Islam merupakan agama yang mengatur segala sendi kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah (habluminnaAllah) maupun yang berhubungan dengan dengan sesama manusia (habluminnanas). HabluminnaAllah mengatur segala peribadahan yang langsung berhubungan dengan Allah, misalnya saja solat, puasa, naik haji, dll. Sedangkan habluminnanas mengatur kehidupan sosial antar manusia, misanya masalah ekonomi, hukum, pemerintahan, dll.
Salah satu cabang ilmu ekonomi dalam Islam adalah ariyah. Mungkin kata
ini terdengar asing bagi beberapa orang, belum sepopuler kata muzaro’ah,
mukhobaroh, atau riba. Sebenanya kita sering melakukan kegiatan ariyah
karena pengertian ariyah secara bahasa adalah “pinjaman”. Menurut
istilah yaitu mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal
dalam jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi
atau merusak zatnya.
Hukum ariyah adalah sunnah dan dianjurkan
dalam Islam karena mengandung nilai tolong-menolong. Allah SWT berfirman
yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa,
dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”
(Q.S. Al-maidah: 2). Meski sunnah, hukum ariyah bisa berubah menjadi
wajib bahkan haram sesuai dengan jenis barang yang dipinjamkan, tujuan
dan cara peminjaman. Titik tekan ariyah adalah pinjam-meminjam benda,
bukan uang.
Kegiatan ariyah sangat lazim dilakukan oleh
banyak orang bahkan orang kaya sekalipun. Kegiatan ini pun pernah
dilakukan Rasulullah saat meminjam baju besi milik Shafwan bin Umayah
pada saat perang Hunain. Meski telah sering dilakukan oleh banyak orang,
seringkali orang melanggar aturan-aturan dalam melakukan ariyah. Entah
itu karena lalai atau kurang kefahaman diantara orang yang meminjam
barang dan orang yang memberikan pinjaman.
Salah satu
yang mendorong penulis untuk menulis tentang ariyah adalah fenomena
pinjam-meminjam yang sering dilakukan teman-teman mahasiswa dan
masalahnya. Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa intensitas
mahasiswa, terutama yang tinggal di kos, melakukan ariyah ternyata
sangat tinggi. Biasanya barang yang dipinjam mulai dari barang yang
berhubungan dengan kegiatan akademik hingga barang yang sepele seperti
sandal. Sayangnya, tingginya intensitas kegiatan ariyah diikuti dengan
tingginya fenomena masalah pelanggaran hukum ariyah terutama kehilangan
suatu barang. Mungkin, di antara mahasiswa sudah berlaku hukum “punyaku
adalah punyamu dan punyamu adalah punyaku”. Sehingga si peminjam
seringkali lalai pada tanggung jawabnya sebagai peminjam. Padahal Islam
sudah sangat jelas mengatur tentang hal ini.
Dalam Islam,
kegiatan ariyah harus diawali dengan sighat (akad) pinjam-meminjam
antara orang yang meminjam dan pemberi pinjaman. Aturan awal ini
seringkali dilanggar peminjam. Tanpa izin terlebih dahulu pada pemilik,
barang langsung digunakan. Ini adalah faktor pertama penyebab hilangnya
suatu barang.
Barang yang dipinjamkan tidak sah apabila
dipinjamkan pada orang lain tanpa seizin pemilik. Hal ini perlu
diperhatikan karena belum tentu pemberi pinjaman ridho barang yang
dipinjamkan kepada orang pertama, oleh orang pertama dipinjamkan kepada
orang kedua meski dengan niat baik. Di sini terkandung makna bahwa
peminjam harus menghormati pemberi pinjaman sebagai pemilik barang.
Kejadian ini pernah dialami teman saya saat meminjamkan buku saya pada
temannya tanpa seizin saya. Saat saya tagih, teman saya malah lupa
pernah meminjamnya. Di cari di kos pun tidak ada. Untungnya dia ingat
pernah meminjamkan pada temannya.
Syarat ariyah yang lain
adalah peminjam segera mengembalikan barang pinjamannya dengan melakukan
serah terima secara lisan maupun tulisan. Ini perlu dilakukan agar
jangan sampai peminjam melanggar hak kepemilikan suatu barang milik
orang lain meski sebenarnya barang yang dipinjam sudah tidak lagi
diperlukan pemberi pinjaman karena bisa jadi barang tersebut akan
dipinjamkan pemilik pada orang lain yang lebih membutuhkan. Ini
mengingatkan saya pada cerita teman saya yang bercerita bahwa buku-buku
temannya dipinjam hingga puluhan buku dan belum ada satu pun yang
dikembalikan, padahal sudah lama dipinjam. Selama akad di awal adalah
meminjam, maka tidak ada alasan untuk mengembalikan. Hal ini seringkali
juga dilalaikan oleh peminjam. Sehingga pemberi pinjaman harus
menagihnya berulang kali. Sudah ditagih berulang kali pun belum tentu
langsung dikembalikan, begitu dikembalikan ternyata terdapat kerusakan
pada barang pinjaman atau bahkan hilang. Sebagai peminjam hendaknya
bertanggung jawab pada kelalaiannya dengan cara menggantinya.
Menurut Ibnu Abas, Abu Hurairah, Asy-Syafi’i, dan Ishak, Nabi Muhammad
SAW bersabda yang artinya,” Pemegang (peminjam) berkewajiban menjaga apa
yang ia telah terima, sampai ia mengembalikannya” (H.R. Samurah).
Sedangkan pengikut Mahzab Maliki dan Hanafi berpendapat peminjam tidak
berkewajiban menggantinya apabila tidak terjadi suatu hal berlebihan
pada barang yang dipinjam. Rasulullah Muhammad SAW yang senantiasa
menjaga amanah pun pernah melalukan kesalahan dengan menghilangkan
bagian dari baju perang yang beliau pinjam dari Shafwan saat perang
Hunain, tentunya itu dilakukan dengan tidak sengaja. Rasulullah SAW
kemudian menggantinya sebagai bentuk tanggung jawab sehingga Shafwan
merasa mendapat kepuasan dalam berislam. SubhanaAllah, Rasul yang begitu
“tinggi” di hadapan sahabat-sahabatnya pun mau mengganti barang yang
dipinjamnya karena rusak tanpa diminta terlebih dahulu apalagi dipaksa.
Seperti terjemahan ayat yang telah saya tulis di awal bahwa seorang
Muslim harus tolong-menolong dalam kebaikan sehingga disunnahkan untuk
melakukan ariyah. Di sisi lain kita tentu juga faham bahwa Islam sangat
menghargai hak kepemilikan sehingga sangat dianjurkan untuk
mengedepankan aturan-aturan Islam dalam melakukan ariyah.
Apabila
peminjam kurang bertanggungjawab pada kegiatan ariyah, maka kerugian
akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Pemberi pinjaman akan merasa
kecewa karena barangnya tidak segera dikembalikan pada saat
dibutuhkannya, dikembalikan dalam keadaan rusak atau bahkan hilang.
Sedangkan peminjaman akan berkurang kepercayaannya karena kurang
bertanggung jawab.
Tidak ada satu pun di antara kita yang
tidak pernah melakukan ariyah, hanya saja jangan pernah mengabaikan
hukum ariyah agar habluminnanas tetap terjaga dengan baik. Barang pinjaman kita dapatkan, pahala pun kita raih. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar