WARNING!
Tulisan saya ini tidak bermaksud mengecilkan kesedihan orang lain di situasi pageblug Covid-19. Saya berdoa semoga pegeblug ini segera berakhir dan semua menjadi lebih baik.
Waktu itu tahun kedua aku merantau dan tahun pertama di Papua karena tahun sebelumnya di Sumatera. Tahun sebelumnya tugasku telah selesai sebelum lebaran sehingga aku masih bisa merayakan bersama keluarga besar di Solo. Akan tetapi, karena pada saat itu aku sedang mengurus kebutuhan siswa yang akan pertukaran pelajar ke Jakarta dan aku yakin tiket pesawat Sorong-Solo naik drastis saat bulan Ramadhan, maka kuputuskan untuk tidak mudik. Keluarga sudah mengetahui rencana ini dan memahami alasanku. Sebagai seorang yang hampir tak pernah pergi jauh dari keluarga, aku bukannya takut atau sedih tapi tertantang dengan keputusan yang akan kuhadapi nanti. Aku bahkan telah merencanakan akan keliling Papua saat urusan kebutuhan siswaku selesai. Nantinya aku tahu ternyata yang akan kuhadapi tak semudah yang direncanakan.
Tantangan dalam petualangan ini dimulai waktu aku memutuskan untuk tetap tinggal di Kampung Kwoor di saat semua guru lokal dan ke empat teman sepenempatan berencana meninggalkan kampung sebelum Ramadhan. Mereka akan ke Sorong hingga lebaran tiba. Hingga waktu itu, tak pernah ada satupun teman berani ditinggal sendiri di kampung dan aku pun belum berkesempatan meski tertantang untuk mencoba. Maklum saja, ketika malam sering ada masyarakat yang mabuk dan tanpa sadar berbuat iseng dengan rumah warga misal melempar genting dengan kerikil, ketuk-ketuk pintu, atau kalau sedang apes bertemu langsung karena kita tak sadar orang tersebut sedang di bawah pengaruh air enau dosis tinggi. Kondisi lingkungan yang sangat gelap kalau malam karena tak ada lampu jalan, jarak rumah antar warga yang jauh, dan tak ada sinyal apapun semakin mendukung situasi yang cukup mencekam.
Aku berencana mengajari siswaku berbagai macam hal saat libur Ramadhan sebelum dia berangkat ke Jakarta. Aku yang mendaftarkannya dan membimbing proses seleksi, jadi aku merasa bertanggung jawab waktu dia dinyatakan lolos. Aku baru akan ke kota hingga kurasa dia sudah siap. Rencana yang sudah disusun rapih dengan bumbu semangat tinggi ini tiba-tiba seperti istana pasir yang dilahap ombak. Pagi hari di hari pertama ditinggal teman-teman, siswaku mendatangiku untuk mempersiapkan diri latihan. Saat siap-siap membuka buku, siswaku mendengar suara bel kapal melewati laut daerah depan kampung. “Ibu, ternyata kapal yang ke kampung sa lewat. Sa harus pergi karena kalau tra sekarang sa tra tahu lagi kapan kapal lewat. Sa harus kasih tahu orang tua sa kalau sa lolos ke Jakarta.” mukanya terlihat gelisah. “Trus, ko bisa kembali ke sini lagi kapankah?” , “Tra tau, Ibu, kapal tra pasti kapan lewat ke sini lagi.” Aku antara senang karena dia bisa mengabarkan orang tuanya dan juga kecewa “Ya ampun, tahu gini mending kemarin bareng teman-teman ke kota.” batinku. Dia pun berangkat ke kampung halamannya. Perlu diketahui, satu-satunya angkutan umum berupa mobil Hilux tak bisa dipastikan kedatangannya. Aku bisa saja terjebak sampai lebaran di kampung yang muslimnya bisa dihitung jari tangan ini. Tanpa teman-teman dan pemilik kios orang Makasar, kemungkinan besar tinggal aku sendiri yang muslim.
Masalah baru muncul saat aku tak tahu hari pertama bulan Ramadhan. Biasanya masyarakat akan menunggu hasil sidang isbat di TV. Jangankan TV, sinyal radiopun tak tertangkap di kampung ini. Hari kedua di kampung kucoba mencari peruntungan adanya sinyal internet yang dipasang sebuah perusahaan di kantor distrik (kecamatan) untuk proyek talang air. Berjam-jam aku nongkrong di serambi kantor distrik, tak ada sekecil pun sinyal yang mampir. Walaupun kantor ini lumayan besar, tapi cuma Pak Distrik yang kadang-kadang datang bersama sopir pribadinya. Biasanya aku menumpang mobil Pak Distrik kalau ke kota, tetapi waktu itu Pak Distrik tidak ada dan kalaupun ada, sepertinya aku tak akan meminta tolong karena waktu itu aku dan teman-teman beberapa hari sebelumnya di PHP Pak Distrik yang menjanjikan akan diajak ke kawasan konservasi penyu belimbing. Bukannya menepati, kami malah ditinggal pergi pada hari yang dijanjikan (waktu itu aku tak sadar kalau Pak Distrik kan urusannya tidak cuma di kampungku saja dan tidak mungkin harus mengabari kami kalau mau pergi. Pede amat).
Sore di hari ketiga, aku kembali lagi ke kantor distrik. Kali ini belum sampai masuk halaman, aku diteriaki tukang proyek talang air. “Cari sinyal ya?!” dalam hatiku ,”Idih, pelit amat orang bukan dia yang bayar pulsa.” Sayangnya, sinyal kembali ogah mampir di saat yang sangat dibutuhkan. Untungnya ada satu tukang yang mau memberitahuku. Katanya, dia baru dari kota dan dapat kabar puasa dimulai besok. Berdasarkan kata kalender dan kata tukang proyek yang tak kutahu tingkat kebenarannya, kuputuskan tanggal 18 Juni 2015 adalah hari pertama Ramadhan.
Sudah empat hari aku berpuasa di kampung yang super sunyi itu. Setiap hari mulai dari pagi aku sudah bersiap-siap kalau saja mobil hilux lewat. Duduk manis di depan rumah dengan koper dan ransel sampai sore. Aku jadi serba bingung. Mau memasak untuk buka puasa, tapi khawatir tiba-tiba mobil datang. Tapi, kalau tidak memasak jelas tak ada warung makan di sini. Akhirnya aku jadi sering berbuka dengan mie instan. Aku sudah meminta masyarakat jika melihat mobil lewat, minta sopir menjemputku. Tapi yang ada aku malah dapat isu jembatan sungai ambrol. Untungnya sore hari di hari pertama puasa, ibu-ibu orang Ternate mendatangiku. “Ternyata Ibu masih di sini?”, “Kok Ibu tahu saya masih di sini?”, “Suami saya lihat Ibu tadi. Nanti buka puasa di rumah saya saja, Ibu.” Keluarga muslim yang bekerja membuatkan rumah masyarakat dari kayu pohon hutan ini masih ingin tinggal di kampung ini sampai beberapa waktu. Aku jadi tahu beragam masakan Ternate seperti Kue Lulu dan Kue Angka. Sungguh ramah sekali mereka. Bersyukurnya aku karena setidaknya tidak berpuasa sendirian di kampung.
Satu hari karena saking inginnya makan kolak, aku membuat kolak singkong dengan bahan seadanya. Kuahnya bukan dari gula merah, tetapi dari kopi hitam dicampur santan kental. Hasilnya perutku perih dan rasanya tak masuk akal. Don’t try this! Lol. Tapi, aku juga pernah dibelahkan dua buah kepala muda oleh murid dan memasak mie instan bersama dua orang murid untuk buka puasa. Tak ada suara imsak dan azan apapun di sini, hanya tanda alam yang kuikuti. Kepekaan terhadap alam harus lebih ditinggikan levelnya.
Suatu malam, sekitar jam 2 pagi tiba-tiba kumendengar suara “cethak!” dari rumah sebelah yang dihuni teman-temanku. Siapa yang mematikan tombol mesin solar cell? Padahal pintu rumah sebelah sudah dikunci. Bayangan orang mabuk yang berhasil memasuki rumah sebelah menakut-nakuti pikiranku. Lalu bagaimana aku mau minta tolong kalau seandainya dia berhasil masuk rumahku? Tidurku jadi tak nyenyak dan terbawa mimpi sampai sahur. Anehnya, saat pagi aku mengendap ke rumah sebelah, pintunya masih terkunci. Waktu kubuka pintunya, tak ada tanda-tanda ada orang masuk semalam, tetapi posisi tombol memang jadi off. “Bukannya setan diikat ya kalau bulan puasa?” batinku. Sejak saat itu aku meminta seorang murid bernama Mariana untuk menemaniku tidur malam sampai aku bisa Escape From Kwoor.
Sore hari di hari ke empat puasa, ada sebuah mobil masyarakat dari kota berhenti di Gereja sebelah rumah. Mobil orang kota yang membawa Pak Pendeta dan rombongan jemaat untuk urusan Gereja. Aha! Berarti jembatan tidak ambrol karena kalau ambrol kampung ini jadi terisolir dan aku pernah mengalaminya sampai tiga bulan (ter PSBB langsung dari Allah karena jembatan diterjang banjir). Sekiranya mereka sudah selesai dengan urusan gereja, aku segera mendatangi mama-mama salah satu penumpang mobil. Dengan bahasa yang meyakinkan dengan sedikit nada memelas, aku diperbolehkan menumpang dan diminta siap berangkat besok jam 6 pagi.
Finally, Escape From Kwoor.
Mama-mama yang kembali ke kota membahas tentang Festival Penyu Belimbing dengan penumpang lain saat perjalanan ke kota. Aku ikut mengobrol dengan membuka bahasan tentang janji Pak Distrik. “Oh, kalau ibu guru mau lihat, nanti tanggal 25 ada kapal berangkat ke Abun untuk lihat acaranya. Itu acaranya tahunan dari Pemda, Ibu. Gratis” mataku langsung berbinar-binar, apalagi mendengar kata terakhirnya. Nampaknya mama-mama ini orang terpandang di kota, jadi tahu acara penting dari Pemda. Aku merasa mendapat kejutan setelah beberapa hari dalam keadaan tak menentu dan was-was. Mungkin kalau aku pergi bersama ke empat temanku, aku tak tahu info acara langka ini. Padahal ini kan yang bikin kami berlima sampai kesal sama Pak Distrik :D
Saat sampai di kota kabupaten, aku langsung menuju rumah teman-teman yang mendapat penempatan di kota. Ternyata semua sudah pergi ke Sorong. Tinggal dua orang guru lokal yang dia pun besok akan ke Sorong. Semalam aku menginap di sini dan besoknya tetangga sebelah menawariku menginap di rumahnya karena kalau malam, listrik tak menyala. Jadi cukup repot kalau sahur sendiri. Selama menunggu tanggal 25, aku berusaha menyelesaikan 12 pekerjaan yang sudah kubuat daftarnya waktu di kampung. Mulai yang sangat penting seperti membuat janji untuk bertemu kepala dinas pendidikan dan Sekda untuk presentasi proposal bantuan dana kegiatan siswa di Jakarta sampai kegiatan sosial seperti mengajar anak-anak mengaji di satu-satunya masjid.
Saat menumpang di tetangga sebelah rumah, aku mencoba masakan Makasar karena keluarga ini adalah suku Bugis. Jangan dikira aku langsung mudah menerima jenis masakannya karena sangat berbeda dengan budaya Jawa. Masakan serba kuah ikan dan juga sambal mangga yang sangat-sangat asing buatku. Tapi lagi-lagi aku harus belajar adaptasi.
Urusanku yang bolak-balik ke kantor dinas membuatku bertemu seorang teman yang ternyata belum ke Sorong. Dia dan beberapa teman yang berasal dari Sulawesi memang tinggal di rumah lain. Maka, kuputuskan pindah ke rumah teman-teman Sulawesi agar tak terlalu merepotkan tetangga dan lebih santai dalam berkegiatan. Saat menumpang mengeprint di kantor dinas pendidikan, Pak Rasyid, seorang teman yang bekerja sebagai pegawai dinas memberitahuku bahwa lokasi festival di daerah terpencil. Kalau bahan makanan yang dibawa dari kota ternyata tidak cukup, apalagi dalam kondisi berpuasa pasti jadi tidak nyaman. “Tahun lalu saja pas saya ikut, tentara sampai tembak rusa karena kehabisan makanan.” ucapannya yang sama sekali tak membuatku mundur “Kalau Ibu Anisse tetap mau berangkat, lebih baik membawa bekal biskuit dan air minum.” saran laki-laki super tinggi ini.
Moke Womom (pemanggilan adat Penyu Belimbing)
Tanggal 25 pun tibaaaaa! Aku dan beberapa teman yang tidak ke Sorong menaiki kapal yang disewa kabupaten menuju Distrik Abun. Masyarakat yang ikut bukan hanya puluhan, tetapi ratusan. Kami disuguhi pemandangan laut yang sangat alami selama jam 10.30 siang-jam 14.00. Ini adalah daerah konservasi jadi tak ada dermaga di sini. Untuk sampai ke tepi, kami harus berpindah dari kapal ke perahu motor. Saat itu karena aku masih sangat amatir dalam urusan perjalanan, aku memakai rok span (tolong perhatikan pakaian kalian saat perjalanan ya! :D). Betapa khawatirnya aku melompat dari pintu kapal ke perahu karena ombak sedang tinggi. Tapi karena aku melihat masyarakat yang terlihat meyakinkan dalam urusan perahu dan ombak tinggi, dengan segenap keyakinan dan doa kutarik rok span lalu hop, sampailah aku di perahu yang digoncang ombak tinggi.
Bersama teman-teman
Ternyata memang benar kata Pak Rasyid. Walaupun nampan makanan ada banyak, tetapi aku hanya mendapat sedikit karena banyak peserta yang non muslim sehingga bisa makan terlebih dahulu saat yang muslim sedang solat maghrib. Walaupun masih ada sedikit ayam, tetapi tak kuambil karena aku melihat ayam hidup sehari sebelumnya dibawa para juru masak dari dermaga kota menuju ke Abun. Aku khawatir dengan kehalalan ayamnya. Jadilah aku makan sayur sop yang lebih banyak kuah daripada sayurnya. Lucunya, aku bertemu Pak Distrik di acara ini.
Malam hari kami diajak berjalan bersama menuju lokasi penyu bertelur. Aku membawa tas ransel besar berisi baju ganti, buku catatan, air minum, biskuit, sampai kabel colokan karena tak ada orang di lokasi keberangkatan yang bisa dititipi. Ternyata perjalanan ini jauuuuh dan juga berat. Pertama karena kami berjalan di pantai yang membuat kaki selalu tenggelam di tanah berpasir. Kedua, bawaanku jadi terasa semakin berat. Ketiga kami harus mengejar waktu karena jangan sampai penyu sudah bertelur saat kami sudah sampai lokasi. Keempat aku tak cukup energi setelah berbuka dengan makanan yang kurang sebelumnya. Rasanya kaki mau patah, jantung mau copot. Kelompok rombonganku yang terdiri dari teman-teman dan seorang guru lokal jadi sering beristirahat karena aku. Maaf ya! :D Setelah perjalanan selama dua jam, sampailah aku berserta masyarakat di lokasi penyu bertelur. Penyu yang dikabarkan terancam punah ini memiliki panjang 150cm. Rasa lelah yang sangat tiba-tiba hilang begitu saja. Sangat-sangat puas dan akan selalu terkenang sepanjang masa :D
Ternyata kami harus langsung kembali ke titik keberangkatan setelah penyu balik badan pulang ke laut. Aduuuh, rasanya kaki masih patah-patah. Perjalanan kembali jelas jadi lebih berat buatku. Sampai-sampai tasku dibawakan seorang tentara. Aku mengusulkan untuk tinggal di pantai sampai besok tetapi kapal besok pagi-pagi harus sudah membawa masyarakat pulang. Parahnya lagi, aku diminta berjalan lebih cepat karena khawatir air laut pasang dan menutup akses. Saking seringnya aku beristirahat, tersiar kabar bahwa aku pingsan di perjalanan. Hahaha…
Sepertinya rombonganku adalah rombongan terakhir yang tiba kembali di titik keberangkatan. Sampai di sini aku tak bisa tidur (karena memang tidak ada tempat tidur). Masyarakat suku Abun menari Dansa Sarara berputar-putar tanpa lelah di ruang terbuka. Ingin rasanya kumenikmati tarian mereka, tetapi apa daya mata sudah 1 watt, tapi tak juga bisa tidur. Jam 4 pagi aku dan teman-teman sahur bersama. Tapi lagi-lagi karena aku khawatir pada kehalalan olahan ayam, jadilah aku makan bekal biskuit. Perlu diketahui bahwa kios-kios di kota kabupaten tak menjual makanan selengkap di Sorong. Makanan awet yang bisa kubawa dan bisa langsung dimakan hanya biskuit. Bisa dirasakan kan ya… betapa kurang energi dan lelahnya aku. Benar juga kata Pak Rasyid.
Pagi-pagi kami pulang dengan cara yang sama. Naik perahu terlebih dahulu baru masuk kapal. Aku tertidur pulas seperti orang pingsan di kapal meski sepatu, kaos kaki, dan rok basah. Kakiku kram beberapa hari setelah itu padahal aku masih harus melanjutkan urusan yang belum selesai.
Aku masih ada tekat mengelilingi Papua. Pokoknya aku tak mau rugi. Sudah tak bisa mudik, kalau cuma berdiam diri di kota kabupaten yang suasananya lebih mirip kampung rasanya sayang sekali. Aku berulang kali ditanya Pak Rasyid akan berlebaran di mana. Aku tak tahu pasti akan ke mana. Aku hanya ingin mengikuti jadwal kapal bisa membawaku sampai ke mana. Rencana pemberhentian pertamaku di Kabupaten Fak-fak. Sayangnya, aku harus ke Sorong jika ingin membeli tiket antar kota/kabupaten. Setelah ke Fak-fak aku akan ke Kaimana. Aku harus memastikan akan menumpang di rumah siapa selama berhenti di tiap lokasi. Bahkan aku harus memastikan harus di rumah siapa saat di Sorong sebelum ke Fak-fak karena belum tentu setibanya di Sorong ada kapal yang langsung berangkat. Proses itu memakan waktu cukup lama, ribet, dan mahal karena hanya berdasarkan jaringan pertemanan Kak War, teman yang rumahnya kutumpangi selama libur Natal dan tahun baru. Kenapa mahal? Karna tak ada paket telpon dan SMS sedangkan harga pulsa jauh lebih mahal. Seminggu di sana untuk urusan telpon dan SMS bisa habis 100 ribu.
Selama menunggu kapal berangkat ke Sorong (kapal hanya ada 2 kali seminggu), selain urusan dengan dinas aku juga mendengar banyak cerita tentang muslim-muslim Papua di sana hingga aku dipertemukan dengan keluarga Saida (anak Papua yang saat penarikan kubawa ke Bekasi untuk diasuh seorang teman). Nanti akan kubuat cerita khususnya karena cerita proses mualaf mereka sangat menarik dan mengejutkan. Doakan aku gak males :D
Rencanapun Berubah
Aku mendapat nomor kontak kenalannya kenalan :D untuk menumpang selama di Kota Sorong. Namanya Eka. Dengan baik hati dia yang juga belum kenal aku mau menjemput di Pelabuhan Rakyat. Saat sampai di tempat persinggahan, ternyata aku diberi tumpangan di tempat usahanya karena rumahnya pun jauh dari Kota Sorong. Tempat usahanya yang berupa rumah makan ini masih baru dan dihiasi gambaran-gambaran kapur tulis ala-ala anak muda. Dia baru beberapa bulan memulai usaha dari modal 50juta (untuk ukuran Kota Sorong ini tak banyak) setelah lulus kuliah. Dia cukup pendiam, tetapi lumayan mau bercerita soal usahanya. Aku pikir dia membuka sejak pagi, ternyata sore hari setelah dia pulang mengajar sampai sekitar jam 11 malam. Yang lebih mengejutkan lagi, dia mengurus sendiri rumah makannya. Malam harinya aku ditanya, “Mbak bawa selimut?”, “Tidak.” jawabku. “Mbak, di sini kalau malam dingiiiin banget lho.”, “Oyakah? Hehe.. nggak apa-apa, Mbak.” aku dapat tumpangan saja sudah bersyukur
Rumah makan itu tidak memiliki kamar. Jadi, aku tidur di bangku kayu lebar yang mepet tembok. Dia tidur di ruang sempit di balik meja racik. Benar katanya, aku sampai terbangun tengah malam karena kedinginan.
Besoknya aku ke agen penjualan tiket kapal. Terpasang banner besar yang memajang jadwal kapal. Seketika aku kebingungan! Kapal yang menuju ke Fak-fak berangkat lusa dan setelah itu jadwal kembali ke Sorong dari kabupaten lain masih sekitar sebulan. Aku langsung berkonsultasi dengan Kak War yang bersaudara dekat dengan Pak Rasyid. Dia menyarankanku untuk ke Maluku dari Fak-fak. Masalahnya, tiket ke Maluku dari Fak-fak pun sudah ludes. Aku pun berkonsultasi dengan Pak Rasyid. “Makannya kemarin-kemarin saya tanya Ibu guru mau lebaran di mana itu karena supaya kalau ibu guru mau ke Maluku lagi (tahun baru aku sudah ke Maluku), saya bisa sekalian pesankan tiket.”
Sial, rencana keliling Papua jadi batal dan kemungkinan besar aku ke Maluku lagi tanpa mengerti maksud Kak War yang mengatakan, “Sudah, nanti kamu ke Maluku biar beta pung saudara (saudaraku) yang melobi ke ABK.” dan kata Pak Rasyid, “Sudah, santai saja nanti Ibu guru naik kapal ke Maluku waktu sandar di Fak-fak. Nanti pakai tiket teman saya.” kata-kata mereka sangat argumentatif sampai aku nurut saja dengan mereka. Mereka pasti sudah sangat berpengalaman soal kapal daripada orang Jawa yang taunya tiket kereta.
Aku menunggu lusa tiba di dalam rumah makan yang siangnya terasa sangat panas karena tak ada ventilasi. Malamnya aku dipersilakan tidur di ruang sempit yang biasa dipakai tidur Eka karena aku tak tahan dingin di ruang makan. Ternyata dia hanya tidur beralaskan selembar kardus. Benar-benar selembar kardus! Dia tipe akhwat tangguh dan mandiri. Aku mendapat pelajaran yang berharga di sini.
Fak-fak I’m coming!
Di pelabuhan aku menunggu kapal ke Fak-fak bersama gelombang pemudik yang sangat banyak. Kapal dijadwalkan berangkat jam 5 sore. Sampai maghrib tiba, kapal masih belum tiba. Katanya kapal lagi bongkar muat barang. Ya harusnya jangan bilang berangkat jam 5 kan…? Hhhhhh…. jam karet Indonesia. Sekitar Isya penumpang baru bisa masuk kapal. Sama seperti saat libur Natal & tahun baru sebelumnya, kami harus berebutan untuk mendapat tempat yang berupa kasur busa. Walaupun sudah membeli tiket hal itu tak berlaku untuk kapal besar. Penumpang yang tak beruntung hanya bisa tidur di lantai kapal dengan alas tikar, termasuk aku yang sudah berkeliling dari dek ke dek akhirnya menempati lantai belokan tangga. Itu pun harus berbagi dengan ibu-ibu dan dua anaknya. Selonjoranpun jadi ribet. Bawaan tas ransel dan koper membuatku kurang licah mencari lokasi kosong (lagi-lagi karena masih amatir aku bawa baju banyak. Jangan ditiru! :D) apalagi tak ada teman dan tak menyewa porter. Aku kesal sekali saat seorang calo kasur yang menawariku ongkos tambahan untuk membayar tempat. Calo-calo ini sengaja mengambil kasur busa dan membawanya kemana-mana sambil menawari penumpang yang terlihat ingin dapat tempat. Kujawab dengan nada marah, “Enak saja, saya udah bayar tiket malah disuruh bayar buat dapat tempat!” calo ini langsung pergi menawarkan ke penumpang lain. Aku terpaksa membeli tikar plastik tipis yang panjangnya kurang dari kalau kita selonjoran. Jadi otomatis harus beli dua. Luar biasa sekali bisnis di dalam kapal kelas rakyat ini.
Jam 9 malam kapal baru berangkat. Molor 4 jam, pembaca! Saat petugas pengecek tiket berkeliling, dia mendapati seorang ibu yang membawa anak balitanya, “Tiket anaknya mana?”, “Nggak ada, Pak.” Ibu itu tersenyum malu. “Dia kan bukan bayi. Besok lagi kalau naik, anaknya dibelikan tiket ya..” Aku benar-benar tercengang. Semudah itukah? Sampai di sini aku merasa gila sekali perjalananku. Kegilaan macam apa lagi yang akan kuhadapi?
Hijau Laut Fak-fak
Jam 12 siang kapal sandar di pelabuhan Fak-fak. Pemandangan kota ini sangat berbeda dengan kota Sorong. Banyak tebing, sepanjang jalan di sisi kanan selalu terlihat laut yang berwarna hijau bersih, jalanan tidak terlihat ludang pinang, dan lebih sepi. Aku naik ojek (bukan online) menuju rumah kota teman-teman Indonesia Mengajar. Lagi-lagi ini berdasarkan kenalannya kenalan. Aku dan para pengajar muda yang menempati rumah kota (semacam basecamp) sama-sama tidak saling kenal. Sepanjang perjalanan menuju rumah kota, aku bertanya-tanya dengan sopir ojek tentang Fak-fak sampai bertanya asal daerah si driver soalnya bukan wajah Papua. Ternyata dia nyonge (mas-mas dalam bahasa maluku) Maluku muslim. Ini aku jadikan jembatan komunikasi dengan si driver supaya besok aku bisa menyewanya seharian untuk mengantar keliling Fak-fak (pada saat itu tidak ada ojol dan aku tak bisa mengendari motor. Lol!)
Selama di rumah kota, aku tak banyak berbincang dengan para pengajar muda karena aku masih mencari alternatif transportasi menuju 3 pantai yang direkomendasikan seorang pengajar muda penempatan Fak-fak yang baru beberapa bulan lalu penarikan. Oke, fix! Aku tetap pakai jasa driver ojek tadi. Seharian dia mau dibayar Rp 60. 000,00. Kata temanku itu murah. Hahaha… bermodal bilang saya besok mau dan pernah ke Maluku.
Sorenya aku naik ojek lagi ke pasar tradisional kota Fak-fak. Pasar ini di tepi laut. Walaupun disebut tradisional, tetapi kesannya sangat rapi dan bersih. Aku heran kenapa pasar ini tidak seterkenal pasar-pasar tradisional di Solo, padahal ini lebih rapih. Aku membeli jajan buka puasa yang ternyata banyak kue-kue Maluku, seperti kue Asaida. Di pasar ini ada beberapa papan pengingat untuk menjaga kebersihan. Saat pulang, aku melihat sebuah banner besar yang bertuliskan Bupati Fak-fak di bawah sebuah foto. Yang mengherankan nama depan bupati ini “Mohammad” dan beliau sudah Doktor! Langsung kutanya sopir ojek soal itu. Katanya memang muslim. Saat sampai di rumah kota aku banyak bertanya pada teman-teman pengajar muda soal Fak-fak. Mereka mengatakan di Fak-fak banyak pendatang muslim Maluku sehingga di sini jumlah muslim memang banyak. Pantas saja, saat kapal bersandar di pelabuhan, dari berbagai arah dapat kulihat kubah masjid. Menarik sekali Fak-fak ini. Sebutan Papua sebagai satu tungku tiga batu yang berarti satu pulau tiga agama besar sangat terasa di sini. Malamnya aku salat tarawih di sebuah masjid yang besar. Uniknya, masjid ini menggelar salat tarawih 8 rekaat dan 20 rekaat. Bagi yang ingin sampai 20 rekaat, mereka bisa menunggu jemaah yang salat 8 rekaat plus witir selesai salat. Mereka lalu melanjutkan dengan imam yang berbeda sampai 20 rekaat. Tidak ada perselisihan soal mau berapa rekaat di masjid ini.
Besoknya, jam 9 pagi aku berangkat dengan sopir ojek yang kemarin aku pesan. Di sepanjang perjalanan aku melihat banyak perempuan berwajah Papua yang memakai jilbab. Pemandangan alam di sepanjang perjalanan sangat-sangat indah mempesona tiada duanya. Aku akhirnya bisa membuktikan bahwa Papua bukan hanya Raja Ampat yang indah. Dari pantai 1, 2, 3 semua sepi. Kata si driver ini karena sedang puasa jadi masyarakat malas ke pantai. Walaupun kata si driver dekat pantai ada musola, aku sempat salat zuhur di pantai supaya lebih berasa alamnya. Hahaha… jadilah si driver ke musala dan saya tetap memilih salat di pantai.
Saat perjalanan kembali, langit mendung dan pemandangan laut yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi abu-abu. Untungnya tidak hujan. Sampai di kota sudah hampir maghrib, si driver malah nawarin “Sekalian mau beli buka puasa di pasar tidak?” Waduh, ini benar-benar tidak pakai hitungan transaksi jual beli seperti di kota. Aku sih oke-oke saja sekalian membeli kue-kue untuk teman-teman (inilah etika menumpang :D)
Esoknya jam 6 aku bertolak dari rumah kota menuju pelabuhan. Aku lupa sekalian memesan Nyonge driver ojek kemarin untuk mengantar ke pelabuhan. Jadi aku hanya menunggu ojek lewat. Walau tak lama menunggu, tapi sebenarnya ini cukup beresiko karena kalau sampai aku ketinggalan kapal artinya aku akan bertahan lama di Fak-fak sampai lebaran. Kan nggak enak juga kalau menumpang terlalu lama.
Sampai pelabuhan, kapal yang menuju Ambon sudah sandar. Syukurlah aku tak harus menunggu seperti saat akan ke Fak-fak. Aku berkirim pesan ke Pak Rasyid mengabarkan posisiku. Tak lama, beliaupun keluar kapal dan menemuiku sambil membawa tiket yang tertulis nama temannya. “Ibu Anisse, nanti pas mau masuk kapal tunjukkan tiket ini.” “Oh, iya, Pak. Ini harga tiketnya berapa ya?” aku masih dengan polos tak mengerti cara ini. “Ah, sudaaaah tidak usah bayar, Ibu.”
Suasana Kapal ke Ambon dari Video youtube ku
Masuklah aku ke dalam kapal dengan cara yang diarahkan Pak Rasyid. “Saya sudah persiapkan tempat buat Ibu, tapi karena saya tidak dapat tempat jadi tinggal sisa di bawah sekoci.” What? Batinku waktu melihat aku benar-benar disediakan tikar di bawah sekoci dan di luar pagar pembatas kapal yang dilarang dilewati penumpang. Angin yang sangat kencang dan ombak tinggi mengombang-ambingkan kapal yang bermuatan ribuan penumpang. Jumlah penumpang banyak sekali melebihi saat aku ke Ambon libur tahun baru dan saat aku ke Fak-fak. Rasanya ngeri juga dapat tempat tepi kapal di bawah sekoci. Tapi dasar aku yang suka eksplor, jadi aku titip tas dan koper ke Pak Rasyid lalu berkeliling kapal dari dek ke dek untuk melihat situasi dan kondisi. Setelah puas melihat-lihat barulah aku dapat ide untuk mengambil tempat yang ternyaman di kapal yaitu: Musala. Di dalam Musala rasanya seperti di surga (ber AC, bersih, dan tidak sesak dengan penumpang), sedangkan di luar Musala rasanya seperti di neraka (penggambaran yang hiperbola sih memang :D). Rasanya dapat tempat iktikaf di dalam kapal. Yang kuherankan, dari ribuan penumpang sangat sedikit yang salat di satu-satunya Musala ini padahal tak kulihat juga mereka salat di tempatnya masing-masing. Lalu kau namakan apa Ramadhan ini? Perayaan bersama keluarga di kampung saja?
Saat masih di Musala, seorang petugas pengecek tiket membuka pintu Musala dan bertanya padaku “Tiketnya mana?”, masih dengan keluguanku “Wah, saya tidak bawa. Dibawa teman saya.”, “Di dek berapa?”, “Ya di dek ini juga sebelah sana.” sambil menunjuk lokasi Pak Rasyid yang di bawah sekoci. “Oh, yaya.” lalu petugas itu menutup pintu Musala. Aku heran sekali semudah itukah dia percaya? Iya sih, “tiketku” dibawa Pak Rasyid (temannya lebih tepatnya), tapi kan sebenarnya itu bukan tiketku.
Tak lama setelah itu aku menuju lokasi bawah sekoci, lalu Pak Rasyid bertanya, “Tadi diperiksa tiket nggak, Bu?”, “Iya, Pak.”, “Trus Ibu bilang apa?”, “Tiket saya dibawa teman saya.”, “Nah iya bilang aja begitu.” Wah Pak Rasyid benar-benar berpengalaman soal ini dan aku baru sadar bahwa aku adalah PENUMPANG ILEGAL. Aku jadi ingat petugas yang menegur ibu-ibu karena balitanya tidak dibelikan tiket. Tiba-tiba terbayang penumpang ilegal bisa saja berjumlah ratusan lalu mungkin kapal akan tenggelam karena kelebihan muatan. Gara-gara bayangan itu, aku tidak kembali ke Musala lagi dan memilih duduk di bawah sekoci dengan angin malam super kencang. Setidaknya aku orang yang paling cepat dapat sekoci kalau kapal ini tenggelam!
Assalamualaikum, Ambon!
Jam 2 pagi kapal bersiap-siap sandar di pelabuhan Ambon, tapi aku baru benar-benar keluar kapal hampir jam 3.30. Aku melihat banyak orang yang menunggu kerabatnya keluar kapal. Ketika bertemu, mereka bersalaman, berpelukan, dan tertawa dengan mata berbinar-binar seperti akhirnya bertemu lagi setelah sekian lama berjauhan. Perasaan iri menghinggapiku beberapa saat. Aku cuma bisa melihat mereka. Ah, pokonya aku tak mau rugi!
Aku kira aku akan ditemani Pak Rasyid ke rumah kakaknya Kak War yang pernah aku tumpangi saat libur tahun baru, ternyata di rumah saudaranya yang lain karena katanya lebih dekat pelabuhan. Meski begitu kami harus menyewa angkot juga (waktu itu sistem ini sama dengan di Sorong atau Fak-fak. Kalau naik angkot dari pelabuhan itu berarti menyewa angkot sampai lokasi karena tak ada taksi di situ apalagi ojek online). Aku pikir beliau sudah menyampaikan kepada saudaranya kalau akan membawa teman menumpang ternyata belum. Apa yang dipikirkan saudaranya jika membawa perempuan muda di saat mudik lebaran begini? Aduh, sebetulnya aku jadi tidak enak tapi dalam kondisi seperti ini muka tembok wajib dipasang. Untung saudaranya dengan ramah memberi tempat untukku bahkan yang lebih mengejutkan ternyata anak perempuan mereka pernah nyantri di Pondok Pesantren Gontor dan sekelas dengan anak Ibu kosku saat aku bekerja di Sumatera. Waah… tak disangka antara Sumatera, Papua, Maluku ternyata ada cerita yang berhubungan. Satu lagi titik tersambung karena silaturahim.
Jam 9 pagi barulah Kak War menjemputku. Dia langsung berangkat dari kampungnya di Pulau Haruku. Siang hari aku berpamitan dengan keluarga ini dan menuju rumah kakaknya Kak War. Aku dua hari di sini. Merasakan salat Tarawih di Masjid Raya Al Fath, masjid besar kebanggan Ambon yang bersebelahan dengan masjid Jami yang berusia 160 tahun.
Dua hari menjelang Idul Fitri pagi hari aku diajak Kak War ke sebuah kampung yang katanya ada masjid tua bersejarah dan ada benteng di sana. Perjalanan ini naik angkot dan memakan waktu sekitar sejam. Selama perjalanan aku melihat hampir di setiap halaman rumah ada makam-makam keluarganya. Wah, kuat hati sekali mereka.
Sampailah kami di Masjid Wapauwe. Masjid ini didirikan tahun 1414 Masehi dan menjadi salah satu masjid pertama di Indonesia. Masjid ini kecil dan sederhana, tetapi terasa sekali sejarah panjang yang dilalui masjid ini. Bahkan ada replika bendera Kerajaan Majapahit dipasang di mimbar masjid. Takmir masjid menjelaskanku dengan baik. Sayangnya, dua orang bule yang berkunjung tidak diizinkan memasuki bagian dalam masjid karena kata takmir hanya muslim yang boleh masuk.
Video Masjid Wapauwe
Puas dengan Masjid Wapauwe, aku berjalan kaki dengan Kak War menuju Benteng Amsterdam yang berdiri di tepi pantai. Di pertengahan jalan aku melewati gereja tua yang juga bersejarah. Di sini aku bisa menangkap bahwa dulu sekali sebenarnya Maluku dapat hidup berdampingan antara Muslim dan Kristiani. Tanpa direncanakan, aku bertemu 2 guru penempatan Maluku Barat Daya dari program yang sama. Sebuah pulau kecil yang jauh di selatan pulau Maluku. Mereka berdua dari Sumatera Barat.
Kami tak berlama-lama Kota Ambon karena Kak War mengajakku berlebaran di kampungnya di Kampung Kailolo, Pulau Haruku. Kami harus melalui perjalanan darat naik angkot sekitar satu jam lalu disambung speed boat selama 15 menit. Sampai di Pulau Haruku sudah hampir Maghrib dan kami harus berjalanan kaki kira-kira 15 menit melewati makam yang sangat luas dan juga gelap untuk sampai di rumah Kak War.
Keluarga Kak War adalah adalah salah satu penerima tamu teramah yang pernah kualami selama bertamu. Rasanya sudah seperti bersaudara lama dengan mereka, padahal baru pernah bertemu dua kali (yang pertama waktu libur tahun baru dan natal). Hari terakhir berbuka puasa di sini menjadi sangat istimewa.
Ada yang sangat berbeda dengan Lebaran tahun itu. Kue-kue kering dan lontong sayur sudah terbayang-bayang di pikiranku sejak memutuskan Lebaran keluar dari kampung penempatan. Ternyata adat di sini sangat berbeda dengan Jawa. Mereka tak mengenal kue kering, tetapi kue basah. Tak mengenal lontong sayur, tetapi nasi ikan. Aku cukup terkejut dengan hal ini. Sesuatu yang sangat biasa di Jawa ternyata tak biasa di belahan Indonesia lain.
Tradisi Jawa yang sangat khas seperti sungkeman yang masih dilakukan keluargaku pun jelas tak ada di sini. Jika berkunjung, mereka cukup mengucap salam lalu bersalaman dan mengobrol sebentar. Bahkan kakak dari mamanya Kak War malah yang mengunjungi keluarga Kak War. Akan aneh di masyarakat Jawa jika keluarga yang dituakan mengunjungi yang lebih muda. Saat kutanya, “Kenapa beliau ke sini?”, Kak War menjawab enteng, “Ya silaturahmi biasa to. Saling mengunjungi.” bisakah masyarakat Jawa terutama masyarakat Solo yang masih memegang adat menerima hal ini? Bahkan ketika orang yang dituakan telah meninggal, yang dianggap muda tidak akan mengunjungi anak-anak dari keluarga sesepuh tersebut karena menganggap yang dituakan sudah meninggal. Aku rasa dalam hal ini betul juga adat yang dianut masyarakat Maluku bahwa silaturahmi dalam Islam tak memandang usia. Mereka lebih egaliter dalam hal ini.
Saat menumpang di kampung Kailolo, sedang ada masalah sulit air. Masyarakat kampung ini menduga saluran airnya diputus masyarakat kampung lain. Kak War bercerita masyarakat kampung mereka memang tidak akur dengan kampung lain dan juga tidak akur dengan masyarakat kampung Rohomoni. Kak War bercerita masyarakat Rohomoni beragama Islam tapi mencampurkan dengan kepercayaan Hindu sehingga ada atap-atap rumah dan masjid yang berbentuk berundak-undak seperti pura. Aku sangat tertarik ke sana, sayang Kak War dan Pak Rasyid yang rumahnya juga di kampung Kailolo tidak merekomendasikan karena katanya mereka akan mengenaliku sebagai orang luar. Dengan sangat khawatir Kak War mengatakan kalau ketahuan nanti bisa dibunuh. Karena peringatan itu, aku hanya bisa diantarnya ke tepi pelabuhan untuk melihat kampung mereka yang berada di seberang laut namun masih satu pulau Haruku. Aku bisa melihat jelas mereka melalui kameraku. Sungguh mengejutkan karena kaum perempuan banyak yang memakai jarik seperti nenek-nenek di kampung Jawa dan kaum laki-laki mengenakan kopyah putih. Sayang sekali aku tak diperbolehkan ke sana, tetapi aku tetap menghormati saran dari Kak War karena beliau bertanggung jawab pada keberadaanku di kampungnya. Pasti dia khawatir kalau terjadi hal buruk menimpaku di kampungnya. Sebenarnya yang lebih disayangkan mengapa mereka harus bertikai padahal tinggal di satu pulau kecil bersama dan hanya bersebelahan. Konflik antar agama di awal tahun 2000an di Ambon sudah sangat memilukan, mengapa harus ada lagi konflik antar kampung.
Setelah tiga hari di kampung ini lalu aku diantar ke rumah kakaknya Kak War di Ambon untuk mempersiapkan diri kembali ke Sorong. Sebenarnya aku masih betah di sini, tetapi karena kapal akan berangkat 2 hari lagi dan kapal Ambon-Sorong baru akan ada lagi sekitar sebulan jadi mau tak mau harus segera pulang. Padahal hari liburku masih panjang. Semangatku masih menyala-nyala, tetapi apa daya ternyata fisikku lelah. Aku masuk angin di hari terakhir dan lumayan membuatku tak bisa gerak cepat. Perjalanan menuju pelabuhan benar-benar kejar-kejaran waktu. Macet di perjalanan saat naik angkot akhirnya kami memutuskan naik ojek. Sampai di pelabuhan harus berlari menuju kapal dan saat sampai di muka kapal, tangga besi itu sudah hampir ditarik. Kalau saja kakaknya Kak War tidak bekerja di urusan perkapalan dan berkomunikasi dengan ABK, kemungkinan aku akan ditinggal kapal. Konyol sekali, dari ribuan penumpang akulah penumpang terakhir.
Kejutan belum selesai. Setelah berputar-putar dek aku dapat tempat yang paling damai dibanding saat ke Fak-fak atau Ambon. Meski tak dapat kasur aku dapat bagian dalam dek, bukan belokan tangga, dan bisa selonjoran. Namun sayangnya, ada satu penumpang yang sungguh-sungguh menyebalkan. Dia benar-benar sok kenal sok dekat denganku. Anak muda pakai seragam kedinasan yang kasurnya dekat dengan lantai aku mengemper. Tanya ini itu sampai tanya pergi dengan siapa. Aku paham modus seperti ini. Risih sekali aku meladeninya. Rasanya mau ke Musala lagi, tetapi tak ada yang akan menjaga koperku karena aku tak pulang bersama Pak Rasyid. Karena risih level dewa, kutinggalkan dia untuk berkeliling kapal dan ke Musala. Sayang, Musala tutup. Sedih sekali kehilangan surganya kapal. Mengagetkan sekali ternyata dia mengikutiku sampai bisa berpapasan di depan Musala. Sikapnya yang menjengkelkan berlanjut esoknya saat kapal akan sandar. Kopernya didekatkan denganku supaya dia bisa dekat denganku saat turun. Tak betah akhirnya kukeluarkan jurus marah-marah volume suara tinggi yang sebenarnya sama sekali tak mencerminkan orang Solo. Orang macam dia tak bisa dihalusi. “Hei, kamu ini kurangajar sekali dari kemarin! Kamu tahu saya ini guru dan kamu sudah kurangajar dengan guru. Kamu itu seumuran murid saya. Kalau kamu masih begitu saya bisa laporkan kamu ke polisi. Geser koper kamu sekarang atau saya lempar ke laut! Geser sekarang pokoknya!” semua orang di sekitar situ melihatku memarahinya. Seketika laki-laki muda yang sok bergaya namun norak ini pucat dan tertunduk malu. Baru kali itu aku mengeluarkan jurus kata-kata kasar dan itu manjur (jangan ditiru kalau tidak sangat mendesak ya! Hahaha). Kalau ada yang merekam mungkin bisa viral.. “Oh, saya kira kamu temannya. Soalnya saya lihat dari kemarin seperti sudah kenal dekat gitu sama Mbaknya. Ya, kalau tidak kenal jangan begitu.” seorang laki-laki paruh baya menasehatinya. “Iya, Pak… iya, Pak” jawabnya sambil malu dan wajah yang ciut. Rasanya puas sekali aku.
Aku tak bisa langsung ke kabupaten penempatan karena harus menunggu paketan dari panitia pertukaran pelajar siswaku dari Jakarta. Aku tak bisa menumpang lagi di rumah makan Eka karena diapun di rumah keluarganya. Aku dilobikan Pak Rasyid menumpang di rumah saudaranya. Sesuatu yang tak kuketahui lagi-lagi membuatku kaget. Aku diberi tempat di sebuah kamar kayu belakang rumah saudarnya. Kamar ini disekat sumur. Ternyata kamar ini lama tak ditempati, jadi sangat kotor. Banyak tahi cicak dan sarang laba-laba. Hiyaaaks! Bahkan dindingnya dilapisi banner-banner plastik untuk menahan angin dan rembesan hujan. Mau menolak tak enak, mau menerima rasanya aku masih lelah dan masuk angin jadi benar-benar ingin beristirahat dengan nyaman. Rasanya antara mau mengeluh “Ya Allah kenapa ujian ini berentetan?” dan bersyukur karena ada yang bersedia menerima walau tak kenal. Belum sampai di situ, hujan deras tiba. Tuan rumah mengajakku mengobrol di rumah depannya. Keasikan mengobrol saat kutengok kamar ternyata kamar kayu itu BANJIR! Koper dan sebagian bajuku jadi basah. Rumah bagian depan yang posisinya tinggi sama sekali tidak ada air masuk. Mungkin karena kasihan, si Ibu mempersilakanku pindah ke ruang tamunya yang sangat layak. Walau tak ada kasur setidaknya ada sofa dan tempatnya seperti rumah kota pada umumnya. Jadilah aku tidur di ruang tamu. Di saat itu, aku dikirim foto keluarga di Solo sedang halal bi halal. Tiba-tiba rasanya iri sekali. Mereka memakai baju lebaran yang bagus sedangkan kemarin aku lebaran memakai seragam kantor tempat kerja sebelumnya.
Esoknya Pak Rasyid yang masih di Maluku menanyaiku soal keadaanku di sini dan yang lagi-lagi mengejutkanku adalah ternyata anak laki-laki dari keluarga ini sering pulang malam karena mabuk dengan teman-temannya. “Ya Allah… apa lagi ini? Kenapa harus di sini? Lalu aku mau kabur ke mana sampai paketan itu tiba?” Arghhhhh….! Rasanya antara marah dengan Pak Rasyid karena tak memberitahu sejak awal tapi juga tak enak mau memarahinya karena sudah berbaik hati melobikan saudaranya.
Tidur malamku selanjutnya sama sekali tak tenang. Selalu waspada dan terbangun tiba-tiba. Hingga akhirnya Pak Rasyid pulang dari Maluku dan menumpang di rumah ini barulah aku merasa aman. Untungnya dari pihak panitia pertukaran pelajar memberiku file-file online karena paketan tak jelas waktu kedatangannya. Saat itu juga kuputuskan untuk segera memesan tiket kapal kembali ke kota kabupaten penempatan. Selesai sudah kejutan-kejutan perjalanan ini.
Aku tak menyangka walaupun rencana meleset jauh, tetapi sudah sebanyak ini perjalanan yang kulalui. Mulai dari menunggu mobil hilux dengan penuh ketidakpastian sampai pulang masuk angin. Mulai dari yang sangat mudah menyewa ojek dengan harga murah sampai menengangkan karena hampir ditinggal kapal.
Kejadian itu telah belalu 5 tahun, tetapi di saat baru kali ini dalam sejarah Indonesia mudik dilarang aku bisa mengambil pelajaran yang lebih dalam atas pilihanku tidak mudik saat itu. Pertama, walaupun ada rasa senang dan puas karena bisa melihat budaya berpuasa dan berlebaran di bagian lain Indonesia, tetapi perjalanan tersebut tak selalu menyenangkan apalagi bagiku yang saat itu masih amatiran untuk solo travelling. Kedua, izin dari keluarga untuk menerima keputusan tidak mudik sangatlah penting karena bagaimanapun ini berhubungan dengan 2 pihak kan? Pemudik dan keluarga penerima pemudik. Ketiga, mudik adalah tradisi Indonesia dan bukan hukum dalam berlebaran jadi selama kewajiban dan sunah selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri dijalankan, bukan hal yang dosa atau mengurangi pahala jika tidak mudik. Keempat, aku jadi lebih bersyukur dari tahun-tahun sebelumnya karena pemerintah Indonesia dan juga pihak swasta memberi waktu panjang untuk merayakan Idul Fitri sehingga kita bisa dapat THR, mudik, halal bi halal ke berbagai tempat, sampai wisata keluarga besar selepas hari raya. Negara mana lagi yang bisa semeriah ini? Negara-negara yang muslimnya minoritas hanya dapat libur di hari raya. Kelima, aku diingatkan bahwa yang terpenting selama Ramadhan adalah memperbaiki kualitas ibadah bukan euforia perayaan yang malah tak ada aturan dalam syariat. Untuk apa mudik, tetapi salat dan puasa tak dijalankan? Jangan mau rugi dengan situasi ini. Jika keinginan mudik dilarang, carilah kegiatan yang lebih menguntungkan untuk menggantinya. 10 hari terakhir yang biasa bersama ribuan pemudik di jalan, sekarang malah ada kesempatan untuk mendapatkan pahala yang lebih dari tahun-tahun sebelumnya.
Islam itu memudahkan umatnya bukan menyulitkan. Mari kita bersama belajar memaknai Hari Raya yang sesungguhnya.
Sebagian Foto yang tak tertampilkan di blog, bisa dilihat di akun IG: Anisse Alami