Aku akan menceritakan tentang sesuatu. Tetapi, sebelum aku bercerita jawablah terlebih dahulu pertanyaanku dengan jujur. Santai saja, ini tidak akan mempengaruhi nilai IPK apalagi sampai dipanggil KPK. Aku mulai pertanyaannya, pernahkah kau merasa kekurangan dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau mengeluh dengan apa yang kau miliki saat ini? Pernahkah kau merasa kecewa dengan pemberian Tuhan? Jika sudah kau jawab semua pertanyaan itu, tak peduli seberapa banyak jawaban Ya atau Tidak mu, aku tetap akan memulai ceritaku.
***
Jalanan ini
begitu terjal. Lapisan aspal yang telah terkelupas membuat batu-batu yang
berada di lapisan bawahnya muncul di permukaan jalan. Sesekali terlihat air menggenangi jalan
bekas dilewati ban-ban besar yang membentuk ceruk.
Sering kulihat kubangan besar melintang
di tengah jalan sedang di kedua tepinya,
batu-batu aspal sudah berserakan tak beraturan. Tidak ada pilihan lain. Mau
tidak mau harus dilewati meski dengan sangat pelan.
Siang
itu,
aku dan kedua temanku sedang melakukan
perjalanan ke sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota, Desa Juwangi, Boyolali.
Motor yang kami naiki seringkali bergoncang kuat saat melewati batu-batu aspal
itu. Kadangkala harus sangat pelan agar tidak tergelincir karena di beberapa
titik jalan yang masih berupa
tanah, basah setelah tersiram
hujan semalam. Di sepanjang
perjalanan jarang ada orang yang lewat. Hutan dan semak-semak yang mengapit
jalan menambah suasana semakin sepi. Sensasi
perjalanan yang tak pernah kualami sebelumnya. Kata
temanku, perjalanan
ini akan memakan waktu hingga 2,5 jam.
Bayang-bayang
kondisi tempat yang akan kami kunjungi terus bersemayam dalam pikiranku dan
semakin kuat kala aku melihat kondisi jalan menuju ke sana. Susah sinyal HP
apalagi jaringan internet, rumah-rumah
desa yang tidak memiliki toilet, dan beragam cerita teman-teman yang telah survey sebelumnya. Aku yang lahir dan
dibesarkan di Kota Surakarta, terbiasa melihat jalan aspal yang halus,
gedung-gedung tinggi yang tersusun rapih dan indah, dan lalu lalang kendaraan
bermotor yang seakan tak ada habisnya menjadi semakin penasaran seperti apakah
tempat yang akan kami kunjungi nanti. Akankah seperti cerita teman-teman? Atau
malah lebih parah?
Kami mulai
memasuki kawasan permukiman
penduduk yang sangat sederhana. Rumah-rumah
lama model joglo dengan dinding kayu polos dan lantai tanah mendominasinya. Motor
yang dikendarai temanku berhenti. “Sudah sampai ya? Yang mana rumahnya Mas Tio?”,
tanyaku. “Iya, mbak. Yang ada tendanya itu.” jawabnya. Rumah teman kami yang
akan dijadikan pos utama kegiatan takbir keliling, out bond bersama anak-anak, pembagian daging qurbaan dan sembako, peresmian perpustakaan anak, dan
pengobatan gratis dalam Program Qurban Sampai Pelosok 2011 esok hari itu masih
sepi. Maklum, kami adalah rombongan pertama
yang berangkat. Setelah mengobrol sebentar dengan
orang tua Mas Tio,
kami yang hanya bertiga ini dipersilakan beristirahat.
Sambil tiduran
di atas terpal biru yang tergelar di atas lantai tanah, aku melihat jam
tanganku. Ternyata perjalanan kami tidak hanya memakan waktu 2,5 jam, tetapi 3
jam. Tak ku sangka ternyata aku telah melewati jalan yang begitu buruk selama
itu. Badanku lelah dan kepalaku agak pusing karena aku berpuasa tetapi tidak
sahur sebelumnya. Tak terasa kelopak mataku tertutup, gelap, lalu aku tak
sadarkan diri terbuai oleh empuknya bantal.
***
Aku dibangunkan
oleh suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kami bertiga bergegas keluar rumah. Rupanya
2 mobil telah sampai dengan selamat membawa para pejuang LAZIS UNS dan
bungkusan-bungkusan sembako yang akan dibagikan kepada masyarakat esok hari.
Kami semua tersenyum senang karena kami akan segera memulai misi berbagi
bahagia yang telah kami rencanakan jauh-jauh hari.
Sore hari aku
dan beberapa temanku mengumpulkan anak-anak setempat untuk bermain bersama
sambil diselingi beragam tepuk dan yel-yel. Sepetak tanah kosong di belakang Masjid (warga setempat menyebutnya begitu, meski
menurutku lebih tepat disebut Mushola) menjadi tempat yang penuh
tawa riang anak-anak sore itu. Sayang, aku tidak dapat menikmatinya
karena pusingku semakin menjadi. Aku hanya duduk-duduk melihat mereka di
sebatang pohon yang telah lama ditebang.
Waktu mendekati Maghrib, kami pun menyudahi permainan.
Segelas
teh hangat yang disuguhkan memecah dahaga yang
tertahan seharian. Pusing di kepala sedikit demi sedikit turut larut
bersamanya. Kami duduk bersila dan
melingakar di atas alas terpal. Makan malam bersama
teman-teman yang diliputi suasana kesederhanaan dan kebersamaan merontokkan
rasa lelah yang tertumpuk di badan. Alhamdulillah.
Malam pun tiba. Setelah menonton film bersama
anak-anak desa
di Masjid, teman-teman
memandu mereka untuk takbir keliling.
Aku memilih di rumah untuk mempersiapkan perlengkapan out bond besok karena
ternyata beberapa di antaranya tertinggal di Solo. Lagipula rasa pusing di kepala belum 100% hilang. Selain
sebagai sie acara, aku juga diamanahi sebagai konseptor out bond. Masjid kecil dengan dinding
kayu, lantai semen, dan kondisi penerangan seadanya di dekat rumah Mas Tio digunakan sebagai start
takbir keliling
Aku
dapat mendengarnya dari dalam rumah. Takbir
dikumandangkan anak-anak dengan penuh semangat mengimbangi nyala obor yang
berkobar di tangan mereka. Lambat laun
suara mereka menghilang seiring dengan langkah kaki yang menjauh. Hingga
akhirnya sekitar sejam kemudian rombongan takbir
keliling telah sampai di depan rumah.
Teman-teman
mulai antri kamar mandi. Maklum, kamar mandi hanya ada dua itu pun baru belum
jadi secara sempurna. Itu masih lebih baik karena sebenarnya bentuk kamar mandi
di desa ini hanya tertutup sampai bahu, namun LAZIS UNS menyalurkan bantuan untuk pembangunan 2 buah
kamar mandi umum di kampung tersebut.
Setalah
aktifitas selesai, kami berkumpul di ruang tamu yang disulap menjadi kamar
tidur masal. Relawan putri tidur di rumah sebelah rumah Mas Tio, sedangkan
relawan putra melepas lelah di rumah Mas Tio. Pancaran bolam 25 Watt menerangi ruang
tamu yang begitu luas. Jadilah ruang dengan pencahayaan remang-remang.
Kami tidur
beralaskan terpal dengan lantai tanah yang terasa keras dan dingin. Angin malam
menyelinap nakal melalui sela-sela dinding kayu yang membuat badan semakin dingin. Bau khas
sapi dan kambing yang akan disembelih besok tercium menusuk hidung karena
mereka dikandangkan tepat di depan rumah. Takbir yang mengalun bersahutan dari segala
penjuru Masjid membuat malam Idul Adha semakin syahdu, membuat diri semakin
mensyukuri hidup.
***
Pendar-pendar
cahaya mentari pagi menyapa sang bumi di hari Raya Idul Adha. Keindahannya
berpadu dengan alunan takbir yang terus mengagungkan-Nya. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa illa ha illa Allahu Allahu Akbar! Kami
langkahkan kaki menuju Masjid besar untuk menunaikan Solat Ied bersama
masyarakat. Sebuah Masjid besar yang jauh
dari kesan mewah layaknya Masjid-Masjid besar di kota. Bahkan Masjid di SMA ku
lebih besar dan bagus dari pada Masjid itu.
Setelah
selesai menunaikan Sholat Ied, kami mengikuti tradisi setempat yaitu bersalaman
dengan sesama jama’ah sambil bersholawat. Jama’ah putra hanya bersalaman dengan
jama’ah putra, begitu pula dengan jama’ah putri. Tibalah acara puncak yaitu,
penyembelihan hewan qurban. Kami membagi menjadi 3 tim. Tim pemotongan dan
pembagian hewan qurban, tim pengobatan gratis, dan tim out bond. Tentu saja aku di tim out
bond.
Tim
out bond menghadapi kendala karena
ternyata anak-anak kampung setempat pergi ke sekolah. Berita yang kami
dapatkan, sekolah akan melakukan penyembelihan hewan qurban dan akan langsung
dibagi kepada mereka. Mereka takut jika tidak datang ke sekolah mereka tidak
akan mendapat daging qurban. Kami mengambil keputusan untuk melaksanakannya di
sekolah dengan meminta izin kepala sekolah terlebih dahulu.
Berita
baiknya, kepala sekolah senang kami mengisi waktu luang anak-anak sampai daging
qurban dibagikan. Melaksanakan di sekolah berarti mengisi anak-anak sesekolah.
Itulah berita mengejutkannya, kami harus memberi out bond kepada seratusan anak.
Sungguh jauh dari estimasi awal yang hanya 30-an anak. Wow, ini akan menjadi out bond kolosal! Aku belum pernah menghadapi
jumlah sebanyak ini.
Creativity on, power on! And....let’s start! “Apa kabar kalian hari ini?” seruku pada anak-anak.
“Alhmdulillah, luar biasa, Allahu Akbar!” Sahut mereka serempak. Dengan
bersenjatakan megaphone, aku didapuk
teman-teman menjadi lead out bond
yang luar biasa ini. Anak-anak sangat
senang dengan kegiatan kami. Terbukti dari testimoni yang kuminta dari beberapa
anak yang memenangkan out bond saat
kami beri hadiah. Hehehe...Aku yakin mereka belum pernah bermain seperti ini
sebelumnya. Melelahkan, tetapi juga menyenangkan.
***
Melihat
pembagian daging qurban dan memakannya bersama teman-teman dan masyarakat adalah
saat-saat yang paling mengharukan dari rangkaian acara ini. Perintah Allah yang
satu ini terasa lebih bermakna manakala kami bisa berbaur dengan masyarakat
miskin yang minim hewan qurban untuk menikmati indahnya Idul Adha. Inilah
esesnsinya, saat si kaya mau berbagi kebahagiaan dengan si miskin dan saat kami
bisa menjembatani mereka. Idul Adha-ku kali ini diliputi suasana yang teramat
sederhana, namun juga teramat berarti.
Serangkaian
acara ini ditutup dengan serah terima buku untuk perpustakaan anak dan
peresmian tempat MCK umum. Segala bentuk keterbatasan kondisi desa yang Allah
tunjukkan padaku telah menyadarkanku bahwa begitu banyak nikmat-Nya yang kadang
kulupakan bahkan tak kusyukuri. Mengeluhkan yang tidak ada sedang yang ada
malah tidak disyukuri.
Ketika
alunan takbir semakin terasa
keagungan-Nya, ketika sembah
sujud semakin terasa betapa kecilnya kita, ketika ada banyak orang yang tak seberuntung kita, ketika senyum
sapa masyarakat desa menyambut kita
dalam kesahajaannya, ketika hari raya terkemas dalam
bingkai kebersamaan untuk berbagi dan menginspirasi, “Fa bi ayyi aalaa i robbikuma tukadziban?” Maka, nikmat Tuhanmu yang
manakah yang akan kau dustakan? (QS. Ar-Rohman). Robb, ampuninah hamba-Mu ini
yang tak pandai mensyukuri nikmat-Mu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar