Kamis Sore itu, setelah beberapa kali absen dan seharian tadi sibuk dengan urusan pelunasan janji dan pencarian surat yang menandakan bahwa aku sudah lulus sebagai mahasiswa, aku sempatkan untuk datang ke RAP (Rumah Anak Pintar) Ngoresan. Hari itu bahkan aku izin dari pendampingan siswa-siswa di sebuah sekolah tempat mengabdiku yang baru karena banyaknya agenda yang harus dikerjakan di kampus, salah satunya mengajar di RAP. Dorongan untuk datang waktu itu begitu besar sebesar harapanku untuk dapat bertemu adik-adik yang sudah lama kutinggalkan, terutama dari Masjid Al Ilyas yang telah bersamaku selama 3 tahun. Meski sebenarnya aku tidak dapat mengira siapa yang akan datang dan menyambutku dengan teriakan riang khas anak-anak seperti biasa, “Mbak Nisse....!!!” dan cium tangan tulus dari mereka. Bayangan wajah-wajah riang mereka yang kadang cemberut karena aku datang terlambat atau merasa pembelajaran kurang menyenangkan terus berkelebat di pikiran, menyatu dengan bayang-bayang perpisahan dengan mereka yang mungkin tidak akan lama lagi.
Kali itu aku datang bersama seorang teman yang sedang semangat-semangatnya membangun RAP karena saat ini masa depan RAP berada di tangannya. Aku dapat melihat itu pada pancaran wajah dan kata-katanya yang optimis setiap bertemu dengannya. Meski aku tahu jalan tak selalu mulus.
Langit yang tiba-tiba menghitam mengisyaratkan tak
lama lagi hujan akan segera menyapa sang bumi. Gelap, benar-benar gelap. Dari
luar ruang RAP kulihat dua anak perempuan dan seorang ibu yang mengantar mereka
duduk sembari menunggu relawan datang. Senyum kami bertemu bersamaan sebagai
awal sapa yang kemudian dilanjutkan dengan ucapan salam dan jabat tangan. Sesaat
setelah kami masuk, ibu tadi bertanya, “Kira-kira nanti pulangnya jam berapa ya
mbak? itu motor pinjaman mau dipakai pemiliknya dulu.” (katanya sambil menunjuk
sebuah motor yang terparkir di halaman). “Jam 5, Bu.” Jawabku. “Baiklah saya
tinggal dulu ya, Mbak.” Katanya kemudian berjalan meninggalkan ruangan. Tidak
tahu kenapa tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang hinggap dalam pikiranku saat
melihat penampilan ibu tersebut. “Ko ibu itu pakaiannya seperti itu ya...?
Padahal pasti dia tahu ini bimbelnya LAZIS.” (tidak menunjukkan penampilan
seorang muslimah), kataku dalam hati sambil melihat kontras kedua anak itu yang
menggunakan jilbab dan mungkin salah satu atau bahkan keduanya adalah anak dari
ibu tadi.
Belum sampai pembelajaran dimulai, tiba-tiba mati
lampu. Untung kami punya lampu cadangan kecil yang telah di charge sebelumnya. Mungkin kalau aku
jadi anak-anak itu, aku akan sangat kecewa dengan kondisi saat itu. Sudah
relawannya datang terlambat, yang datang cuma dua anak, mati lampu, dan andai
mereka dapat membaca pikiran kami mereka mungkin juga akan marah karena kami
datang tanpa persiapan materi apapun. Tapi mereka bukan aku. Mereka adalah
anak-anak polos yang hanya berharap kakak-kakak ini datang untuk mengisi sore
mereka dengan mengajari hal-hal yang belum mereka ketahui atau sekedar mengajak
mereka bermain. Temanku memimpin doa belajar. Kami sempat saling tanya mau
diisi apa tapi akhirnya anak-anak kami minta menulis cita-cita dan cara untuk
mencapainya. Temanku memberi contoh. “ Mengerti?”, tanyanya. Hanya dijawab
anggukan dari keduanya. Aku berharap mereka benar-benar mengerti.
Anak-anak itu belum kami kenal sebelumnya karena
berasal dari TPA yang belum pernah kami ajar. Ketidakkenalannya kepada kami
membuat kedua anak itu malu-malu berinteraksi, meski kami telah berusaha
seramah mungkin. Bergerak pun mereka terlihat tidak bebas, seolah-olah ada
monster gelap, monster yang datang saat
mati lampu yang sedang mengawasi gerak mereka dan menelan hidup-hidup jika
melakukan kesalahan. Terlihat beberapa kali mereka bingung mau menulis apa.
Sesekali aku membantu mereka. Ruangan yang remang-remang karena hanya
mengandalkan penerangan dari lampu cadangan terasa semakin sepi. Jarum jam
terus berputar, menambah setiap detik dan menit dalam perputarannya. Sayangnya,
bertambahnya detik dan menit tidak disertai dengan jumlah anak yang datang. Mungkin
karena mendung tebal, mungkin karena jauh, mungkin karena mereka sedang les,
mungkin, mungkin, mungkin..... Aku jadi teringat dulu saat masih mengisi Al Ilyas,
ketika hujan adik-adik seringkali datang menggunakan payung. Ada yang diantar
ibu atau bapak mereka, ada yang datang sepayung berdua dengan temannya, dan ada
yang cuek aja pakai payung besar ukuran dewasa sehingga terlihat tidak
proporsional dengan badannya yang kecil. Mereka begitu bersemangat dan tetap
saja masih tersenyum dan berteriak, “Mbaaaak....!” saat melihatku dan gantian
aku yang menyapa mereka, “Halo..... Assalamualaykum..(diikuti namanya)....!” Aku
selalu terkesan dengan semangat mereka dan ini memotivasiku untuk mengisi hari
itu dengan lebih baik. Tapi itu tidak terjadi saat ini. Sepi.
Beberapa menit kemudian, kedua anak yang sedari tadi
menggoreskan pensil di atas selembar kertas dengan sebuah pertanyaan yang mungkin
masih asing bagi mereka, diminta temanku untuk membacakannya. Lagi-lagi
malu-malu, kemudian saling tunjuk siapa yang membaca duluan. tidak ada yang
berani. “Hanya ada seorang teman dan dua kakak yang menyaksikan saja
malu-malu?”, Pikirku. Apa yang membuat mereka begitu? Ini bukan pertanyaan
benar salah yang akan berdampak pada marahnya seorang guru kelas atau gaduhnya
kelas karena tawa ledekan teman-teman sekelas yang berakhir pada justifikasi
“bodoh”. Akhirnya, dengan agak terpaksa dan malu-malu salah satu dari mereka
membacakan cita-citanya duluan karena kalah suit.
Anak berjilbab biru itu mulai membacakan, “Aku ingin
menjadi dokter. Aku rajin belajar, berdoa, dan membantu orang tua. Setelah
lulus SD aku mau melanjutkan SMP, SMA, kemudian kuliah.” Suaranya yang pelan
sedikit aku tangkap. Giliran anak berjilbab orange Membacakan bersamaan dengan
kedatangan ibu tadi. Jam menunjukkan tepat pukul 5 sore. Pertanyaan soal ibu
tadi kembali mendatangi pikiranku. Anak
itu memulai, kami berhadapan tapi aku hanya dengar ucapan awalnya saja karena
suaranya lebih pelan dari anak pertama. “Aku ingin jadi dokter. ......” aku mengira
mungkin intinya sama dengan anak pertama. Yah, cita-cita yang biasa diucapkan
anak kecil. Bagiku tidak ada yang istimewa, tapi mungkin bagi mereka itu luar
biasa bisa menceritakannya. Setelah keduanya selesai membaca, seperti biasa
kami menyemangati mereka agar belajar lebih rajin dan berdoa agar cita-cita
yang telah ditulis tadi terkabul suatu saat nanti.
Mendengar anak kedua yang membaca dengan lirih, ibu
itu berkata, “ Ko lirih men, padahal kalau di rumah teriak-teriak...” kami
hanya menanggapi dengan tawa memaklumi kondisi mereka yang belum mengenal kami.
Ternyata anak berjilbab orange adalah anak ibu itu. Komentar awal itu kemudian
mengalir ke cerita-cerita lain. Pada awalnya aku berpikir ini akan seperti
cerita ibu-ibu biasa seputar keberhasilan anaknya di sekolah. Meski begitu aku
tetap mendengarkan dengan baik. Perkiraanku ini terpatahkan kemudian.
“Lingkungan rumah saya tidak baik. Banyak orang
Kristen. Anak saya pernah diajak ke Gereja, tapi tidak saya ijinkan.” Kalimat
ini mulai menarikku untuk mendengarkan dengan lebih baik. “Oya?” sesekali
kalimat itu muncul dari mulut kami. “Bapaknya dulu juga mualaf dan keluarga
bapaknya juga masih Kristen.” Kalimat
demi kalimat terungkap secara sederhana namun disampaikan secara mendalam dari
bibir ibu yang terhitung masih muda itu.
“Dulu bapaknya juga tidak bisa Solat, tapi terus
baca-baca gitu akhirnya bisa. Anak saya sampai sekarang masih sering ditawari
ke Gereja bahkan dijanjikan akan disekolahkan sampai kuliah, tapi saya tidak
mau. Biar saya sendiri yang menyekolahkannya. Saya tidak mau anak saya salah
didikan. Makannya saya antar dia ke sini.” Kulihat anak berjilbab orange
tersipu malu sambil tersenyum.
“Waaaah, subhanaAllah....” Kalimat itu akhirnya
terucap melenyapkan pikiran burukku tadi soal penampilan ibu itu. Perasan kagum
itu bercampur dengan sesal, Ah kenapa kita tidak bisa seperti mereka yang mampu
membiayai sekolah sampai kuliah? Padahal sebagian dari kita punya kewajiban
untuk menyisihkan hartanya untuk kaum yang membutuhkan seperti mereka. Kalaupun
tidak cukup harta, maka pikiranlah yang dicurahkan. Kalau pikiran juga tidak
mampu, maka tenagalah yang diberikan.
“Saya kadang bingung mau cerita sama siapa...” Katanya
agak terbata. Meski ruangan itu remang-remang aku dapat melihat mata ibu itu
berkaca-kaca. Kilauan senja berwarna orange menerpa wajah lugunya dari jarak
jutaan tahun cahaya menyingkirkan keangkuhan awan hitam lalu menyelip diantara
rumah-rumah warga yang membentuk siluet dan akhirnya menerobos melalui pintu
masuk ruang RAP. Kalimat itu terucap penuh haru seolah sudah lama dipendamnya
karena tak menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pendengarnya, maka
akhirnya meluncurlah cerita-cerita itu. Kami pun tertegun. Suasana menjadi agak
kaku bercampur haru, simpati, dan yang tadinya aku berpikir ceritanya akan
biasa menjadi penasaran soal apa lagi yang akan diceritakan ibu itu. Ini jadi
semacam cerita pada saat api unggun.
“Saya itu bisa membaca malah dari TPA.” Kalimat itu
membuat kami tersentak. “Hah? TPA?” Tanyaku tak percaya. “Iya, TPA.” Ibu itu
meyakinkan. “TPA? Ko bisa?” Tanyaku sekali lagi, mungkin kali ini aku salah
pendengaran. “Iya, mbak. TPA.” Ibu itu juga mengulangi jawaban yang sama. Apa
lagi yang akan diceritakan ibu itu? Aku semakin penasaran. Seolah bisa membaca
pikiranku, ibu itu melanjutkan ceritanya. “Dulu waktu saya masih kecil bapak
saya sudah meninggal, ibu saya sudah tua. Saya pengen sekolah, tapi keluarga
saya miskin. Jadi, saya tidak disekolahkan. Akhirnya saya belajar membaca dari
TPA. Saya bisa membaca ya dari TPA.”
Betapa berjasanya TPA itu sehingga bisa membuat ibu
itu bisa membaca. TPA yang ku tahu biasanya hanya mengajari A, Ba, Ta. Berbeda dengan TPA umumnya, TPA
yang diceritakan ibu itu tidak hanya mengajari A, Ba, Ta, tetapi juga A, B, C.
Sungguh luar biasa TPA itu memberikan pendidikan alternatif bagi anak-anak dari
keluarga miskin yang tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal. Meski
hanya mengajari hal sederhana-membaca- bukan yel-yel, tepukan atau lagu-lagu semangat
khas santriwan/i TPA, metode-metode pengajaran menyenangkan, mendengar dongeng
bersama, atau permainan out bond yang sering ditawarkan TPA saat ini. Kesan yang diberikan TPA itu begitu
mendalam dalam hati ibu itu, dibawanya hingga dewasa bahkan saat anaknya telah
sebesar dirinya saat masih belajar A, B,
C di TPA.
“Saya memang bodoh, tapi saya ingin anak saya pintar.
Makannya saya antar anak saya ke sini. Anak saya itu pemberani, waktu TK saja
pernah ikut lomba cerdas cermat sama temannya laki-laki semua.” Aku pikir
semangat dan keberanian anaknya diturunkan oleh ibu itu. Dia rela dengan
keadaan yang membuatnya tak dapat bersekolah, tapi dia tak rela anaknya
mengalami nasib yang sama. Meski kondisi ekonominya mungkin tak jauh berbeda
dengan masa kecilnya dan ada yang menawari menyekolahkan anaknya hingga kuliah,
dia tetap berpegang teguh pada prinsip. Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan
bagi orang-orang sepertinya yang bisa dengan mudah menjual prinsip hidup demi
cita-cita masa kecilnya yang tak tercapai.
Menyaksikan anaknya berani bercita-cita, menuliskan
cara mencapainya, dan membacakannya meski dengan suara yang hampir tak
terdengar telah membawanya pada ingatan masa lalu yang pahit dan menjadi hal
luar biasa yang dilakukan anaknya karena bahkan mungkin dulu dia telah mengubur
dalam-dalam cita-citanya karena dimatikan oleh kondisi yang tak diinginkan.
“Nah...makannya adek belajar yang rajin ya, bantuin
orang tua, berdoa juga biar cita-citanya jadi dokter terkabul. Kalau sudah jadi
dokter, ibunya sakit bisa diperiksa.” Kataku pada anak berjilbab orange. Dia
menanggapi dengan senyum malu. Kulihat ibunya menganggung-angguk sambil
mengusap bagian bawah mata menggunakan punggung tangan kanannya. Apa itu air
mata?
“Kalau sekarang saya suka kegiatan-kegiatan sosial.
Saya jadi kader Posyandu. Ya itu tempat saya bersosialisasi dan belajar
sekarang.” Suasana menjadi agak cair. SubhanaAllah, batinku. Ibu itu tetap
berusaha belajar dengan caranya sendiri dan lagi-lagi ilmu itu didapat bukan
dari lembaga pendidikan formal. Aku dan temanku sekali lagi menyemangati kedua
anak yang semangat itu.
“Baiklah, saya pulang dulu. Itu motor pinjaman
soalnya. Kalau ada jadwal les biar anak saya, saya antar ke sini.” Senyum ibu
itu mulai terlihat. “Iya.” Jawab kami hamir bersamaan.
Mereka bergerak keluar. Mesin motor dinyalakan, kedua
anak tadi membonceng di belakangnya. Sesat kemudian mereka hilang dari
pandangan kami. Aku dan temanku juga bersiap untuk pulang. Ruangan semakin
gelap karena listrik belum nyala. Di perjalanan kami membicarakan cerita ibu
tadi. Kami memiliki pemikiran sama, luar biasa. Aku jadi malu karena sempat
menilai buruk ibu itu hanya dari penampilan luar. Benar-benar menipu. Seolah
hanya dalam waktu satu jam Allah ingin menunjukkan kepadaku bahwa di luar
penampilan yang belum sempurna, terdapat kecintaan pada-Nya yang terukir jelas di hatinya. Mengapa aku
menilai seseorang secara sempit? Apa aku merasa sudah sempurna? Bahkan aku tak
tahu apakah hatiku akan setangguh hatinya apabila dalam posisi seperti itu.
Terkadang seseorang terjebak pada penampilan palsu.
Memakai hanya karena ingin memperoleh pengakuan kelompok. Terkadang seseorang
terjebak pada penampilan kosong. Mengenakan tanpa tahu makna sesungguhnya.
Terkadang seseorang terjebak pada penampilan menipu. Menggunakan hanya karena
ingin menunjukkan eksistensi. Sedangkan apakah yang ada di dalam hati sudah
benar-benar tulus mencintai-Nya? Tegar dan tetap belajar dalam setiap ujian.
Aku jadi takut jika ternyata aku salah satu di antara orang-orang yang terjebak
pada penampilan. Cinta itu tidak hanya terbatas pada apa yang tampak di luar,
tetapi lebih penting dari pada itu adalah apa yang ada di dalam.
Soal penampilan ibu itu, itulah tugas kita yang tahu.
Jangan kalah dengan mereka yang bahkan mampu menyekolahkan anak SD hingga tamat
kuliah. Mungkin kita perlu melakukan sesuatu minimal agar bertambah orang yang
mau mendengar cerita ibu itu (bukankah itu yang dibutuhkan ibu itu saat ini?).
Bagus lagi kalau tidak hanya mendengar, tetapi juga menjawab. Pikiranku terus
bergulat soal cerita tadi. Busku mulai berjalan perlahan mengarah ke matahari
di ufuk barat. Pancaran cahaya orangenya mengalahkan gumpalan awan hitam yang
menguasai langit sedari sore. Menunjukkan sebuah pesan hikmah bahwa ada
ketegaran dalam setiap ujian. Busku terus berjalan, membawaku bersama cerita di
ujung senja yang mengesankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar