderland, kali ini saya merasa cocok kalau film Wirosableng kedua mengambil gambar di sini. Batu-batu dan setting air terjun akan membawa efek dramatis saat tokoh melompati bebatuan. Hehehe…

Ini buka "Selpie", tapi "Wepie"
Selesai salat zuhur di musala yang sederhana, kami pulang. Ongkos parkir Rp 5.000,00. Kami tak tahu harusnya berapa karena tak ada karcis. Beberapa kali saya melihat para petani teh berjalan menuju kebun. Saya sempat melihat sebuah pemandangan yang sangat indah yang sangat menggambarkan Indonesia, yaitu petani yang membajak sawah di kaki bukit kebun teh. Inilah sumber makanan dan minuman yang banyak orang Indonesia konsumsi setiap hari. Sebuah pemandangan lukisan dari pencipta yang sangat indah dan tak pernah kulihat di kota tempat saya kerja. Ini benar-benar sebuah perjalanan relaksasi yang menenangkan, meski jalan yang kami lalui cukup mendebarkan.



Tips untuk yang ingin ke Curug Cikondang, bawalah baju ganti atau pakailah jaket karena cipratan air terjun bisa membasahi baju. Yang paling penting adalah bawalah makanan dan minuman yang cukup karena lokasi ini jauh dari rumah makan. Hanya ada satu penjual mie ayam baso di dekat lokasi, tapi ini tidak menjamin selera kita, kan?

Tak lama setelah saya sampai di rumah teman, saya diajak makan siang ala ngariung. Nasi liwet khas Sunda dengan lauk ikan asin, ikan teri, sambal, dan tentu saja lalapan favorit masyarakat pasundan yaitu kacang panjang dan pete mentah. Saya hanya jadi penonton saat keluarga teman saya makan pete dengan lahapnya karena pete bukan hal yang lazim dalam masakan Jawa, apalagi dimakan mentah-mentah. Kata mereka, mereka akan memasak liwet jika sedang banyak orang di rumah dan makan dengan cara ngariung akan menambah kebersamaan. Maklum, teman saya 10 bersaudara dan 9 kakaknya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Hampir setiap akhir pekan mereka berkumpul di rumah orang tuanya sehingga suasana pasti sangat ramai dan meriah seperti Idul Fitri. They are a super big family. Tiba-tiba saya jadi ingat makan di pinggir Pantai Sebelah saat Papua bersama murid-murid dan teman-teman mengajar. Kami pun makan dengan cara yang sama. Hanya saja kami makan singkong dan udang dengan dibakar di dalam bambu terlebih dahulu. Saya tak mendapati cara seperti ini di Jawa.

Keesokan paginya setelah salat subuh, saya bersiap berangkat untuk pulang ke kota tercinta, Solo. saya kira saya akan membeli makanan dan minuman ringan di toko-toko kecil di perjalanan menuju lokasi bus lewat, ternyata ibu teman saya sudah mempersiapkan sarapan juga bekal makan siang. SubhanaAllah, baik sekali. Bahkan saya juga dibawakan oleh-oleh Kalua, semacam manisan yang membuat saya sangat terkejut karena terbuat dari kulit jeruk bali. Awalnya saya kira dari pepaya atau mangga. Bahkan sempat mikir gula merah. Wah, menarik sekali.

Kalua
Jam 05.25 saya dibonceng motor teman ke terminal (kereta di Cianjur tidak melayani antar provinsi dan harus pesan tiket jauh-jauh sebelumnya jika ingin ke Bandung). Sayang, bus menuju stasiun Bandung tak ada, jadi dia mengantar saya ke lokasi bus lewat yang ternyata lumayan jauh. Saya sempat mengira dia akan membawa saya sampai Bandung. Hahaha.. sebenanrnya saya menunggu bus di depan penjual oleh-oleh, sayang penjualnya masih tidur di kursi malas kiosnya. Dipanggil pun tak bangun. Kata teman saya, “Ininih kalau pagi-pagi masih tidur rejeki dipatok ayam.”  Padahal saya ingin membeli Tauco khas Cianjur yang sudah dipromokan teman saya. Tak lama kemudian bus menuju Bandung datang. Alhamdulillah, bus ini ber ac dan bersih. Bayarnya pun murah, hanya Rp 23.000, 00. Saya berangkat sangat pagi karena kereta saya berangkat jam 09.30 dan saya menghindari macet. Setelah duduk saya cek Google map dan alhamdulillah mayoritas tidak ada macet. Pemberhentian terakhir bus ini ternyata di terminal bukan stasiun. Saya harus naik Damri untuk sampai di stasiun yang berjarak 30 menit dengan ongkos RP 5.000,00. Bus ini bentuknya seperi Trans Jakarta, hanya saja tak berhenti di halte dan interiornya terlihat lebih berumur. Tak ada macet dan sampai di Stasiun Bandung jam 8.48. Inilah pelajaran yang saya suka dari travelling, yaitu mengatur waktu dan strategi agar tak ketinggalan transportasi umum. Lebih senang lagi jika dapat berbaur dengan masyarakat lokal karena bisa mengetahui kehidupan mereka secara alami. Meski tak selalu yang masyarakat lokal tunjukkan kepada kita suatu hal yang cocok dengan kebiasaan kita, namun di situlah kita belajar menghormati perbedaan, fleksibel, namun jika memang mentok tidak cocok sampaikan dengan cara yang baik tanpa menyinggung perasaan.

Dari ketiga destinasi wisata yang saya kunjungi, saya tidak dapat memilih mana yang paling bagus karena semua bagus sesuai ciri khas masing-masing. Akan tetapi, yang paling baik fasilitasnya adalah Bunga Nusantara. Dan dari kedua makanan khas yang saya makan saya juga tak dapat memilih karena masing-masing memiliki daya tarik. Bacil makanan khas kekinian dengan kuah hangat pedas dan suasana homy, sate maranggi dengan rasa tradisi yang sulit ditemui di daerah lain. Sebagai penutup catatan perjalanan, bagi saya daripada Pak Bupati yang lagi nyantri itu membangun tugu-tugu khas Cianjur, lebih baik mendongkrak potensi wisata yang sudah ada seperti yang sudah saya kunjungi. Ini aspirasi saya sebagai wisatawan yang sok tau.

See you, Cianjur in a better day and condition! Big thank Lilit and her Big family!


foto lain bisa dilihat di Akun IG saya: Anisse Alami

Sunday, 31 December 2017

(tak sengaja) Tahun Baruan di Ambon


Desember awal ini saya bermimpi berjalan-jalan dengan seorang teman di sebuah pantai yang tak saya ketahui. Sambil menikmati, saya mengingat-ingat, “Sepertinya saya pernah ke sini. Oh, ya ini di Ambon!” tak lama kemudian  jalan-jalan selesai karena saya terbangun.  Saya jadi berpikir, kok pas ya saya mimpi ke Ambon di bulan Desember? Karena tahun 2014 saya juga ke Ambon di bulan Desember. Sudah tiga tahun ternyata dan saya belum menulis apapun untuk menceritakan pengalaman luar biasa di negeri Pala dan Cengkeh itu. Saya baru sempat mengunggah video singkat saat di Masjid tertua Wapauwe di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=vhEE45iYcKo&t=67s . Baiklah saya akan mulai menulis untuk itu sebagai bagian dari janji pada diri sendiri.

Ambon adalah salah satu kota yang selalu terngiang di pikiran saya dan merasa klik di telinga. Gara-garanya, ketika saya memperkenalkan diri biasanya orang-orang selalu menambah-nambahi kata “Manise” di belakang nama saya yang “e” dalam Anissedieja seperti “e” dalam manise. Manise, sebutan untuk kota Ambon.  Meski begitu saya tidak pernah berencana pergi ke Ambon, hingga suatu hari seorang kenalan yang sedang mengajar di Ternate jalan-jalan ke Sorong di saat saya juga sedang di Sorong. Melalui telepon, dia bercerita untuk kembali ke Ternate, kapalnya harus transit ke Ambon.  Awalnya saya Cuma meng “O….” dan “O…”, tetapi ketika dia mengajak saya ikut ke Ambon saya jadi teringat kata Manise itu lagi dan wah, ini kesempatan yang sayang dilewatkan. Dadakan saja saya ke Ambon. Hanya tiga hari setelah telepon, saya dan dua kenalan saya berangkat ke Ambon naik kapal. Ini pertama kalinya seumur hidup saya naik kapal besar selama semalam.

Menunggu kapal berangkat yang terlambat dari jadwal saya gunakan untuk mengobrol dengan kenalan saya. Banyaknya calo kasur kapal membuat kami harus rela tidur di lantai kapal dengan alas tikar plastik yang dibeli dengan harga Rp 10.000,00 (kami tawar dari harga awal Rp 15.000,00). Sedangkan tiket Sorong-Ambon sendiri harganya Rp 300.000,00. Untuk up date harga dan jadwal bisa di cek di website resmi PT Pelni karena Jasa travel sekelas Traveloka belum melayani tiket kapal.  Tentang keriuhan di dalam kapal juga sudah saya unggah di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=7RXo3UlLhWA&t=1s Ini semacam suasana kereta ekonomi sebelum diperbaiki manajemennya.  Hanya ada satu tempat yang benar-benar  bersih, sejuk, dan lapang di kapal, yaitu musola. Alhadulillah musola kapal sangat diperhatikan kenyamanannya. Sayangnya hanya dibuka waktu solat, jadi saya tidak bisa nebeng di musola terlalu lama



Interior Musola Kapal


Sesampainya di Ambon, teman saya berencana  beberapa jam di sini sebelum kapal melanjutkan perjalanan. Sayangnya, ternyata kapal berangkat hanya 30 menit setelah sandar di pelabuhan Ambon. Olala, berarti saya akan ditinggal dengan orang tak dikenal yang katanya saudara jauhnya dan setelah itu direvisi bukan saudara tetapi kenalan se-organisasi nasional yang hanya pernah bertemu lewat fb. Saya hanya berharap kenalannya orang baik dan bisa menerima saya selama seminggu di Ambon. Saya tidak bisa membayangkan seminggu di kota asing seorang diri menumpang di rumah orang asing


Momen Wisuda dan Rizki Nomplok

Setelah kenalan saya melanjutkan perjalanan ke Ternate, saya hanya sempat melihat-lihat Masjid Raya Al-Fatah Ambon dari luar karena badan sudah capek. Saya dan kenalannya kenalan saya (ribet sekali), Kak War, naik angkot menuju rumahnya. Selama di perjalanan beliau banyak bertanya tentang asal saya dan awal mula cerita bisa sampai di Ambon. Beliau juga banyak bercerita tentang kegiatannya di kampus beberapa tahun lalu. Beliau sangat ramah untuk seukuran orang baru kenal. Darinya aku juga baru tahu ternyata kami tidak menuju rumahnya, tetapi rumah keluarga kakaknya. Rumah Kak War sendiri harus menyeberang kepulau lain.

Sambil istirahat, Kak War banyak bercerita tentang awal perang sipil di Ambon awal tahun 2000 lalu. Sebenarnya ini salah satu yang membuatku penasaran dengan Ambon. Peperangan yang dilatri agama dan tujuan politis menjadi sangat menyeramkan dan mengacaukan Ambon saat itu. Hingga kini, meski sudah aman, antara dua pihak (Islam dan Kristen) membentuk perkampungan sendiri. Sehingga terbentuklah blok-blok kampung. Kata Kak War, daerah kakaknya mayoritas Muslim sedangkan selatan daerah ini mayoritas Kristen. Saya sangat sedih mendengar kisahnya hingga dampaknya masih ada sampai sekarang. Saya bersyukur kota kelahiran saya tak pernah dan semoga tak pernah mengalami konflik seperti itu.

Jam 5 sore Kak War mengajak saya menghadiri undangan wisuda adik-adik tingkatnya yang berkuliah di IAIN Ambon. Kami naik angkot menuju lokasi undangan. Awalnya saya bingung karena biasanya di kampus saya wisuda dilakukan pagi hingga siang dan tak pernah sampai jam 5 sore, tetapi ketika di rumah wisudawan barulah saya sadar. Sungguh saya baru pertama kali ini menghadiri acara wisuda seperti acara pernikahan. Sebuah tenda ala pernikahan terpasang di gang depan wisudawan cantik itu, kursi-kursi plastik tertata dengan rapih, dan meja panjang terpajang aneka makanan, snack, dan minuman. Bedanya, tidak ada pasangan pengantin dan tokoh utama tidak memakai gaun pengantin, melainkan toga wisuda. Selesai mencicipi beberapa makanan dan mengobrol dengan tamu dan wisudawan, kami berpamitan. 


Sederhana yang penting Berkesan


Ada yang Mewah sayangnya tidak diundang ke sini


Salah satu yang saya kunjungi


Ternyata, petualangan mencicipi masakan wisuda tidak berhenti sampai di situ karena Kak War mendapat banyak undangan. Rumah wisudawan yang lumayan berdekatan, membuat kami cepat sampai dari satu rumah ke rumah selanjutnya. Semua memiliki konsep yang sama dan beberapa masakan khas yang membuat mata berbinar, seperti soto Ambon dan kue-kue kenari. Kunjungan paling berkesan bagi saya saat kami mengunjungi seorang petinggi organisasi kampus dengan selempang cumlaude di bahunya. Waktu itu menunjukkan jam 9 malam dan kami masih saja mengunyah aneka hidangan yang disediakan. Dalam hati saya, “Ya Ampun ini sudah jam 9 malam dan dia masih betah memakai toga lengkap dengan aksesorisnya.”  Benar-benar rizki nomplok dari sore hingga malam, bagi seorang yang baru keluar dari pelosok. Saya benar-benar datang di waktu yang tepat. Merasakan tradisi sekaligus makan masakan lezat secara gratis. Saat pulang jam 9.30 pun kami masih melihat ada tenda-tenda yang masih dihadiri tamu. Wajar jika saya menyatakan keheranan pada meriahnya syukuran wisuda di Ambon. Kata Kak War, “Ya berbagi kebahagiaan to. Kalau mengundang, lain waktu kita juga akan diundang.” Istimewanya lagi, tamu-tamu undangan tidak perlu membawa amplopan atau hadiah-hadiah semacam pernikahan. Jadi, acara ini total gratis. Sangat recommended untuk traveller yang akan ke Ambon dan punya kenalan di hari wisuda.

 

Makan Soto Ambon di rumah yang cumlaude


Wajah-wajah Arab di Haruku


Esok paginya saya mendapat kejutan lagi pada kebiasaan orang Ambon. Saya dihidangkan sarapan roti, donat, dan teh hangat manis. Benar-benar cocok dengan saya yang malas sarapan nasi dan terbiasa minum teh hangat saat di Solo. Bahkan suami kakak Kak War juga sarapan roti semacam itu. Sarapn selesai, saya berkesempatan jalan-jalan ke kampus IAIN Ambon, kampus Kak War. Pemandangan kota Ambon dari kampus bagian atas sangat indah ditambah cahaya matahari pagi membuat suasana makin hangat. Saya seperti disambut Ambon dengan sangat bersahabat. Sayang, saya mendapat cerita seram di salah satu lapangan kampus. Kata Kak War, dulu sewaktu Ambon mengalami konflik banyak mayat yang dibuang di sekitar lokasi itu. Oh My God, antara kasihan dan mengerikan.


Rektorat

Pemandangan pagi dari IAIN bagian atas


Perjalanan kami lanjutkan naik angkot ke pangkalan angkot menuju Tulehu. Ternyata ini adalah sebuah daerah dengan dermaga speed boat. Saya diajak Kak War mengunjungi rumahnya di Pulau Haruku. Spead yang dinaiki tidak terlalu besar, paling muat delapan orang. Perjalanan sekitar seperempat jam menuju dermaga Waeriang. Ini juga baru pertama kali saya naik speed sekecil itu dengan ombak yang lumayan tinggi dan tanpa dilengkapi pelampung. Antara seru dan menegangkan. Pulau ini ternyata sebuah kampung. Kami berjalan kaki menuju rumah Kak War dan saat baru beberpa menit berjalan, kami melewati kawasan yang sangat sepi dan gelap. Kata Kak War kami melewati pemakaman. Pantas saja, firasat saya tepat.

Angkot ke Tulehu





Keesokan harinya saya diajak melihat sebuah profesi unik di pulau itu, mencari telur Maleo. Sebuah tanah lapang berpasir sudah didatangi bayak orang dengan seorang laki-laki yang mencangkul lalu merogoh tanah dalam-dalam memakai tangan kosong. Batang-batang berdaun tertancap di beberapa titik. Kak War menjelaskan bahwa setiap tahun akan ada pemilik dari tanah itu dari hasil menang lelang. Waktu itu pemenang lelang berani membayar Rp 15.000.000,00 Pemilik akan menyewa orang untuk menggali lubang-lubang yang diduga masyarakat terdapat telur Maleo di dalamnya. Siapapun bisa ikut menandai  titik-titik yang diduga di mana saja dan berapapun jumlahnya. Asalkan kalau memang ternyata ada telurnya, penanda membayar melalui “kasir” seharga Rp 2.000,00 per butir.



Berbagai usia meramaikan "pasar" ini


Puas melihat-lihat, kami pulang untuk mandi dan beristirahat. Selama di perjalanan saya melihat banyak hal unik. Sebuah gapura yang berhiaskan kaligrafi dan berbentuk kubah masjid, rumah-rumah penduduk yang tercat bendera palestina, dan anak-anak kecil berwajah arab. “Lihat, wajahnya seperti orang arab to? Padahal dia orang Ambon.” Penjelasan Kak War membuatku paham ternyata kampung Kailolo ini dahulu kala didatangi oleh para penyebar Islam dari Arab. Wajar jika suasana Islam sangat terasa di sini bahkan wajah-wajah arab pun banyak ditemukan. Meski demikian, marga-marga di sini tidak ada hubungannya dengan nama-nama marga arab yang biasa kutemui. Marga mereka adalah marabessy, tuanany, tuaputy, usemahu, ohorella, sahartira, dan tuatoy. Ini benar-benar menambah pemahaman saya tentang orang-orang Ambon dan sejarahnya.





Ada Kapal Tenggelam?

Sore hari saya diajak Kak War ke sebuah pantai yang berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki. Suasana menuju pantai tersebut sangat asri dan sepi. Paling ada satu dua pengendara motor lewat. Saya memang jarang menemui mobil di sini. Betapa kampung yang tenang.  Akses menuju ke sana sangat mudah karena jalan sudah beraspal dan sama sekali tidak ada tanjakan, turunan, atau kelokan. Saya melihat dari ketinggian pantai pasir putih dan air biru di sisi kiri. Wah, saya tak sabar ke sampai ke sana. 


Saat kami sampai, air pantai ini memang benar-benar bersih, kecuali ada suatu hal yang membuat saya tersentak kaget. Ada banyak sekali pakaian, sepatu, dan sandal yang terdampar di pantai. Menyangkut di bebatuan atau pohon-pohon yang tumbang. “Apa ini?” aku bertanya pada Kak War denga penuh keheranan. “Ada kapal yang pernah tenggelamkah di sekitar sini, baru ini baju-baju para korban?” imajinasiku mulai bermain. Ah, ternyata bukan. Kak War menjelaskan sambil tertawa kecil, “Ini sampah dari pulau lain yang terseret ombak sampai di sini.” “Astaga… sampai sebanyak inikah? Ini benar-benar aneh. Biasanya di pantai banyak sampah daun atau bekas makanan pengunjung, tetapi ini pakaian. Hem…sayang sekali. Lebih baik mereka sumbangkan pakaian itu ke murid-murid saya di Papua.”

Jadi, pantai ini memang terlihat indah dari atas, tetapi saat mendekat ternyata banyak sampah pakaian yang terdampar yang tak terlihat dari atas. Entahlah, mungkin ini keunikan baru di sebuah tempat wisata. Saya juga menemukan sebuah nisan kuno di jalan masuk pantai. Sepanjang jalan Kak War banyak bercerita tetang sejarah kampung. Orang yang dimakamkan di nisan tersebut orang yang melihat serbuan Belanda di Pulau Haruku. Banyak gadis-gadis jaman penjajahan yang terancam diperkosa oleh tentara Belanda. Cara mereka menghindari dengan melumuri badan mereka dengan sesuatu yang berbau tak sedap dan menyengat sehingga tentanra enggan mendekati gadis-gadis Haruku. Cara unik dan pintar untuk menjaga harga diri.


Makam Para Leluhur

Jam 7 pagi, saya sudah diajak Kak War berjalan-jalan keliling kampung. Kali ini saya ke sebuah tempat yang membutuhkan langkah menaiki anak-anak tangga. Saya jadi ingat suasana di Grojogan Sewu, Karanganyar. Bedanya, kalau ini harus naik untuk sampai di lokasi. Saat anak tangga habis, kami harus melanjutkannya berjalan kaki sekitar 15 menit. Suasananya hampir sama saat ke pantai kemarin. Sepanjang perjalanan saya menemukan banyak pohon pala dan kenari. Inilah suasana yang tak pernah saya temui di Jawa. Rempah-rempah dan ikan yang melimpah, pemandangan alam yang indah telah menarik Portugis, Spanyol, dan Belanda dengan arogan menguasai tanah Maluku untuk kepentingan mereka. Cerita sejarah itu memang benar adanya.

Sampailah kami di sebuah kompleks pemakaman leluhur masyarakat kampung Kailolo. Mereka menyebutnya datuk yang berjasa menyebarkan Islam di kampung. Beberapa nenek-nenek sambil mengunyah sirih membersihkan area makam. Wajar, karena hari ini akan ada Ta’alasi. Ini adalah ziarah makam datuk yang dilakukan tiap marga di hari Rabu. Ada dua makam di sini, tetapi saya tidak bisa melihat makam secara langsung karena makam berada di dalam rumah-rumahan kecil yang dikunci. Makamnya sendiri tertutup kain hijau. Tulisan arab pegon (Bahasa Indonesia atau Jawa yang ditulis menggunakan huruf arab) tertera di pintu dan jendela kayu rumah-rumahan makam. Tidak ada kesan horor di komplek ini karena lokasinya bersih dan cat merah, hijau muda, kuning, dan putih yang mewarnai rumah-rumahan semakin mengaburkan kesan itu. Sayang, saya tidak bisa melihat warga yang melakukan ziarah karena Kak War mengajak saya ke Ambon siang ini.

 




Masjid Kubah Terbang

Jam 12 tepat setelah saya berpamitan dengan orang tua Kak War, saya diajak Kak War ke dermaga spead weariang untuk kembali ke Ambon. Saya berterimakasih sekali dengan keluarganya yang sangat baik menerima tamu rantau yang tak punya satu pun teman dan saudara di Maluku.  Sebelum sampai di dermaga, kami melewati sebuah masjid kuno yang bernama Masjid Nandatu Sahapori.

Pada tahun 2003 lalu sempat beredar video amatir yang menghebohkan Indonesia. Pasalnya saat kubah masjid ini dipindahkan dalam rangka renovansi, kubah yang  berbobot ribuan kilo itu terlihat terbang dengan sendirinya tanpa ada bantuan alat dan sedikitpun orang. Banyak yang mengatakan bahwa ini adalah kuasa Allah karena saat proses pengangkatan itu diiringi dengan dzikrullah. Sejak saat itu masid ini disebut dengan Masjid Kubah Terbang. Baru-baru ini mulai muncui analisa tentang video tersebut, bahwa sebenarnya kubah tersebut tidak terbang tetapi ditarik oleh tali. Hanya karena pemberitaan di media yang terlalu dibesar-besarkan sehingga seolah-olah kejadian fenomenal tengah terjadi saat itu. Sepertinya media saat itu paham betul masyarakat Indonesia menyukai pemberitaan yang fenomenal dan terkesan ajaib apalagi jika dikaitkan dengan kebesaran Tuhan, maka akan membuat masyarakat semakin yakin pada berita tersebut.



Menyeberang Teluk Ambon

Seperti saat perjalanan ke Haruku, perjalanan ke Ambon pun melalui rute yang sama. Sebenarnya aku tidak terlalu berencana ke UnPatti, namun Kak War menawarkaku menemani ke sana karena angkot yang kami naiki melewati jalan menuju ke sana. Saya terima dengan senang hati tentunya bagi saya berkunjung ke sebuah perguruan tinggi itu seperti melihat kesiapan pemerintah terhadap pembangunan intelektual dan peradaban masyarakatnya. 

Saya baru tahu kalau ternyata kami harus menyeberang dari daerah Galala memakai kapal feri untuk menyeberang teluk Ambon agar sampai ke UnPatti. Terlihat di sisi utara sebuah jembatan yang dibangun pemerintah belum selesai dibangun dan baru diresmikan tahun 2016, sehingga saya harus naik kapal. Yah, malah pengalaman menarik kan? Ke kampus naik kapal. Saya belum pernah berkunjung ke kampus-kampus luar Solo harus naik kapal. Ongkos naik kapal ini hanya Rp 3.000,00. Langit hitam memayungi perjalanan kami dan saya melihat air laut berubah keabu-abuan. Angin berhembus cukup kencang namun masih bisa diajak berdamai. Saya berdiri memandang ke arah daratan menuju UnPatti. Seketika saya merasa sangat bersyukur karena tanpa persiapan rumit dan disangka-sangka bisa sampai di sini. Bersama seorang teman yang awalnya juga tak dikenal sama sekali, namun ternyata mau menemani memperkenalkan budaya Maluku yang sangat kaya dan masyarakatnya yang ramah.


Tak lama untuk sampai di dermaga dekat UnPatti. Kami tinggal berjalan kaki ke kampus berlambang obor Pattimura itu. Pattimura dan Ambon memang dua nama yang sangat lekat berkaitan. Sama seperti Solo dan batik atau Jogja dan Gudeg. Kami berkeliling kampus lalu berfoto-foto sebentar. Sayang saya tak melihat mahasiswa sama sekali karena mereka sedang libur. Jalanan di area yang kampus datar tak seperti kampus UNS yang berkelok dan menanjak membuat kami cepat selesai mengitari kampus. Hanya saja gara-gara kami tak tahu ternyata gerbang depan tak tergembok sehingga kami lewat pintu belakang. Cukuplah membuat ngos-ngosan.




Kami kembali naik angkot dalam perjalanan menuju ke rumah Kakak Kak War (saya lupa nama beliau :D). Turun dari angkot mata saya langsung cemerlang melihat durian bertebaran di jalan. Saya langsung mengajak Kak War untuk mencicipi manisnya durian maluku setelah tahu harganya sangat murah. Rupanya Kak War sudah ahli dalam perduarianan karena durian yang awalnya kukira masih mentah, setelah diperiksa Kak War ternyata rasanya sangat manis. Keherananku tidak berhenti sampai di situ karena menurut Kak War harga Rp 10.000,00 per buah ukuran sedang itu masih mahal karena kalau sedang puncak musim Rp 10.000,00 bisa dapat tiga buah. Wah, sungguh harga yang terlalu murah.


Sejarah Panjang Masjid Jami’

Saya menyempatkan diri solat Isya di Masjid Jami'. Sebuah masjud bersejarah yang berdiri kokoh di sebelah Masjid Raya Al-Fatah. Masjid ini pertama dibangun tahun 1860 oleh seorang imam besar, Haji Abdul Kadir Hatala. Pada awanya atap masjid hanya berupa rumbia, berdinding papan, dan bertiang kayu dan ukurannya hanya 10x15 meter persegi. Lokasinya yang dekat dengan pelabuhan dan semakin banyaknya umat Islam yang datang ke Ambon kala itu, membuat masjid direnovasi tahun 1898. Bangunannya sudah semi permanen dan lebih luas. Pada 1933 kota Ambon dilanda banjir besar yang membuat masjid hancur diterjangnya. Pada tahun 1936 warga sekitar membahas pembangunan ulang Masjid Jami’ yang lebih besar dan permanen yang dipimpin oleh seseorang dari Padang yang bernama Zainuddin Wiwih. Beliau juga yang melakukan pembangunan Masjid Nandatu Sahapori yang sebelumnya sempat saya kunjungi di Kailolo. Pantas saja bentuk dan warnanya sama. Senang sekali saya sudah mengunjungi keduanya. Tahun 1944 masjid ini menjadi sasaran bom oleh sekutu, namun alhamdulillah masjid tetap utuh dan selamat. Tahun 2004 masjid direnovasi untuk mengganti lantai, atap, Menara, dan kubah tanpa mengubah bentuk aslinya. Masjid ini yang mencaji cikal bakal berdirinya Masjid Raya Al-Fatah di sebelahnya. Bukan untuk menyaingi atau bentuk ketidakakuran umat Islam, namun untuk menambah pelayanan fasilitas dan daya tampung jama’ah agar bentuk asli Masjid Jami’ tetap seperti aslinya. Masjid Jami' Ambon, sungguh panjang dan penuh warna sejarahmu. 





Tahun Baru Ala Ambon

Sebenarnya saya ke Ambon sama sekali tidak ada rencana dan niat untuk merayakan tahun baru karena memang saya tak pernah merayakannya. Hanya kebetulan saya ke Ambon sedang akhir tahun. Kak War dan keluarga kakaknya mengajak saya ke rumah saudaranya untuk merayakannya. Tak jauh, hanya berjalan kaki tujuh menit. Saudaranya telah menyiapkan masakan khas Ambon yang super banyak dari masakannya sendiri. Segala olahan ikan dan umbi-umbian rebus terhidang di meja teras rumah. Waktu itu masih menunjukkan sekitar jam 10.30 WIT. Kami mengobrol ke sana ke mari dan tentu saja pertanyaan mengenai saya dan tugas saya di Papua sebagai pengajar. Tak lama kemudian suara-suara petasan dan kembang api, meledak di udara menciptakan bauran warna-warni yang indah di langit cerah. Anak-anak bersorak gembira. Saya yang tak terbiasa merayakannya sebetulnya sangat menahan rasa kantuk, namun demi menghormati kebaikan hati saudara Kak War, tak bisalah saya undur diri dan pulang terlebih dahulu sedangkan beliau belum mempersilakan makan-makan. Sebenarnya Kak War juga sudah merasa mengantuk, hanya saja dia juga sama-sama tak enak untuk pamit. Memang, benar-benar masyarakat Ambon suka berpesta. Kemarin pesta wisuda dan disusul dengan pesta tahun baru.


Bertemu Pattimura

Saya yakin banyak masyarakat Indonesia yang sudah tahu beliau, setidaknya dalam selembar Rp 1.000,00. Thomas Matulessy yang kemudian dikenal dengan Kapitan Pattimura ini menjadi pahlawan nasional atas keberaniannya melawan Belanda di Maluku. Sayang, akhir hidup beliau yang masih muda saat itu, 34 tahun, harus berakhir di tali gantung yang melilit lehernya karena tertangkap Belanda. Terlepas tentang kepercayaan asli beliau yang kontroversi, yang jelas bagi saya beliau adalah orang hebat yang rela berkorban bagi masa depan bangsa.

Jika selama ini saya hanya bisa melihatnya di selembar uang yang seringkali sudah kumal, waktu itu saya bertemu langsung dengannya di dekat kantor gubernur. Dengan wajah penuh amarah, sebilah Parang Salawaki di tangan kanan, tameng di tangan kiri, dan mulut yang seolah mengucap “Merdeka!” kutemui baliau. Kusambut sambutannya yang super serius dengan, “Waaaah… ada Pattimura!” Ya, Pattimura yang ini ukurannya super besar dengan relief sejarahnya di bagian bawah.



Patung ini berdiri di tengah taman kota. Relief-relief khas Maluku seperti tifa, cengkeh, pala,  mempercantik taman ini. Lokasi ini juga dekat dengan monument Gong Perdamaian. Gong ini sebagai harapan agar tak ada lagi konflik sipil berlatar agama di negeri raja-raja ini. Negeri yang disebut para pendatang Arab dengan sebutan Al-Mulk atau semenanjung kerajaan karena banyaknya kerajaan di masa lampau.  Semoga kedamaian selalu bersama masyarakat Maluku.




Bagea, Kue Kenari, dan Bros Kulit Kerang

Saya sempatkan ke pasar tradisional Ambon untuk membeli oleh-oleh khas Maluku untuk teman-teman di Papua dan keluarga di Solo melalui jasa paket. Saya tidak ingin menikmati sendiri atas ketakjuban saya pada kekayaan budaya, keindahan alam, dan menariknya sejarah Maluku. kue-kue khas dijual dengan harga yang murah karena tidak sampai Rp 10.000,00 per pak dan bros dijual dengan harga Rp 10.000, 00 per biji dijual di sepanjang Jalan Batu Merah. Tak hanya bros, kios-kios juga menjual berbagai pajangan rumah dengan berbagai ukuran dan harga. Pajangan paling murah seharta Rp 100.000,00 dan yang mahal bisa mencapai dua juta. Harga yang pantas untuk karya seni  dengan bahan yang sulit didapat.


Sayonara!

Sayang, saya tak bisa mengulur waktu lebih lama di Maluku karena kapal telah tiba esok hari dan jika saya terlambat sehari pun kapal selanjutnya baru akan tiba sekitar dua pekan untuk berlayar ke Sorong. Saat di ujung hari di Ambon saya mendapat musibah dan itu hal yang sangat penting. Kakak ipar Kak War sebagai orang yang sangat dekat dengan pihak perkapalan, mengabarkan pada saya bahwa tiket ke Sorong sudah habis karena telah dipesan rombongan anggota paduan suara Gereja sebanyak 1.000 tiket. Astaga, itu artinya saya harus pesan tiket pesawat yang sangat mahal. Saat saya sibuk mencari tiket lewat online, kakak ipar tersebut memberi saya sesuatu sambil berkata, “Nih, tiga ratus ribu saja.” Setelah itu beliau langsung berbalik arah dan melangkah. “Maksudnya?” aku belum sadar saat Kak War tertawa terbahak-bahak. Ya ampun ternyata beliau hanya bercanda. “Itulah orang Ambon memang suka bercanda.” Kekhawatiran saya pada penerimaan keluarga Kak War telah terjawab. Memang benar sebuah buku yang pernah saya baca bahwa masyarakat Ambon sangat menghormati tamu karena jika tidak mereka akan sangat malu kepada tetangga dan saudara karena tak melayani tamu dengan baik.

Sebelum pulang tanggal 4 Januari, kami sempat menonton film Assalamualaikum Beijing di salah satu Mall Ambon. Maklum, saya begitu ingin menikmati sedikit kemewahan karena di Sorong pun belum ada gedung bioskop. Berfoto, mengambil video, berjalan-jalan di berbagai destinasi wisata, mencicipi berbagai masakan khas Maluku, mengenal masyarakatnya, mengetahuinya tak sebatas sebutan Ambon Manise, dan ditemani seseorang yang awalnya tak kenal hingga akhirnya terasa seperti telah berteman bertahun-tahun, layak rasanya jika di awal saya mengucapkan “Assalamualaikum Ambon!” 

Bersama keluarga Kak War di Kailolo


Berlayar untuk kembali


Candid lagi ngorek-ngorek tanah buat dibawa pulang

Jadilah Souvenir Gratis 😄 😂



*ucapan Assalamualaikum Ambon pada akhirnya terucap karena saya kembali ke Ambon saat hari raya Idul Fitri dan mendapatkan pengalaman yang tak kalah luar biasa dibanding kunjungan ini. Kalau ditulis, ibarat saya menulis sekuel. Hehe.. Terimakasih untuk keluarga Kak War. Semoga suatu saat saya bisa jalan-jalan seru ke sana lagi.


Suatu tempat bukan di Maluku,



31/12/2017, 9 menit menuju 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







Pengikut