Senyumnya
mengembang menyapa saya siang itu. Senyum yang selalu beliau tunjukkan setiap
kali bertemu dengan saya. Senyum ramahnya seolah membantah kesan galak yang
tampak lewat garis-garis tegas di wajahnya khas orang Batak. Tak jarang beliau
bercerita hal-hal yang lucu sampai kami tertawa-tawa.
“Itu anak
muridku belum bisa baca. Kayak mana ya caranya biar dia bisa baca?” Bu Mente
memulai obrolan sambil duduk di sofa kantor guru. “Saya itu kemarin kasih mereka
kertas lipat. Maksud saya biar mereka gambar buah apel trus digunting. Eh,
bukannya digambar malah ada yang diremas-remas, ada juga yang bingung, bengong
aja.” Lanjutnya.
“O, mereka sama
sekali belum bisa membaca?” Tanya saya.
“Ya ada sih yang
sudah. Yang cepet ya cepet, yang nggak bisa apa-apa ya bengong aja.” Sejenak
beliau melihat kearah white board
yang terpasang di kantor guru. Beliau lalu mendekat. Ternyata gambar “anatomi”
bagian-bagian tubuh guru yang saya tempel telah menarik perhatiannya. “Hahahahahaha…..!
Lucu sekali ini.” Tawanya meledak sambil menunjuk-nunjuk gambar itu. Saya jadi
ikut tertawa karena melihat ada orang yang begitu heboh tertawanya melihat
sebuah gambar yang bagi saya mudah saja memperolehnya.
“Saya jadi ingin
bikin yang seperti itu kalau ngajar. Kayaknya bisa juga ya kalau anak-anak
dikasih gambar begitu nanti tinggal mewarnai saja. Saya juga sebenernya pengen bikin
apa-apa gitu, tapi bingung bikinnya.”
“Bagaimana kalau
besok ibu bikin display yang
berhubungan dengan menulis dan mewarnai? Misal kita mulai dari huruf A. A untuk
Apel. Kita buat gambar Apel, biar mereka warnai lalu ditulis nama buahnya di
bawah gambar. Setelah itu kita display
di kelas.”
“O iya ya, bisa
juga kayak gitu ya….?” Saya dapat menangkap sinyal semangat dari matanya yang
berbinar. Setelah merencanakan tentang display
yang akan kami lakukan hari Selasa, kami sudahi pembicaraan karena bel tanda
pulang berbunyi.
Selasa, 29 November 2013
Pagi itu saya
begitu bersemangat karena merupakan hari pertama mendampingi guru membuat display kelas. Setelah beberapa saat di
kantor, saya langsung menuju kelas Bu Mente, kelas 1B. Melihat saya telah
berdiri di pintu masuk kelas, Bu Mente tersenyum sambil berjalan kea rah saya.
“Saya lupa tidak meminta anak-anak membawa pensil warna. Hari ini akan saya
umumkan biar besok mereka bawa. Besok Sabtu saja ya, mumpung ada pelajaran
ketrampilan.” Ternyata rencana display
waktu itu gagal, tetapi beliau telah menjanjikan hari Sabtu. Saya tidak akan
melepas kesempatan ini.
***
Jumat siang saat
pulang sekolah, Bu Mente berjalan dari kelas mendekati saya yang sedang berdiri
di depan pintu kantor. Seperti biasa, sambil tersenyum lebar. “Maaf kemarin SMS nya tidak saya jawab karena
nggak ada pulsa.” Kemarin malam saya SMS beliau tentang kesiapan membuat display. “Saya tu bingung, saya
sebenarnya senang-senang saja membuat yang seperti itu. Tapi, kelas saya tidak
punya papan seperti yang lain. Kelas saya itu kan belakangnya bisa dibuka buat
jadi aula. Makannya kelas saya nggak dipasang. Kalau kita mau buat yang kayak
kemarin, mau dipasang di mana?” Terdengar nada pesimis dan raut muka yang tidak
sesemangat kemarin.
“Oya? Wah kok
saya malah nggak memperhatikan ya selama ini.” Jawab saya
Setelah melihat
kondisi di kelasnya ternyata memang benar apa yang disampaikan Bu Mente. Saya
mencoba memberi tawaran untuk memasang tali yang tertempel antar ujung tembok
belakang kelas. “Wah, nanti kalau ada acara harus dibongkar dong talinya.
Sayang dong.” Beliau mulai berpikir kreatif. Melihat korden-korden yang
terpasang di jendela, saya jadi punya ide untuk memasang tali di sepanjang
jendela. Selain tidak perlu dibongkar jika ada acara, ini bisa menjadi hiasan
pengganti korden dan alternatif karena tidak ada papan display. “Oiya, bisa
juga ya….besok kita pasang tali-talinya di jendela saja.” Nada optimis kembali
terdengar dari mulutnya
Sabtu, 2 November 2013
Pagi itu,
terlihat di meja guru kelas 1B ada beberapa “senjata” yang akan digunakan untuk
membuat display kelas. 6 lembar kertas HVS bergambar buah Apel yang kemudian
dipotong menjadi 4 bagian per HVS (kertas HVS dari kertas bekas yang masih
bersih di satu sisinya), tali pengganti papan display, dan plester untuk menempelkan tali di kusen jendela. Waktu
itu saya masih menggambarkan buah Apelnya karena Bu Mente belum PD untuk menggambar.
“Gambaran saya jelek, kamu saja yang gambar. Hehehe…”
Setelah memberi
pembukaan dengan diselingi beberapa tepuk penyemangat, Bu Mente mulai
membagikan kertas bergambar apel itu dan memberi instruksi kepada anak-anak. Tak
butuh waktu lama anak-anak sudah paham diminta untuk apa. Crayon dan pensil
warna yang menari-nari di tangan anak-anak kelas 1B itu telah memerahkan apel
yang tadinya pucat pasi. Setelah ditulis nama anak dan tulisan “Apel” di bawah
gambar, anak-anak diminta Bu Mente untuk mengumpulkan.
Bu Mente melihat
satu per satu hasil pekerjaan anak-anak saat semua telah selesai. “Ini langsung
kita pasang atau kita pilih dulu mana yang bagus?” beliau meminta saran.
“Lebih baik
kalau dipasang semua Bu, agar anak-anak senang hasilnya dipasang semua dan
kalau pun ada yang salah mereka akan paham sendiri karena punyanya berbeda
dengan yang lain.” Saya memberi masukan kepadanya dan beliau menerima. Kami
mulai memasang tali-tali itu dengan menempelnya menggunakan plester bening.
Satu kusen jadilah 4 baris tali. Kami beri judul sesuai dengan tema
pembelajaran waktu itu, yaitu “Lingkungan”
Jadi sudah satu display di kelas 1B dan yang pertama
dari semua kelas. Semua hasil karya siswa dipajang. Tak terkecuali satu karya
siswa yang membuat saya tertawa karena dibawah gambar tertulis Pela. yang
seharunya Apel. Senang sekali akhirnya saya bisa mendampingi seorang guru
membuat display meski dalam fasilitas
yang terbatas. Itulah yang ingin saya tunjukkan kepada semua guru, bahwa yang
terbatas saja bisa maka seharusnya yang serba tersedia lebih dari sekedar BISA.
“Wah, kalau
dilihat gini bagus juga ya. Merah-merah gitu. Besok kita bikin lagi, ya. Hari
ini kan sudah Apel, besok apa lagi ya?” Bu Mente semakin bersemangat
“Em, bagaimana
kalau Bunga?” saranku
“Kalau bunga
kayaknya nanti masih ada yang kesusahan merangkai hurufnya. Bagaimana kalau
bendera? Kan malah sekalian masuk pelajaran PKn.” Wow, beliau semakin
menunjukan kreatifitas idenya.
Jumat, 8 November 2013
“Ko benderanya
begitu? Sini-sini biar saya yang gambar.” Bu Mente mengomentari gambar bendera yang
saya buat seperti sedang berkibar. Beliau mengambil selembar kertas HVS di meja
lalu mulai menggambar. Perpaduan penggunaan pena dan penggaris membuat
gambarannya rapih sekali khas guru SD. Awalnya Bu Mente tidak mau menggambar
karena merasa tidak bisa menggambar. Setelah melihat gambaran saya yang mungkin
baginya “aneh”, beliau jadi tergerak untuk membuat sendiri.
Setelah diperbanyak dengan memanfaatkan kertas bekas dan mesin copy sekolah, Bu Mente membagikan satu persatu kepada murid-muridnya. Kali ini mereka diminta mewarnai bendera Indonesia. Hampir semua siswa antusias mengerjakannya. Terlihat ada yang cepat menyelesaikannya, ada yang bingung bagaimana cara menulis kata bendera, dan yang lucu adalah ada yang mewarnai putih-merah, ada juga yang coklat-kuning. Setelah Bu Mente memberitahu warna bendera Indonesia yang benar, anak tersebut akhirnya mewarnai merah pada bagian atas bendera. Jadilah bendera dengan warna merah-merah. Kami tertawa saja melihatnya.
Setelah diperbanyak dengan memanfaatkan kertas bekas dan mesin copy sekolah, Bu Mente membagikan satu persatu kepada murid-muridnya. Kali ini mereka diminta mewarnai bendera Indonesia. Hampir semua siswa antusias mengerjakannya. Terlihat ada yang cepat menyelesaikannya, ada yang bingung bagaimana cara menulis kata bendera, dan yang lucu adalah ada yang mewarnai putih-merah, ada juga yang coklat-kuning. Setelah Bu Mente memberitahu warna bendera Indonesia yang benar, anak tersebut akhirnya mewarnai merah pada bagian atas bendera. Jadilah bendera dengan warna merah-merah. Kami tertawa saja melihatnya.
Setelah semua
siswa menyelesaikan pekerjaannya, Bu Mente dan saya langsung beraksi merenovasi
tempat display pekan sebelumnya
karena display darurat sebelumnya
telah lepas tali-talinya. Hal ini karena plester tidak kuat menahannya dari
tiupan angin. Tak disangka ternyata tangan Bu Mente cukup lincah memainkan palu
dan paku payung. Lalu mengaitkan tali pada paku payung di kedua sisi kusen
jendela. Naik ke atas kursi demi menjangkau kusen teratas pun dilakukannya. Sambil
bernyanyi lirih-sepertinya lagu Gereja-beliau terus menyelesaikan renovasi display. Lalu tanpa bertanya terlebih dahulu,
beliau memasang semua hasil pekerjaan anak-anak meski tidak semua benar. Beliau
benar-benar bersemangat saat itu.
“Bikin apa Bu Mente?” Tanya Bu Bida sambil masuk kelas.
“Bikin apa Bu Mente?” Tanya Bu Bida sambil masuk kelas.
“Ini lho bikin display kelas.” jawabnya
“O, siapa yang
gambar?”
“Bu Mente dong.”
Sahut saya yang kemudian disambut tawa Bu Mente.
“O, hahaha.bagus
juga ya kalau gini.” Bu Bida merespon positif
“Iya, Bu soalnya
di sini nggak ada papan display nya, jadi kami buat seperti jemuran, jemuran display. Hahaha.” Jawab saya.
Saya berharap respon
positif dari Bu Bida membuatnya tergerak untuk mengikuti langkah Bu Mente. Saya
kagum dengan Bu Mente karena dengan keterbatasan fasilitas beliau mau belajar
dan mengajarkan dengan lebih baik. Memang benar istilah yang menyebutkan
keterbatasan membuat seseorang berpikir kreatif.
Esoknya saat
melewati kelas 3B, saya menyebutnya kelas 3 in 1 karena 1 ruang untuk kelas 3B,
perpustakaan, dan UKS, saya melihat ada jemuran display juga di sana. Bukan Apel atau bendera seperti di kelas Bu
Mente, tetapi origami ikan. Saya takjub melihatnya. Kemarin saat berkunjung ke
kelas Bu Yuli kebetulan beliau baru selesai mengajar Bahasa Indonesia. Materi
selanjutnya dalam buku adalah membuat origami ikan. Beliau berkata akan
mengajarkan murid-murid membuatnya lalu akan dipajang.
Saya
mengapresiasi niat baiknya dan menawarkan bantuan sekiranya beliau menemui
kesulitan. Saya sempat berpikir bagaimana cara untuk menempel ikan-ikan itu
sedangkan kondisi kelasnya lebih parah dari pada kelas Bu Mente sehingga tidak
memungkinkan dipasang papan display.
Namun, apa yang saya lihat saat itu benar-benar di luar dugaan saya. Beliau
ternyata terinspirasi dengan cara pemasangan display di kelas Bu Mente dan bahkan dapat melakukannya sendiri.
Origami ikan warna-warni yang terpasang berjajar di jendela malah terlihat
seperti ikan yang sedang berenang di aquarium. Sekali lagi, keterbatasan
membuat seseorang berpikir kreatif dan selalu ada jalan bagi mereka yang mau
berusaha.
Ternyata tanpa
saya sadari cara pendisplayan seperti
di kelas Bu Mente telah menggerakkan guru lain yang senasip. Secara implisit
mereka menunjukkan pada guru-guru yang memiliki kecukupan fasilitas bahwa
keterbatasan bukan hambatan bagi mereka yang ingin lebih baik. Tidak hanya pada
guru, mereka juga mengikis keraguan dan kekecewaan saya pada sulitnya merubah
paradigma pembelajaran guru yang terlanjur “nyaman” menjadi optimisme bahwa
sebenarnya mereka BISA.
Bu Mente dan Bu Yuli |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar