Tuesday, 14 May 2019
Monday, 26 November 2018
Liburan Akhir Tahun, Explore Cianjur
Libur tlah tiba, libur tlah tiba, hatiku gembiraaaaa..... :D
Tahun lalu, ketika saya takjub
dengan foto what’s app teman saya yang
menunjukkan keindahan bunga-bunga yang tertata rapih di sebuah taman, saya
langsung mencari tahu lokasinya. Gara-gara info yang saya dapatkan salah, saya
malah ke Taman Wiladatika Cibubur yang penampakannya sama sekali berbeda dengan
taman bunga yang saya lihat. Cerobohnya saya baru bertanya pada teman waktu
saya sudah terlanjur sampai taman itu, katanya taman yang saya inginkan ada di
Cianjur dan dari daerah Jakarta bisa makan waktu 5 jam. Wuaaaah…. Kecewa
sekali :(
Tahun lalu juga karena libur
akhir tahun saya hanya bisa menulis di blog tentang pengalaman travelling ke Maluku tahun 2015, maka
tahun ini saya akan membayar kekosongan travelling
akhir tahun saya dua tahun belakang. Terdengar menyedihkan namun juga
bersemangat. Hehehe…
Awalnya tak disangka-sangka,
sekolah tempat saya mengajar kedatangan guru baru asli Cianjur. Waaah.. bagai
doa yang terkabul. Saya langsung menyusun jadwal liburan akhir tahun ke sana.
Saya malah dapat info tambahan lagi darinya kalau situs megalitikum Gunung Padang
ada di sana juga. Awalnya saya belum nyambung dengan maksud temannya, tapi
setelah saya kepo sana-sini barulah saya ngeh kalau situs yang dimaksud perrnah
MENGGEMPARKAN dunia arkeologi di dalam dan luar negeri karena kemisteriusanya.
Nah, kali ini saya akan mengulas
hari pertama travelling akhir tahun
saya di Cianjur. Sebuah kabupaten santri yang bupatinya baru saja harus
“nyatri” di pesatrennya KPK supaya lebih soleh.
Hehehe…
Perjalanan dimulai hari Kamis
20/12 jam 8.30 pagi. Mundur 1,5 jam dari rencana. Kami merencanakan sepagi itu
supaya terhindar hujan yang sering bertamu sore hari. Tentunya kami juga sudah
melalui 5 jam perjalanan dari Terminal Kampung Rambutan sehari belumnya yang
sopir busnya tancep gas serong kanan kiri membuat kami semacam naik kora-kora. Teman
saya yang saya tumpangi rumahnya selama beberapa hari ke depan ini dengan baik
hati memboncengkan saya sampai ke lokasi tujuan pertama: Situs Megalitikum
Gunung Padang! Waw, saya sangat penasaran.
Ternyata kami sampai di lokasi
hanya dalam waktu satu jam. Awalnya teman saya mengatakan bisa sampai dua jam
sesuai pengalamnnya melewati jalan lama yang lebih “menantang”. Setelah
membayar tiket masuk Rp 5.000,00 (berlaku untuk turis lokal dan asing), kami
berhadapan pada dua pilihan jalur. Landai tapi agak lama atau curam tapi cepat.
Kami memilih tangga landai yang berjumlah sekitar 500 anak tangga untuk sampai
ke puncak agar kami tak terlalu lelah setelah pualng dari destinasi pertama
ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan anak-anak dan orang tua. Itu
indikator kalau seusia mereka pun mampu melakukan pendakian dan penurunan
tangga :D Beberapa kali saya melihat batu-batu balok di perjalanan naik. Saya
merasa itu batu yang akan serupa dengan yang di atas.
Jalur Landai yang Nyaman |
Hanya dalam waktu tak lebih dari
20 menit, kami sampai di pucak Situs Gunung Padang yang sebenarnya lebih cocok
disebut bukit. Jalurnya sama sekali tak sesulit dan tak sealami yang saya kira.
Tangga-tangganya sudah terdapat pegangan tangan yang masih sangat baru. Awalnya
saya kira akan menghadapi jalur tak bertangga yang masih jarang dilalui dan
menuju ke puncak membutuhkan waktu sekitar sejam. Terlalu imajinatif, hehehe..
Angin semilir, cahaya matahari
yang hangat, pengunjung yang masih sepi, dan tentu saja batu-batu balok yang
tersebar luas seolah menyedot saya ke tahun yang tak diketahui. Speechless, begitulah tepatnya. Tak
menyangka saya akan berdiri di antara situs misterius ini. Tak mau berlama-lama
dalam imajinasi, saya menghampiri seorang petugas dari dinas pendidikan dan
kebudayaan yang sedang bekerja bersama timnya melakukan penggambaran ulang
lokasi batu-batu yang longsor. Sedikit mengobrol dengan beliau di bawah pohon
besar tentang tugas yang sedang dilakukannya. Akar pohon ini cukup ampuh
melilit batu-batu situs sehingga yang tampak selalu saja sama seperti yang
pernah saya temui di lokasi-lokasi lain. Jika yang lama tak mampu menunjukan
kebesarannya, maka akan digantikan dengan sesuatu yang baru dan lebih besar. Alhamdulillah
setidaknya pemerintah masih peduli, setelah kabar penghentian penelitian
tantang situs ini tahun 2014 lalu. Sebelumnya saya sudah agak pesimis.
Setelah ngobrol, saya
berjalan-jalan di sekitar situs. Melihat hal-hal unik darinya. Saya sempat menemukan
tulisan “Dilarang Memukul Batu” di pinggir batu yang melintang. Gara-gara
tulisan itu saya dan teman malah penasaran memukul batu dengan pelan tentunya.
Hehehe… mungkin saking banyak orang penasaran, ada yang pernah memukul batu
dengan cara dan alat yang upnormal sehingga
membahayakan keutuhan batu. Dan memang, benar! Batu itu berbunyi nyaring
seperti kalau saya lagi mukul salah satu instrument gamelan. Tapi menurut saya
itu karena bagian dalam batu partikelnya tidak padat atau karena kebetulan posisi
batu itu disangga batu-batu lain sehingga ada ruang di bawah batu. Susunannya
kebetulan seperti intrumen gamelan yang dipukul. Jadi, tak ada yang spesial
dengan batu berbunyi ini.
Seperti pintu masuk |
Selain itu yang membuat saya
tertarik adalah dua pasang batu balok yang berdiri tegak semacam gapura atau
apapun itu yang jelas seperti sebuah “pintu masuk” dari sebuah ruangan lebar
tak berdinding. Saya sok-sokan mengira ini bekas ruang tamu. Sedangkan di sisi
barat terdapat gundukan batu yang kata banyak orang itu bekas tempat pemujaan.
Di posisi setingkat lebih atas, saya melihat ada sebuah jalur dengan beberapa
batu yang berdiri tegak. Saya merasa dulu ini jalur tangga menuju lokasi atas.
Semacam posisi tangga di candi Borobudur. Tapi pengunjung tak diizinkan naik
dan turun dari jalur ini karena sangat curam dan sudah dibuat jalur baru di
samping situs. Dari jalur baru ini terlihat “dinding” situs yang berupa susunan
batu balok mirip cara orang jaman sekarang menyusun batu-batu untuk membuat
bangunan dasar. Kalau sekarang pakai semen, yang saya lihat di situs berupa
tanah. Kita bisa melihat keseluruhan situs yang tersebar di bagian bawah
dari “lantai dua”. Entah mengapa jika
ingin di posisi tepi lantai dua itu, kita diminta melepas alas kaki. Apakah
lagi-lagi ini soal mistis? Hal unik lain adalah dari jalur yang membentuk
tangga ini, ada semacam jalur menuju “lantai” tiga dan ada sebuah batu-batu
berjajar rapi dari tepi timur ke barat seperti sebuah pagar dan saya yakin itu
dulu sebuah pagar pembatas antara “lantai” dua dan tiga. Sebelum menuju ke
tingkatan teratas (ketiga) saya menebak bagian teratas adalah lokasi orang yang
memiliki jabatan tinggi. Bisa jadi raja, pemuka agama, atau seorang maha guru.
Dan benar saja, ada sebuah spot yang
betuliskan “Singgasana”. Terlepas dahulu singgasana atau bukan, saya merasa
senang karena sok tau saya sejalur dengan orang yang menyematkan nama tersebut
(semoga ahli arkeolog :D )
Duduk di Singgasana. hehehe... |
Seorang bapak dengan baju dan
celana hitam khas “OB” situs ini sedang duduk di belakang “lantai” tiga saat
kami ingin memfoto singgasana. Beliau menghampiri kami dan mengatakan boleh
masuk ke singgasana yang diberi pagar kawat itu. Syaratnya: lepas alas kaki.
Saya rasa bagian ini seperti dikeramatkan. Kami berdua juga mencium aroma wangi
di dalam singgasana itu yang mungkin sisa kemenyan atau apalah. Tapi saya tidak
melihat kembang-kembang dan dupa seperti yang pernah saya lihat di candi daerah
Kediri. Awalnya kukira situs ini mengahadap ke arah barat seperti di Situs Ratu
Boko, ternyata menghadap utara tepatnya menghadap Gunung Pangrango.
![]() |
Melihat dari lantai 2. Seperti ada susunan anak tangga di depan saya |
Bapak tersebut menceritakan
sedikit tentang pendapat orang-orang tentang situs Gunung Padang. “ Ada yang
mengatakan dulu ini bangunan yang sudah jadi tapi rubuh karena gempa. Makannya
banyak batu yang jatuh sampai ke bawah-bawah. Kalau pemerintah mau lanjutkan
penelitian juga bisa jadi harus membebaskan tanah warga karena bisa jadi ada
yang tertimbun di bawah rumah penduduk.” Begitu ceritanya. Saya salut kepada
bapak tersebut yang tidak membesar-besarkan cerita atau membumbuhi dengan
cerita-cerita mistis nan magis.
Beberapa menit setelah azan zuhur,
saya solat di musola belakang situs. Saya sempat mencoba naik di menara pandang
sebelum salat, tapi saya batalkan melangkah dari anak tangga teratas karena ada
beberapa lubang di lantai kayunya. Saya jadi sanksi pada keamanannya. Di samping musola terdapat dua kamar mandi
lumayan bersih dan tidak ada penjaga kotak toilet yang biasa duduk di depan
toilet. Ada satu warung makanan ringan di depan musola. Bentuk spot toilet,
musola, dan warung masih sangat sederhana. Setelah solat kami melanjutkan
perjalanan untuk mencari makan siang karena perut sudah meronta.
Secara keseluruhan, pengelolaan
situs ini masih sangat sederhana. Sepertinya masih butuh waktu lama hingga bisa
setenar dan seterawat Borobudur. Juga untuk menguak misteri sebenarnya ini situs apa. Saran saya, jangan
lupa mengecek perkiraan cuaca
apalagi di musim hujan. Alhamdulillah kami diberikan cuaca cerah dengan angin
sepoi-sepoi semacam di pantai. Lebih
baik juga membawa perbekalan seperi
minuman dan snack yang cukup mengenyangkan seperti roti atau biskuit karena
lokasi penjual makanan yang cukup mengenyangkan berada di dekat lahan parkir.
Itupun kalau suka dengan menu yang ditawarkan.
Teman saya mengajak ke rumah
makan yang katanya khas Cianjur. Lumayan jauh dari lokasi situs karena kami
harus ke pusat kota Cianjur, tepatnya di Sawah Gede, Kecamatan Cianjur. Ciri
khas jalan ini kami harus melewati pemakaman yang lumayan luas sebagai
“gerbang” menuju rumah makan itu. Ini asli lebih membuat merinding daripada
situs Gunung Purba yang serba dilepas alas kaki. Ajaibnya, ada rumah makan yang
begitu homy di ujung jalan ini. Rumah
makan ini sebenarnya rumah pribadi sang owner
kemudian disulap menjadi rumah makan Bacil Cianjur. Bacil sendiri singkatan
dari Bakso Cilok. Sebelum masuk kita
harus lepas alas kaki, dari depan ada banyak meja kursi dengan suasana semacam
di ruang tamu dan diiringi lagu-lagu barat kekinian, lalu ada juga meja kursi
di ruang tengah yang terdapat foto wisuda anak beserta kedua orang tua. Mungkin
keluarga sang owner. Terakhir ada
serambi belakang yang sifatnya lesehan diiringi suara aliran air sungai (?)
dari belakang rumah. Kami pesan paket lengkap seharga RP 20.000,00 yang berisi
cilok, baso daging sapi, telur puyuh, mie kuning, dan ceker. Kami juga memilih
level pedas 2 dari maksimal 5.
Sampai di Masjid Agung benar
saja, suasana di parkir motor saja penuh sekali semacam parkir di lokasi
wisata. Waktu saya masuk masjid juga banyak orang yang bergiliran salat. Alhamdulillah, banyak orang yang sadar
pada kewajibannya. Sayang, masjid ini terlihat agak kotor. Beberapa bagian juga
terlihat rusak. Kata teman masjid ini sedang dalam proses renovasi. Selesai
salat teman mengajak berjalan-jalan di sebelah masjid yang benar-benar disulap
seperti “lapangan” depan Masjid Agung Bandung. Rumput hijau sintetis terhampar
luas, kolam air mancur berada di tengahnya. Terdapat pendopo bupati di seberang
jalan pelataran rumput sintetis ini. Pendopo yang dibangun jaman penjajahan
Belanda ini masih utuh ciri khas bangunan kuno. sayang, kami tidak bisa masuk
karena dipagar. Lokasi ini seminggu sebelumnya tepat setelah salat jumat sangat
ramai dikunjungi masyarakat Cianjur. Bukan karena ada festival rakyat atau open house rumah bupati, tetapi karena
“syukuran” yang dilakukan masyarakat atas operasi tangkap tangan yang dilakukan
KPK terhadap bupatinya. Sebuah ironi seorang pemimpin yang minta dipuja-puji
atas karyanya yang dianggap gagal oleh masyarakatnya sendiri. Sebuah kemenangan
demokrasi, dan sebuah luapan emosi masyarakat yang telah lama terpendam. Teman
saya awalnya khawatir seandainya Cianjur masih belum stabil kondisinya,
ternyata semua baik-baik saja. Masyarakat dengan bahagia bersenda gurau di
hamparan rumput sintetis dan jajan makanan-makanan ringan di sepanjang jalan.
Seolah tidak terjadi apa-apa sepekan sebelumnya.
Santri yang Tercyiduk |
Banyaknya pesantren di Cianjur
menjadikannya kota santri. Maka tak heran ada dua tugu bertuliskan tulisan arab
Allah dan Muhammad. Beberapa gapura juga terdapat tulisan arab atau
simbol-simbol islami lain. Jangan harap menemukan mall-mall besar atau bioskop
di sini karena pernah bioskop diresmikan keesokan harinya langsung ditutup
karena diprotes masyarakat yang menganggap bioskop tempat maksiat. Ada toserba
yang sangat tekenal di sini yang sudah membuka banyak cabang dan toserba ini
membawa jargon The Moslem Family. Sebuah
cara promosi yang bisa jadi tak laku di kota asal saya, Solo. Ini adalah keadaan
yang sangat kontras manakala masyarakat ingin menjunjukkan sisi religious,
namun ternyata sang pemimpin yang membangun simbol-simbol itu malah terkena
kasus yang jelas melanggar syariat Islam. Saya hanya berharap agar Cianjur
menjadi lebih terbuka terhadap perkembangan zaman dan dapat memajukan
potensinya.
Jumat, 21/12
Sarapan khas Sunda |
Kami mulai perjalanan hari kedua
di jam yang sama dengan hari sebelumnya . Menurut perkiraan cuaca, langit hanya akan berawan tanpa hujan. Kami menuju
ke sebuah dataran tinggi sehingga saran saya pakailah jaket apalagi perjalanan menggunakan motor akan terasa
angin dingin menyusup badan. Meski cuaca teramal tidak akan hujan, tetaplah
bersedia membawa payung dan jas hujan.
Ingatlah peribahasa Sedia Payung Sebelum Hujan! Hehehe…
Satu jam kemudian, kami sampai di
sebuah tempat yang saya impikan setahun sebelumnya: Taman Bunga Nusantara!
Waaaah… senangnya… Apalagi tiket masuknya tidak terlalu mahal, yaitu Rp 40.000,00
untuk turis lokal dana sing dan parkir motor Rp 10.000, 00 dengan tarif flat. Jika ingin naik mobil keliling
atau tambahan-tambahan lain paling bayar tiket masuk Rp 5.000,00. Tariff yang
terbilang murah ini karena tempat ini dikelola oleh pemerintah yang menurut
saya pasti dapat subsidi. Kita bisa membandingkan dengan beberapa lokasi wisata
yang dikelola oleh swasta yang tarifnya bisa di atas Rp 100.000,00.

Labirin terlihat dari Menara Pandang |
Secara keseluruhan, tamannya
sudah sangat bagus. Tinggal meningkatkan fasilitas pendukungnya saja seperti
kebersihan dan keindahan toilet (bagi saya ini penting banget), persewaan
sepeda seperti di TMII, perbaikan lift menara pandang, dan digitalisasi
informasi di setiap taman agar pengunjung lebih mengerti tentang jenis-jenis
tanaman secara jelas dan menarik.
Tips saya sekali lagi bawalah perbekalan makanan karena taman ini
super luas dan missal lapar melanda setidaknya ada makanan ringan pengulur rasa
lapar. Lalu persiapkan kamera
baik-baik karena banyak spot foto yang sayang dilewatkan. Informasi lebih lanjut bisa dicek di
![]() |
tambah sambal combro yang nggak pedes2 amat |
Kami pulang sebelum salat asar
karena teman saya mengajak makan siang di Sate
Maranggi Sari Asih yang katanya recommended
banget dan selalu ramai pengunjung. Saya jadi penasaran karena belum pernah
makan sate jenis ini. Ada dua jenis sate yang dijual. Sate daging campur lemak
per tusuk Rp 3.000,00 dan yang murni daging Rp 4.000,00. Khas makan sate ini
dimakan dengan uli (jadah bakar, dalam
Bahasa Jawa) yang dijual Rp 3.000, 00 per kotak. Minuman teh hangat tawar
tersedia gratis. Tapi saya pesan teh hangat manis. Selesai makan dan numpang
colokan sebentar, kami pulang dan kami cancel
ke Kebun Raya Cibodas karena sudah terlalu sore.
Jumat, 22/12
Saya diajak teman berangkat lebih
pagi karena keluarganya akan membuat nasi liwet yang dimakan bersama-sama di
atas selembar daun pisang. Istilah mereka, ngariung. Maka dari itu, teman saya
menjadwalkan kami pulang lebih cepat dari dua hari sebelumnya. Perjalanan kali
ini melewati jalur selatan, berbeda dengan dua hari sebelumnya. Jalur ini
menjauh dari kota. Jalannya sangat menantang karena berbatu. Dibutuhkan jam
terbang tinggi untuk melewatinya.
Jalan berbatu yang berbahaya ini
cukup merepotkan saya yang ingin mengambil foto atau merekam bukit-bukit kebun
teh yang sangat luas. Bukit-bukit ini mengingatkan saya dengan bukit
teletubbies. Kata teman saya ada jalur lain tapi jauh dari arah Cibeber. Dan
tak disangka lokasi yang saya lewati merupakan kampungnya penyanyi dangdut muda
pemenang kontes dangdut beberapa tahun lalu, Lesti. Waah, seorang penyanyi
nasional yang berasal dari pelosok desa.
Sampai di sana kami membayar
karcis masuk Rp 5.000,00. Lokasi wisata ini masih dikelola oleh masyarakat,
sehingga lahan parkirnya hanya berupa tanah kosong milik warga. Jalur menuju
air terjun sudah baru dibandingkan terakhir teman saya ke sini. Kita melewati
sebuah sungai tenang yang tak terlalu lebar menggunakan jembatan kayu yang
dibuat masyarakat beberapa meter dari air terjun. Dari sungai tenang inilah
tumpah ruah menjadi air terjun yang sangat indah. Bentuk air terjun ini tidak
terlalu vertikal, namun melebar sehingga mengahasilkan efek menyebar jika
mengenai bebatuan.
Ada sebuah batu besar yang dekat
dengan air terjun dan terdapat tulisan “selpie di atas batu Rp 5.000” tapi
karena tidak ada penjaga maka kami pun puas ber “selpie” tanpa membayar. Begitu
pula saat ke toilet karena tidak ada penjaga atau kotak pembayaran, urusan
toilet saya jadi gratis. Jika saat di Situs Gunung Padang saya membayangkan ada
dalam sebuah film sejarah, di taman bunga nusantara seperti di Alice in the wonderland, kali ini saya
merasa cocok kalau film Wirosableng kedua mengambil gambar di sini.
Batu-batu dan setting air terjun akan
membawa efek dramatis saat tokoh melompati bebatuan. Hehehe…
Ini buka "Selpie", tapi "Wepie" |
Selesai salat zuhur di musala
yang sederhana, kami pulang. Ongkos parkir Rp 5.000,00. Kami tak tahu harusnya
berapa karena tak ada karcis. Beberapa kali saya melihat para petani teh
berjalan menuju kebun. Saya sempat melihat sebuah pemandangan yang sangat indah
yang sangat menggambarkan Indonesia, yaitu petani yang membajak sawah di kaki
bukit kebun teh. Inilah sumber makanan dan minuman yang banyak orang Indonesia
konsumsi setiap hari. Sebuah pemandangan lukisan dari pencipta yang sangat
indah dan tak pernah kulihat di kota tempat saya kerja. Ini benar-benar sebuah
perjalanan relaksasi yang menenangkan, meski jalan yang kami lalui cukup
mendebarkan.
Tips untuk yang ingin ke Curug
Cikondang, bawalah baju ganti atau
pakailah jaket karena cipratan air terjun bisa membasahi baju. Yang paling
penting adalah bawalah makanan dan
minuman yang cukup karena lokasi ini jauh dari rumah makan. Hanya ada satu
penjual mie ayam baso di dekat lokasi, tapi ini tidak menjamin selera kita,
kan?
Keesokan paginya setelah salat
subuh, saya bersiap berangkat untuk pulang ke kota tercinta, Solo. saya kira
saya akan membeli makanan dan minuman ringan di toko-toko kecil di perjalanan
menuju lokasi bus lewat, ternyata ibu teman saya sudah mempersiapkan sarapan
juga bekal makan siang. SubhanaAllah,
baik sekali. Bahkan saya juga dibawakan oleh-oleh Kalua, semacam manisan yang
membuat saya sangat terkejut karena terbuat dari kulit jeruk bali. Awalnya saya kira dari pepaya atau mangga. Bahkan sempat mikir gula merah. Wah, menarik
sekali.
![]() |
Kalua |
Jam 05.25 saya dibonceng motor
teman ke terminal (kereta di Cianjur tidak melayani antar provinsi dan harus
pesan tiket jauh-jauh sebelumnya jika ingin ke Bandung). Sayang, bus menuju
stasiun Bandung tak ada, jadi dia mengantar saya ke lokasi bus lewat yang
ternyata lumayan jauh. Saya sempat mengira dia akan membawa saya sampai
Bandung. Hahaha.. sebenanrnya saya menunggu bus di depan penjual oleh-oleh,
sayang penjualnya masih tidur di kursi malas kiosnya. Dipanggil pun tak bangun.
Kata teman saya, “Ininih kalau pagi-pagi masih tidur rejeki dipatok ayam.” Padahal saya ingin membeli Tauco khas Cianjur
yang sudah dipromokan teman saya. Tak lama kemudian bus menuju Bandung datang. Alhamdulillah, bus ini ber ac dan
bersih. Bayarnya pun murah, hanya Rp 23.000, 00. Saya berangkat sangat pagi
karena kereta saya berangkat jam 09.30 dan saya menghindari macet. Setelah
duduk saya cek Google map dan alhamdulillah
mayoritas tidak ada macet. Pemberhentian terakhir bus ini ternyata di terminal
bukan stasiun. Saya harus naik Damri untuk sampai di stasiun yang berjarak 30
menit dengan ongkos RP 5.000,00. Bus ini bentuknya seperi Trans Jakarta, hanya
saja tak berhenti di halte dan interiornya terlihat lebih berumur. Tak ada
macet dan sampai di Stasiun Bandung jam 8.48. Inilah pelajaran yang saya suka
dari travelling, yaitu mengatur waktu dan strategi agar tak ketinggalan
transportasi umum. Lebih senang lagi jika dapat berbaur dengan masyarakat lokal
karena bisa mengetahui kehidupan mereka secara alami. Meski tak selalu yang
masyarakat lokal tunjukkan kepada kita suatu hal yang cocok dengan kebiasaan
kita, namun di situlah kita belajar menghormati
perbedaan, fleksibel, namun jika memang mentok tidak cocok sampaikan dengan cara yang baik tanpa
menyinggung perasaan.
Dari ketiga destinasi wisata yang
saya kunjungi, saya tidak dapat memilih mana yang paling bagus karena semua
bagus sesuai ciri khas masing-masing. Akan tetapi, yang paling baik
fasilitasnya adalah Bunga Nusantara. Dan dari kedua makanan khas yang saya
makan saya juga tak dapat memilih karena masing-masing memiliki daya tarik.
Bacil makanan khas kekinian dengan kuah hangat pedas dan suasana homy, sate maranggi dengan rasa tradisi
yang sulit ditemui di daerah lain. Sebagai penutup catatan perjalanan, bagi
saya daripada Pak Bupati yang lagi nyantri itu membangun tugu-tugu khas
Cianjur, lebih baik mendongkrak potensi wisata yang sudah ada seperti yang
sudah saya kunjungi. Ini aspirasi saya sebagai wisatawan yang sok tau.
See you, Cianjur in a better day and condition! Big thank Lilit and her
Big family!
foto lain bisa dilihat di Akun IG saya: Anisse Alami
Sunday, 31 December 2017
(tak sengaja) Tahun Baruan di Ambon
Desember awal ini saya bermimpi
berjalan-jalan dengan seorang teman di sebuah pantai yang tak saya ketahui.
Sambil menikmati, saya mengingat-ingat, “Sepertinya saya pernah ke sini. Oh, ya
ini di Ambon!” tak lama kemudian
jalan-jalan selesai karena saya terbangun. Saya jadi berpikir, kok pas ya saya mimpi ke
Ambon di bulan Desember? Karena tahun 2014 saya juga ke Ambon di bulan
Desember. Sudah tiga tahun ternyata dan saya belum menulis apapun untuk
menceritakan pengalaman luar biasa di negeri Pala dan Cengkeh itu. Saya baru
sempat mengunggah video singkat saat di Masjid tertua Wapauwe di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=vhEE45iYcKo&t=67s . Baiklah saya akan mulai
menulis untuk itu sebagai bagian dari janji pada diri sendiri.
Ambon adalah salah satu kota yang
selalu terngiang di pikiran saya dan merasa klik di telinga. Gara-garanya,
ketika saya memperkenalkan diri biasanya orang-orang selalu menambah-nambahi
kata “Manise” di belakang nama saya yang “e” dalam Anissedieja seperti “e” dalam
manise. Manise, sebutan untuk kota Ambon.
Meski begitu saya tidak pernah berencana pergi ke Ambon, hingga suatu
hari seorang kenalan yang sedang mengajar di Ternate jalan-jalan ke Sorong di
saat saya juga sedang di Sorong. Melalui telepon, dia bercerita untuk kembali
ke Ternate, kapalnya harus transit ke Ambon.
Awalnya saya Cuma meng “O….” dan “O…”, tetapi ketika dia mengajak saya
ikut ke Ambon saya jadi teringat kata Manise itu lagi dan wah, ini kesempatan
yang sayang dilewatkan. Dadakan saja saya ke Ambon. Hanya tiga hari setelah
telepon, saya dan dua kenalan saya berangkat ke Ambon naik kapal. Ini pertama
kalinya seumur hidup saya naik kapal besar selama semalam.
Menunggu kapal berangkat yang
terlambat dari jadwal saya gunakan untuk mengobrol dengan kenalan saya. Banyaknya
calo kasur kapal membuat kami harus rela tidur di lantai kapal dengan alas
tikar plastik yang dibeli dengan harga Rp 10.000,00 (kami tawar dari harga awal
Rp 15.000,00). Sedangkan tiket Sorong-Ambon sendiri harganya Rp 300.000,00.
Untuk up date harga dan jadwal bisa di cek di website resmi PT Pelni karena
Jasa travel sekelas Traveloka belum melayani tiket kapal. Tentang keriuhan di dalam kapal juga sudah
saya unggah di you tube channel saya https://www.youtube.com/watch?v=7RXo3UlLhWA&t=1s Ini semacam suasana kereta ekonomi sebelum diperbaiki manajemennya. Hanya ada satu tempat yang benar-benar bersih, sejuk, dan lapang di kapal, yaitu
musola. Alhadulillah musola kapal sangat diperhatikan kenyamanannya. Sayangnya
hanya dibuka waktu solat, jadi saya tidak bisa nebeng di musola terlalu lama
Interior Musola Kapal |
Sesampainya di Ambon, teman saya
berencana beberapa jam di sini sebelum
kapal melanjutkan perjalanan. Sayangnya, ternyata kapal berangkat hanya 30
menit setelah sandar di pelabuhan Ambon. Olala, berarti saya akan ditinggal
dengan orang tak dikenal yang katanya saudara jauhnya dan setelah itu direvisi
bukan saudara tetapi kenalan se-organisasi nasional yang hanya pernah bertemu
lewat fb. Saya hanya berharap kenalannya orang baik dan bisa menerima saya
selama seminggu di Ambon. Saya tidak bisa membayangkan seminggu di kota asing
seorang diri menumpang di rumah orang asing
Momen Wisuda dan Rizki Nomplok
Setelah kenalan saya melanjutkan
perjalanan ke Ternate, saya hanya sempat melihat-lihat Masjid Raya Al-Fatah
Ambon dari luar karena badan sudah capek. Saya dan kenalannya kenalan saya
(ribet sekali), Kak War, naik angkot menuju rumahnya. Selama di perjalanan
beliau banyak bertanya tentang asal saya dan awal mula cerita bisa sampai di
Ambon. Beliau juga banyak bercerita tentang kegiatannya di kampus beberapa
tahun lalu. Beliau sangat ramah untuk seukuran orang baru kenal. Darinya aku
juga baru tahu ternyata kami tidak menuju rumahnya, tetapi rumah keluarga
kakaknya. Rumah Kak War sendiri harus menyeberang kepulau lain.
Sambil istirahat, Kak War banyak
bercerita tentang awal perang sipil di Ambon awal tahun 2000 lalu. Sebenarnya
ini salah satu yang membuatku penasaran dengan Ambon. Peperangan yang dilatri
agama dan tujuan politis menjadi sangat menyeramkan dan mengacaukan Ambon saat
itu. Hingga kini, meski sudah aman, antara dua pihak (Islam dan Kristen)
membentuk perkampungan sendiri. Sehingga terbentuklah blok-blok kampung. Kata
Kak War, daerah kakaknya mayoritas Muslim sedangkan selatan daerah ini
mayoritas Kristen. Saya sangat sedih mendengar kisahnya hingga dampaknya masih
ada sampai sekarang. Saya bersyukur kota kelahiran saya tak pernah dan semoga
tak pernah mengalami konflik seperti itu.
Jam 5 sore Kak War mengajak saya
menghadiri undangan wisuda adik-adik tingkatnya yang berkuliah di IAIN Ambon. Kami naik angkot menuju lokasi
undangan. Awalnya saya bingung karena biasanya di kampus saya wisuda dilakukan
pagi hingga siang dan tak pernah sampai jam 5 sore, tetapi ketika di rumah
wisudawan barulah saya sadar. Sungguh saya baru pertama kali ini menghadiri
acara wisuda seperti acara pernikahan. Sebuah tenda ala pernikahan terpasang di
gang depan wisudawan cantik itu, kursi-kursi plastik tertata dengan rapih, dan
meja panjang terpajang aneka makanan, snack, dan minuman. Bedanya, tidak ada
pasangan pengantin dan tokoh utama tidak memakai gaun pengantin, melainkan toga
wisuda. Selesai mencicipi beberapa makanan dan mengobrol dengan tamu dan
wisudawan, kami berpamitan.
Sederhana yang penting Berkesan |
Ada yang Mewah sayangnya tidak diundang ke sini |
Salah satu yang saya kunjungi |
Ternyata, petualangan mencicipi masakan wisuda
tidak berhenti sampai di situ karena Kak War mendapat banyak undangan. Rumah
wisudawan yang lumayan berdekatan, membuat kami cepat sampai dari satu rumah ke
rumah selanjutnya. Semua memiliki konsep yang sama dan beberapa masakan khas
yang membuat mata berbinar, seperti soto Ambon dan kue-kue kenari. Kunjungan
paling berkesan bagi saya saat kami mengunjungi seorang petinggi organisasi
kampus dengan selempang cumlaude di
bahunya. Waktu itu menunjukkan jam 9 malam dan kami masih saja mengunyah aneka
hidangan yang disediakan. Dalam hati saya, “Ya Ampun ini sudah jam 9 malam dan
dia masih betah memakai toga lengkap dengan aksesorisnya.” Benar-benar rizki nomplok dari sore hingga
malam, bagi seorang yang baru keluar dari pelosok. Saya benar-benar datang di
waktu yang tepat. Merasakan tradisi sekaligus makan masakan lezat secara
gratis. Saat pulang jam 9.30 pun kami masih melihat ada tenda-tenda yang masih
dihadiri tamu. Wajar jika saya menyatakan keheranan pada meriahnya syukuran
wisuda di Ambon. Kata Kak War, “Ya berbagi kebahagiaan to. Kalau mengundang,
lain waktu kita juga akan diundang.” Istimewanya lagi, tamu-tamu undangan tidak
perlu membawa amplopan atau hadiah-hadiah semacam pernikahan. Jadi, acara ini
total gratis. Sangat recommended untuk
traveller yang akan ke Ambon dan
punya kenalan di hari wisuda.
Wajah-wajah Arab di Haruku
Esok paginya saya mendapat
kejutan lagi pada kebiasaan orang Ambon. Saya dihidangkan sarapan roti, donat,
dan teh hangat manis. Benar-benar cocok dengan saya yang malas sarapan nasi dan
terbiasa minum teh hangat saat di Solo. Bahkan suami kakak Kak War juga sarapan
roti semacam itu. Sarapn selesai, saya berkesempatan jalan-jalan ke kampus IAIN
Ambon, kampus Kak War. Pemandangan kota Ambon dari kampus bagian atas sangat
indah ditambah cahaya matahari pagi membuat suasana makin hangat. Saya seperti
disambut Ambon dengan sangat bersahabat. Sayang, saya mendapat cerita seram di
salah satu lapangan kampus. Kata Kak War, dulu sewaktu Ambon mengalami konflik
banyak mayat yang dibuang di sekitar lokasi itu. Oh My God, antara kasihan dan mengerikan.
Rektorat |
Pemandangan pagi dari IAIN bagian atas |
Perjalanan kami lanjutkan naik
angkot ke pangkalan angkot menuju Tulehu. Ternyata ini adalah sebuah daerah
dengan dermaga speed boat. Saya
diajak Kak War mengunjungi rumahnya di Pulau Haruku. Spead yang dinaiki tidak terlalu besar, paling muat delapan orang.
Perjalanan sekitar seperempat jam menuju dermaga Waeriang. Ini juga baru
pertama kali saya naik speed sekecil
itu dengan ombak yang lumayan tinggi dan tanpa dilengkapi pelampung. Antara
seru dan menegangkan. Pulau ini ternyata sebuah kampung. Kami berjalan kaki
menuju rumah Kak War dan saat baru beberpa menit berjalan, kami melewati
kawasan yang sangat sepi dan gelap. Kata Kak War kami melewati pemakaman.
Pantas saja, firasat saya tepat.
Angkot ke Tulehu |
Keesokan harinya saya diajak
melihat sebuah profesi unik di pulau itu, mencari telur Maleo. Sebuah tanah
lapang berpasir sudah didatangi bayak orang dengan seorang laki-laki yang
mencangkul lalu merogoh tanah dalam-dalam memakai tangan kosong. Batang-batang
berdaun tertancap di beberapa titik. Kak War menjelaskan bahwa setiap tahun
akan ada pemilik dari tanah itu dari hasil menang lelang. Waktu itu pemenang lelang berani membayar Rp 15.000.000,00 Pemilik akan menyewa
orang untuk menggali lubang-lubang yang diduga masyarakat terdapat telur Maleo
di dalamnya. Siapapun bisa ikut menandai
titik-titik yang diduga di mana saja dan berapapun jumlahnya. Asalkan
kalau memang ternyata ada telurnya, penanda membayar melalui “kasir” seharga Rp
2.000,00 per butir.
Berbagai usia meramaikan "pasar" ini |
Puas melihat-lihat, kami pulang
untuk mandi dan beristirahat. Selama di perjalanan saya melihat banyak hal
unik. Sebuah gapura yang berhiaskan kaligrafi dan berbentuk kubah masjid,
rumah-rumah penduduk yang tercat bendera palestina, dan anak-anak kecil
berwajah arab. “Lihat, wajahnya seperti orang arab to? Padahal dia orang
Ambon.” Penjelasan Kak War membuatku paham ternyata kampung Kailolo ini dahulu
kala didatangi oleh para penyebar Islam dari Arab. Wajar jika suasana Islam
sangat terasa di sini bahkan wajah-wajah arab pun banyak ditemukan. Meski
demikian, marga-marga di sini tidak ada hubungannya dengan nama-nama marga arab
yang biasa kutemui. Marga mereka adalah marabessy, tuanany, tuaputy, usemahu,
ohorella, sahartira, dan tuatoy. Ini benar-benar menambah pemahaman saya
tentang orang-orang Ambon dan sejarahnya.
Ada Kapal Tenggelam?
Sore hari saya diajak Kak War ke
sebuah pantai yang berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki. Suasana menuju
pantai tersebut sangat asri dan sepi. Paling ada satu dua pengendara motor
lewat. Saya memang jarang menemui mobil di sini. Betapa kampung yang
tenang. Akses menuju ke sana sangat mudah
karena jalan sudah beraspal dan sama sekali tidak ada tanjakan, turunan, atau
kelokan. Saya melihat dari ketinggian pantai pasir putih dan air biru di sisi
kiri. Wah, saya tak sabar ke sampai ke sana.
Jadi, pantai ini memang terlihat
indah dari atas, tetapi saat mendekat ternyata banyak sampah pakaian yang
terdampar yang tak terlihat dari atas. Entahlah, mungkin ini keunikan baru di
sebuah tempat wisata. Saya juga menemukan sebuah nisan kuno di jalan masuk
pantai. Sepanjang jalan Kak War banyak bercerita tetang sejarah kampung. Orang
yang dimakamkan di nisan tersebut orang yang melihat serbuan Belanda di Pulau
Haruku. Banyak gadis-gadis jaman penjajahan yang terancam diperkosa oleh
tentara Belanda. Cara mereka menghindari dengan melumuri badan mereka dengan sesuatu
yang berbau tak sedap dan menyengat sehingga tentanra enggan mendekati
gadis-gadis Haruku. Cara unik dan pintar untuk menjaga harga diri.
Makam Para Leluhur
Jam 7 pagi, saya sudah diajak Kak
War berjalan-jalan keliling kampung. Kali ini saya ke sebuah tempat yang
membutuhkan langkah menaiki anak-anak tangga. Saya jadi ingat suasana di
Grojogan Sewu, Karanganyar. Bedanya, kalau ini harus naik untuk sampai di
lokasi. Saat anak tangga habis, kami harus melanjutkannya berjalan kaki sekitar
15 menit. Suasananya hampir sama saat ke pantai kemarin. Sepanjang perjalanan
saya menemukan banyak pohon pala dan kenari. Inilah suasana yang tak pernah
saya temui di Jawa. Rempah-rempah dan ikan yang melimpah, pemandangan alam yang
indah telah menarik Portugis, Spanyol, dan Belanda dengan arogan menguasai
tanah Maluku untuk kepentingan mereka. Cerita sejarah itu memang benar adanya.
Masjid Kubah Terbang
Jam 12 tepat setelah saya
berpamitan dengan orang tua Kak War, saya diajak Kak War ke dermaga spead weariang
untuk kembali ke Ambon. Saya berterimakasih sekali dengan keluarganya yang
sangat baik menerima tamu rantau yang tak punya satu pun teman dan saudara di
Maluku. Sebelum sampai di dermaga, kami
melewati sebuah masjid kuno yang bernama Masjid Nandatu Sahapori.
Pada tahun 2003 lalu sempat beredar
video amatir yang menghebohkan Indonesia. Pasalnya saat kubah masjid ini
dipindahkan dalam rangka renovansi, kubah yang berbobot ribuan kilo itu terlihat terbang
dengan sendirinya tanpa ada bantuan alat dan sedikitpun orang. Banyak yang
mengatakan bahwa ini adalah kuasa Allah karena saat proses pengangkatan itu
diiringi dengan dzikrullah. Sejak saat itu masid ini disebut dengan Masjid
Kubah Terbang. Baru-baru ini mulai muncui analisa tentang video tersebut, bahwa
sebenarnya kubah tersebut tidak terbang tetapi ditarik oleh tali. Hanya karena
pemberitaan di media yang terlalu dibesar-besarkan sehingga seolah-olah
kejadian fenomenal tengah terjadi saat itu. Sepertinya media saat itu paham
betul masyarakat Indonesia menyukai pemberitaan yang fenomenal dan terkesan
ajaib apalagi jika dikaitkan dengan kebesaran Tuhan, maka akan membuat
masyarakat semakin yakin pada berita tersebut.
Menyeberang Teluk Ambon
Seperti saat perjalanan ke
Haruku, perjalanan ke Ambon pun melalui rute yang sama. Sebenarnya aku tidak
terlalu berencana ke UnPatti, namun Kak War menawarkaku menemani ke sana karena
angkot yang kami naiki melewati jalan menuju ke sana. Saya terima dengan senang
hati tentunya bagi saya berkunjung ke sebuah perguruan tinggi itu seperti
melihat kesiapan pemerintah terhadap pembangunan intelektual dan peradaban
masyarakatnya.
Tak lama untuk sampai di dermaga
dekat UnPatti. Kami tinggal berjalan kaki ke kampus berlambang obor Pattimura
itu. Pattimura dan Ambon memang dua nama yang sangat lekat berkaitan. Sama seperti
Solo dan batik atau Jogja dan Gudeg. Kami berkeliling kampus lalu berfoto-foto
sebentar. Sayang saya tak melihat mahasiswa sama sekali karena mereka sedang
libur. Jalanan di area yang kampus datar tak seperti kampus UNS yang berkelok
dan menanjak membuat kami cepat selesai mengitari kampus. Hanya saja gara-gara
kami tak tahu ternyata gerbang depan tak tergembok sehingga kami lewat pintu
belakang. Cukuplah membuat ngos-ngosan.
Kami kembali naik angkot dalam perjalanan
menuju ke rumah Kakak Kak War (saya lupa nama beliau :D). Turun dari angkot
mata saya langsung cemerlang melihat durian bertebaran di jalan. Saya langsung
mengajak Kak War untuk mencicipi manisnya durian maluku setelah tahu harganya
sangat murah. Rupanya Kak War sudah ahli dalam perduarianan karena durian yang
awalnya kukira masih mentah, setelah diperiksa Kak War ternyata rasanya sangat
manis. Keherananku tidak berhenti sampai di situ karena menurut Kak War harga
Rp 10.000,00 per buah ukuran sedang itu masih mahal karena kalau sedang puncak
musim Rp 10.000,00 bisa dapat tiga buah. Wah, sungguh harga yang terlalu
murah.
Sejarah Panjang Masjid Jami’
Tahun Baru Ala Ambon
Sebenarnya saya ke Ambon sama
sekali tidak ada rencana dan niat untuk merayakan tahun baru karena memang saya
tak pernah merayakannya. Hanya kebetulan saya ke Ambon sedang akhir tahun. Kak War
dan keluarga kakaknya mengajak saya ke rumah saudaranya untuk merayakannya. Tak
jauh, hanya berjalan kaki tujuh menit. Saudaranya telah menyiapkan masakan khas
Ambon yang super banyak dari masakannya sendiri. Segala olahan ikan dan
umbi-umbian rebus terhidang di meja teras rumah. Waktu itu masih menunjukkan
sekitar jam 10.30 WIT. Kami mengobrol ke sana ke mari dan tentu saja pertanyaan
mengenai saya dan tugas saya di Papua sebagai pengajar. Tak lama kemudian
suara-suara petasan dan kembang api, meledak di udara menciptakan bauran warna-warni
yang indah di langit cerah. Anak-anak bersorak gembira. Saya yang tak terbiasa
merayakannya sebetulnya sangat menahan rasa kantuk, namun demi menghormati
kebaikan hati saudara Kak War, tak bisalah saya undur diri dan pulang terlebih
dahulu sedangkan beliau belum mempersilakan makan-makan. Sebenarnya Kak War
juga sudah merasa mengantuk, hanya saja dia juga sama-sama tak enak untuk
pamit. Memang, benar-benar masyarakat Ambon suka berpesta. Kemarin pesta wisuda
dan disusul dengan pesta tahun baru.
Bertemu Pattimura
Saya yakin banyak masyarakat
Indonesia yang sudah tahu beliau, setidaknya dalam selembar Rp 1.000,00. Thomas
Matulessy yang kemudian dikenal dengan Kapitan Pattimura ini menjadi pahlawan
nasional atas keberaniannya melawan Belanda di Maluku. Sayang, akhir hidup
beliau yang masih muda saat itu, 34 tahun, harus berakhir di tali gantung yang
melilit lehernya karena tertangkap Belanda. Terlepas tentang kepercayaan asli
beliau yang kontroversi, yang jelas bagi saya beliau adalah orang hebat yang
rela berkorban bagi masa depan bangsa.
Jika selama ini saya hanya bisa
melihatnya di selembar uang yang seringkali sudah kumal, waktu itu saya bertemu
langsung dengannya di dekat kantor gubernur. Dengan wajah penuh amarah, sebilah
Parang Salawaki di tangan kanan, tameng di tangan kiri, dan mulut yang seolah
mengucap “Merdeka!” kutemui baliau. Kusambut sambutannya yang super serius
dengan, “Waaaah… ada Pattimura!” Ya, Pattimura yang ini ukurannya super besar
dengan relief sejarahnya di bagian bawah.
Patung ini berdiri di tengah
taman kota. Relief-relief khas Maluku seperti tifa, cengkeh, pala, mempercantik taman ini. Lokasi ini juga dekat
dengan monument Gong Perdamaian. Gong ini sebagai harapan agar tak ada lagi
konflik sipil berlatar agama di negeri raja-raja ini. Negeri yang disebut para
pendatang Arab dengan sebutan Al-Mulk atau semenanjung kerajaan karena
banyaknya kerajaan di masa lampau. Semoga
kedamaian selalu bersama masyarakat Maluku.
Bagea, Kue Kenari, dan Bros Kulit
Kerang
Saya sempatkan ke pasar
tradisional Ambon untuk membeli oleh-oleh khas Maluku untuk teman-teman di
Papua dan keluarga di Solo melalui jasa paket. Saya tidak ingin menikmati
sendiri atas ketakjuban saya pada kekayaan budaya, keindahan alam, dan menariknya sejarah Maluku. kue-kue khas dijual dengan harga yang murah karena
tidak sampai Rp 10.000,00 per pak dan bros dijual dengan harga Rp 10.000, 00
per biji dijual di sepanjang Jalan Batu Merah. Tak hanya bros, kios-kios juga
menjual berbagai pajangan rumah dengan berbagai ukuran dan harga. Pajangan paling
murah seharta Rp 100.000,00 dan yang mahal bisa mencapai dua juta. Harga yang
pantas untuk karya seni dengan bahan
yang sulit didapat.
Sayonara!
Sayang, saya tak bisa mengulur
waktu lebih lama di Maluku karena kapal telah tiba esok hari dan jika saya
terlambat sehari pun kapal selanjutnya baru akan tiba sekitar dua pekan untuk
berlayar ke Sorong. Saat di ujung hari di Ambon saya mendapat musibah dan itu hal
yang sangat penting. Kakak ipar Kak War sebagai orang yang sangat dekat dengan
pihak perkapalan, mengabarkan pada saya bahwa tiket ke Sorong sudah habis karena
telah dipesan rombongan anggota paduan suara Gereja sebanyak 1.000 tiket. Astaga,
itu artinya saya harus pesan tiket pesawat yang sangat mahal. Saat saya sibuk
mencari tiket lewat online, kakak
ipar tersebut memberi saya sesuatu sambil berkata, “Nih, tiga ratus ribu saja.”
Setelah itu beliau langsung berbalik arah dan melangkah. “Maksudnya?” aku belum
sadar saat Kak War tertawa terbahak-bahak. Ya ampun ternyata beliau hanya
bercanda. “Itulah orang Ambon memang suka bercanda.” Kekhawatiran saya pada
penerimaan keluarga Kak War telah terjawab. Memang benar sebuah buku yang
pernah saya baca bahwa masyarakat Ambon sangat menghormati tamu karena jika
tidak mereka akan sangat malu kepada tetangga dan saudara karena tak melayani
tamu dengan baik.
Sebelum pulang tanggal 4 Januari,
kami sempat menonton film Assalamualaikum Beijing di salah satu Mall Ambon. Maklum,
saya begitu ingin menikmati sedikit kemewahan karena di Sorong pun belum ada
gedung bioskop. Berfoto, mengambil video, berjalan-jalan di berbagai destinasi
wisata, mencicipi berbagai masakan khas Maluku, mengenal masyarakatnya, mengetahuinya
tak sebatas sebutan Ambon Manise, dan ditemani seseorang yang awalnya tak kenal
hingga akhirnya terasa seperti telah berteman bertahun-tahun, layak rasanya
jika di awal saya mengucapkan “Assalamualaikum Ambon!”
Bersama keluarga Kak War di Kailolo |
Berlayar untuk kembali |
Candid lagi ngorek-ngorek tanah buat dibawa pulang |
Jadilah Souvenir Gratis 😄 😂 |
*ucapan Assalamualaikum Ambon
pada akhirnya terucap karena saya kembali ke Ambon saat hari raya Idul Fitri
dan mendapatkan pengalaman yang tak kalah luar biasa dibanding kunjungan ini. Kalau
ditulis, ibarat saya menulis sekuel. Hehe.. Terimakasih untuk keluarga Kak War.
Semoga suatu saat saya bisa jalan-jalan seru ke sana lagi.
Suatu tempat bukan di Maluku,
31/12/2017, 9 menit menuju 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Mengenai Saya
![]() |
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar