Teringat Minggu pagi
saat aku terbangun dari tidur malam. Tanpa membuka tirai jendela atau keluar
rumah pun aku dapat memastikan bahwa saat itu sedang terjadi hujan yang sangat
lebat. Gemuruh air yang ditumpahkan dari langit terdengar jelas di telinga.
Kamar terlihat gelap. Spontan kuarahkan bola mataku kearah lampu yang terpasang
di langit-langit kamar. Mati. Ah, itu sudah biasa. Pemadaman bergilir adalah
hal yang biasa di sini. Malam, sore, siang, atau pagi bisa saja terjadi.
Apalagi saat hujan lebat seperti pagi itu.
Tiba-tiba ibu kos
mengetuk pintuku berulang sambil setengah berteriak, “Se, bangun, Se. Mau
banjir. Angkat barang-barangmu ke atas dipan!” aku langsung tersentak dan
bangkit dari kasur beranjak menuju serambi. Memang benar, air sudah hampir
melewati bibir serambi dan kalau serambi telah tergenang, berarti air telah
mendekat ke dalam rumah. Jika air masuk rumah yang terlebih dahulu terkena adalah
kamarku karena merupakan ruang terdepan. Hujan yang sangat lebat ditambah
permukaan halaman yang rendah dan tinggi serambi yang hampir tidak ada batas
dengan halaman membuat air cepat tergenang menjadi banjir.
Banjir, bagaimana
kondisi sekolah? itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiranku saat itu.
Sejak pertama perkenalan dengan warga sekolah di SD N 1 Bumi Waras, Bandar
Lampung, banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa sekolah tersebut menjadi
langganan banjir. Ingin rasanya ke sekolah melihat kondisinya, tapi itu tak
mungkin ku lakukan. Aku pun harus menjaga barang-barangku, bersiap apabila air
hujan benar-benar bertamu di kamarku. Untunglah, hal yang dikhawatirkan
ternyata tidak terjadi. Genangan air di halaman perlahan surut. Lalu, bagaimana
dengan kondisi sekolah?
***
Saat aku setengah
melamun di teras kelas memikirkan apa rencana terbaik bagi sekolah untuk
mewujudkan sekolah ramah hijau, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah lubang
yang tak biasa di parit sekolah. Parit itu tidak dalam dan sempit sehingga
lubang itu terlihat sangat jelas. Seperti lubang biopori. Tapi tidak mungkin,
sekolah baru akan mengajukan surat pengadaan bor biopori ke BPPLH. Ku dekatkan
pandanganku ke arah lubang itu untuk meyakinkan. Benar-benar seperti lubang
biopori. Kudongakkan kepala ke arah genting tepat di atas lubang itu. Biasanya
jika ada pipa aliran air hujan, maka akan terbentuk lubang di tanah. Tidak ada
pipa dan kalaupun ada tidak akan membentuk lubang sebesar itu.
Kususuri parit sekolah.
Ternyata lubang itu tidak sendirian, ada banyak lubang di sepanjang parit sekolah.
Bahkan beberapa di antaranya terlihat jelas lubangnya. Apakah surat pengajuan
pengadaan bor biopori telah dimasukkan dan bornya telah diberikan? Kalau sudah,
siapa yang membuat lubang-lubang biopori? Kapan? Mengapa aku tidak diberi tahu?
Bukankah aku telah menyampaikan ide pada guru-guru jika bornya telah diberikan,
maka siswa kelas 1 sampai 6 harus memiliki lubang biopori kelas masing-masing?
Setengah berlari aku
menuju ke sebuah rumah kecil di belakang sekolah. Aku yakin dia pasti tahu apa
yang terjadi kemarin. “ Kek, lubang-lubang itu siapa yang buat ya?” tanyaku
pada lelaki tua yang tengah duduk di kursi panjang depan rumahnya. “Oh, itu
saya yang buat.” Jawabnya sambil tersenyum. Spontan aku heran. Belum hilang
keherananku, dia lalu bangkit dan mengambil sebuah linggis yang tersandar di
batang pohon mangga.
“Begini caranya.” Katanya
sambil menunjukkan gaya seperti orang mengalu pada salah satu lubang
menggunakan linggis. “Kalau nggak diginiin, ntar banjirnya tambah tinggi.
Kemarin aja hampir selutut. Nih lihat, lubangnya dalam kan?” jelasnya sambil
masih memperagakan “temuannya”. “Wah….,kakek tahu dari mana cara seperti ini?”
aku benar-benar heran dan penasaran. “Dari TV waktu banjir Jakarta dulu, pernah
diberitakan cara seperti ini biar nggak banjir. Alatnya harusnya pakai yang
diputer-puter itu kan (sambil memperagakan yang dimaksud)? Kata guru lagi
ngajuin itu, tapi kalau ngajuin kayak gitu pasti lama deh. Daripada
nunggu-nunggu mendingan pake linggis juga bisa.” Terlihat beberapa mili
genangan air yang masih tersisa di parit menyusut ke dalam lubang yang
ditunjukkan kakek. Kakek lalu membenarkan lubang-lubang lain yang agak tertutup
dengan tanah. Aku tertegun dibuatnya. Selama ini aku dan guru-guru terlalu
berpikir rumit mengatasi banjir, tetapi kakek yang SD pun tak lulus dapat
menunjukkan hal yang luar biasa.
Kakek, begitulah warga
sekolah biasa memanggilnya. Dia adalah penjaga sekolah yang tinggal bersama
istrinya. Perawakannya besar, suaranya lantang, meski begitu garis-garis
keriput di kulit dan beberapa helai uban di kepalanya cukup menandakan bahwa
dia telah melewati masa hidup yang panjang.
Sejak pertama aku
sampai di sekolah ini, aku melihat kinerja kakek yang lebih dari sekedar
panjaga sekolah. Setiap pagi dia selalu menertibkan siswa-siswa untuk masuk
kelas apabila guru mereka belum tiba. Apabila lebih dari satu guru yang belum
tiba, maka sebanyak itulah kakek menertibkan kelas. Kadang kakek terlihat
mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain karena seringkali siswa yang sudah
ditertibkan keluar kelas lagi. Di saat kakek
mulai terlihat kewalahan inilah, nenek masuk kelas untuk menemani siswa
doa pagi.
Tanggung jawabnya
menjaga sekolah juga tidak sekedar menjaga sekolah agar tidak disambangi
maling, tetapi juga ada tugas khusus di sekolah kami, yaitu menjaga agar
sekolah terhindar dari banjir. Kalaupun tak bisa terelakkan, maka dia menjaga
agar peralatan sekolah terhindar dari dampaknya. “Tadi aja banjirnya sampai
masuk rumah. Kakek tidur di atas meja sono.” Kata nenek kepadaku sambil menunjuk
salah satu ruang kelas. “Kakinya kakek sampai ngilu kedinginan.” Nenek
menambahi.
Jangan kira itu dilakukan
karena gajinya yang besar. Nenek pernah bercerita kepadaku perihal itu. Di
tengah kondisi biaya hidup yang lumayan tinggi di sini, kakek harus puas
menerima gaji sebulan untuk hidup sehari yang diterimanya tiga bulan sekali. Apa
yang dilakukan tentu juga bukan agar media ramai memberitakannya dengan tujuan
pencitraan diri. Bukan pula demi merebut piala Adiwiyata (lomba lingkungan
hidup) karena besar kemungkinan dia tidak tahu apakah itu.
Hal itu dilakukan demi
kecintaannya pada sekolah dan tentu saja pekerjaan yang telah digelutinya
selama 11 tahun di sekolah kami. “Kalau di luar sono banjir ya terserah, itu
tugasnya RT. Kalau tugas saya mah yang penting sekolah aman dari banjir,
anak-anak bisa masuk sekolah.” Dia menjelaskanku tentang ranah tugas dengan
bahasa yang sederhana.
Aku kagum dengan etos
kerjanya. Dibalik pemberitaan media tentang
direbutnya piala Adiwiyata tingkat kota oleh sekolah kami, ada peran
kakek yang luar biasa. Darinya aku belajar tentang tanggung jawab, pengorbanan,
etos kerja, loyalitas, dan pagi itu kakek mencontohkan how to think simple, act brilliant, bukan malah sebaliknya.
Jika
seseorang terpanggil menjadi tukang sapu jalan, hendaklah ia menyapu
sebagaimana Michael Angelo melukis atau Beethoven menciptakan musik atau
Shakespare menulis puisi. Hendaknya ia menyapu jalan dengan sangat baik
sehingga segenap isi surga dan bumi serentak menghentikan kegiatan mereka dan berkata,
di sini tinggal seorang penyapu jalan yang agung yang menjalani tugasnya dengan
sangat baik. ( Martin Luther)